SELAMAT MEMBACA

Friday 13 December 2013

Bantuan Siswa Miskin yang Multi Tafsir



Oleh. Ian Haba Ora
(Ketua Forum Pemerhati Aspirasi Rakyat Kota Kupang)
Tulisan Ini Dipublikasi Oleh SKH KURSOR, 13 Desember 2013

Pengantar
Negara ini maju karena dipimpin oleh orang-orang cerdas! Dunia pendidikan adalah tempat berkumpulnya calon-calon pemimpin masa depan untuk belajar membentuk intelektual dan ahklak sehingga menjadi peka sesama dan lingkungan sekitar serta memiliki budi pekerti yang baik.

Pentingnya pendidikan dalam pembentukan calon-calon pemimpin masa depan, maka negara memiliki tanggungjawab untuk menjamin upaya pencerdasan anak-anak bangsa sehingga mampu mendapatkan taraf pendidikan yang berkualitas dan mumpuni keterjangkauan biaya pendidikan. Namun perihal demikian bertolak belakang dengan realitas pendidikan berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011 menemukan lebih dari 1,3 juta anak siswa di Indonesia putus sekolah sehingga menyebabkan peringkat indeks pembangunan rendah (EAGMR:2011). Kejadian ini menyebabkan Indonesia berada diperingkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index (Iskandar-YCAB, 2011). Sementara laporan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melaporkan setiap menit ada empat anak yang putus sekolah (Bunda, 2011).

Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan penyumbang terbesar masalah pendidikan di Indonesia, bahkan dari 33 provinsi yang disurvei, NTT berada pada urutan ke-33. Hal buruk pencitraan pendidikan di NTT yang tahun ke tahun tidak pernah terselesaikan. Bahkan pengakuan Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat DR. Jefri Riwu Kore, MM., MH menyebutkan bahwa negara menggelontorkan banyak duit ke NTT namun pendidikan di NTT masih tetap urutan terakhir dari harapan untuk terdepan.

Esensi Bantuan Siswa Miskin (BSM) bagi anak didik siswa
Keterpurukan pendidikan di propinsi NTT seharusnya menjadi perhatian serius semua pihak baik eksekutif, legislatif, dan masyarakat itu sendiri. Tingginya angka putus sekolah yang tinggi NTT juga tidak dapat diabaikan dari tingginya angka kemiskinan di propinsi ini. Menurut hasil survei Badan Pusat Statistik (2012) bahwa tercatat lebih dari satu juta orang atau 21% penduduk NTT yang tergolong miskin. Angka ini diprediksikan akan berbanding lurus dengan kemajuan kota dimana semakin majunya sebuah kota akan memobilisasi (migrasi) buruh migran untuk menuntut hidup dikota yang berdampak pada tingginya angka miskin. Dengan demikian akan terjadi pendulangan angka putus sekolah dari kaum-kaum termajinalkan (“dapat dikatakan miskin”).

Untuk menanggulangi kemiskinan dan upaya pencerdasan anak bangsa maka melalui kementrian pendidikan Republik Indonesia menggelontorkan triliunan uang ke NTT agar masyarakat terbantu dalam menunjang pendidikan anak didik NTT. Namun terkadang program pemerintah yang diputuskan melalui palu persidangan di Gedung Rakyat (Gedung DPR RI) terendus disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup kue-kue keuntungan. Dugaan banyaknya uang negara yang diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu menjadikan program yang baik ini tidak berjalan semestinya. Apalagi jika program yang dijalankan jauh dari pengawasan oleh rakyat maupun pemegang aspirasi.

Intisari pengawasan dalam fungsi kontrol oleh anggota DPR RI ini selama ini menjadi sebuah esensi pertanyaan sendiri ketika masyarakat mengeluh akan biaya pendidikan yang membengkak, dan yang lebih parah lagi adalah banyak beasiswa-beasiswa yang digelontorkan oleh pemerintah tidak diketahui masyarakat. Oleh karena itu, agar apa yang baik yang sudah diprogramkan oleh pemerntah sebaiknya mendapat perhatian pengawasan oleh anggota DPR RI.

Hegemoni Paradigma Warga
Angka fantastis tingkat kemiskinan di NTT meskipun secara gradual terjadi penurunan tahun 2013 namun secara samar-samar masih terliht terjadi kemiskinan dimana-mana. BPS (2013) melaporkan angka statistik jumlah penduduk miskin di NTT pada bulan Maret 2013 sebesar 993,56 ribu orang (20,03 persen), berkurang 6,73 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012 yang berjumlah 1.000,29 ribu orang (20,41 persen) dan berkurang sekitar 18,96 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2012 yang berjumlah 1.012,52 ribu orang (20,88 persen). Jika dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal, selama periode Maret 2012 – Maret 2013, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan maupun pedesaan masih tinggi dimana hanya terjadi penurunan persentase penurunan sebesar 0,68 persen untuk perkotaan dan 0,85 persen untuk pedesaan. Demikian juga, pada periode September 2012-Maret 2013, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami penurunan bawah kewajaran dimana Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 3,466 pada September 2012 menjadi 3,393 pada Maret 2013. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan turun dari 0,908 menjadi 0,875 pada periode yang sama.

Fenomena kemiskinan ini menjadi problema tersendiri yang pada akhirnya menjadi skeptis dan pesimistis pola reaksioner masyarakat pada kejadian-kejadian tertentu, khususnya pada Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang saat ini sedang digelontorkan oleh Pemerintah. “Subiantoro Tolak Bantuan JERIKO” begitu bunyi tag line pemberitaan Kursor (Rabu, 11/12/2013). Namun ketika dibaca, ikwal masalahnya adalah karena tidak mau menerima bantuan yang sama dengan nama dan jumlah uang yang sama, demikian ungkap Subiantoro Kepala SMK Negeri 1 Soe. Tetapi ketika saya membaca jenis surat dari Anggota DPR RI atas nama DR. Jefri Riwu Kore, MM.,MH tertulis jenis surat tersebut merupakan surat pemberitahuan kepada anak siswa bahwa nama-nama anak didik siswa pada SMK Negeri 1 Soe terdaftar dalam penerima BSM yang sedang digulirkan oleh pemerintah, dan itu merupakan perjuangan Bapak DR. Jefri R. Kore, MM.,MH sebagai satu-satunya anggota DPR RI yang duduk dikomisi X bidang pendidikan, pemuda dan olahraga, perpustakaan dan pariwisata.

Surat Pemberitahuan merupakan surat informasi kepada siswa sasaran termasuk orang tua agar dapat mengetahui bahwa nama mereka (siswa) telah terdaftar dalam daftar nama penerima Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang sedang digulirkan oleh Pemerintah Pusat, dan tidak merupakan jenis bantuan baru yang diberikan secara pribadi oleh rasa dermawan DR. Jefri Riwu Kore. Tujuan surat pemberitahuan tersebut merupakan tanggungjawab JEFRI RIWU KORE untuk terus mengawasi apakah bantuan beasiswa yang telah diputuskan bersama DPR RI sampai sasaran atau tidak, dan memang rakyat harus menuntut kerja-kerja anggota DPR RI seperti itu, sehingga tidak dijadikan paradigma bahwa menjadi anggota DPR RI adalah adalah datang, duduk, diam, dengar, dan duit (5D). Oleh karena itu melalui cara kerja JERIKO melakukan upaya sistematis untuk memantau pengawasan penyaluran Bantuan Siswa Miskin (BSM) di daerah-daerah apakah tepat sasaran atau tidak. Jika ditemukan hal-hal yang diselewengkan dari mekanisme penyaluran maka tugas beliau untuk mengadvokasi agar pelakunya dipidana atau mendapatkan konsekuensi hukum. Namun seringkali masyarakat menganggap sebagai upaya politisasi.

Pandangan kritis masyarakat ini belum tepat dikarenakan pandangan masih bersifat deskriptif multitafsir akibat belum terpahamnya pengetahuan tentang tugas pokok dan instruksi (TUPOKSI) anggota DPR RI. Secara aturan perundang-undangan, tugas anggota DPR, DPRD maupun DPD terdiri atas tiga, yaitu legislasi (pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan); budgeting (penetapan anggaran), dan pengawasan. Selama ini yang terjadi adalah setiap anggota legislator jarang melakukan pengawasan akan setiap program yang digelontorkan oleh Pemerintah.

Penutup
Skeptisme dan pesimistis warga terhadap upaya pengawasan setiap legislator kadangkala dianggap sebagai upaya politisasi oleh warga. Masyarakat pun lupa akan track record Caleg yang betul-betul memberikan bukti sebagai pertanggungjawaban publik. Tetap berjuang bung Jefri,  rakyat saat ini melihat bukti bukan janji.

JAMINAN PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP AKTIVIS HAK ASASI MANUSIA



Oleh. Ian Haba Ora
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT
(Tulisan ini dipublikasi oleh SKH TIMOR EXPRESS)
 
Pengantar
Merefleksi semangat reformasi tahun 1998 di Indonesia masih menyisahkan berbagai persoalan kekinian. Di jaman demokratisasi saat ini, negara masih memandang para aktivis Hak Asasi Manusia sebagai penghambat kehidupan bernegara. Labelisasi, stigmatisasi, dan kriminalisasi menjadi indikator penting strategi negara dalam mengintimidasi sekaligus merepresif aktivis pembela HAM di Indonesia. ironisnya lagi, negara dapat terlibat langsung dalam upaya penghilangan nyawa dan daya juang para aktivis melalui pembunuhan, penculikan, dan penganiayaan sering menjadi berita buruk yang tersiar dan ditonton negeri ini.

Pembunuhan Wartawan Jogja Udin, aktivis buruh Marsinah, kasus Munir, kasus pembunuhan terhadap jurnalis Papua, Ardiansyah Matrais, kasus penganiayaan terhadap aktivis anti-korupsi ICW, Tama S. Langkun, penganiayaan terhadap aktivis lingkungan Walhi Bali, I Wayan Suardana alias Gendo, Stigmatisasi komunis pada aktivis PIAR NTT dan beberapa pastor-pendeta merupakan gambaran masifnya penghargaan negara terhadap hak asasi manusia masih lemah.

Namun adahal lain bahwa labelisasi dan intimidasi terhadap Aktivis Hak Asasi Manusia tidak saja dilakukan oleh aktor negara, namun telah bergeser juga pada aktor-aktor non negara seperti kapitalis, milisi/premanisme, ormas-ormas, partai politik, terorisme, dan lain sebagainya. Bahkan dapat juga intimidasi dan represif pada aktivis merupakan konspirasi antara aktor negara dan aktor non negara.

Begitu rentannya aktivis Hak Asasi Manusia dari tindakan represif dan intimidasi negara dan non negara maka pejuang-pejuang HAM perlu dilindungi. Negara Indonesia merupakan negara hukum maka salah satu cara perlindungan terhadap mereka adalah melalui legislasi.

Aktivis Hak Asasi Manusia
Mencari defenisi aktivis Hak Asasi Manusia memang belum memiliki defenisi yang baku di Indonesia, namun secara kontekstual Aktivis atau pembela HAM dapat dikategorikan pada siapa saja baik individu ataupun organisasi yang mempromosikan HAM, dari level akar rumput hingga internasional, tidak memandang dari berbagai jenis kelamin, umur serta latar belakang, tidak juga hanya LSM (NGO).

Keterbatasan dukungan negara dalam perlindungan aktivis Hak Asasi Manusia menjadikan para aktivis HAM sering menjadi sasaran atau terget negara maupun non negara dalam membungkam semangat juang aktivis untuk mendukung dan mendorong nilai-nilai penegakan hak asasi manusia. Untuk itu diperlukan jaminan hukum akan eksistensi aktivis Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender).

Sebenarnya negara Indonesia sudah memiliki instrumen penghargaan terhadap pembela Hak Asasi Manusia (khususnya kerja-kerja HAM) seperti UUD 1945 amandemen Pasal 28C ayat (2), UU No 39/1999 Tentang HAM, UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM Berat, UU No 13/2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi. Turunan dari setiap jawaban instrumen tersebut tersebar dalam pembentukan lembaga-lembaga seperti KOMNASHAM, OMBUDSMAN, LPSK, dan lain sebagainya. Namun konteks instrumen tersebut sebatas pada cara kerja Hak Asasi Manusia belum pada perlindungan aktivis HAM. Pada akhirnya para aktivis HAM dapat diintimidasi, diteror, diancam, dikriminalisasi, dan bahkan dibunuh. Sungguh kontras antara paradigma kerja HAM dan Pekerja-Pekerja HAM.

Perlindungan terhadap aktivis HAM sangat diperlukan karena jika tidak terlindungi maka aktivis HAM selalu menjadi target dan sasaran. Meskipun saat ini draf RUU tentang perlindungan terhadap pembela HAM telah ada dalam jadwal PROLEGNAS namun masih kabur dalam proses pembahasannya. DPR sebatas memasukkannya pada agenda Prolegnas namun tidak ada kepastian pembahasannya. Seharusnya Indonesia sebagai negara yang memiliki otoritas politik dalam legislasi perlu mendorong semangat juang perlindungan Hak Asasi Manusia seperti pada kewajiban negara yang telah diatur dalam “Declaration on the Rights and Responsibility of individuals, Groups, and Organs of Society to promote and Protect universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”, dinyatakan untuk melindungi memajukan dan melaksanakan HAM secara keseluruhan; menjamin bahwa semua orang dalam yuridiksinya dapat menikmati semua hak-hak sosial, ekonomi, politik serta hak-hak dan kebebasan lainnya; mengadopsi dalam lingkup legislatif, administratif dan tahapan lain yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan yang efektif dari hak dan kebebasan tersebut; menyediakan penggantian yang efektif terhadap korban HAM; melakukan investigasi yang cepat dan tepat serta imparsial terhadap pelanggaran HAM yang terjadi; melakukan semua langkah yang dibutuhkan untuk menjamin perlindungan terhadap setiap orang dari segala pelanggaran, ancaman, pembalasan, tindakan diskriminasi, tekanan, atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari kegiatan yang sah menurut deklarasi pembela HAM; memajukan pemahaman publik tentang hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; menjamin dan mendukung pembuatan dan pengembangan institusi nasional independen untuk memajukan dan melindungi HAM; memajukan dan memfasilitasi pendidikan HAM pada semua level baik pendidikan formal maupun non formal.

Negara Wajib Melindungi Aktivis HAM
Kompleksnya otoriansime dan totaliter negara dalam merepresif dan menjustifikasi aktivis HAM dengan berbagai indimidasi dan kriminalisasi bahkan pembunuhan menjadikan kerja-kerja aktivis HAM tidak optimal dan bahkan terancam nyawa setiap kali melakukan tugas dan kerja-kerja HAM. Selain kekuasaan negara, pekerja HAM juga berhadapan dengan aktor-aktor non negara seperti milisi, premanisme, ormas-ormas intoleransi, hingga partai politik menjadikan pekerja HAM selalu terancam dari segala sisi.

Perjuangan pembela HAM untuk mendapat jaminan perlindungan negara akan kerja-kerja aktivis HAM tidak harus dipandang sebagai kekhawatiran pembela HAM terhadap taruhan nyawa dan idealisme karena menjadi pembela HAM maka resiko utama yang harus dihadapi adalah siap “mati” dalam kondisi apapun. Perlindungan yang dimaksudkan adalah agar apa yang dikerjakan aktivis HAM lebih optimal dan terhindar dari intimidasi dan kriminalisasi negara. Diharapkan ketika seorang aktivis dibungkam maka kerja-kerja perjuangan HAM tetap dilakukan oleh yang lain (continuitas). Bahkan ketika negara menghambat dalam kerja-kerja HAM, dapat diminta pertanggungjawabannya termasuk aktor-aktor non negara.

Sehingga menurut saya, Undang-Undang khusus perlindungan terhadap aktivis HAM perlu dilakukan oleh negara melalui kebijakan politik, meskipun tidak, negara harus berani untuk merevisi UU HAM agar memasukan pasal yang memuat khusus tentang perlindungan terhadap pembelah HAM. Maksudnya adalah memberi kepastian kerja-kerja pembelah HAM dan memberi impunitas atas perjuangan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia.

Thursday 7 November 2013

TENTARA HARUS DIBATASI PERANNYA


TENTARA HARUS DIBATASI PERANNYA
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua FPAR KOMUNITAS DAMPINGAN PIAR NTT
(Tulisan ini dipublikasi SKH Timor Express pada Kamis, 7 Nopember 2013)
Pengantar
Indonesia secara kekinian meskipun telah 15 tahun melaksanakan agenda reformasi kebangsaan namun belum sepenuhnya menunjukkan progress report adanya pemahaman nilai-nilai luhur bangsa secara instrumen, strukktur, dan culture terhadap eksistensi penghargaan nilai-nilai hak asasi manusia. Represifitas dan arogansi negara cenderung tidak sepakat untuk diawasi oleh rakyat sebagai kekuasaan kedaulatan namun dianggap sebagai sebuah ancaman.

Anggapan ancaman ini terlebih-lebih dilakukan oleh institusi berlabel hijau yang kebakaran jenggot ketika banyak instrumen demokrasi saat ini menjurus pada proses transparansi partisipatif pemilik kedaulatan terhadap institusi negara. Dengan berbagai cara dan pola yang mungkin tertanam akut diparadigma diduga membuat TNI berusaha untuk menghalau era kebebasan demokrasi. TNI dianggap terusik singgasananya ketika rakyat menuntut agar institusi TNI diaudit penggunaan anggaran, ketika rakyat menuntut agar tupoksi TNI dalam operasi nir militer (operasi selain perang) diperjelas deskripsi dan tafsirannya, dan terakhir adalah ketika pemilik kedaulatan menuntut agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) direvisi karena dianggap cacat nilai dalam memberi keadilan perspektif HAM dan mendorong agar Mahkamah Militer berada pada pengawasan Sipil. Meskipun masih banyak menimbulkan perdebatan namun TNI dianggap mulai merasa kekuasaan absolut yang selama ini tidak terganggu mulai terongrong oleh era demokratisasi.

Kondisi ini dapat dianggap sebagai kesialan nasib TNI (baca ABRI) yang selama kejayaan mulai era orde baru hingga reformasi kini mulai melemah atas nilai-nilai dan prinsip hak asasi manusia sebagai fondasi dasar nilai reformasi mulai menunjukkan kewibawaannya. Seharusnya otoritas sipil harus dan wajib untuk menekan TNI agar lebih profesional khusus untuk pertahanan negara bukan lagi terreinkarnasi tentara politik dan tentara bisnis.

Anggapan TNI terhadap Dinamika Reformasi
Ketika semangat reformasi untuk menuntut pola pikir negara akan demokratisasi dalam perspektif HAM, TNI turut mengikuti tetapi dengan cara pandang yang dapat dianggap salah. Respon terhadap reformasi, TNI membuat tafsir sendiri akan konsep demokrasi dan peran yang mereka akan jalankan, termasuk peran politik dan penegakan keamanan. Konsep TNI menyatakan bahwa peran mereka di masa depan tetap tidak dapat dipisahkan dari keterpaduan peran pertahanan keamanan negara dan pembangunan kebangsaan. Dalam ’paradigma baru’nya, pandangan-pandangan konservatif tersebut muncul dalam pernyataan-pernyataan seperti, ”...(s)ikap dan komitmen TNI sangat jelas bahwa pilihan bentuk Negara Kesatuan sudah final, dan menolak bentuk negara federasi karena dapat menjadikan disintegrasi bangsa. ...(m)emarjinalkan TNI dengan back to barracks, berarti mengeliminasi hak politik anggota TNI sebagai warga negara, sekaligus memisahkan TNI dari rakyat yang menjadi tumpuan kekuatan dan basis jati diri TNI.”  Tafsir tersebut kemudian dikembangkan dalam rumusan Peran Sosial Politik TNI yang tidak selalu harus didepan, berubah dari menduduki menjadi mempengaruhi, berubah dari mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung dan bersedia melakukan political and role sharring dengan komponen bangsa lainnya. Tidak aneh jika kemudian agenda reformasi versi TNI dalam 15 tahun terakhir tidak lebih dari 5 isu yang notabene juga merupakan isu politik yang menguntungkan atau mengancam otonomi politik TNI, yaitu soal hak pilih TNI, pengalihan bisnis militer, Komando Teritorial, TNI dan Departemen Pertahanan, serta Peradilan Militer (Mabes TNI “Paradigma Baru Peran TNI (Sebuah Upaya Sosialisasi)” Edisi III Hasil revisi, Juni 1999, h. 2-7).

Selain itu, seluruh elemen masyarakat tahu bahwa institusi TNI merupakan lembaga yang paling tidak akuntabel apalagi sejauh ini belum ada pertanggungjawaban terkait dengan berbagai kasus pelanggaran HAM yang dilakukan pada masa lalu seperti pembunuhan, penculikan dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) lainnya, oleh karena itu TNI tidak boleh diberi ruang yang terlalu besar dalam ruang-ruang selain yang tertera pada Legislasi.

Strategi Membuat TNI Paham Tentang Demokrasi
Berbicara Hak Asasi Manusia di TNI merupakan sesuatu hal yang kompleks dan rumit. Sipil akan berhadapan langsung dengan militeristik yang masih terlihat angker. Untuk itu, membuat TNI dapat menjadi bagian dari identitas reformasi maka hal utama yang harus dilakukan adalah mengkritisi lewat media, dan membantu bermitra untuk mendorong agenda reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI. Kekhawatiran sipil adalah ketika bersebrangan paham dengan TNI maka dampaknya adalah distigmatisasi jika tidak dianggap sebagai kriminalisasi. Maka dari itu, rakyat harus tetap kritis agar TNI jangan lagi terkooptasi untuk mereinkarnasi institusi seperti jaman orde baru. Jika sipil tidak terlibat maka kemungkinan yang terjadi adalah patronisasi negara totaliter dan pastinya mengarah pada indikasi pelanggaran HAM.

Oleh karena itu mendorong reformasi TNI adalah wajib, maka hal-hal yang perlu dilakukan seperti saran Ismail seorang Peneliti Security sector reforms (2013:5) adalah delegitimasi kekuasaan rezim Soeharto, artinya Sipil harus bekerja keras agar cara pandang TNI tidak terpolarisasi dan terpatron pada jaman Soeharto yang cenderung memperlihatkan kekerasan dan arogansi sebagai ciri khas ABRI. Tetap mengeliminasi TNI dari kancah politik adalah strategi cerdas untuk menghilangkan peran TNI dalam dwifungsi ABRI. Selain itu, publik harus memintah pertanggungjawaban hukum atas ‘kejahatan’ dimasa lalu sebagai wujud tanggungjawab negara akan dominasi penculikan dan pembunuhan pejuang demokrasi sekaligus komitmen negara dalam menanam esensi dari penegakan hak asasi manusia. Dan yang paling terpenting adalah, sipil harus mampu dan berani untuk melakukan penguatan otoritas politik sipil sehingga esensi demokrasi dapat berjalan sesuai normalisasi reformasi.

Pemenuhan Prinsip-Prinsip Reformasi
Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati oleh TNI dalam pemenuhan prinsip-prinsip reformasi, yaitu pertama TNI berkewajiban melaksanakan peran, fungsi dan tugas pokoknya sebagaimana diatur undang-undang sehingga semangat demokrasi dalam pembatasan peran TNI tetap konsisten sesuai dengan regulasi TNI yang telah ditetapkan, yakni pada UU Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan dan UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Kedua, mengutip pendapat Makaarim (2010) bahwa konstitusi dan undang-undang dengan tegas menggarisbawahi adanya supremasi otoritas politik sipil atas institusi militer.  Angkatan bersenjata adalah pihak yang seharusnya loyal pada kepentingan negara (bukan penguasa), bukan kekuatan yang independen atau netral dari kepentingan negara, tidak membuat tafsir sendiri tentang kepentingan negara melainkan berdasarkan perintah otoritas politik sipil tertinggi (presiden).

Perang adalah hal yang terlalu penting untuk diserahkan kepada jenderal-jenderal,” kata Winston Churcill. Profesionalisme militer bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan negara yang dipimpin oleh otoritas demokratik. Militer didesain untuk membantu mencapai tujuan, seperti menjamin keamanan negara, bukan untuk menjawab pertanyaan, “Apakah lebih baik memerangi atau berdamai dengan sumber ancaman tersebut ?” Politisi sipil-lah yang mengambil keputusan (dan dapat mendengar masukan dari para jenderal) dan mempertanggungjawabkannya secara konstitusional.

Penutup
Menjadikan TNI yang profesionalitas tidak sebatas pada mereposisi TNI tidak berpolitik dan berbisnis tetapi lebih daripada itu adalah mendorong TNI sesuai dengan harapan kebangsaan agar TNI tetap merformasi diri menjadi institusi yang respek terhadap Hak Asasi Manusia dan berusaha agar penegakan hukum pada perilaku bejat aktor TNI mendapat penghukuman sesuai prinsip keadilan umum.

Diakui bahwa militer adalah kekuatan strategis dalam negara demokratis namun dapat juga berbahaya secara politik, sebagaimana juga polisi, lembaga penegak hukum dan partai politik. Karenanya perlu diatur dalam undang-undang yang khusus (lex specialis). Samuel Adams, salah seorang penandatangan deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang juga memiliki pengalaman militer menyatakan, “Bahkan ketika ada kebutuhan akan kekuatan militer di seluruh penjuru negeri sekalipun, masyarakat yang bijaksana dan hati-hati akan selalu memasang mata yang seksama dan berjaga-jaga terhadap hal tersebut.” Para pendiri Amerika serikat menyadari pentingnya membangun institusi militer yang mampu mempertahankan negara secara layak sekaligus menyadari bahwa apabila kekuatan militer tidak dikendalikan secara seksama, maka kekuatan militer tersebut dapat dipergunakan untuk merebut kontrol dari tangan pemerintah dan kemudian mengancam keberlangsungan demokrasi (Makaarim, 2010).


Tuesday 5 November 2013

CARA PANDANG WARGA PADA SATPOL PP



SATPOL PP dan PARADIGMA WARGA
Oleh. Ian Haba Ora 
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

Pengantar
Sosio kemasyarakatan menampilkan berbagai aktivitas kehidupan yang tampak brutal menggunakan kewenangan institusi untuk mengintimidasi dan arogansi premanisme pada kaum miskin dan marginal. Satuan Polisi Pamong Praja merupakan manisfestasi metafora aksi kekerasan dalam penggusuran dan pembongkaran lapak-lapak jualan secara paksa komunitas pedagang kaki lima. Begitupun kabar audio, visual, maupun cetak memberitakan ketika terjadi razia ke panti-panti pijat sering mengkangkangi perilaku pelecehan seksual, menangkap dan menahan orang yang dianggap menyalahi aturan Perda tanpa prosedural, memprovokasi masyarakat dengan arogansi kebijakan subversif. Dengan demikian, setiap tindakan mendiskriminasi tanggungjawab negara untuk mensejaterahkan rakyat, ironisnya lagi setiap aksi tanpa dipikirkan grand desighn pasca penertiban. Namun, seringkali aksi-aksi Satpol PP menimbulkan cara pandang beragam masyarakat terhadap aksi-aksi brutalisme Satpol PP. Berikut ini beberapa pandangan Hairus Salim dalam buku Polisi Pamong Praja dan Reformasi Sektor Keamanan terbitan IDSPS dan DCAF (2009:8-10) yaitu:

Pandangan moderat. Kelompok ini menganggap arogansi Satpol terhadap warga berbuah kekerasan hanya kekeliruan teknis prosedural atau adanya aksi-aksi masyarakat yang bersifat provokatif terhadap anggota Satpol PP. Eksistensi Satpol PP sangat urgent dalam menata dan mengatur ketentraman dan ketertiban kota, dan inisiasi hadirnya Satpol PP dalam mengawal kebijakan daerah dan penegakan Perda yang berkualitas di masyarakat. Tetapi, cenderung masyarakat merasa apatis dan menganggap pemerintah mengeluarkan aturan yang dianggap destruktif dan represif. Ketika dilakukan penertiban maka muncul konfrontasi antara Satpol PP dan warga berujung pada kekerasan.

Pandangan liberal. Kalangan ini menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan sama sekali. Kaum ini lebih berharap agar soal ketertiban dan keamanan diserahkan kepada kalangan polisi saja karena jika satpol PP diberikan kewenangan lebih untuk melakukan penyidikan maka akan tumpang tindih antara Satpol PP (PP 6/2010) dan Polri (UU 2/2002). Ini terutama karena Satpol PP sering mengurus hal-hal yang bersifat “privacy” yang memang menjadi kemewahan kalangan kelas ini. Tumpang tindih ini akan menimbulkan masalah, terutama makin banyaknya Satpol PP mengambil peran polisi dengan mengabaikan ‘code of conduct’ seorang penegak hukum. Kaum liberal lebih banyak didominasi oleh kaum kelas menengah ke atas.

Pandangan kritis. Kaum kritis sama seperti kaum liberal yang menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan. Tapi, alasannya berbeda. Ketidaksetujuan terhadap Satpol PP lebih karena Satpol PP banyak merugikan hajat dasar dari hidup kaum kritis seperti kaum miskin kota, pedagang kaki lima, pengamen, pedagang asongan, pekerja seks komersial, dan lain-lain, yang selama ini menjadi sasaran Satpol PP karena dianggap melanggar Perda mengenai ketentraman dan ketertiban kota. Bagi kalangan kritis, Satpol PP tidak lebih dari ‘aparat militer’ dengan aksi-aksi mereka yang sangat militeristik.

Pandangan-pandangan di atas menjustifikasi akan potensi komunal antara yang mendukung dan tidak mendukung aktivitas Satpol PP sebagai institusi penegak kebijakan dan peraturan daerah.

Ambiguitas Satpol PP
Durasi pergerakan terlepas dari cara pandang kaum moderat, liberal, dan kritis terhadap Satpol PP menginisiasi aktualisasi yang selama ini muncul dalam setiap kegiatan dan pemberitaan media massa maupun elektronik. Ada beberapa hal yang mendasari aksi brutalitas Satpol PP, yaitu:

Terkait dengan pedoman Satpol PP sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 06 Tahun 2010 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja dan prosedur tetap Satpol PP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam aturan ini memberi kewenangan pada Satpol PP untuk melakukan tugas penyelidikan dan penahanan yang dapat menimbulkan multiintepretasi mengilhami tugas polisi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja dan Permendagri 26/2010 Tentang Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota SatpolPP. Kedua ketentuan tersebut, yang diikuti oleh sistem pendidikan militeristik dan kualitas SDM yang rendah menyebabkan Satpol PP selalu tampil militeristik, dan hampir-hampir menganggap diri mereka sebagai bagian dari militer saja.

Hal penyebab Satpol PP bersifat militeristik adalah materi pendidikan Satpol PP didominasi oleh pendekatan militeristik daripada pendekatan sosial dan kultural. Institusi Satpol PP lebih banyak diisi pegawai-pegawai yang tidak berkualitas, bahkan cenderung dijadikan tempat pembuangan pegawai-pegawai yang tak lagi digunakan di instansi-instansi lain, dan dijadikan preman-preman jalanan sebagai Banpol (Bantuan Polisi) yang hangat dengan premanisme.

Institusi Satpol PP rawan politisasi Kepala Daerah, karena bertanggung jawab penuh dan berada langsung di bawah naungan Gubernur, Walikota, maupun Bupati. Seringkali dalam setiap kebijakan kepala daerah sering menggerakkan satpol pp untuk mengintimidasi dan arogan terhadap kaum penentang yang pada akhirnya menciderai hak asasi manusia. Disisi lain saat mendekati proses pemilu maupun pilkada Satpol PP dijadikan sebagai ‘mata-mata’ maupun mobilisasi aparatur untuk menjadi tim sukses pemenangan melalui pendekatan kebijakan-kebijakan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak regulasi-regulasi (Peraturan Daerah) dan keputusan-keputusan Kepala Daerah sering kali menciderai demokratisasi dan desentralisasi kehidupan warga sebagai daerah otonom. Banyak regulasi dan kebijakan memiskinkan rakyat, pinjam kata Moniche Saubaki “Negara sebagai pelaku pemiskinan rakyat melalui regulasi dan abuse of power aktornya”. Dalih menjalankan perintah Perda dan Keputusan Kepala Daerah, sering kali anggota Satpol PP menggunakan kekerasan. Setiap peraturan baik secara Perda (Legislatif) dan Keputusan Kepala Daerah (Eksekutif) selalu menempatkan Satpol PP sebagai tameng dan motor penggerak pengawasan dan pelaksanaannya oleh warga daerah otonom.

Revitalisasi dan reaktualisasi peran Satpol PP yang humanis
Penulis ketika mengetik artikel ini membangun komunikasi via telepon untuk berdiskusi bersama Bapak Drs. Dumuliahi Djami, M.Si yang juga adalah mantan Kasat Pol PP Kota Kupang (interview telpon, 8 Agustus 2013). Alasan penulis menghubungi orang ini didasari atas loyalitas dan kemampuannya ketika memimpin institusi Satpol PP Kota Kupang tidak pernah terindikasi aksi brutalitas, penyalahgunaan wewenang, bahkan persuasif dan populis dalam pendekatan regulasi pada masyarakat. Dari hasil diskusi maka penulis menyimpulkan beberapa catatan penting untuk revitalisasi dan reaktualisasi peran Satpol PP yang humanis, yaitu:

Perlunya reformasi dan revitalisasi birokrasi bukan saja pada instrumen hukum namun secara struktur dan budaya. Secara intrumen Pol PP telah memiliki PP 32 tahun 2004 dan direvisi dengan PP 6 tahun 2010. Secara struktur Pol PP berbeda dengan garis komando Polri meskipun kata “polisi” yang lebih ditonjolkan. Secara budaya, masih banyaknya anggota Satpol PP yang berkarakter militer. Namun semua itu tidaklah dapat disamaratakan seantero nusantara lantaran Pol PP mengilhami asas otonomi daerah, sehingga yang menjadi inti pergerakan institusi adalah paradigma pemimpin yang responsif hukum, HAM, Gender, dan populis;

Pelanggaran-pelanggaran yang mengindikasikan keterlibatan aktor (baik aktor Pol PP maupun aktor sipil) perlu diproses hukum secara imparsial (asas keadilan) sehingga dapat meminimalisir kasus pelanggaran terhadap UU dan mencegah indikasi keberulangan (remidial indicate);

Seringkali rekruitmen Pol PP masih sebatas pada paradigma pegawai-pegawai bermasalah dilingkungan PNS tanpa didasari pemahaman pendidikan persuasif. Begitupun perekrutan cenderung pada fisik semata belum pada tingkatan sumber daya manusia yang kondusif. Bila pemerintah (pusat) benar-benar menciptakan Pol PP yang profesional baik intitusional maupun anggotanya maka mulai proses rekrutmen, proses pendidikan, kurikulum pun harus dimulai dengan profesional. Rekrutmen anggota Satpol PP harus tersendiri dan berbeda dengan rekrutmen PNS non Pol PP yang cenderung tidak tepat sasaran. Realita karena kekurangan anggota Satpol PP diangkatlah Banpol PP yang cenderung tidak tepat sasaran. Anggota Satpol PP harusnya menjadi anggota Satpol PP dari awalnya bukan pada akhirnya”;

Polisi Pamong praja memiliki sejarah tersendiri sehingga lahirnya tidak serta merta karena kekinian/kontemporer tetapi lebih difokuskan karena kebutuhan hingga usianya kini yang makin dewasa. Jika dikaitkan dengan segi historis maka dapat dikatakan upaya pembubaran institusi Pol PP oleh kalangan kritis dan liberal merupakan pengingkaran terhadap sejarah. Karena secara otonom, institusi Pol PP bertanggung jawab kepada Kepala Daerah maka secara Social Approach (pendekatan sosial) berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, tidak bisa dikatakan sebagai pemerataan.

Pol PP secara rasionalitas atau praktis tidak dapat dijadikan sebagai salah satu institusi yang perlu dibubarkan lantaran emosional dan anarkisme yang ditunjukkan institusi Pol PP daerah otonom lain. Kebrutalan aktor tidak serta merta terwakilkan secara institusi, misalkan kasus perkelahian aparat negara dan warga lantaran tindakan emosional tidak serta merta dijadikan kesalahan institusi (bukan memahami espirit de  corps).

Resolusi atau Rekomendasi
Peningkatan peran dan kinerja anggota Satpol PP dalam menertibkan sesuai perintah peraturan daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah yang berkaitan dengan penegakan HAM, maka perlu diberikan rekomendasi-rekomendasi.

Pertama, untuk Pemerintah Pusat: bekerjasama dengan donor untuk melakukan reformasi kebijakan dan institusi Satpol PP, termasuk untuk mengamandemen undang-undang, membuat cetak biru dan capacity building bagi Satpol PP yang lebih menghormati dan melindungi nilai-nilai hak asasi manusia; menelaah ulang serta mengaudit peraturan keterlibatan Satpol PP untuk memastikan kesesuaiannya dengan standard penerapan undang-undang internasional, misalnya standar PBB mengenai kode perilaku bagi aparat penegak hukum, dan prinsip dasar penggunaan kekuatan dan senjata; menyediakan bagi aparat Satpol PP pelatihan mengenai Hak Asasi Manusia dan pengetahuan mengenai kebutuhan serta masalah yang dihadapi kaum termaginalkan (terpinggirkan).

Kedua, untuk Pemerintah Daerah: memastikan bahwa petugas dan anggota Satpol PP menerima pelatihan professional yang sesuai untuk melaksanakan tanggung jawab keamanan public; menyelidiki dan menuntut secara hukum aparat Satpol PP yang bertanggung jawab melakukan kekerasan, perampasan, penghancuran harta benda pribadi secara sewenang-wenang selama operasi penertiban. Harus ada konsekuensi, termasuk penuntutan kriminal dan pemecatan apabila terbukti; menelaah ulang pengalokasian dana untuk sektor keamanan dan ketertiban dalam anggaran belanja daerah (APBD) untuk menjadi perhatian serius lantaran beban kerja Pol PP yang banyak dan berhubungan dengan kepentingan keamanan publik.

Dengan demikian, eksistensi Satpol PP dalam penegakan Perda dan penjagaan ketentraman dan ketertiban masyarakat tidak semata-mata dipandang sebagai boneka drakula yang mudah diintervensi, diinvasi, dan dipolitasi berujung pada espirit de corps akan aksi-aksi brutalitas.





TRANSLATE: