SELAMAT MEMBACA

Friday 25 October 2013

LABELISASI PENGHAMBAT PEMBANGUNAN



Devide et Empera “Politik Adu Domba” Tower SUTT
Oleh: Ian Haba Ora
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

Pengantar
Manfaat SUTT sangat besar, tanpa SUTT pendistribusian listrik akan terhambat. Namun tidak dipungkiri bahwa pembangunan SUTT pasti membawa dampak negatif, mulai dari prakonstruksi, kontruksi, operasional dan pasca operasional. Prakonstruksi dilakukan survei untuk menentukan penentuan lahan pembangunan tower SUTT. Lahan sekitar SUTT akan memiliki keterbatasan dalam pemanfaatannya. Aturan Ruang Bebas membuat pemilik lahan tidak leluasa lagi memiliki pepohonan yang tinggi. Tinggi bangunan juga harus dibatasi. Jika masuk ke dalam wilayah ruang bebas, pohon-pohon harus dipangkas dan bangunan harus dibongkar. Adanya pembatasan terhadap pemanfaatan lahan di sekitar SUTT dapat mengurangi minat seseorang untuk membeli tanah itu. Situs-situs sejarah sekitar akan terganggu dan merusak pemandangan pada akhirnya masyarakat dibatasi dan terkungkung dalam keterbatasan pemanfaatan lahan. Urusan perolehan lahan tidak jarang malah menimbulkan sengketa di antara penduduk sendiri. Sebagian masyarakat yang menolak untuk menjual tanahnya akan bersebrangan dengan yang menjual lahannya.

Dengan demikian, untuk kegiatan SUTT, karakteristik kegiatan yang dapat berpengaruh terhadap lingkungan antara lain berkaitan dengan lokasi dan pembebasan lahan, tatacara konstruksi pembangunan menara, dan panjang jalur transmisi. Sedangkan rona lingkungan yang turut berpengaruh antara lain adalah kondisi lahan dan sikap penduduk yang tinggal di wilayah sekitar SUTT. Kegiatan SUTT dengan kapasitas ≤150 kV sudah dapat diduga akan dapat menimbulkan dampak, seperti keresahan masyarakat karena penurunan nilai jual tanah, keresahan karena medan magnet dan medan listrik, serta dampak lainnya yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya terutama yang berkaitan dengan pembebasan lahan dan keresahan yang ditimbulkan. Dalam hal ini, dokumen UKL-UPL harus menyatakan setiap dampak lingkungan yang terjadi mulai dari sumber dampak, jenis dampak, upaya pengelolaan lingkungan, dan upaya pemantauan lingkungan rencana kegiatan SUTT secara spesifik, lengkap, dan jelas. Setidaknya aspek apa, bagaimana, mengapa, kapan, dan dimana harus mampu terjawab. Dengan demikian, kesalahpahaman tentang suatu potensi dampak dapat dihindari dan derajat kepentingannya dapat dinilai dengan benar (Deputi Bidang TL-KNLH, 2007:12-13).

Indikasi politik adu domba Pemerintah ala Belanda
Salah satu unsur terbentuknya negara adalah rakyat. Sehingga secara filosofis dan legalistik, negara menjamin terpenuhinya hak-hak rakyat. Tetapi terkadang negara (baca: Pemerintah) yang sering mengdiskualifikasi elemen rakyat dalam setiap kebijakan-kebijakan. Salah satu cara pemerintah adalah dengan politik adu domba. Secara historis, Indonesia tidak terlepas dari sejarah Pemerintah Belanda untuk melakukan politik adu domba “devide et empera” guna memecah bela persatuan dan kesatuan rakyat. Selain itu, pendekatan represif (kekerasan) menjadi approach action (pendekatan aksi) pemerintah dalam membungkam kedaulatan rakyat untuk menyatakan pendapat dan kreasi, dan yang terjadi adalah konflik.

Problema SUTT Fatukoa Kota Kupang menjadi tontonan konflik antara rakyat dan pemerintah (PLN, PEMKOT, dan Konsultan Pemerintah). Warga Fatukoa dengan kebulatan tekad menolak pembangunan SUTT di pemukiman warga, karena menurut pendapat mereka belum sepenuhnya memahami potensi dampak yang akan ditimbulkan dari pembangunan SUTT. Aksi warga ini diartikan pemerintah sebagai perbuatan melawan (pembangkang) kebijakan pemerintah. Dengan demikian, dugaan politik adu domba mulai digencarkan oleh pemerintah.

Pemerintah mulai mengundang para pakar bergelar Doktor dan Profesor untuk menjadi narasumber dalam seminar bertema “SUTT untuk pemenuhan listrik bagi rakyat” dan mengundang warga tertentu untuk hadir dalam forum tersebut. Tetapi forum tersebut hanya berbicara tentang dampak positif adanya SUTT sedangkan ikutan dari dampak negatif tidak pernah menjadi konsideran pembangunan SUTT. Padahal sesuai buku panduan yang diterbitkan Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2007:17) dampak pembangunan SUTT yang tidak dapat terduga adalah sekitar 20-30 tahun. Artinya, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan “bom waktu” bagi rakyatnya sendiri. Seharusnya, dalam setiap forum ilmiah, inti dari setiap kebijkan yang terutama adalah melihat dampak negatif ikutannya agar dicari solusi dan antisipasi agar dampak tersebut dapat diminimalisir atau ditiadakan, di samping sosialisasi dampak positifnya.

Penulis pernah membaca salah satu artikel di media massa lokal NTT, tertulis bahwa dengan terhambatnya pembangunan SUTT di Fatukoa, maka masyarakat Kota Kupang akan mengalami kekurangan pasokan listrik dan akan terkendala dalam perluasan jaringan listrik khususnya sedaratan Timor Barat. Pandangan ini tidak dapat disalahkan, tetapi disisi lain dapat menimbulkan konflik adu domba antara warga Fatukoa dan warga wilayah lain sedaratan Timor.

Approach Pemerintah Daerah Kota Kupang dengan menurunkan personel Satpol PP dengan peralatan lengkap (seolah emergency “siaga 1”) dan terindikasi juga keterlibatan personel polri dan TNI, menjutifikasi bahwa rakyat adalah biang penghambat pembangunan. Paradigma ini menjadikan warga Fatukoa semakin tereliminasi dari eksistensinya sebagai rakyat yang harus dilindungi.

Pengakuan warga ketika berdialog dan mengadukan persoalan ini ke anggota DPD RI Perwakilan NTT, Ir. Sarah Lery Mboeik menyatakan bahwa mereka (warga) menyesal akan inkosistensi Walikota Jonas Salean yang selalu tidak konsisten dengan pernyataannya. Disisi lain, Walikota menolak pembangunan SUTT di pemukiman warga, tapi dilain pihak tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan menerjunkan anggota “Satpol PP (banyak mempameokan sebagai preman berseragam)” yang terindikasi arogan terhadap warga. Kejadian ini kontras dengan tulisan penulis dalam buku (belum dipublikasikan) ‘ambiguitas Satpol PP’ yang memuji habis-habisan Satpol PP Kota Kupang saat kepemimpinan Dumuliahi Djami.

Dampak phisyologis Warga Fatukoa.
Warga Fatukoa yang menolak pembangunan SUTT saat ini menjadi dilema. Antara mendukung pembangunan SUTT atau menolak pembangunan SUTT. Pada akhirnya, warga dibingungkan dengan berbagai persoalan pembangunan SUTT. Konflik sedikit demi sedikit telah menjurus pada perpecahan komunal, antara yang mendukung dan menolak. Bahkan yang lebih parah adalah masyarakat tidak mengerti apa-apa tentang manfaat SUTT dan dampak ikutannya.

Kondisi ini dapat ditilik saat pertemuan antara anggota DPD RI dan warga Fatukoa, terdapat seorang yang berprofesi sebagai guru asal pulau Sandlewood (dokumentasi testimoni ada di penulis) ketika memberikan pendapatnya terkesan tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang SUTT “pokoknya tolak pembangunan SUTT, apapun alasannya”. Pernyataan ini menjustifikasi bahwa warga sebenarnya bingung dengan manfaat dan dampak ikutannya dari SUTT itu sendiri.

Pemahaman melalui temu ilmiah dan sosialisasi harus terus diprogramkan pemerintah untuk memberikan sinkronisasi pandangan manfaat dari SUTT serta harus melibatkan ahli yang jujur dan berintegritas dalam memberikan pemahaman yang baik pada masyarakat dan pemerintah harus menjamin integritas dan akuntabel dalam penyiapan dokumen AMDAL. Jangan membangun konflik holisontal maupun vertikal sesama warga dan pemerintah. Apapun kebijakannya, masyarakat sangat membutuhkan listrik, tetapi tidak harus mengorbankan masyarakat sekitar.

Referensi:
Deputi Bidang Tata Lingkungan-Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Panduan Penyusunan dan Pemeriksaan Dokumen UKL-UPL Saluran Udara Tegangan Tinggi. Diterbitkan oleh KNLH dan Danida.

        
         
         

Friday 4 October 2013

POLISI NAKAL



KETIKA WARGA MENJADI POLISI BAGI POLISI “NAKAL”
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT
(opini dipublikasi Surat Kabar Harian Timor Express, 2 Oktober 2013)

Pengantar
Belum pudar ingatan warga pecinta polisi atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan Kanit Buser Polres Belu Soleman Kapitan terkait beckingan judi yang digerebek oleh Brimob Kompi A Atambua pada tahun 2010, dihebohkan lagi dengan dugaan penyelundupan bahan bakar minyak (BBM) ke Timor Leste. Timor Express (30 September 2013) edisi pemberitaan “Kanit Buser Polres Belu ditangkap warga karena berusaha menyelundupkan BBM ilegal” kembali memberikan pameo institusi Polri belum sepenuhnya mengilhami reformasi secara kekinian. Meskipun masih sebatas dugaan (versi Polda NTT) tetapi dari kronologi terdapat indikasi kuat bahwa Polisi ini telah melakukan tindakan pelanggaran kode etik.

Polda NTT sebagai penanggungjawab teritori pun selalu menghindar dengan indikasi oknum. Oknumisasi merupakan strategi jitu sejak zaman orde baru untuk menutupi identitas kebobrokan yang masih terpolarisasi sampai kini. Indikasi oknum menjadi agenda pernyataan utama ketika ditemukan keterlibatan aktor-aktor keamanan melakukan tindakan-tindakan yang dapat mencoreng institusi.

Jika Polda NTT ingin berbenah maka yang harus dilakukan terlebih utama adalah memecat anggota Polri yang telah terbukti perbuatannya yang telah mengkangkangi institusi melancarkan setiap aksi yang tidak berdasarkan Undang-Undang. Jika ditilik dari persoalan Soleman Kapitan sebagai anggota Polri yang terindikasi melakukan keberulangan tindakan-tindakan melanggar aturan hukum, seharusnya anggota ini wajib tidak dipercaya lagi untuk diberikan jabatan. Tetapi realitas berkata lain ketika Soleman Kapitan masih tetap dipercaya sebagai Komandan BUSER sejak kasusnya mencuat di tahun 2010.

Meskipun negara ini telah melakukan gerakan reformasi hampir disetiap sektor, ternyata diinstitusi Polri sendiri, gerakan reformasi hanya sebatas euforia yang perlu diakui tetapi tidak harus dijalankan. Sebuah fenomena yang perlu dipertanyakan lagi kepada Kapolda NTT, apakah sekelas Jenderal masih dipertanyakan SDM dan kemampuannya untuk memberikan warna perubahan institusi yang baik dan berdaya guna dalam pelayanan keamanan dan pelaksana penegakan undang-undang berdasarkan KUHP. Ironi ketika sama saja yang ditunjukkan Polda NTT.

Kasus Soleman Kapitan merupakan bagian kecil yang tampak terungkap. Masih banyak kasus yang mungkin sengaja disembunyikan oleh Polda NTT untuk tidak diungkapkan ke publik dan pada akhirnya menjadi dan disimpulkan sebagai espirit de corps. Espirit de corps (perancis) merupakan strategi melindungi anggota dari jeratan hukum ketika anggotanya terlibat dalam tindakan-tindakan indisipliner maupun perbuatan pelanggaran hukum.

Tugas Poilisi
Satjipto Raharjo (2009:111-117) menyebutkan polisi sebagai alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantarnya melawan kejahatan. Akhirnya polisi akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 menegaskan fungsi polisi adalah memberikan keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, dan memberikan perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selain tugas tersebut, undang-undang Polri juga pada pasal 14 menegaskan tugas Polri untuk melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalulintas di jalan; membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum, melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; melakukan penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; menyelenggara identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara belum ditangani oleh instansi/atau pihak berwenang; memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian; melaksanakan tugas lain dengan peraturan perundang-undangan.

Sosok pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat, sekaligus juga sebagai penegak hukum yang harus menjunjung HAM sangat diharapkan dari polisi. Tentu saja tidak mudah bagi polisi melaksanakan tugas tersebut, apalagi beberapa faktor penunjang kinerja polisi masih perlu dikembangkan seperti sistem hukum, sistem manajemen perpolisian, sistem akuntabilitas publik, masalah budaya, budaya organisasi, masalah kesejahteraan, masalah moral, masalah kontrol (Rianto, 2006). Sehingga apa yang ditunjukkan Polisi merupakan gambaran citra polisi memahami tugas dan tupoksinya.

Warga Menjadi Polisi
Telah lama disepakati bahwa keberhasilan tugas-tugas kepolisian salah satunya ditentukan oleh tinggi-rendahnya tingkat partisipasi masyarakat (Rahardjo dan Tabah 1993). Namun dipihak lain, tingkat partisipasi itu sendiri nampaknya ditentukan pula oleh variabel lain seperti pengetahuan masyarakat pada umumnya maupun pengetahuan masing-masing individu pada khususnya mengenai peran polisi, kemampuan serta kewenangan polisional yang dimilikinya (Adrianus Meliala, 2003:1).

Kemudian Meliala mengklasifikasikan peran Polisi dalam dua hal yaitu: pertama melihat polisi sebagai PERAN, dengan demikian mencakup mulai dari melihat polisi sebagai profesi, sebagai karier, sebagai individu, sebagai kelompok sosial, sebagai kelompok kerja, polisi sebagai model perilaku bagi masyarakat di sekitarnya. Kedua, melihat polisi dari sudut kemampuan dan kewenangan kerja. Dengan demikian mencakup mulai dari melihat posisinya dalam peradilan pidana, prosedur kerja, wewenang serta kemampuan polisional, keterbatasan kerja dan larangan bagi polisi serta hak-hak masyarakat saat berhadapan dengan polisi. Pemilahan tersebut dianggap perlu dilakukan sehingga sejak awal dapat dikatakan bahwa kognisi sosial yang paling matang tentang polisi adalah bila seseorang telah mampu mengetahui secara amat baik dan lengkap perihal polisi baik mengenai perannya demikian pula konsep-konsep yang terkait dalam konteks peran tersebut.

Derbyshire (1968) menyimpulkan bahwa betapa pun polisi berupaya keras memperbaiki citranya di mata masyarakat, namun hal itu tetap harus berada dalam kerangka hubungan polisi-masyarakat yang juga baik, karena bila tidak akan sia-sia saja. Apa yang telah dilakukan Ny. Ferdinan Viegas dan Ermelinda Dorosario pada Minggu (22/9/2013) sekitar pukul 21.30 Wita menangkap Kanit Buser Polres Belu yang diduga akan menyelundupkan BBM Ilegal ke Timor Leste, merupakan salah satu bentuk pengawasan warga dalam mendukung kinerja reformasi polri.

Penutup
Salah satu penghambat reformasi Polri adalah masih berakarnya semangat melindungi korps (spirit the corps) oleh Polisi yang terus melindungi anggotanya ketika melakukan tindakan-tindakan indisipliner dan perbuatan melanggar hukum. Setiap terindikasi keterlibatan anggota Polri maka selalu dianggap sebagai oknumisasi, meskipun yang menjadi inti perbuatan adalah penyalahgunaan kekuasaan. Masyarakat harus terus mengawasi polisi dengan menjadi polisi bagi diri sendiri dan menjadi polisi bagi polisi, sehingga dengan demikian keterkaitan antara pengawasan masyarakat terhadap polisi mampu menjadi spirit dan penghormatan dalam mendukung reformasi Polri.

Wednesday 2 October 2013

BAHAYA SUTT



Bahaya Saluran Udara Tegangan Tinggi
Oleh: Ian Haba Ora
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

Opini ini dipublikasi Harian Kota “KURSOR” pada Selasa, 1 Oktober 2013.

Pengantar
Pemenuhan pasokan listrik di Propinsi Nusa Tenggara Timur, maka Pemerintah melalui PLN melakukan perluasan jaringan listrik sistem Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT). SUTT diartikan sebagai saluran tenaga listrik yang menggunakan kawat telanjang (bare conductor) di udara bertegangan di atas 35 kV sampai dengan 245 kV, sesuai dengan standar di bidang ketenagalistrikan. SUTT merupakan sistem penyalur tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik dalam skala besar ke gardu induk (GI) langsung ke gardu konsumen (Deputi Bidang Tata Lingkungan-Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007:1).

Lebih lanjut dijelaskan setiap bentangan kawat jaringan transmisi memerlukan suatu “ruang bebas”. Ruang bebas adalah ruang sekeliling penghantar yang dibentuk oleh jarak bebas minimum sepanjang jalur SUTT. Jalur itu harus dibebaskan dari benda-benda dan kegiatan lainnya. Artinya, dalam ruang bebas tidak boleh ada satupun benda-benda seperti bangunan atau pohon lain di dalam ruang tersebut. Dengan adanya ruang bebas ini, pengaruh medan elektromagnetik terhadap lingkungan sekitar dapat dicegah. Keterangan mengenai ruang bebas diatur di dalam Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi tentang Ruang Bebas SUTT dan SUTET. Diperaturan itu, diatur jarak minimum titik tertinggi bangunan atau pohon terhadap titik terendah dari kawat penghantar jaringan transmisi (2007:10).

Gabungan antara medan listrik dan medan magnet secara bersama-sama dinyatakan sebagai gelombang elektromagnetik. Medan listrik dinyatakan dengan satuan V/m. Satuan ini menunjukkan bahwa semakin jauh suatu objek dari sumber tegangan, semakin rendah medan listrik yang terukur pada objek itu. Sementara itu, medan magnet dinyatakan dalam besaran Tesla atau dapat dinyatakan dengan Gauss. Medan magnet ini muncul ketika arus listrik dialirkan sedemikian rupa. Semakin besar arus yang dialirkan, medan magnet yang dihasilkan semakin besar. Jadi, sama seperti medan listrik, semakin jauh jarak sebuah objek dari sumber medan magnet semakin kecil paparan medan tersebut.

Dampak Elektromagnetik dari SUTT
Setiap gelombang elektromagnetik pasti menimbulkan radiasi, sekecil apapun. Gangguan umum yang paling banyak diderita dari radiasi elektromagnetik adalah electrical sensitivity, yaitu gangguan fisiologis dengan tanda dan gejala neurologis maupun kepekaan, berupa berbagai gejala dan keluhan. Gangguan ini umumnya disebabkan oleh radiasi elektromagnetik yang berasal dari jaringan listrik tegangan tinggi atau ekstra tinggi, peralatan elektronik di rumah, di kantor maupun industri. Para ahli bidang telekomunikasi membenarkan bahwa gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh alat-alat listrik dapat mengganggu kesehatan pengguna dan orang-orang yang berdiri di sekitarnya (Swamardika, 2009:106).

Swamardika dalam kajian ilmiah tentang pengaruh radiasi gelombang elektromagnetik terhadap kesehatan manusia (2009:107) menjelaskan spektrum gelombang elektromagnetik dibagi menjadi beberapa daerah. Pada spektrum gelombang dengan frekuensi 60 atau 50 Hz terdapat medan elektromagnetik yang dibangkitkan oleh saluran daya listrik dan beberapa peralatan besar maupun kecil. Sedangkan elektromagnetik energi sangat tinggi, seperti sinar gamma atau sinar-x, disebut juga radiasi ionisasi karena mereka mengionisasi molekul pada jalur yang dilalui. Pemaparan gelombang yang tidak terkendali dari radiasi ionisasi dalam jumlah besar diketahui sebagai penyebab penyakit dan bahkan kematian pada manusia.

Radiasi Elektromagnetik dari Saluran Transmisi Tenaga Listrik (PLN 2006)
Kajian ini dikutip dari tulisan ilmiah Alit Swamardika, seorang Dosen dan ahli Teknik Elektro Universitas Udayana (2009:108-109) dimana dalam pembangunan sarana ketenagalistrikan, dimanapun akan selalu mempunyai dampak langsung dan tidak langsung. Dampak tidak langsung sarana transmisi yang aman, dituangkan dalam UU No. 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 975 K/47/MPE/1999 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/47/M.PE/1992 tentang Ruang Bebas SUTT dan SUTET untuk penyaluran Tenaga Listrik. Selain itu, pembangunan SUTET 500 kV dan SUTT juga sudah mempunyai Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu SNI 04.6918-2002 tentang Ruang Bebas dan Jarak Bebas Minimum SUTT dan SUTET dan SNI 04.6950-2003 tentang Nilai Ambang Batas Medan Listrik dan Medan Magnet SUTT dan SUTET.

Peraturan tersebut menunjukkan jarak atau ruang yang aman dari pengaruh medan listrik dan medan magnet. Jadi masyarakat mengetahui daerah yang aman untuk beraktivitas. Jarak aman ini diukur berdasarkan tingginya tegangan listrik. Untuk jaringan tegangan menengah dan rendah (JTM/JTR) di daerah tersebut dapat digunakan rumus sederhana, yaitu 1 kV = 1 cm. Artinya jika tegangan di kawat jaringan sebesar 20 kV maka jarak amannya adalah 20 cm atau 0,2 m. Untuk transmisi SUTT dan SUTET atau jarak aman vertical (C) adalah untuk tegangan 70 kV adalah 4,5 m, untuk 150 kV adalah 5,5 m, untuk 275 kV adalah 7,5 m dan untuk 500 kV adalah 9,5 m. Sedangkan jarak aman horizontal dari as/sumbu menara (D) adalah untuk tegangan 70 kV adalah 7 m, untuk 150 kV adalah 10 m, untuk 275 kV adalah 13m dan 500 kV adalah 17 m. Menurut WHO (World Health Organization) ambang batas kekuatan medan listrik dan medan magnet yang tidak membahayakan tubuh manusia sebesar 5 kV/m untuk medan listrik dan 0,1 m Tesla untuk medan magnet. Untuk itu, dalam pembangunan SUTT maupun SUTET maka PLN harus jujur untuk memberikan pengertian yang benar tentang pengaruh medan listrik dan medan magnet sehingga masyarakat yang bermukim di sekitar sarana transmisi ini, memiliki persespsi yang benar dan rasa aman tinggal disekitarnya.

Lebih jauh menurut Anies (2005), radiasi elektromagnetik merupakan faktor lingkungan fisik yang perlu dicermati. Karena itu, gangguan kesehatan bukan hanya berupa penyakit. Berbagai keluhan atau gejala fisik yang dialami seseorang merupakan bentuk gangguan kesehatan. Bahkan berbagai fenomena yang menyebabkan seseorang merasa tidak aman dan kurang nyaman, bahkan merasa cemas, pada hakikatnya tidak dalam kondisi sehat atau mengalami gangguan kesehatan.

Penutup
Meskipun sampai saat ini masih bermunculan perdebatan ahli akan dampak SUTT dan SUTET, tetapi yang terpenting adalah sejauhmana kejujuran ahli listrik dan PLN untuk tidak menipu dan memprovokasi masyarakat demi kepentingan pengetahuan dan penelitian, dan rakyat dijadikan sebagai objek penelitian.

Referensi:
Anies. 2005. Gangguan Kesehatan Akibat Radiasi Elektromagnetik. FK Universitas Diponegoro. http://www.kompas.co.id dalam Swamardika, 2006 (4 Juli 2006).
Deputi Bidang Tata Lingkungan-Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Panduan Penyusunan dan Pemeriksaan Dokumen UKL-UPL Saluran Udara Tegangan Tinggi. Diterbitkan oleh KNLH dan Danida.
Swamardika, I.B.A. 2009. Pengaruh Radiasi Gelombang Elektromagnetik Terhadap Kesehatan Manusia (Suatu Kajian Pustaka). Artikel Ilmiah. Buletin Teknologi Elektro. Vol.8., No. 1., Januari-Juni., pp.106-109.



TRANSLATE: