SELAMAT MEMBACA

Monday 30 September 2013

PROBLEMA SALURAN UDARA TEGANGAN TINGGI



PEMBANGUNAN SUTT KOTA KUPANG
(Antara Harapan dan Realitas)
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua FPAR Komunitas PIAR NTT

Tulisan ini dipublikiasi SKH Timor Express pada Senin, 30 September 2013

Pengantar
Abraham Paul Liyanto Anggota DPD RI asal NTT dan Boby Liyanto Ketua REI NTT (TIMEX, 20 September 2013) menyatakan pembangunan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) atau Tower 51 di RT 08/RW 02 Kelurahan Fatukoa Kecamatan Maulafa Kota Kupang sebagai pendukung investasi dan pemenuhan pasokan listrik di Kota Kupang. Pengakuan kedua pejabat dan pengusaha tersebut bahwa banyak investor dan pengusaha belum berinvestasi di Kota Kupang karena ketiadaan pasokan listrik. Simpulannya adalah jika terjadi penolakan warga maka sama saja dengan menghambat pembangunan investasi Kota Kupang.

Ironi ketika adanya harapan pembangunan yang berdampak pada pola kemajuan Kota Kupang dibarengi penolakan warga. Penolakan berdasar ketidakpahaman dan minim sosialisasi PLN maupun pemerintah akan dampak pembangunan Tower 51 di Kelurahan Fatukoa. Alasan penolakan warga sekitar dapat dibenarkan karena pembangunan SUTT membawa dampak ikutan secara politik, ekonomi maupun sosial. Apalagi pembangunan Tower berada tepat dipemukiman warga, jika tidak dikaji secara baik oleh PLN dan Pemerintah akan mengorbankan warga sekitar.

DPRD dan Pemerintah Kota Kupang terkesan diam dan apatis terhadap problema pembangunan SUTT Fatukoa. Setiap aksi penolakan warga selalu dibarengi oleh politisasi legislator akan janji-janji politik. Penelusuran pemberitaan media massa bahwa DPRD Kota menolak pembangunan Tower 51 di pemukiman Fatukoa dan merekomendasi untuk dipindahkan ke tempat lain. Namun sampai kini PLN tetap melakukan pembangunan. Sedangkan Pemkot Kupang terkesan ambigu terhadap setiap pengeluhan dan pengaduan warga. Walikota Jonas Salean berkeras kepala mendukung warga agar pembangunan SUTT dipindahkan dan dikaji lebih mendalam AMDAl-nya agar warga sekitar tidak dikorbankan, tetapi ambiguitasnya Pemkot menerjunkan Satpol PP lengkap senjata perang untuk mengamankan pemasangan pilar Tower 51. Sebuah realitas dan harapan yang saling kontras ketika dicermati.

Begitupun PLN NTT diduga memulai politik adu domba menyukseskan pembangunan SUTT di pemukiman padat penduduk. Opini Surat Kabar oleh salah seorang petinggi PLN menyatakan bahwa terhambatnya pembangunan Tower 51 di Fatukoa maka akan menghambat pemenuhan kebutuhan listrik di NTT. Tidak hanya puas dengan itu, PLN mulai mengundang pakar-pakar kelistrikan Udayana Bali melakukan complain opini bahwa pembangunan Tower 51 tidak akan membawa dampak apa-apa terhadap warga sekitar. Permasalahannya adalah kegiatan tersebut tidak tersosialisasi dengan baik. Bahkan PLN terkesan arogansi dan represif terhadap warga dengan mampu memobilisasi hampir seluruh pejabat Polda NTT dan Polres Kupang Kota diperintah untuk mengamankan kepentingan pembangunan Tower 51 (HKK, 27 September 2013). Entah polisi itu dibayar atau tidak hanya Tuhan yang tahu!

Dampak SUTT
SUTT merupakan saluran tenaga listrik menggunakan kawat telanjang (bare conductor) di udara bertegangan di atas 35 kV sampai dengan 245 kV, sesuai dengan standar di bidang ketenagalistrikan. SUTT sebagai sistem penyalur tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik dalam skala besar ke gardu induk (GI) langsung ke gardu konsumen (LKN-LH, 2007:1).

Setiap bentangan kawat jaringan transmisi memerlukan “ruang bebas”. Ruang bebas adalah ruang sekeliling penghantar yang dibentuk oleh jarak bebas minimum sepanjang jalur SUTT. Jalur itu harus dibebaskan dari benda-benda dan kegiatan lainnya. Artinya, dalam ruang bebas tidak boleh ada satupun benda-benda seperti bangunan atau pohon lain di dalam ruang tersebut. Dengan adanya ruang bebas ini, pengaruh medan elektromagnetik terhadap lingkungan sekitar dapat dicegah (2007:10).

Gabungan antara medan listrik dan medan magnet secara bersama-sama dinyatakan sebagai gelombang elektromagnetik. Medan listrik dinyatakan dengan satuan V/m. Satuan ini menunjukkan bahwa semakin jauh suatu objek dari sumber tegangan, semakin rendah medan listrik yang terukur pada objek itu. Sementara itu, medan magnet dinyatakan dalam besaran Tesla atau dapat dinyatakan dengan Gauss. Semakin besar arus yang dialirkan, medan magnet yang dihasilkan semakin besar. Jadi, sama seperti medan listrik, semakin jauh jarak sebuah objek dari sumber medan magnet semakin kecil paparan medan tersebut.

Setiap gelombang elektromagnetik pasti menimbulkan radiasi, sekecil apapun. Gangguan umum yang paling banyak diderita dari radiasi elektromagnetik adalah electrical sensitivity, yaitu gangguan fisiologis dengan tanda dan gejala neurologis maupun kepekaan, berupa berbagai gejala dan keluhan. Gangguan ini umumnya disebabkan oleh radiasi elektromagnetik yang berasal dari jaringan listrik tegangan tinggi atau ekstra tinggi. Swamardika dalam kajian ilmiah tentang pengaruh radiasi gelombang elektromagnetik terhadap kesehatan manusia (2009:107) menjelaskan spektrum gelombang elektromagnetik dibagi menjadi beberapa daerah. Pada spektrum gelombang dengan frekuensi 60 atau 50 Hz terdapat medan elektromagnetik yang dibangkitkan oleh saluran daya listrik dan beberapa peralatan besar maupun kecil. Sedangkan elektromagnetik energi sangat tinggi, seperti sinar gamma atau sinar-x, disebut juga radiasi ionisasi karena mereka mengionisasi molekul pada jalur yang dilalui. Pemaparan gelombang yang tidak terkendali dari radiasi ionisasi dalam jumlah besar diketahui sebagai penyebab penyakit dan bahkan kematian pada manusia.

Dosen dan ahli Teknik Elektro Universitas Udayana (2009:108-109) Alit Swamardika mengungkapkan dalam pembangunan sarana ketenagalistrikan, dimanapun akan selalu mempunyai dampak langsung dan tidak langsung. Dampak tidak langsung sarana transmisi yang aman, dituangkan dalam UU No. 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, Kepmen Tamben No. 975 K/47/MPE/1999 tentang Perubahan Permen Tamben No. 02.P/47/M.PE/1992 tentang Ruang Bebas SUTT dan SUTET untuk penyaluran Tenaga Listrik, SNI 04.6918-2002 tentang Ruang Bebas dan Jarak Bebas Minimum SUTT dan SUTET, dan SNI 04.6950-2003 tentang Nilai Ambang Batas Medan Listrik dan Medan Magnet SUTT dan SUTET.

Peraturan tersebut menunjukkan jarak atau ruang yang aman dari pengaruh medan listrik dan medan magnet, seperti jika tegangan di kawat jaringan sebesar 20 kV maka jarak amannya adalah 20 cm atau 0,2 m. Untuk transmisi SUTT dan SUTET atau jarak aman vertical (C) adalah untuk tegangan 70 kV adalah 4,5 m, untuk 150 kV adalah 5,5 m, untuk 275 kV adalah 7,5 m dan untuk 500 kV adalah 9,5 m. Sedangkan jarak aman horizontal dari as/sumbu menara (D) adalah untuk tegangan 70 kV adalah 7 m, untuk 150 kV adalah 10 m, untuk 275 kV adalah 13 m dan 500 kV adalah 17 m. Menurut WHO (World Health Organization) ambang batas kekuatan medan listrik dan medan magnet yang tidak membahayakan tubuh manusia sebesar 5 kV/m untuk medan listrik dan 0,1 m Tesla untuk medan magnet. Untuk itu, dalam pembangunan SUTT maupun SUTET maka PLN harus jujur memberikan pengertian tentang pengaruh medan listrik dan medan magnet sehingga masyarakat yang bermukim di sekitar sarana transmisi ini, memiliki persespsi yang benar dan rasa aman tinggal disekitarnya.

Radiasi elektromagnetik merupakan faktor lingkungan fisik yang perlu dicermati. Berbagai fenomena yang menyebabkan seseorang merasa tidak aman dan kurang nyaman, bahkan merasa cemas, pada hakikatnya tidak dalam kondisi sehat atau mengalami gangguan kesehatan (Anies, 2005).

Penutup
Jurges Habermas dalam teori ‘Deliberatif” tidak memfokuskan pada pandangan aturan-aturan tertentu yang mengatur warga, tetapi prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu. Teori ini membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya untuk tidak memberikan dampak pembanguan Tower 51 baik sosial, ekonomi, maupun politik alangkah baiknya jika Tower tersebut dipindahkan atau warga yang direlokasi dari area pemukiman tersebut.

Friday 27 September 2013

PENGKHIANATAN SATPOL PP TERHADAP KEDAULATAN



Satpol PP & Pengrusakan Ruang Publik

Oleh. Ian Haba Ora

Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

(Opini ini dipublikasi Harian Kota “KURSOR” pada Jumat, 27 September 2013)


Pengantar
Beberapa media cetak maupun elektronik di NTT memberitakan Satpol PP telah melakukan penggusuran secara paksa dan melakukan tindakan-tindakan arogansi pada warga yang dianggap sebagai pembangkang amanat Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah. Salah satu media pers di NTT (Rabu, 18 September 2013) menurunkan rumor “Pol PP Kota Tebang Pilih” dalam melakukan penggusuran. Sumber media menyebutkan, ada oknum anggota Satpol PP Kota Kupang yang memanfaatkan kesempatan penertiban PKL untuk mengais rezeki sampingan. Indikasi ini terlihat dalam operasi penertiban di pertigaan Pulau Indah dan RSUD Prof WZ Johanes Kupang. Bahkan ditempat lain, pengusaha yang punya kepentingan terhadap PKL di lokasi tertentu, justru membayar oknum anggota Pol PP agar para PKL digusur.

Realitas menunjukkan bahwa penggusuran yang dilakukan lebih mengutamakan prosedur dibandingkan dengan hak konstitusional warga atas pekerjaan. Selain itu, penggusuran terhadap sejumlah warung kopi (PKL) merupakan pengabaian substansi interaksi dalam proses berdemokrasi. Penggusuran dilakukan tanpa solusi, dan penggusuran atas imbalan jasa pihak ketiga.

Ironi ketika negara yang menganut prinsip demokrasi dan asas desentralisasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini harus tereliminasi arogansi Pemda melalui Satpol PP. Amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” merupakan pertanggungjawaban jaminan konstitusional terhadap hak rakyat (warga negara) untuk berdaulat di negara ini.

Negara dalam perspektif kedaulatan
Miriam Budiardjo (2008) menyatakan empat unsur negara, yaitu wilayah, penduduk, pemerintah, dan kedaulatan. Robert M. Maclver mendeskripsikan negara sebagai asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk dimaksud tersebut diberi kekuasaan memaksa. Perspektif ini menegaskan penciptaan hukum antara rakyat dan negara yang melahirkan sejumlah hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam wilayah kedaulatan negara tersebut.

Ketidakpahaman dan ketidaktahuan perspektif hukum negara dan kedaulatan rakyat oleh aparatur negara (baca: Pemerintah dan Satpol PP) melahirkan monopoli dan penyimpangan kekuasaan yang menyebabkan tirani dan kesengsaraan rakyat (Rudi Tonubessie, 2009; Dumul Djami & Sarah Lery Mboeik, 2011).

Ide kekuasaan dan kedaulatan ada di tangan rakyat dikemukakan Epicurus melalui ajaran individualisme dimana memposisikan individu bagian terpenting suatu negara. Adanya negara merupakan jawaban atas kontrak sosial untuk pemenuhan kepentingan kesejateraan rakyat (Paul SinlaEloE, 2013:2). Ajaran ini sejalan dengan pendapat Marsilius bahwa proses terciptanya pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat diawali adanya penyerahan tugas (pactum subjectiones) melalui suatu konsesi (concession).

Marsilius berpendapat kekuasaan negara yang tertinggi ada pada rakyat sehingga dapat diartikan kedaulatan itu ada pada tangan rakyat. Rakyatlah yang berhak membuat peraturan-peraturan hukum atau undang-undang. Hal ini disebabkan karena negara sebagai kesatuan dari orang-orang bebas dan merdeka, sehingga tidak mungkin seseorang itu menguasai orang lainnya secara mutlak. Kekuasaan rakyat yang berdaulat dan raja (baca: pemerintah) yang melaksanakan kedaulatan rakyatnya. Simpulannya adalah dengan adanya penyerahan tugas (pactum subjectiones) melalui konsesi (concessio), pemerintah hanya berhak untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai kedaulatan rakyat (Tonubessie, 2009).

Metamorfosis konsep negara ini, Jean Jacques Rousseau memprakarsai teori kedaulatan rakyat “Kontrak Sosial (Teori Perjanjian Masyarakat/du contract social), yaitu negara terbentuk karena adanya perjanjian masyarakat. Kedaulatan itu lahir akibat adanya pernyataan kehendak rakyat, melalui (i) perjanjian bersama antar anggota-anggota masyarakat untuk saling menjaga hak-haknya yang disebut volunte generale; dan (ii) perjanjian antara anggota masyarakat dengan sekelompok orang untuk menjaga supaya perjanjian dilaksanakan oleh para anggota masyarakat yang disebut volunte de tous. Rousseau juga mengajarkan bahwa dengan perjanjian masyarakat (du contract social), maka orang menyerahkan kebebasan hak-hak serta wewenangnya pada rakyat seluruhnya, yakni natural liberty dalam suasana bernegara kembali sebagai civil liberty (Paul SinlaEloE & Lery Mboeik, 2011).

Konsep teori ini didukung oleh Mohammad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1988) bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Konsekuensinya adalah rakyat yang akan menentukan berbagai kebijakan serta cara bagaimana seharusnya pemerintahan itu diselenggarakan. Rakyat juga yang akan menentukan ke arah mana tujuan yang hendak dicapai oleh negara serta pemerintahannya.

Ruang publik perspektif Jurgen Habermas
Jurgen Habermas seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman, generasi kedua Mazhab Frankfurt, penerus teori kritis pendahulunya (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse), menyatakan ruang publik memiliki peran terpenting berdemokrasi, wahana diskursus masyarakat dimana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif, tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan politis warga; bersifat bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom didalamnya, mudah diakses semua orang, dari ruang publik ini terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik.

Ruang publik menurut Habermas terdapat dimana-mana sebagai tempat para aktor masyarakat warga membangun ruang publik, seperti pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar). Kita tidak dapat membatasi ruang publik. Teori Habermas ini dikenal dengan “Demokrasi Deliberatif”.

Kata “deliberasi” berasal dari bahasa latin deliberatio (deliberatio:Inggris) memiliki arti konsultasi, menimbang-nimbang, atau dalam istilah politik adalah musyawarah. Makna tersiratnya adalah diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.

Teori ini tidak berfokus pada pandangan aturan-aturan tertentu yang mengatur warga, tetapi prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu. Teori ini membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu. Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan yang membuat warga mematuhinya dan dengan sendirinya warganegara tunduk terhadap sistem. Teori ini didukung Paul SinlaEloE (2011) bahwa jika salah satu atau dua individu tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik dalam suatu ruang publik, maka akan sangat mengganggu sistem yang ada dalam ruang publik.

Penutup
Mencermati akan maraknya penggusuran PKL oleh Satuan Polisi Pamong Praja tanpa disertai solusi mengarah pada tindakan represif, arogansi, brutalitas, dan menciderai nilai-nilai luhur HAM maka dengan sendirinya Satpol PP telah menghilangkan ruang-ruang publik itu sendiri. Tindakan ini sebenarnya telah mengkangkangi (pengkhianatan) terhadap teori-teori ahli tentang pembagian kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Ruang-ruang publik tersebut seperti PKL-PKL dan warung-warung kopi sebagai tempat diskursif dan komunikasi antar aktor membahas retorika kenegaraan baik informal maupun formal. Ruang-ruang publik itu dihilangkan dengan pengrusakan dan penghancuran tanpa memberikan alternatif dan solusi agar ruang-ruang publik tersebut tidak menjadi hilang. Simpulan yang dapat dicermati bahwa penataan ruang tidak juga harus melalui penggusuran, tetapi alternatif solusi merupakan kewajiban negara untuk menjalankannya.

Monday 16 September 2013

FAKTA BRUTALITAS AKTOR KEAMANAN NTT



Dokumentasi Hitam Aktor Keamanan Nusa Tenggara Timur
Oleh. Ian Haba Ora
Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT
Opini ini dipublikasi Harian Kota KURSOR pada Senin, 16 September 2013

Daftar Hitam Aktor Polri NTT
Kasus pembunuhan Paulus Usnaat dalam sel tahanan Mapolsek Nunpene Kecamatan Miomafo Timur Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2 Juni 2008, diduga melibatkan anggota Piket dan salah seorang mantan penguasa politik di Kefamenanu. Bripda Wiliam Trisna, Brigpol Salahudin dan Bripda Hangri Raja Tuka (Anggota Samapta Polda NTT) terduga pelaku penyebab tewas dua siswa SMK Eltari Kupang, Chris Taebenu dan JefriLay akibat menendang motor korban saat mengejar dua siswa tersebut karena dianggap menyalahi aturan lalulintas di Jalan Mohamad Hatta Kupang, 12 Oktober 2009. Begitupun, kasus penganiayaan dan pemukulan terhadap dua tahanan di sel Mapolres Sikka, Abrosius Rodin dan Benediktus Ndawi oleh dua oknum polisi yang mabuk bahkan kedua korban ditelanjangi dan alat vital mereka “ditembak” dengan karet gelang (28 Oktober 2009).

17 orang warga Dusun Mappipa mengalami penyiksaan anggota Kepolisian Sabu Barat dan Sabu Timur, Kabupaten Sabu Raijua-NTT. Korban dikurung dan ditelanjangi dalam ruang berukuran 3x2,5 meter, dipukul dengan alat-alat berat, hingga dipaksa meminum air seninya sendiri. Bahkan di Polres Kupang ada anggota yang dianggap sadis diminta bantuan datang ke Sabu membantu proses penyelidikan. Para warga yang ditangkap adalah Daniel Lay Riwu (Kepala Desa), Saul Kanni (56), Rudolof Hawu (63), Lorens Dimu (34), Lorens Hawu (28), Markus Huma (37), Dominggus Hawu (37) Filipus Lomi (45), Heri Banggu (21), Randi Keraba (38), Barnabas Huru (45) Daniel Lomi (39), Yohanis Gada (45), Darius Haga  (40), Barnabas Dilla (36), Melkianus Gada (51), dan Alpius Huma (23). Mereka dituduh sebagai pembunuh Bernadus Djawa anggota Polri. Ke-17 warga tersebut ditahan selama 12 hari di Polsek Sabu Barat dari 31 Maret-12 April 2012 dan mengalami berbagai penyiksaan fisik serta pemaksaan untuk menandatangani BAP walau mereka tidak mengerti isinya. Kemudian mereka dipindahkan ke Polres Kupang (12/4) dengan hanya menggunakan celana pendek yang telah dipotong hingga berbentuk seperti celana dalam, lalu ditahan di sana selama 43 hari. Terakhir warga dipindahkan ke Lembaga Permasyarakatan (LP) Kupang selama 23 hari, dan dibawa kembali ke Polres Kupang untuk ditahan hingga 29 Juli 2012.

Akibat eksploitasi tambang yang tidak terkendali di Kabupaten Manggarai Timur, sumber mata air, persawahan masyarakat dan cagar budaya rusak parah yang dilakukan oleh PT. Masterlong Mining Resources. Aksi protes massif dilakukan warga untuk menuntut keadilan, namun sia-sia saja. Bahkan 11 orang masyarakat dikriminalisasi oleh Pemda dan Kapolres karena dianggap sebagai pendukung penolakan tambang.

Dance Lodo mengaku dianiaya anggota Buser menggunakan balok dan dijadikan sansak tinju  dalam ruang kerja Buser Polresta Kupang (13/8/2009). Mario Bifel dan Gordon dianiaya oleh anggota Satlantas Polresta Kupang ketika ditabrak konvoi Satlantas pada 26 Desember 2009. Melitus J. Penun hampir mati jika terkena peluru yang diduga berasal dari senjata anggota Polda NTT Adibert Adoe akibat mangan yang dikawal oknum Polda tersebut ditahan oleh Lurah dan warga Naioni (Kamis, 13/3/2010). Yopi Nau warga RT 9/RW 2 (Sabtu, 10/4/2010) diduga mendapat penganiayaan dalam sel tahanan dari anggota Polresta Kupang.

Penganiayaan dialami Ody Loppo dari tiga orang anggota Buser Polres Kupang. Ruben Halla dianiaya dalam sel Oe Ekam Kacamatan Amanuban Timur-TTS oleh anggota Polsek setempat. Lusianus Nahak Liu (Senin, 15/3/2010), Mahasiswa FKIP Bahasa Inggris Unimor dikeroyok lima anggota Polsek Wewiku Kabupaten Belu yaitu, Briptu Herman Lette, Joao Fernandez, Anggelimo da Costa, Aply dan Syukur Maman.

Yoseph E. da Silva dan Mima Diaz, warga Kelurahan Sarotari, Kecamatan Larantuka-Flotim dianiaya sampai patah tulang oleh anggota Polres Flotim yang sedang mabuk yaitu, Briptu Junaidi dan Briptu Mathius Ena (Sabtu, 6/2/2010) tapi tidak pernah diperiksa oleh Provost. Yustus Taopan (Kades Kolbano) dianiaya anggota Pospol Kolbano yaitu, Yoyo dan Jami dihalaman Polres TTS tanpa sebab dan alasan jelas sekira pukul 15.00 Wita (Sabtu, 20/2/2010).

Daftar Hitam Aktor TNI di NTT
Charles Mali (24 tahun) warga Fatubenao Kecamatan Kota Atambua tewas di Mako Yonif 744/SYB akibat dianiaya oleh terduga 19 oknum berseragam loreng (Timex, 14 Maret 2011). Kejadian sama pada empat orang asal NTT yaitu, Hendrik Sahetapi (31 tahun); Adrianus Galaja (33 tahun); Gameliel Riwu (29 tahun); dan Yohanes Juan Manbait (38 tahun) tewas dibrondong peluru anggota Kopasus Kandang Menjangan dalam sel tahanan Lapas Cebongan Jogjakarta.

Stefanus dos Santos seorang tukang ojek, warga Halilulik Kabupaten Belu diancam dengan pisau sangkur dan dianiaya oknum anggota TNI Yonif 742/SYB, Sertu Arif Budiarso di hutan Jati Nenuk. Rohaniawan Katholik Romo Apolinarius Ladjar, Pr dianiaya anggota Marinir TNI AL Pratu M. Fathur Rozi (Selasa, 11/5/2010) saat pertandingan voli putri paroki St Kristoforus –Ba’a Rote Ndao. Emanuel Maunu (59 tahun), warga Desa Banain, Kecamatan Bikomi Utara-TTU dianiaya Bintara Pembina Desa (Babinsa) Serka (inf) Sintu Atolan pukul 12.30 Wita (Minggu, 15/11/2009) karena korban lambat menunjukkan Kartu Tanda Penduduk yang diminta oknum TNI tersebut.

Daftar Hitam Aktor Kemenkumham di NTT
Pegawai Rumah Tahanan (Rutan) So’e, Soleman Kase menyulut (membakar) kemaluan Diki Steven Betti alias Evan dan menimbulkan delapan luka bakar pada kemaluan (24 Februari 2010). Evan Betti merupakan penghuni rutan titipan Polres TTS.

Ir. Sarah Lery Mboeik, Anggota DPD RI mengungkap kasus pelanggaran HAM di sel tahanan ibarat gunung es, kerucut dipermukaan namun telah membentuk pulau di dasar laut. Demikian kasus lapas, sedikit yang terungkap namun masih banyak yang tersembunyi. Baru-baru ini, penghuni Lapas Kupang tertangkap tangan transaksi narkoba dalam sel lapas. Bagaimana mungkin kondisi ini bisa terjadi jika tidak ada permainan oleh petugas Lapas.

Penutup
Dokumentasi Forum Pemerhati Aspirasi Rakyat terhadap daftar hitam kasus brutalitas aktor keamanan di Nusa Tenggara Timur lebih banyak didominasi oleh Polri (70%), diikuti TNI 20%, Kemenkumham (8 %), dan unsur lain (Satpol PP dan Pemda) bekisar 2%. Dari berbagai dokumentasi kasus tersebut, e spirit de corps (semangat melindungi korps) menjadi trend impunitas institusi atas brutalitas aktor yang dilakukan.

Banyaknya undang-undang dan reformasi birokrasi belum maksimal merubah perilaku brutalitas aktor keamanan. Budaya militeristik dan absurtisme HAM belum sepenuhnya dipahami aktor keamanan, brutalitas pun masih mendominasi dikarenakan impunitas korps yang melindungi. Dengan demikian perlu disusun grand design dalam penguatan pengawasan baik eksternal dan internal dalam mendukung semangat reformasi perilaku (culture reform) di Indonesia, khususnya NTT.

TRANSLATE: