SELAMAT MEMBACA

Friday 13 December 2013

Bantuan Siswa Miskin yang Multi Tafsir



Oleh. Ian Haba Ora
(Ketua Forum Pemerhati Aspirasi Rakyat Kota Kupang)
Tulisan Ini Dipublikasi Oleh SKH KURSOR, 13 Desember 2013

Pengantar
Negara ini maju karena dipimpin oleh orang-orang cerdas! Dunia pendidikan adalah tempat berkumpulnya calon-calon pemimpin masa depan untuk belajar membentuk intelektual dan ahklak sehingga menjadi peka sesama dan lingkungan sekitar serta memiliki budi pekerti yang baik.

Pentingnya pendidikan dalam pembentukan calon-calon pemimpin masa depan, maka negara memiliki tanggungjawab untuk menjamin upaya pencerdasan anak-anak bangsa sehingga mampu mendapatkan taraf pendidikan yang berkualitas dan mumpuni keterjangkauan biaya pendidikan. Namun perihal demikian bertolak belakang dengan realitas pendidikan berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011 menemukan lebih dari 1,3 juta anak siswa di Indonesia putus sekolah sehingga menyebabkan peringkat indeks pembangunan rendah (EAGMR:2011). Kejadian ini menyebabkan Indonesia berada diperingkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index (Iskandar-YCAB, 2011). Sementara laporan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melaporkan setiap menit ada empat anak yang putus sekolah (Bunda, 2011).

Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan penyumbang terbesar masalah pendidikan di Indonesia, bahkan dari 33 provinsi yang disurvei, NTT berada pada urutan ke-33. Hal buruk pencitraan pendidikan di NTT yang tahun ke tahun tidak pernah terselesaikan. Bahkan pengakuan Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat DR. Jefri Riwu Kore, MM., MH menyebutkan bahwa negara menggelontorkan banyak duit ke NTT namun pendidikan di NTT masih tetap urutan terakhir dari harapan untuk terdepan.

Esensi Bantuan Siswa Miskin (BSM) bagi anak didik siswa
Keterpurukan pendidikan di propinsi NTT seharusnya menjadi perhatian serius semua pihak baik eksekutif, legislatif, dan masyarakat itu sendiri. Tingginya angka putus sekolah yang tinggi NTT juga tidak dapat diabaikan dari tingginya angka kemiskinan di propinsi ini. Menurut hasil survei Badan Pusat Statistik (2012) bahwa tercatat lebih dari satu juta orang atau 21% penduduk NTT yang tergolong miskin. Angka ini diprediksikan akan berbanding lurus dengan kemajuan kota dimana semakin majunya sebuah kota akan memobilisasi (migrasi) buruh migran untuk menuntut hidup dikota yang berdampak pada tingginya angka miskin. Dengan demikian akan terjadi pendulangan angka putus sekolah dari kaum-kaum termajinalkan (“dapat dikatakan miskin”).

Untuk menanggulangi kemiskinan dan upaya pencerdasan anak bangsa maka melalui kementrian pendidikan Republik Indonesia menggelontorkan triliunan uang ke NTT agar masyarakat terbantu dalam menunjang pendidikan anak didik NTT. Namun terkadang program pemerintah yang diputuskan melalui palu persidangan di Gedung Rakyat (Gedung DPR RI) terendus disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup kue-kue keuntungan. Dugaan banyaknya uang negara yang diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu menjadikan program yang baik ini tidak berjalan semestinya. Apalagi jika program yang dijalankan jauh dari pengawasan oleh rakyat maupun pemegang aspirasi.

Intisari pengawasan dalam fungsi kontrol oleh anggota DPR RI ini selama ini menjadi sebuah esensi pertanyaan sendiri ketika masyarakat mengeluh akan biaya pendidikan yang membengkak, dan yang lebih parah lagi adalah banyak beasiswa-beasiswa yang digelontorkan oleh pemerintah tidak diketahui masyarakat. Oleh karena itu, agar apa yang baik yang sudah diprogramkan oleh pemerntah sebaiknya mendapat perhatian pengawasan oleh anggota DPR RI.

Hegemoni Paradigma Warga
Angka fantastis tingkat kemiskinan di NTT meskipun secara gradual terjadi penurunan tahun 2013 namun secara samar-samar masih terliht terjadi kemiskinan dimana-mana. BPS (2013) melaporkan angka statistik jumlah penduduk miskin di NTT pada bulan Maret 2013 sebesar 993,56 ribu orang (20,03 persen), berkurang 6,73 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012 yang berjumlah 1.000,29 ribu orang (20,41 persen) dan berkurang sekitar 18,96 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2012 yang berjumlah 1.012,52 ribu orang (20,88 persen). Jika dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal, selama periode Maret 2012 – Maret 2013, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan maupun pedesaan masih tinggi dimana hanya terjadi penurunan persentase penurunan sebesar 0,68 persen untuk perkotaan dan 0,85 persen untuk pedesaan. Demikian juga, pada periode September 2012-Maret 2013, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami penurunan bawah kewajaran dimana Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 3,466 pada September 2012 menjadi 3,393 pada Maret 2013. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan turun dari 0,908 menjadi 0,875 pada periode yang sama.

Fenomena kemiskinan ini menjadi problema tersendiri yang pada akhirnya menjadi skeptis dan pesimistis pola reaksioner masyarakat pada kejadian-kejadian tertentu, khususnya pada Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang saat ini sedang digelontorkan oleh Pemerintah. “Subiantoro Tolak Bantuan JERIKO” begitu bunyi tag line pemberitaan Kursor (Rabu, 11/12/2013). Namun ketika dibaca, ikwal masalahnya adalah karena tidak mau menerima bantuan yang sama dengan nama dan jumlah uang yang sama, demikian ungkap Subiantoro Kepala SMK Negeri 1 Soe. Tetapi ketika saya membaca jenis surat dari Anggota DPR RI atas nama DR. Jefri Riwu Kore, MM.,MH tertulis jenis surat tersebut merupakan surat pemberitahuan kepada anak siswa bahwa nama-nama anak didik siswa pada SMK Negeri 1 Soe terdaftar dalam penerima BSM yang sedang digulirkan oleh pemerintah, dan itu merupakan perjuangan Bapak DR. Jefri R. Kore, MM.,MH sebagai satu-satunya anggota DPR RI yang duduk dikomisi X bidang pendidikan, pemuda dan olahraga, perpustakaan dan pariwisata.

Surat Pemberitahuan merupakan surat informasi kepada siswa sasaran termasuk orang tua agar dapat mengetahui bahwa nama mereka (siswa) telah terdaftar dalam daftar nama penerima Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang sedang digulirkan oleh Pemerintah Pusat, dan tidak merupakan jenis bantuan baru yang diberikan secara pribadi oleh rasa dermawan DR. Jefri Riwu Kore. Tujuan surat pemberitahuan tersebut merupakan tanggungjawab JEFRI RIWU KORE untuk terus mengawasi apakah bantuan beasiswa yang telah diputuskan bersama DPR RI sampai sasaran atau tidak, dan memang rakyat harus menuntut kerja-kerja anggota DPR RI seperti itu, sehingga tidak dijadikan paradigma bahwa menjadi anggota DPR RI adalah adalah datang, duduk, diam, dengar, dan duit (5D). Oleh karena itu melalui cara kerja JERIKO melakukan upaya sistematis untuk memantau pengawasan penyaluran Bantuan Siswa Miskin (BSM) di daerah-daerah apakah tepat sasaran atau tidak. Jika ditemukan hal-hal yang diselewengkan dari mekanisme penyaluran maka tugas beliau untuk mengadvokasi agar pelakunya dipidana atau mendapatkan konsekuensi hukum. Namun seringkali masyarakat menganggap sebagai upaya politisasi.

Pandangan kritis masyarakat ini belum tepat dikarenakan pandangan masih bersifat deskriptif multitafsir akibat belum terpahamnya pengetahuan tentang tugas pokok dan instruksi (TUPOKSI) anggota DPR RI. Secara aturan perundang-undangan, tugas anggota DPR, DPRD maupun DPD terdiri atas tiga, yaitu legislasi (pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan); budgeting (penetapan anggaran), dan pengawasan. Selama ini yang terjadi adalah setiap anggota legislator jarang melakukan pengawasan akan setiap program yang digelontorkan oleh Pemerintah.

Penutup
Skeptisme dan pesimistis warga terhadap upaya pengawasan setiap legislator kadangkala dianggap sebagai upaya politisasi oleh warga. Masyarakat pun lupa akan track record Caleg yang betul-betul memberikan bukti sebagai pertanggungjawaban publik. Tetap berjuang bung Jefri,  rakyat saat ini melihat bukti bukan janji.

JAMINAN PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP AKTIVIS HAK ASASI MANUSIA



Oleh. Ian Haba Ora
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT
(Tulisan ini dipublikasi oleh SKH TIMOR EXPRESS)
 
Pengantar
Merefleksi semangat reformasi tahun 1998 di Indonesia masih menyisahkan berbagai persoalan kekinian. Di jaman demokratisasi saat ini, negara masih memandang para aktivis Hak Asasi Manusia sebagai penghambat kehidupan bernegara. Labelisasi, stigmatisasi, dan kriminalisasi menjadi indikator penting strategi negara dalam mengintimidasi sekaligus merepresif aktivis pembela HAM di Indonesia. ironisnya lagi, negara dapat terlibat langsung dalam upaya penghilangan nyawa dan daya juang para aktivis melalui pembunuhan, penculikan, dan penganiayaan sering menjadi berita buruk yang tersiar dan ditonton negeri ini.

Pembunuhan Wartawan Jogja Udin, aktivis buruh Marsinah, kasus Munir, kasus pembunuhan terhadap jurnalis Papua, Ardiansyah Matrais, kasus penganiayaan terhadap aktivis anti-korupsi ICW, Tama S. Langkun, penganiayaan terhadap aktivis lingkungan Walhi Bali, I Wayan Suardana alias Gendo, Stigmatisasi komunis pada aktivis PIAR NTT dan beberapa pastor-pendeta merupakan gambaran masifnya penghargaan negara terhadap hak asasi manusia masih lemah.

Namun adahal lain bahwa labelisasi dan intimidasi terhadap Aktivis Hak Asasi Manusia tidak saja dilakukan oleh aktor negara, namun telah bergeser juga pada aktor-aktor non negara seperti kapitalis, milisi/premanisme, ormas-ormas, partai politik, terorisme, dan lain sebagainya. Bahkan dapat juga intimidasi dan represif pada aktivis merupakan konspirasi antara aktor negara dan aktor non negara.

Begitu rentannya aktivis Hak Asasi Manusia dari tindakan represif dan intimidasi negara dan non negara maka pejuang-pejuang HAM perlu dilindungi. Negara Indonesia merupakan negara hukum maka salah satu cara perlindungan terhadap mereka adalah melalui legislasi.

Aktivis Hak Asasi Manusia
Mencari defenisi aktivis Hak Asasi Manusia memang belum memiliki defenisi yang baku di Indonesia, namun secara kontekstual Aktivis atau pembela HAM dapat dikategorikan pada siapa saja baik individu ataupun organisasi yang mempromosikan HAM, dari level akar rumput hingga internasional, tidak memandang dari berbagai jenis kelamin, umur serta latar belakang, tidak juga hanya LSM (NGO).

Keterbatasan dukungan negara dalam perlindungan aktivis Hak Asasi Manusia menjadikan para aktivis HAM sering menjadi sasaran atau terget negara maupun non negara dalam membungkam semangat juang aktivis untuk mendukung dan mendorong nilai-nilai penegakan hak asasi manusia. Untuk itu diperlukan jaminan hukum akan eksistensi aktivis Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender).

Sebenarnya negara Indonesia sudah memiliki instrumen penghargaan terhadap pembela Hak Asasi Manusia (khususnya kerja-kerja HAM) seperti UUD 1945 amandemen Pasal 28C ayat (2), UU No 39/1999 Tentang HAM, UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM Berat, UU No 13/2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi. Turunan dari setiap jawaban instrumen tersebut tersebar dalam pembentukan lembaga-lembaga seperti KOMNASHAM, OMBUDSMAN, LPSK, dan lain sebagainya. Namun konteks instrumen tersebut sebatas pada cara kerja Hak Asasi Manusia belum pada perlindungan aktivis HAM. Pada akhirnya para aktivis HAM dapat diintimidasi, diteror, diancam, dikriminalisasi, dan bahkan dibunuh. Sungguh kontras antara paradigma kerja HAM dan Pekerja-Pekerja HAM.

Perlindungan terhadap aktivis HAM sangat diperlukan karena jika tidak terlindungi maka aktivis HAM selalu menjadi target dan sasaran. Meskipun saat ini draf RUU tentang perlindungan terhadap pembela HAM telah ada dalam jadwal PROLEGNAS namun masih kabur dalam proses pembahasannya. DPR sebatas memasukkannya pada agenda Prolegnas namun tidak ada kepastian pembahasannya. Seharusnya Indonesia sebagai negara yang memiliki otoritas politik dalam legislasi perlu mendorong semangat juang perlindungan Hak Asasi Manusia seperti pada kewajiban negara yang telah diatur dalam “Declaration on the Rights and Responsibility of individuals, Groups, and Organs of Society to promote and Protect universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”, dinyatakan untuk melindungi memajukan dan melaksanakan HAM secara keseluruhan; menjamin bahwa semua orang dalam yuridiksinya dapat menikmati semua hak-hak sosial, ekonomi, politik serta hak-hak dan kebebasan lainnya; mengadopsi dalam lingkup legislatif, administratif dan tahapan lain yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan yang efektif dari hak dan kebebasan tersebut; menyediakan penggantian yang efektif terhadap korban HAM; melakukan investigasi yang cepat dan tepat serta imparsial terhadap pelanggaran HAM yang terjadi; melakukan semua langkah yang dibutuhkan untuk menjamin perlindungan terhadap setiap orang dari segala pelanggaran, ancaman, pembalasan, tindakan diskriminasi, tekanan, atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari kegiatan yang sah menurut deklarasi pembela HAM; memajukan pemahaman publik tentang hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; menjamin dan mendukung pembuatan dan pengembangan institusi nasional independen untuk memajukan dan melindungi HAM; memajukan dan memfasilitasi pendidikan HAM pada semua level baik pendidikan formal maupun non formal.

Negara Wajib Melindungi Aktivis HAM
Kompleksnya otoriansime dan totaliter negara dalam merepresif dan menjustifikasi aktivis HAM dengan berbagai indimidasi dan kriminalisasi bahkan pembunuhan menjadikan kerja-kerja aktivis HAM tidak optimal dan bahkan terancam nyawa setiap kali melakukan tugas dan kerja-kerja HAM. Selain kekuasaan negara, pekerja HAM juga berhadapan dengan aktor-aktor non negara seperti milisi, premanisme, ormas-ormas intoleransi, hingga partai politik menjadikan pekerja HAM selalu terancam dari segala sisi.

Perjuangan pembela HAM untuk mendapat jaminan perlindungan negara akan kerja-kerja aktivis HAM tidak harus dipandang sebagai kekhawatiran pembela HAM terhadap taruhan nyawa dan idealisme karena menjadi pembela HAM maka resiko utama yang harus dihadapi adalah siap “mati” dalam kondisi apapun. Perlindungan yang dimaksudkan adalah agar apa yang dikerjakan aktivis HAM lebih optimal dan terhindar dari intimidasi dan kriminalisasi negara. Diharapkan ketika seorang aktivis dibungkam maka kerja-kerja perjuangan HAM tetap dilakukan oleh yang lain (continuitas). Bahkan ketika negara menghambat dalam kerja-kerja HAM, dapat diminta pertanggungjawabannya termasuk aktor-aktor non negara.

Sehingga menurut saya, Undang-Undang khusus perlindungan terhadap aktivis HAM perlu dilakukan oleh negara melalui kebijakan politik, meskipun tidak, negara harus berani untuk merevisi UU HAM agar memasukan pasal yang memuat khusus tentang perlindungan terhadap pembelah HAM. Maksudnya adalah memberi kepastian kerja-kerja pembelah HAM dan memberi impunitas atas perjuangan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia.

TRANSLATE: