SELAMAT MEMBACA

Thursday 7 November 2013

TENTARA HARUS DIBATASI PERANNYA


TENTARA HARUS DIBATASI PERANNYA
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua FPAR KOMUNITAS DAMPINGAN PIAR NTT
(Tulisan ini dipublikasi SKH Timor Express pada Kamis, 7 Nopember 2013)
Pengantar
Indonesia secara kekinian meskipun telah 15 tahun melaksanakan agenda reformasi kebangsaan namun belum sepenuhnya menunjukkan progress report adanya pemahaman nilai-nilai luhur bangsa secara instrumen, strukktur, dan culture terhadap eksistensi penghargaan nilai-nilai hak asasi manusia. Represifitas dan arogansi negara cenderung tidak sepakat untuk diawasi oleh rakyat sebagai kekuasaan kedaulatan namun dianggap sebagai sebuah ancaman.

Anggapan ancaman ini terlebih-lebih dilakukan oleh institusi berlabel hijau yang kebakaran jenggot ketika banyak instrumen demokrasi saat ini menjurus pada proses transparansi partisipatif pemilik kedaulatan terhadap institusi negara. Dengan berbagai cara dan pola yang mungkin tertanam akut diparadigma diduga membuat TNI berusaha untuk menghalau era kebebasan demokrasi. TNI dianggap terusik singgasananya ketika rakyat menuntut agar institusi TNI diaudit penggunaan anggaran, ketika rakyat menuntut agar tupoksi TNI dalam operasi nir militer (operasi selain perang) diperjelas deskripsi dan tafsirannya, dan terakhir adalah ketika pemilik kedaulatan menuntut agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) direvisi karena dianggap cacat nilai dalam memberi keadilan perspektif HAM dan mendorong agar Mahkamah Militer berada pada pengawasan Sipil. Meskipun masih banyak menimbulkan perdebatan namun TNI dianggap mulai merasa kekuasaan absolut yang selama ini tidak terganggu mulai terongrong oleh era demokratisasi.

Kondisi ini dapat dianggap sebagai kesialan nasib TNI (baca ABRI) yang selama kejayaan mulai era orde baru hingga reformasi kini mulai melemah atas nilai-nilai dan prinsip hak asasi manusia sebagai fondasi dasar nilai reformasi mulai menunjukkan kewibawaannya. Seharusnya otoritas sipil harus dan wajib untuk menekan TNI agar lebih profesional khusus untuk pertahanan negara bukan lagi terreinkarnasi tentara politik dan tentara bisnis.

Anggapan TNI terhadap Dinamika Reformasi
Ketika semangat reformasi untuk menuntut pola pikir negara akan demokratisasi dalam perspektif HAM, TNI turut mengikuti tetapi dengan cara pandang yang dapat dianggap salah. Respon terhadap reformasi, TNI membuat tafsir sendiri akan konsep demokrasi dan peran yang mereka akan jalankan, termasuk peran politik dan penegakan keamanan. Konsep TNI menyatakan bahwa peran mereka di masa depan tetap tidak dapat dipisahkan dari keterpaduan peran pertahanan keamanan negara dan pembangunan kebangsaan. Dalam ’paradigma baru’nya, pandangan-pandangan konservatif tersebut muncul dalam pernyataan-pernyataan seperti, ”...(s)ikap dan komitmen TNI sangat jelas bahwa pilihan bentuk Negara Kesatuan sudah final, dan menolak bentuk negara federasi karena dapat menjadikan disintegrasi bangsa. ...(m)emarjinalkan TNI dengan back to barracks, berarti mengeliminasi hak politik anggota TNI sebagai warga negara, sekaligus memisahkan TNI dari rakyat yang menjadi tumpuan kekuatan dan basis jati diri TNI.”  Tafsir tersebut kemudian dikembangkan dalam rumusan Peran Sosial Politik TNI yang tidak selalu harus didepan, berubah dari menduduki menjadi mempengaruhi, berubah dari mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung dan bersedia melakukan political and role sharring dengan komponen bangsa lainnya. Tidak aneh jika kemudian agenda reformasi versi TNI dalam 15 tahun terakhir tidak lebih dari 5 isu yang notabene juga merupakan isu politik yang menguntungkan atau mengancam otonomi politik TNI, yaitu soal hak pilih TNI, pengalihan bisnis militer, Komando Teritorial, TNI dan Departemen Pertahanan, serta Peradilan Militer (Mabes TNI “Paradigma Baru Peran TNI (Sebuah Upaya Sosialisasi)” Edisi III Hasil revisi, Juni 1999, h. 2-7).

Selain itu, seluruh elemen masyarakat tahu bahwa institusi TNI merupakan lembaga yang paling tidak akuntabel apalagi sejauh ini belum ada pertanggungjawaban terkait dengan berbagai kasus pelanggaran HAM yang dilakukan pada masa lalu seperti pembunuhan, penculikan dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) lainnya, oleh karena itu TNI tidak boleh diberi ruang yang terlalu besar dalam ruang-ruang selain yang tertera pada Legislasi.

Strategi Membuat TNI Paham Tentang Demokrasi
Berbicara Hak Asasi Manusia di TNI merupakan sesuatu hal yang kompleks dan rumit. Sipil akan berhadapan langsung dengan militeristik yang masih terlihat angker. Untuk itu, membuat TNI dapat menjadi bagian dari identitas reformasi maka hal utama yang harus dilakukan adalah mengkritisi lewat media, dan membantu bermitra untuk mendorong agenda reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI. Kekhawatiran sipil adalah ketika bersebrangan paham dengan TNI maka dampaknya adalah distigmatisasi jika tidak dianggap sebagai kriminalisasi. Maka dari itu, rakyat harus tetap kritis agar TNI jangan lagi terkooptasi untuk mereinkarnasi institusi seperti jaman orde baru. Jika sipil tidak terlibat maka kemungkinan yang terjadi adalah patronisasi negara totaliter dan pastinya mengarah pada indikasi pelanggaran HAM.

Oleh karena itu mendorong reformasi TNI adalah wajib, maka hal-hal yang perlu dilakukan seperti saran Ismail seorang Peneliti Security sector reforms (2013:5) adalah delegitimasi kekuasaan rezim Soeharto, artinya Sipil harus bekerja keras agar cara pandang TNI tidak terpolarisasi dan terpatron pada jaman Soeharto yang cenderung memperlihatkan kekerasan dan arogansi sebagai ciri khas ABRI. Tetap mengeliminasi TNI dari kancah politik adalah strategi cerdas untuk menghilangkan peran TNI dalam dwifungsi ABRI. Selain itu, publik harus memintah pertanggungjawaban hukum atas ‘kejahatan’ dimasa lalu sebagai wujud tanggungjawab negara akan dominasi penculikan dan pembunuhan pejuang demokrasi sekaligus komitmen negara dalam menanam esensi dari penegakan hak asasi manusia. Dan yang paling terpenting adalah, sipil harus mampu dan berani untuk melakukan penguatan otoritas politik sipil sehingga esensi demokrasi dapat berjalan sesuai normalisasi reformasi.

Pemenuhan Prinsip-Prinsip Reformasi
Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati oleh TNI dalam pemenuhan prinsip-prinsip reformasi, yaitu pertama TNI berkewajiban melaksanakan peran, fungsi dan tugas pokoknya sebagaimana diatur undang-undang sehingga semangat demokrasi dalam pembatasan peran TNI tetap konsisten sesuai dengan regulasi TNI yang telah ditetapkan, yakni pada UU Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan dan UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Kedua, mengutip pendapat Makaarim (2010) bahwa konstitusi dan undang-undang dengan tegas menggarisbawahi adanya supremasi otoritas politik sipil atas institusi militer.  Angkatan bersenjata adalah pihak yang seharusnya loyal pada kepentingan negara (bukan penguasa), bukan kekuatan yang independen atau netral dari kepentingan negara, tidak membuat tafsir sendiri tentang kepentingan negara melainkan berdasarkan perintah otoritas politik sipil tertinggi (presiden).

Perang adalah hal yang terlalu penting untuk diserahkan kepada jenderal-jenderal,” kata Winston Churcill. Profesionalisme militer bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan negara yang dipimpin oleh otoritas demokratik. Militer didesain untuk membantu mencapai tujuan, seperti menjamin keamanan negara, bukan untuk menjawab pertanyaan, “Apakah lebih baik memerangi atau berdamai dengan sumber ancaman tersebut ?” Politisi sipil-lah yang mengambil keputusan (dan dapat mendengar masukan dari para jenderal) dan mempertanggungjawabkannya secara konstitusional.

Penutup
Menjadikan TNI yang profesionalitas tidak sebatas pada mereposisi TNI tidak berpolitik dan berbisnis tetapi lebih daripada itu adalah mendorong TNI sesuai dengan harapan kebangsaan agar TNI tetap merformasi diri menjadi institusi yang respek terhadap Hak Asasi Manusia dan berusaha agar penegakan hukum pada perilaku bejat aktor TNI mendapat penghukuman sesuai prinsip keadilan umum.

Diakui bahwa militer adalah kekuatan strategis dalam negara demokratis namun dapat juga berbahaya secara politik, sebagaimana juga polisi, lembaga penegak hukum dan partai politik. Karenanya perlu diatur dalam undang-undang yang khusus (lex specialis). Samuel Adams, salah seorang penandatangan deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang juga memiliki pengalaman militer menyatakan, “Bahkan ketika ada kebutuhan akan kekuatan militer di seluruh penjuru negeri sekalipun, masyarakat yang bijaksana dan hati-hati akan selalu memasang mata yang seksama dan berjaga-jaga terhadap hal tersebut.” Para pendiri Amerika serikat menyadari pentingnya membangun institusi militer yang mampu mempertahankan negara secara layak sekaligus menyadari bahwa apabila kekuatan militer tidak dikendalikan secara seksama, maka kekuatan militer tersebut dapat dipergunakan untuk merebut kontrol dari tangan pemerintah dan kemudian mengancam keberlangsungan demokrasi (Makaarim, 2010).


Tuesday 5 November 2013

CARA PANDANG WARGA PADA SATPOL PP



SATPOL PP dan PARADIGMA WARGA
Oleh. Ian Haba Ora 
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

Pengantar
Sosio kemasyarakatan menampilkan berbagai aktivitas kehidupan yang tampak brutal menggunakan kewenangan institusi untuk mengintimidasi dan arogansi premanisme pada kaum miskin dan marginal. Satuan Polisi Pamong Praja merupakan manisfestasi metafora aksi kekerasan dalam penggusuran dan pembongkaran lapak-lapak jualan secara paksa komunitas pedagang kaki lima. Begitupun kabar audio, visual, maupun cetak memberitakan ketika terjadi razia ke panti-panti pijat sering mengkangkangi perilaku pelecehan seksual, menangkap dan menahan orang yang dianggap menyalahi aturan Perda tanpa prosedural, memprovokasi masyarakat dengan arogansi kebijakan subversif. Dengan demikian, setiap tindakan mendiskriminasi tanggungjawab negara untuk mensejaterahkan rakyat, ironisnya lagi setiap aksi tanpa dipikirkan grand desighn pasca penertiban. Namun, seringkali aksi-aksi Satpol PP menimbulkan cara pandang beragam masyarakat terhadap aksi-aksi brutalisme Satpol PP. Berikut ini beberapa pandangan Hairus Salim dalam buku Polisi Pamong Praja dan Reformasi Sektor Keamanan terbitan IDSPS dan DCAF (2009:8-10) yaitu:

Pandangan moderat. Kelompok ini menganggap arogansi Satpol terhadap warga berbuah kekerasan hanya kekeliruan teknis prosedural atau adanya aksi-aksi masyarakat yang bersifat provokatif terhadap anggota Satpol PP. Eksistensi Satpol PP sangat urgent dalam menata dan mengatur ketentraman dan ketertiban kota, dan inisiasi hadirnya Satpol PP dalam mengawal kebijakan daerah dan penegakan Perda yang berkualitas di masyarakat. Tetapi, cenderung masyarakat merasa apatis dan menganggap pemerintah mengeluarkan aturan yang dianggap destruktif dan represif. Ketika dilakukan penertiban maka muncul konfrontasi antara Satpol PP dan warga berujung pada kekerasan.

Pandangan liberal. Kalangan ini menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan sama sekali. Kaum ini lebih berharap agar soal ketertiban dan keamanan diserahkan kepada kalangan polisi saja karena jika satpol PP diberikan kewenangan lebih untuk melakukan penyidikan maka akan tumpang tindih antara Satpol PP (PP 6/2010) dan Polri (UU 2/2002). Ini terutama karena Satpol PP sering mengurus hal-hal yang bersifat “privacy” yang memang menjadi kemewahan kalangan kelas ini. Tumpang tindih ini akan menimbulkan masalah, terutama makin banyaknya Satpol PP mengambil peran polisi dengan mengabaikan ‘code of conduct’ seorang penegak hukum. Kaum liberal lebih banyak didominasi oleh kaum kelas menengah ke atas.

Pandangan kritis. Kaum kritis sama seperti kaum liberal yang menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan. Tapi, alasannya berbeda. Ketidaksetujuan terhadap Satpol PP lebih karena Satpol PP banyak merugikan hajat dasar dari hidup kaum kritis seperti kaum miskin kota, pedagang kaki lima, pengamen, pedagang asongan, pekerja seks komersial, dan lain-lain, yang selama ini menjadi sasaran Satpol PP karena dianggap melanggar Perda mengenai ketentraman dan ketertiban kota. Bagi kalangan kritis, Satpol PP tidak lebih dari ‘aparat militer’ dengan aksi-aksi mereka yang sangat militeristik.

Pandangan-pandangan di atas menjustifikasi akan potensi komunal antara yang mendukung dan tidak mendukung aktivitas Satpol PP sebagai institusi penegak kebijakan dan peraturan daerah.

Ambiguitas Satpol PP
Durasi pergerakan terlepas dari cara pandang kaum moderat, liberal, dan kritis terhadap Satpol PP menginisiasi aktualisasi yang selama ini muncul dalam setiap kegiatan dan pemberitaan media massa maupun elektronik. Ada beberapa hal yang mendasari aksi brutalitas Satpol PP, yaitu:

Terkait dengan pedoman Satpol PP sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 06 Tahun 2010 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja dan prosedur tetap Satpol PP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam aturan ini memberi kewenangan pada Satpol PP untuk melakukan tugas penyelidikan dan penahanan yang dapat menimbulkan multiintepretasi mengilhami tugas polisi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja dan Permendagri 26/2010 Tentang Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota SatpolPP. Kedua ketentuan tersebut, yang diikuti oleh sistem pendidikan militeristik dan kualitas SDM yang rendah menyebabkan Satpol PP selalu tampil militeristik, dan hampir-hampir menganggap diri mereka sebagai bagian dari militer saja.

Hal penyebab Satpol PP bersifat militeristik adalah materi pendidikan Satpol PP didominasi oleh pendekatan militeristik daripada pendekatan sosial dan kultural. Institusi Satpol PP lebih banyak diisi pegawai-pegawai yang tidak berkualitas, bahkan cenderung dijadikan tempat pembuangan pegawai-pegawai yang tak lagi digunakan di instansi-instansi lain, dan dijadikan preman-preman jalanan sebagai Banpol (Bantuan Polisi) yang hangat dengan premanisme.

Institusi Satpol PP rawan politisasi Kepala Daerah, karena bertanggung jawab penuh dan berada langsung di bawah naungan Gubernur, Walikota, maupun Bupati. Seringkali dalam setiap kebijakan kepala daerah sering menggerakkan satpol pp untuk mengintimidasi dan arogan terhadap kaum penentang yang pada akhirnya menciderai hak asasi manusia. Disisi lain saat mendekati proses pemilu maupun pilkada Satpol PP dijadikan sebagai ‘mata-mata’ maupun mobilisasi aparatur untuk menjadi tim sukses pemenangan melalui pendekatan kebijakan-kebijakan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak regulasi-regulasi (Peraturan Daerah) dan keputusan-keputusan Kepala Daerah sering kali menciderai demokratisasi dan desentralisasi kehidupan warga sebagai daerah otonom. Banyak regulasi dan kebijakan memiskinkan rakyat, pinjam kata Moniche Saubaki “Negara sebagai pelaku pemiskinan rakyat melalui regulasi dan abuse of power aktornya”. Dalih menjalankan perintah Perda dan Keputusan Kepala Daerah, sering kali anggota Satpol PP menggunakan kekerasan. Setiap peraturan baik secara Perda (Legislatif) dan Keputusan Kepala Daerah (Eksekutif) selalu menempatkan Satpol PP sebagai tameng dan motor penggerak pengawasan dan pelaksanaannya oleh warga daerah otonom.

Revitalisasi dan reaktualisasi peran Satpol PP yang humanis
Penulis ketika mengetik artikel ini membangun komunikasi via telepon untuk berdiskusi bersama Bapak Drs. Dumuliahi Djami, M.Si yang juga adalah mantan Kasat Pol PP Kota Kupang (interview telpon, 8 Agustus 2013). Alasan penulis menghubungi orang ini didasari atas loyalitas dan kemampuannya ketika memimpin institusi Satpol PP Kota Kupang tidak pernah terindikasi aksi brutalitas, penyalahgunaan wewenang, bahkan persuasif dan populis dalam pendekatan regulasi pada masyarakat. Dari hasil diskusi maka penulis menyimpulkan beberapa catatan penting untuk revitalisasi dan reaktualisasi peran Satpol PP yang humanis, yaitu:

Perlunya reformasi dan revitalisasi birokrasi bukan saja pada instrumen hukum namun secara struktur dan budaya. Secara intrumen Pol PP telah memiliki PP 32 tahun 2004 dan direvisi dengan PP 6 tahun 2010. Secara struktur Pol PP berbeda dengan garis komando Polri meskipun kata “polisi” yang lebih ditonjolkan. Secara budaya, masih banyaknya anggota Satpol PP yang berkarakter militer. Namun semua itu tidaklah dapat disamaratakan seantero nusantara lantaran Pol PP mengilhami asas otonomi daerah, sehingga yang menjadi inti pergerakan institusi adalah paradigma pemimpin yang responsif hukum, HAM, Gender, dan populis;

Pelanggaran-pelanggaran yang mengindikasikan keterlibatan aktor (baik aktor Pol PP maupun aktor sipil) perlu diproses hukum secara imparsial (asas keadilan) sehingga dapat meminimalisir kasus pelanggaran terhadap UU dan mencegah indikasi keberulangan (remidial indicate);

Seringkali rekruitmen Pol PP masih sebatas pada paradigma pegawai-pegawai bermasalah dilingkungan PNS tanpa didasari pemahaman pendidikan persuasif. Begitupun perekrutan cenderung pada fisik semata belum pada tingkatan sumber daya manusia yang kondusif. Bila pemerintah (pusat) benar-benar menciptakan Pol PP yang profesional baik intitusional maupun anggotanya maka mulai proses rekrutmen, proses pendidikan, kurikulum pun harus dimulai dengan profesional. Rekrutmen anggota Satpol PP harus tersendiri dan berbeda dengan rekrutmen PNS non Pol PP yang cenderung tidak tepat sasaran. Realita karena kekurangan anggota Satpol PP diangkatlah Banpol PP yang cenderung tidak tepat sasaran. Anggota Satpol PP harusnya menjadi anggota Satpol PP dari awalnya bukan pada akhirnya”;

Polisi Pamong praja memiliki sejarah tersendiri sehingga lahirnya tidak serta merta karena kekinian/kontemporer tetapi lebih difokuskan karena kebutuhan hingga usianya kini yang makin dewasa. Jika dikaitkan dengan segi historis maka dapat dikatakan upaya pembubaran institusi Pol PP oleh kalangan kritis dan liberal merupakan pengingkaran terhadap sejarah. Karena secara otonom, institusi Pol PP bertanggung jawab kepada Kepala Daerah maka secara Social Approach (pendekatan sosial) berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, tidak bisa dikatakan sebagai pemerataan.

Pol PP secara rasionalitas atau praktis tidak dapat dijadikan sebagai salah satu institusi yang perlu dibubarkan lantaran emosional dan anarkisme yang ditunjukkan institusi Pol PP daerah otonom lain. Kebrutalan aktor tidak serta merta terwakilkan secara institusi, misalkan kasus perkelahian aparat negara dan warga lantaran tindakan emosional tidak serta merta dijadikan kesalahan institusi (bukan memahami espirit de  corps).

Resolusi atau Rekomendasi
Peningkatan peran dan kinerja anggota Satpol PP dalam menertibkan sesuai perintah peraturan daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah yang berkaitan dengan penegakan HAM, maka perlu diberikan rekomendasi-rekomendasi.

Pertama, untuk Pemerintah Pusat: bekerjasama dengan donor untuk melakukan reformasi kebijakan dan institusi Satpol PP, termasuk untuk mengamandemen undang-undang, membuat cetak biru dan capacity building bagi Satpol PP yang lebih menghormati dan melindungi nilai-nilai hak asasi manusia; menelaah ulang serta mengaudit peraturan keterlibatan Satpol PP untuk memastikan kesesuaiannya dengan standard penerapan undang-undang internasional, misalnya standar PBB mengenai kode perilaku bagi aparat penegak hukum, dan prinsip dasar penggunaan kekuatan dan senjata; menyediakan bagi aparat Satpol PP pelatihan mengenai Hak Asasi Manusia dan pengetahuan mengenai kebutuhan serta masalah yang dihadapi kaum termaginalkan (terpinggirkan).

Kedua, untuk Pemerintah Daerah: memastikan bahwa petugas dan anggota Satpol PP menerima pelatihan professional yang sesuai untuk melaksanakan tanggung jawab keamanan public; menyelidiki dan menuntut secara hukum aparat Satpol PP yang bertanggung jawab melakukan kekerasan, perampasan, penghancuran harta benda pribadi secara sewenang-wenang selama operasi penertiban. Harus ada konsekuensi, termasuk penuntutan kriminal dan pemecatan apabila terbukti; menelaah ulang pengalokasian dana untuk sektor keamanan dan ketertiban dalam anggaran belanja daerah (APBD) untuk menjadi perhatian serius lantaran beban kerja Pol PP yang banyak dan berhubungan dengan kepentingan keamanan publik.

Dengan demikian, eksistensi Satpol PP dalam penegakan Perda dan penjagaan ketentraman dan ketertiban masyarakat tidak semata-mata dipandang sebagai boneka drakula yang mudah diintervensi, diinvasi, dan dipolitasi berujung pada espirit de corps akan aksi-aksi brutalitas.





REFORMASI POLRI YANG MEMBINGUNGKAN



KATA ORANG PINTAR DAN REFORMASI POLRI  YANG MEMBINGUNGKAN!
Mencermati Opini Publik “Penahanan Ketua DPRD Kota Kupang” Oleh Polresta Kupang
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Task Force Team NTT

Kata Orang Pintar
Tulisan dari penulis dalam kelemahannya sebagai wong cilik/kaum proletar dengan keterbatasan sumber daya manusia (IQ and EQ), mencoba mencermati fenomena penahanan Ketua DPRD Kota Kupang, Vecky Viktor Lerik, SE oleh pihak Polresta Kupang dikaitkan dengan pendapat pakar/pemikir/ahli atau yang lebih dikenal dengan istilah orang pintar.

Pemberitaan media massa atas penangkapan, penahanan dan menangguhkan penahanan menjadi babak lakon retorika dugaan ketidakprofesionalisme Polri dalam menegakkan hukum terhadap penerima layanan hukum. Indikasi ketidakprofesionalisme Polri, berimplikasi pada termetaforanya opini yang kecewa dengan kinerja Polri (baca Polresta Kupang). Aktualisasi penahanan Vecky yang disangkakan mencekik dan mengancam akan melempar keluar Louis Charles Lily lewat jendela, melanggengkan perspektif via opini publik lantaran kepentingan politik untuk menjegal Vecky dalam upayanya menegakkan keadilan dan kepentingan masyarakat, termanifestasi dalam pemikiran-pemikiran orang pintar.

CM, seorang pintar asal NTT yang tinggal di Jakarta dalam opini Surat Kabar Harian (SKH) Timex (Kamis, 27 Mei 2010), mencermati fenomena langkah penahanan Ketua DPRD Kota Kupang bahwa telah terjadi ketidakadilan penahanan terhadap legislator Vecky Lerik. Tulisnya “yang kita herankan adalah langkah Polresta Kupang yang langsung melakukan penahanan terhadap seorang ketua DPRD untuk sebuah kasus yang berkategori ringan ini. Disinilah rasa keadilan kita selaku anggota masyarakat terusik. Betapa tidak, seorang ketua DPRD yang punya hak imunitas ditahan hanya karena sebuah laporan perbuatan tidak menyenangkan yang terjadi didalam ruang persidangan dewan. Entah ini sebuah kebodohan atau malahan kepintaran, karena pasal 366 ayat 2 UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), secara jelas menyebutkan: anggota DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat dituntut didepan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis didalam rapat DPRD Kabupaten/Kota ataupun diluar rapat DPRD Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota”. Frans Rengka, seorang pintar dan Pengamat Hukum asal Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, saat diwawancarai SKH Timex, mengungkapkan penahanan Ketua DPRD Kota Kupang terkesan sarat muatan politik dan terkesan polisi main-main. “Polisi harusnya sudah mengetahui alasan penahanan terhadap seseorang, dimana penahanan seseorang, bertujuan memudahkan pemeriksaan dan penyidikan juga ditakutkan menghilangkan barang bukti maupun melarikan diri. Namun jelas dia, dalam kasus yang melibatkan Ketua DPRD Kota Kupang, Viktor Lerik, Polisi terkesan main-main untuk menahan, juga menangguhkan penahanannya. Ia juga menilai kalau penahanan Ketua DPRD Kota Kupang ada unsur politik, sehingga sulit dihindari,” tulis Lok dalam pemberitaanya di Timex (Rabu, 27 Mei 2010). Media massa yang sama (Rabu, 26 Mei 2010), seorang pintar dari legislator Kota Kupang, Jerry Pingak mengungkapkan penahanan oleh Polresta terhadap Ketua DPRD Kota Kupang merupakan pelanggaran hukum, karena itu, pihaknya memintah pemerintah bertanggung jawab atas kondisi ini. Selain itu, pihaknya (baca DPRD) mulai saat ini tidak akan menerima aspirasi masyarakat. “Jika ada, silahkan ke Polresta, karena jika salah sedikit, selalu berurusan dengan hukum,” ujarnya.

Perihal diatas merupakan “sabetan parang” via opini dari orang-orang pintar guna mencermati dugaan ketidakprofesionalisme Polri dalam penegakan hukum. Truss….bagaimana dengan reformasi polri yang selama ± 11 tahun ini didengung-dengungkan sejak Polri dipisahkan dari institusi militer (Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000). Bagaimana yah…..?

Reformasi Polri
Menurut Bambang Widodo Umar (BWU), 2009 dalam Reformasi Polri didefenisikan sebagai transformasi organisasi kepolisian agar lebih professional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman, serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, tujuan dari reformasi Polri adalah membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan bertanggung jawab atas tiap tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi manusia.

Namun bagaimana tindakan Kepolisian Resort Kota (Polresta) Kupang menangkap, menyidik dan menahan Ketua DPRD Kota Kupang selama 1x24 Jam yang terindikasi sarat dengan muatan politik, kemudian baru dilepaskan setelah mendapat penangguhan? Mungkinkan tabiat dan lakon ini menggambarkan reformasi Polri belum sepenuhnya berjalan optimal dalam institusi Kepolisian?

Menurut CM, ini adalah batu sandungan bagi reformasi Polri. “ditengah gencarnya polri menggaungkan reformasi ditubuhnya, kasus penahanan Ketua DPRD Kota Kupang ini jelas menjadi batu sandungan tersendiri. Mata masyarakat makin terbuka melihat adanya ketidak sinkronan antara kata dan perbuatan, antara reformasi yang diingini Kapolri dengan apa yang dijalankan Kapolresta Kupang, antara prestasi yang diraih Polri dengan penyimpangan yang dilakukan oknum Polri. Pada akhirnya, keinginan masyarakat untuk memiliki sosok Polri yang ramah, melindungi, dan melayani, belum terwujud. Harus diakui untuk aspek sturuktural dan instrumental, sudah ada kemajuan. Namun yang belum terlihat banyak berubah adalah pada aspek Kultural, khususnya moral dan mental.

Mungkin apa yang diungkapkan oleh CM ada benarnya, ketika persoalan perilaku Polri mendapat kritik dimana organisasi ini dipandang belumlah professional dan bebas korupsi. Budaya korupsi ditingkat kepolisian terjadi mulai dari tingkat yang paling rendah seperti dalam pengurusan SIM, STNK, dan lain-lain, hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti penanganan kasus kejahatan. Penelitian yang dilakukan oleh PTIK menunjukkan bahwa perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam tubuh Polri terjadi hampir disemua lini/satuan organisasi kepolisian. Misalkan area Korupsi di Reserse Kriminal, ada 11 jenis KKN yaitu : penyimpangan prosedur penangguhan penahanan, rekayasa penanganan/penindakan kasus ilegal logging, kolusi dalam penyelenggaraan perjudian (toto gelap), penyimpangan prosedur pinjam pakai barang bukti, penyimpangan penerbitan surat keterangan kehilangan kendaraan bermotor untuk persyaratan klaim asuransi, penyimpangan dalam penanganan kasus narkoba, penyimpangan dalam penanganan kasus depo BBM ilegal, penyimpangan proses penyelidikan kasus pidana, kolusi pengelolaan kegiatan prostitusi, sindikasi tindak pidana bidang pertanahan, dan penyimpangan dalam penyelidikan dan penyidikan peredaran VCD bajakan.

Kata Orang Pintar dan Reformasi Polri dalam Fenomena Penahanan Ketua DPRD Kota Kupang
Cermatan berikut, penulis tidak melihat dalam konteks ranah hukum atau ranah penegakan UU tetapi lebih berfokus pada sejauhmana pemahaman akan konteks imunitas dipahami sebagai anggota legislator. Perlu ditekankan bahwa kita tidak berbicara pada konteks hukum, karena penulis berlatar belakang pendidikan rendah dan tak mengerti hukum, namun hanya ingin menggugah tabiat aktor negara (baik legislator, akademisi, maupun Polri) menjadi tindakan moral sesuai tuntutan reformasi moral walaupun secara struktur dan instrument banyak beradaptasi kontemporer.

Jika kata CM, setiap anggota legislator memiliki hak imunitas sehingga tidak dimungkinkan untuk diadukan dalam ranah hukum/pengadilan ketika mengenduskan pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan baik secara lisan maupun tertulis dalam rapat DPRD ataupun diluar rapat DPRD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD sesuai pasal 366 ayat 2 UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Ironis ketika hak imunitas yang dimiliki legislator digunakan untuk mengumpat dan memaki-maki hingga berujung pada penganiayaan. Kita mungkin masih ingat, dugaan penganiayaan Ketua DPRD Vecky Lerik disertai umpatan terhadap salah seorang Anggota DPRD Kota Kupang, Drs. Rudi Tonibesie. Saat itu Vecky dalam wewenangnya selaku ketua DPRD Kota Kupang mengatai sesama rekannya di Legislator dengan kata Monyet, binatang dan lain-lain hingga berujung pada indikasi penganiayaan. Kasus ini sementara dalam penyidikan kepolisian. Dan kini, hal yang sama juga terjadi pada Manajer PT. Suara Sejati. Mungkinkan imunitas itu dipakai sebagai ajang untuk memaki, mengumpat, mengancam dan menganiaya orang lain. Ataukah mungkin mengancam dan menganiaya orang lain merupakan wewenang dan fungsi dari keanggotaan DPRD sehingga diberikan hak imunitas seperti apa yang dikatakan CM? Meskipun kaum proletar/wong cilik tidak memahami secara eksplisit yang dimaksudkan orang pintar dalam UU No 27 pasal 366 ayat (2), namun dimungkinkan untuk menginclude-nya dalam perspektif moral.

Kata Jerry Pingak, setiap ada masalah jangan lagi diaspirasikan ke DPRD, masyarakat aspirasikan ke Polisi saja, karena jika ada masalah sedikit langsung dilaporkan ke polisi. Mungkinkah, legislator kita harus membuat statement begitu adanya. Ironis memang ketika orang yang dianggap untuk mewakilkan aspirasi rakyat belum mampu untuk mendewasakan diri dalam politik sehingga setiap persoalan selalu dihadapi dengan tindakan reaksioner emosional belaka. Ataukah mungkin, statement yang sering dilakonkan oleh legislator kita belum sepenuhnya terwakilkan secara holistik karena masih terwakilkan kepentingan golongan dan kelompok.

Kata Frans Rengka, Polisi sedang main-main dan ada unsur politiknya dalam penahanan Ketua DPRD Kota Kupang. Warga negara kini dibingungkan lagi dengan kata “main-main” yang dilontarkan Frans Rengka. Hukum tidak lagi dijadikan corong pencarian keadilan dan kebenaran karena dapat dimainkan demi kepentingan tertentu dan bukan lagi berasaskan rule of law. Kata “ada unsur politik” menjadi trend baru saat ini karena hukum tidak dipandang lagi sebagai instrument penegakan keadilan dan HAM namun dijadikan sebagai ladang korupsi guna mencari kue keuntungan dan mesin penarik uang dari pelaku. Pantasan juga, jika dalam setiap penegakan hukum, keadilan hanya dimiliki orang-orang berduit saja. Jika begitu adanya, benar jika dikatakan Reformasi Polisi gagal dalam menjajaki era demokratisasi.

Entah opini orang pintar tersebut diatas terwakilkan kepentingan mana, tetapi yang pasti seyogianya imunitas tidak dipakai sebagai impunitas dalam melakukan tindakan-tindakan demoralisasi yang juga dapat mengganggu privasi warga negara (human security). Jika bertalian dengan ranah hukum alangkah baiknya diselesaikan dengan prosedur dan mekanisme hukum tidak lagi mengumbar staetmen berjargon “kegagalan reformasi” jikalau masih dilakukan oleh aktor negara/pejabat publik meski dalam konteks masalah yang berbeda. Jadilah contoh pemikir pintar yang dapat diilhami dan adopsi oleh mereka yang terbatas dalam SDM seperti penulis yang dibingungkan dengan konteks imunitas seorang legislator.

Demikian juga Polri yang gencarnya dengan Reformasi Polisi, dikarenakan memperhatikan luasnya bidang yang menyangkut reformasi Polri, naïf jika reformasi tersebut secara previlegge dilaksanakan oleh Polri sendiri tanpa mengikutsertakan berbagai kalangan seperti politisi, akademisi, lembaga non pemerintah, praktisi hukum, dan masyarakat sipil lainnya. Akibat kurang optimalnya reformasi polri, hingga kini masih banyak masyarakat kecewa atas tindakan polisi dalam melaksanakan tugas seperti melakukan pungli, salah tangkap, memeras, memperkosa tahanan dan lain-lain.


TRANSLATE: