SELAMAT MEMBACA

Tuesday 11 February 2014

SINDIKAT CURANMOR DI INSTITUSI POLDA NTT



Oleh. Ian Haba Ora
Wakil Sekretaris Forum Pengawas Independen Polri NTT
Opini ini dipublikasi SKH Timor Express pada Selasa, 11 Februari 2014

Pengantar
“Saya akan segera pecat oknum anggota Polri. Saya tidak ada urusan karena oknum itu telah merusak citra korps kepolisian. Masa polisi terlibat sindikat curanmor. Itu sangat memalukan,” ungkap Kapolda NTT Ricky HP Sitohang ketika salah satu anggota Polri pada Propam Polda NTT Bripka Jhon Lou (JL) ditetapkan sebagai tersangka Curanmor (http://www.suarakarya-online.com).  Selain tersangka JL, Polda juga memproses tiga anggota polisi yang terlibat kasus pencurian motor (curanmor) yang terjadi di NTT. “Tidak boleh polisi yang menjadi pencuri,” lanjut Sitohang pada media massa sekitar Januari 2012 (http://www.nttterkini.com). 

Tribunnews.com sekira Nopember 2012 memberitakan bahwa selain Bripka JL, pelaku curanmor melibatkan polisi juga di sangkakan pada Bripka TF anggota Polda NTT. TF bertindak sebagai penadah dan distributor meloloskan kendaraan curanmor keluar daerah bahkan lintas negara. Pelaku berseragam polisi yang terduga dan tertangkap tersebut merupakan manifestasi dan gambaran bahwa di aparatur hukum sendiri tidak steril dari sindikat-sindikat kejahatan seperti curanmor yang marak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ironis lagi bahwa sindikat ini telah melibatkan jaringan lintas batas baik nasional dan internasional, pelaku utamanya pun disebut-sebut adalah polisi.

Tidak tegasnya korps polisi dalam menindak anggotanya untuk profesional dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas dan instruksi sebagai pelindung, penjaga keamanan dan ketertiban, pelayan masyarakat, dan penengak hukum makin menyemangati anggota polri untuk berbuat kejahatan. Buktinya, Bripka John Lou yang telah menjadi napi curanmor tahun 2012 lalu, harus kembali berurusan dengan institusinya karena terlibat kejahatan yang sama sebagai residivis curanmor. Menjalani hukuman sebagai pelaku kejahatan diterali jeruji sel tidak mampu mengubah tabiat kejahatan dari anggota Polri ini. Bahkan janji Kapolda Sitohang untuk memecat anggota yang terlibat curanmor tidak mampu dilakukan sampai saat ini ketika jabatan Kapolda telah berganti ke Brigjen Untung Yoga Ana.

Sulit terungkapnya kasus curanmor di NTT dapat diindikasikan sebagai bentuk dukungan Polda NTT untuk mendukung makin maraknya kejahatan Curanmor. Berbagai daya keterlibatan Polri pun diakui oleh pimpinan Polres-Polres di NTT bahwa sulitnya pengungkapan Curanmor di NTT karena jaringan ini telah masif dan berakar di NTT (Haba Ora, 2014). Tertangkapnya Bripka JL sebagai residivis curanmor pada Sabtu (8/2/2014) Sore di Perumahan BTN Kolhua merupakan tamparan pada korps kepolisian sebagai institusi penegak hukum yang dapat dipameokan sebagai pemelihara pencuri.

Masyarakat kini bertanya-tanya, mampukah Polri (Polda NTT) menuntaskan keterlibatan anggotanya sebagai sindikat curanmor. Masyarakat NTT telah direcoki citra buruk kepolisian sebagai institusi yang tumpul dan impoten mengungkap setiap kejahatan curanmor di NTT. Sulit dan rumit pengungkapan kasus curanmor di NTT oleh pihak kepolisian dapat dianggap justifikasi sebagai dukungan dan spirit korps berbaju coklat mendukung aksi kejahatan curanmor. Lebih ironi, Polda NTT terkesan melindungi anggotanya yang terlibat dalam sindikat curanmor. Janji Kapolda untuk memecat anggotanya yang terlibat sindikat curanmor hanya sebatas ungkapan majas dan pemanis untuk tidak perlu dibuktikan.

Polisi Profesional dan Akuntabilitas
Keterlibatan anggota Polri dalam sindikat kejahatan telah menjadi rahasia umum. Sindikat kejahatan curanmor hanya menjadi lembaran kasuistik yang ditelaah Polri, namun jika dibedah lebih mendalam, keterlibatan anggota polri dalam sindikat kejahatan ibarat gunung es, sedikit yang tampak namun meluas yang belum terungkap. Jika lembaga korps saja sebagai institusi penegak hukum telah diperkosa oleh infiltrasi sindikat curanmor, bagaimana dengan warga negara yang selama ini mengharapkan dan menumpuhkan harapan agar polisi makin profesional dan akuntabel.

Profesional mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian berdasar pendidikan dan latihan sesuai tupoksi kepolisian, layanan publik terbaik, otonom, memiliki mekanisme dan lembaga kontrol kinerja kepolisian, memiliki asosiasi organisasi profesi sebagai aplikasi pengabdian dan kode etik, dan arah tujuan organisasi polisi. Sedangkan akuntabilitas lebih mengacu pada tiga elemen, yakni: pertama, asweribility dimana polisi mengacu pada kewajiban memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang dilakukan; kedua, enforcement, mengacu pada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggota apabila mereka mangkir dari tugas negara atau publik; dan ketiga, punishibiliy, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindakan pidana (Widodo Umar, 2009).

Ternyata, apa yang telah digariskan dan ditumpuhkan warga negara kepada kepolisian  agar profesional dan akuntabilitas sebatas retorika absurt. Masyarakat semakin tidak mempercayai polisi, akibatnya adalah ungkapan-ungkapan kekesalan dan kekecewaan warga negara kepada kepolisian di negeri ini.

Ditetapkan Bripka JL sebagai tersangka jaringan curanmor di NTT seharusnya menjadi ujian Polda NTT untuk lebih memaksimalkan upaya profesional dan akuntabilitas polri sebagai institusi penegak hukum. Pengungkapan kasus-kasus curanmor yang belum terselesaikan hingga saat ini, sekiranya menjadi perhatian serius aparatur hukum untuk membarantas kejahatan curanmor dan sebagai bentuk membangun kepercayaan masyarakat (trust building).

Polisi di Indonesia Tidak Berbobot
Warga negara menjadi lesu dan pesimis akan eksistensi kepolisian dalam mengungkap dan memberantas bentuk-bentuk kejahatan di negeri ini, apalagi jika pelaku kejahatan tersebut merupakan jaringan sindikat anggota kepolisian. Rasa pesimistis dan apriori terhadap polisi menjadikan institusi polri semakin memiliki citra buruk di kacamata warga negara. Ini dibuktikan hasil Survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dirilis Senin (1/12/2010) membeberkan bahwa Polri sebagai lembaga pencitraan buruk karena mendapat nilai dibawah rata-rata yaitu 6 (http://politik.news.viva.co.id/news/read/186193). Hasil riset Transparency International Indonesia (TII) melalui Global Corruption Barometer (GCB) menyebutkan bahwa kepolisian dianggap sebagai lembaga terkorup dalam kaitan dengan pelayanan publik. 53 persen dari 1000 responden menyatakan polisi selalu meminta bayaran suap saat berurusan dengan mereka (http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/11). Demikian juga berdasar hasil survei Corruption Perception Index (CPI) 2013, Polri masih menjadi lembaga terkorup di Indonesia.

Tiga data hasil survei tersebut merupakan gambaran tingkat kepercayaan masyarakat pada Polri yang semakin menurun seiring dengan cara pandang warga negara akan ketidakprofesionalan Polri dalam memberi perlindungan dan penegakan hukum di warga negara. Warga negara sangsi akan kemampuan Polri dalam menuntaskan kejahatan-kejahatan di wilayah operasional Polri, apalagi jika pelaku merupakan anggota korps. Perilaku-perilaku korup dalam institusi sering menciderai nilai-nilai hukum di negeri ini. Dimungkinkan bahwa perilaku korup anggota Polri berimbas pada perilaku anggota Polri dalam sindikat curanmor. Temuan-temuan fakta lapangan ini menjadikan institusi Polri merupakan institusi yang tidak berbobot.

POLDA HARUS BERSIKAP
Kejahatan-kejahatan yang melibatkan anggota Polri harus mendapat penghukuman setimpal untuk membersihkan citra buruk kepolisian. Kapolda NTT tidak harus selalu menghiasi pemberitaan media massa dan eletronik dengan kata-kata manis, namun tidak ada sesuatupun yang terealisasi. Ini dimaksudkan agar masyarakat mampu merasakan bukti keseriusan Kapolda sebagai pimpinan tertinggi untuk merespon dinamika kejahatan yang terjadi.

Meskipun Indonesia telah banyak mengatur instrumen sikap dan tingkah laku korps coklat ini sesuai dengan kemajuan dan teknologi namun belum diikuti oleh kemajuan reformasi struktur dan perubahan perilaku anggota yang koruptif dan riskan sindikat dalam institusi. Kapolda harus sadar akan penyusupan benalu sindikat kejahatan dalam institusi yang menggunakan kewenangan kepolisian untuk memuluskan aksi-aksi kejahatan. Polda NTT pun tidak perlu tertutup atas segala proses hukum yang sedang dilakukan pada tersangka curanmor maupun kejahatan lain yang melibatkan polisi sebagai pelaku agar tingkat pengawasan dan kontrol masyarakat dapat maksimal memulihkan citra polisi yang buruk. Sejauh mana profesioanlitas dan akuntabilitas Polri dalam mengungkap setiap kejahatan anggota Polri akan berkorelasi positif tingkat kepercayaan masyarakat polri. Meskipun Polri gagal dalam desighn strategic 2005-2010 dalam pembangunan kepercayaan masyarakat, namun belum bisa dikatakan gagal ketika Polri ingin berusaha.

Penutup
Kasus curanmor yang melibatkan salah satu anggota Propam Polda NTT dan bahkan telah menyandang status residivis merupakan tamparan keras yang harus segera direspon Polda NTT untuk bersikap sebagai penegak hukum agar etika profesional dan akuntabilitas polri dapat terukur. Selama ini, jika kasus kejahatan melibatkan anggota Polri maka yang terjadi adalah Polri terkesan menutupi agar tidak diketahui publik. Apabila telah diketahui publik dan menjadi booming maka Polri akan berargumentatif sebagai kejahatan oknumisasi. Cara-cara ini merupakan strategi lama yang belum hilang di tubuh Polri sebagai semboyan e spirit de corps (semangat melindungi korps).

Monday 10 February 2014

REFLEKSI PELAYANAN PUBLIK KOTA KUPANG



Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Freepublik PIAR NTT
Tulisan ini dipublikasi Harian Kota Kursor pada Senin, 10 Februari 2014

Pengantar
Intisari dari suatu pendekatan pemerintah untuk memaksimalkan dan memajukan kesejahteraan warga sesuai amanat Undang-Undang Pemerintah Daerah yaitu dengan memberlakukan otonomi daerah (Otda). Otonomi dimaksudkan sebagai pemberian kewenangan pada pemerintah daerah untuk mengurus urusan rumah tanggahnya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini digunakan untuk memaksimalkan pelayanan dan pendekatan pada warga demi mencapai tujuan kesejahteraan.

Ironi ketika tujuan mulia dari instrumen hukum tersebut dianggap sebagai pemberian kedaulatan pada daerah untuk berbuat apa saja sesuai dengan kepentingan kelompok dan golongan. Otonomi daerah dianggap sebagai pemberian hak mutlak pada daerah untuk berbuat apa saja, sehingga pada akhirnya membentuk raja-raja di daerah. Dampak dari penafsiran otonomi daerah yang salah ini mengakibatkan warga selalu terdiskriminasi dan tereliminasi dari serangkaian kewajiban negara untuk meningkatkan mutu pelayanan.

Kekacauan mutu pelayanan yang terjadi mengakibatkan rakyat selalu mengeluh dan tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara untuk menerima layanan pemerintah yang responsif, adil, murah, dan berkualitas. Lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik menjadi positivisme warga mendapat ruang untuk berpartisipasi dan menuntut kewajiban pemerintah untuk memberikan mutu pelayanan yang berkualitas. Instrumen ini menegaskan bahwa pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara publik.

Kota Kupang sebagai barometer propinsi untuk meningkatkan pelayanan publik bagi warga negara masih memberikan diskriminasi pelayanan seperti pungutan liar, biaya administratif yang mahal, ketiadaan sarana dan prasarana publik, sikap petugas tidak ramah, perbedaan pelayanan, birokratisasi yang berbelit-belit menjadi contoh buruk indikasi pelayanan publik di Kota Kupang.

Refleksi Pelayanan Publik Kota Kupang
Berharap adanya pelayanan publik yang masksimal tidak saja dibutuhkan kesiapan daerah untuk memenuhi prosedur pelayanan namun lebih daripada itu adalah sejauhmana pemerintah mampu memberikan kondisi aktual melalui kebijakan dan program yang menyentuh warga negara. Memaksimalkan kinerja penyelenggaraan publik di Kota Kupang maka Freepublik dan PIAR NTT melakukan mobile complain (pengaduan keliling) untuk mencari tahu respon warga dalam menilai wujud pelayanan publik di Kota Kupang.

Mobile complain  merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan respon masyarakat atas pelaksanaan pelayanan publik di Kota Kupang. Respon masyarakat atas pelaksanaan pelayanan publik bukan merupakan suatu upaya mencari salah dan benar tetapi merupakan alat untuk mendorong pelayanan publik yang adil dan berkualitas. Hasil temuan lapangan Freepublik dan PIAR NTT pada kegiatan mobile complain sejak Desember 2012-Desember 2013 pada 1035 responden menemukan bahwa diwilayah Kota Kupang jumlah pengadu atas layanan publik lebih didominasi laki-laki sebanyak 583 orang (56%) sedangkan perempuan sebanyak 452 orang (44%). Berdasarkan kelompok umur, persentase tertinggi lebih didominasi kelompok umur usia 17-26 tahun (40%), diikuti kelompok umur 27-36 tahun (26%), kemudian kelompok umur 37-46 tahun (21%). Sedangkan kelompok usia yang lain berada pada posisi 7%.

Bidang layanan publik yang disoroti warga lebih pada lima jenis bidang layanan yaitu kesehatan, pendidikan, kelistrikan, perizinan, dan administrasi kependidikan. Jika diperhatikan berdasarkan jenis kelamin maka perempuan lebih banyak merespon bidang pelayanan kesehatan (125 responden), sedangkan laki-laki lebih banyak merespon pada bidang pelayanan lain seperti air bersih, pengurusan sertifikat tanah, sampah, insfrastruktur jalan, kebersihan serta penataan pasar, dana BLSM dan dana PEM sejumlah 145 responden. Berdasarkan umur maka bidang layanan publik kesehatan, pendidikan, kelistrikan, serta pelayanan Aminduk lebih banyak diresponi oleh responden kelompok umur 17-26 tahun. Sedangkan untuk bidang layanan perizinan dan bidang layanan lainnya lebih didominasi kelompok umur 37-46 tahun.

Syarat administrasi yang berbelit-belit, transparansi biaya belum jelas, sikap petugas yang tidak ramah, fasilitas kurang memadai, ketidakjelasan prosedur layanan, waktu pelayanan, dan lainnya merupakan sorotan pengaduan dan keluhan warga pada kegiatan mobile complain. Berdasarkan jenis kelamin, data yang ada menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak merespon pada jenis keluhan biaya dengan jumlah 211 responden, sedangkan laki-laki lebih banyak merespon pada jenis keluhan ketidakjelasan prosedur layanan sejumlah 195 responden. Jika berdasarkan kelompok umur, maka jenis keluhan lebih didominasi oleh kelompok umur 17-26 tahun. Sedangkan untuk jenis keluhan layanan lainnya lebih didominasi kelompok umur 27-36 tahun.

Berdasarkan sikap warga terhadap jenis keluhan maka yang pernah dilakukan adalah melaporkan kepada unit layanan/pimpinan dari unit layanan terkait, mengikuti alur dari petugas, tidak tahu mengadu kemana, melakukan protes langsung terhadap petugas, menerima kondisi tersebut atau pasrah, tidak melakukan apapun (diam), menyampaikan lewat kotak saran atau nomor telepon pengaduan, mengeluhkan ke sesama warga, menyampaikan ke media massa, menyampaikan ke aparatur kelurahan, menyampaikan aspirasi ke legislatif, serta melaporkan ke Ombudsman. Menuntut perbaikan layanan maka warga berharap agar penyelenggara layanan harus lebih responsif dan peka terhadap keluhan masyarakat serta tidak membedakan pelayanan kepada masyarakat dari strata sosial dan ekonomi; adanya perbaikan sikap petugas agar lebih ramah dalam pelayanan, bila perlu diberikan sosialisasi tentang cara melayani sesama agar masyarakat merasa lebih nyaman (melayani dengan hati); harus ada standar baku tentang waktu pelayanan serta biaya pelayanan, jika memungkinkan digratiskan; pemerintah lebih tegas dalam menerapkan sanksi bagi petugas unit layanan yang bermasalah atau melanggar aturan; pemerintah lebih banyak membuka ruang-ruang publik bagi masyarakat agar pemerintah dapat mengetahui kesulitan dan permsalahan yang dialami oleh warga masyarakatnya; adanya informasi terbuka yang disampaikan kepada masyarakat terkait prosedur pelayanan agar masyarakat tidak dipersulit dan pelaksanaannya tidak berbelit-belit; masyarakat perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik; pemerintah daerah untuk segera menindaklanjuti keluhan-keluhan masyarakat, agar masyarakat memiliki kepercayaan terhadap kerja pemerintah.

Memaksimalkan pelayanan yang profesional dan akuntabel di Kota Kupang maka perlu direkomendasikan agar standar pelayanan pada setiap lembaga pemberi layanan perlu dibuat dan dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku; ruang ekspresi publik yang dibuat oleh pemerintah Kota Kupang perlu dikembangkan pada level kecamatan dan ada konsentrasi pada bidang-bidang tertentu; serta posko-posko pengaduan yang dibentuk warga tidak dianggap sebagai musuh namun lebih dianggap sebagai mitra dalam partisipasi publik.

Resolusi Penataan dan Peningkatan Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Memastikan adanya urgensi perbaikan dan peningkatan penyelenggaraan publik di Kota Kupang maka perlu dilakukan resolusi-resolusi oleh Pemerintah Kota untuk memaksimalkan penyelenggaraan pelayanan publik. Tiga hal dalam resolusi tersebut adalah instrument, structure, and culture berbasis pengawasan.

Instrumen bertujuan untuk memastikan adanya standar yang baku baik berupa Standar Pelayanan Minimal (SPM), Standart of Procedure (SoP), Petunjuk Teknis (Juknis), Petunjuk Pelaksana (Juklak), dan lainnya sebagai pengaturan pelayanan. Instrumen ini juga memungkinkan adanya partisipasi warga dalam melakukan pengawasan berbasis kinerja dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Structure merupakan bentuk pengaturan koordinasi dan komando antara pelaksana dan konseptor penyelenggara pelayanan publik agar lebih memaksimalkan kualitas layanan. Selain itu, strukture mengatur adanya mekanisme komplain dari hulu sampai hilir penyelenggara layanan dan penerima layanan. Jika instrumen dan struktur dapat berjalan maksimal maka dengan sendirinya akan mempengaruhi culture dari penyelenggara layanan.

Jalannya suatu proses layanan menjadi baik jika adanya partisipasi warga sebagai penerima layanan. Oleh karena itu bentuk-bentuk pengawasan warga perlu digalakkan agar menjadi optimisme mendapatkan layanan yang baik. DPRD sebagai aspirasi harus berani menegur mitrannya jika terdapat degradasi maupun manipulasi dalam penyelenggaraan layanan publik. Jika terdapat penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan penyelenggara maka pihak aparat hukum perlu mendalaminya sebagai bentuk pelanggaran kriminal. Media massa sebagai pembentuk opini warga wajib memantau jalannya penyelenggara publik sebagai media informasi. Semuanya akan baik jika pimpinan daerah maupun pimpinan SKPD mampu memaksimalkan pengawasan internal dan selalu berpegang pada prinsip profesional dan akuntabel.

Penutup
Pelayanan publik akan baik jika terjadi multi layered system (pengawasan berlapis) yang terjadi di masyarakat, pemerintah, DPRD, dan aparatur hukum. Pelayanan publik tidak harus gratis dan subjektif namun lebih ditekankan sejauhmana peyelenggaraan publik terjadi secara profesional dan akuntabel.

Sunday 9 February 2014

HENTIKAN DISKRIMINASI DISABILITAS!



Oleh. Fellyanus Haba Ora
Ketua Freepublik PIAR NTT
Tulisan ini dipublikasi Harian Kota KURSOR (Kamis, 6 Februari 2014)

Pengantar
Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas (Anak Berkebutuhan Khusus/ABK) harus dihentikan. Kehadiran pendidikan inklusi merupakan langkah menghilangkan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Pendidikan inklusi merupakan pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi masih belum terlaksana maksimal kerena tidak terakomodasinya kebutuhan siswa di luar kelompok siswa normal. Demikian intisari yang dikemukakan Kabid Pendidikan Inklusi Dinas P dan K NTT Sunarto pada seminar di UPTD Dinas Sosial NTT Sabtu, 1 Februari 2014.

Bagaimanapun usaha pemerintah untuk memaksimalkan dan mengoptimalkan keterbukaan ABK untuk berinteraksi dan bernormalisasi di lingkungan masyarakat akan terasa sulit diterapkan ke masyarakat karena paradigma warga yang belum sadar untuk menganggap ABK sebagai bagian dari hidup manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya lebih untuk mengintensifkan cara yang lebih memaksimalkan cara pandang agar masyarakat lebih terbuka dalam menerima ABK sebagai esensi dari Hak Asasi Manusia.

Cara lebih kontinue dan lebih aktif adalah dengan cara membentuk komunitas-komunitas ABK diseluruh negeri untuk menjadi wadah naungan aspirasi dan perjuangan merebut simpati warga negara. Komunitas AIDS mampu merebut simpatik warga untuk menerima kaum ini sebagai bagian dari warga negara, begitupun komunitas Lepra mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan bidang kesehatan untuk memberikan ruangan khusus bagi penderita lepra melakukan pengobatan dilingkungan kesehatan. Demikian juga kaum Waria sedikit demi sedikit mulai menunjukkan eksistensi sebagai bentuk apresiasi dan kreativitas melakukan perjuangan aspirasi dan inovatif berdasarkan soft skill yang dimiliki. Selama ini Pemerintah terlalu banyak mengatur dan campur tangan terhadap eksistensi ABK sehingga dapat menciptakan ketergantungan berlebih pada pemerintah. Seharusnya Pemerintah hanya menjadi fasilitator dan mediator saja bukan untuk mengatur.

Diskriminasi ABK
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan anak yang mengalami keterlambatan lebih dari dua aspek perkembangan dan lebih dari satu tingkat umur atau anak yang mengalami penyimpangan. Gangguan dan hambatan dalam beberapa aspek, yaitu: fisik (tunanetra, tunarungu, tunadaksa); bahasa dan komunikasi (tunarungu, anak dengan gangguan komunikasi); emosi dan perilaku (tunalaras); sensorimotor (tunadaksa); intelektual (tunagrahita); bakat (umum dan khusus); authisme; gangguan belajar (learning disabilities). Para penyandang ini mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan sekitar terlebih dari negara. Khusus pendidikan para penyandang belum sepenuhnya mendapat pengakuan yang sama dengan anak-anak yang tergolong normal. Data Kementrian Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa baru 40% atau 16 ribu jiwa anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang tersentuh pendidikan dari 300 ribu jiwa lebih penyandang anak berkebutuhan khusus (http://www.portalkbr.com/). Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan Kecacatan Nusa Tenggara Timur (FKKADK NTT) melaporkan data penyandang disabilitas di NTT mencapai 30 ribu orang lebih. Sejumlah sepuluh ribu orang anak diantaranya merupakan penyandang difabilitas. Sekitar 3.370 orang diantaranya mengikuti pendidikan SDLB, SMPLB, dan SMA Luar Biasa. Selebihnya belum mengecap pendidikan diberbagai lembaga pendidikan (http://teenvoice.co.id/2012/04/26/).

Keterlambatan ABK dalam bertindak, berpikir, maupun bersosialisasi mengharuskan anak dengan status ABK tereliminasi dari hak-hak sebagai warga negara. Kebutuhan akan pendidikan tidak menjadi perhatian utama dari Pemerintah meskipun secara konstitusi telah menggarisbawahi bahwa kewajiban negara adalah mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Ironi ketika konstitusi tersebut hanya menjadi pedoman baku yang terus tercatat dalam dokumen negara namun mubazir. Pemerintah Daerah pun cenderung mendominasi pendidikan merujuk pada formalisasi infrastruktur bagi lembaga pendidikan normal.

Selama ini perjuangan Pemerintah hanya memaksimalkan program-program ABK dibidang pendidikan belum pada multi sektor. Padahal diskriminasi yang terjadi di ABK terjadi diseluruh sektor. Misalkan program-program kebijakan daerah masih pada perspektif warga yang normal belum pada warga berkebutuhan khusus. Salah satu cara perjuangannya adalah melalui politik. ABK sampai saat ini belum satupun yang mampu bersaing dikontes perpolitikan Indonesia. Kemenangan-kemenangan ABK dalam lomba disabilitas nasional menjadi contoh kemampuan bakat yang dimiliki oleh kaum ABK. Penemuan-penemuan dibidang riset dan kajian intelektual juga mampu ditorehkan oleh ABK. Atlet-atlet nasional bidang olahraga juga telah mampu diberikan oleh ABK. Jabatan-jabatan struktural pemerintahan belum mampu terakomodir dalan sistem pemerintahan baik nasional maupun daerah. Jika kita mencontohkan bagaiman komunitas-komunitas kaum perempuan memperjuangkan gender mampu merebut simpatik dan empati negara melalui perjuangan-perjuangan riil dimasyarakat. Itu semua dikarenakan komunitas perjuangan.

ABK perlu diberi ruang khusus untuk berskspresi dan berinovasi melalui komunitas-komunitas sebagai wadah ekspresi dan aspirasi memperjuangkan hakekat ABK. Contoh Martha seorang slow learner sebagai pengusaha sukses dan pengajar pascasarjana Universitas Indonesia hanya sebatas narasi yang diketahui oleh suksesnya bagi orang normal (http://rizkipuspa-plbuns2012.blogspot.com). Habibie Afsyah dengan keterbatasan fisiknya mampu mendulang sukses dan prestasi menguasai teknologi komputer dan internet (http://wismakreatif.blogspot.com). Siswa penyandang disabilitas asal NTT berhasil meraih empat medali emas dalam ajang paragemes (olahraga bagi penyandang disabilitas) di Myanmar (Victory News, Selasa-4 Februari 2014). Alesandro Aurel Amadeo Nadeak pengidap down syndrome (kelainan genetik yang terjadi pada kromosom 21) mampu berprestasi di dunia musik, bahkan menjadi pengajar pada penderita disabilitas yang lebih usia (http://news.liputan6.com). cerita-cerita sukses tersebut hanya menjadi dokumen kebanggaan negara namun belum terekspos secara masif yang dapat diketahui masyarakat.

Intensif Komunitas Memaksimalkan Prestasi ABK
Ketika Francis Xavier pergi sendirian ke berbagai benua untuk memberitakan Injil, Ia menemukan kekuatan dalam kesadaran bahwa Ia adalah milik sebuah komunitas yang mendukung dia dalam doa dan kasih persaudaraan. Dan banyak orang Kristen yang memperlihatkan ketekunan dalam menjalankan tugas yang berat sendirian, menemukan kekuatan mereka di dalam ikatan dengan komunitas yang didalamnya mereka melakukan pekerjaan mereka (http://www.dci.org.uk/zipped/komunitas.pdf). Hillery (1995) menyatakan komunitas dapat didekatkan melalui sekelompok orang, interaksi secara sosial diantara anggota kelompok itu, dan berdasarkan adanya kesamaan kebutuhan atau tujuan dalam diri mereka atau diantara anggota kelompok yang lain, serta adanya wilayah-wilayah individu yang terbuka untuk anggota kelompok yang lain.

Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski dalam tulisan Andhika Dutha Bachari (2011) melihat komunitas sebagai segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat (komunitas) ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri, yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Dengan demikian komunitas (community) adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai persamaan nilai (values), perhatian (interest), yang merupakan kelompok khusus dengan batas-batas geografi yang jelas, dengan norma dan nilai yang telah melembaga (Sumijatun dkk., 2006). Mubarak (2006) mencontohkan komunitas-komunitas ini seperti kelompok ibu hamil, kelompok ibu menyusui, kelompok anak balita, kelompok lansia, kelompok masyarakat dalam desa binaan, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam kelompok masyarakat ada masyarakat petani, masyarakat pekerja, masyarakat petani, masyarakat pedagang, masyarakat pekerja, masyarakat terasing, dan sebagainya.

Perjuangan akan nilai dan kepentingan harus melalui wadah organisasi. Namun selama ini, khusus ABK tidak pernah terakomodir dalam sebuah wadah perjuangan yang masksimal karena lebih banyak campur tangan pemerintah. Seharusnya pemerintah mampu memediasi dan memfasilitator pembentukan komunitas-komunitas ABK untuk melanjutkan perjuangan-perjuangan dan potensi-potensi yang dimiliki ABK. Berbicara ABK yang lebih memahami adalah ABK bukan orangnon ABK. Kebijakan yang pro akan ABK harus diperjuangkan sendiri oleh ABK tidak bisa maksimal oleh pemerintah.

Komunitas akan sangat mendukung kerja-kerja dan potensi ABK dalam normalisasi dan adaptasi ABK terhadap lingkungan sosial maupun multi sektor. Meskipun peran orang tua dan pemerintah sangat mampu dan berkontribusi terhadap pemberdayaan ABK namun masih diperlukan pembenahan-pembenahan dibeberapa potensi harus dimaksimalkan. Apa yang dibutuhkan oleh ABK, hanya ABK yang mengetahui kebutuhan dan perilaku mereka. Oleh karena itu, Pemerintah harus memberikan kesempatan pada ABK untuk memaksimalkan potensi ABK sebagai kaum terdiskriminasi yang mencari jati diri.

Penutup
Setiap orang memiliki potensi dan bakat masing-masing termasuk ABK. Komunitas merupakan strategi untuk wadah perjuangan aspirasi dan potensi. Keteraturan cara pandang dan bertindak akan cepat terealisasi ketika tanggungjawab langsung diberikan pada kaum termarginalisasi. Pemerintah harus mampu memediasi dan memfasilitasi kebutuhan dan aktivitas ABK. Pemerintah juga harus sinkronisasi sosialisasi massif pada masyarakat untuk mampu menerima ABK sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hentikan dikriminasi disabilitas!

Tuesday 4 February 2014

NTT MENUJU PROVINSI CURANMOR



Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Freepublik PIAR NTT
(Tulisan ini dipublikasi SKH Timor Express pada Selasa, 4 Februari 2014)

Pengantar
Pemberitaan kriminal media massa akhir-akhir ini di Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi trend dengan berita kasus pencurian kendaraan bermotor (Curanmor). Setiap hari, polres kota maupun kabupaten selalu teregistrasi laporan kehilangan kendaraan bermotor. Berbagai daya dan energi dikerahkan oleh aparat kepolisian dalam mengungkap pelaku-pelaku Curanmor perlu diberi apresiasi atas tertangkapnya bandar-bandar penadah maupun pelaku. Namun apadaya kinerja Polisi selalu terlambat dalam mengembalikan barang bukti berupa kendaraan bermotor hasil curian. Setiap penangkapan pelaku curanmor, barang bukti berupa kendaraan tersebut telah berpindah tangan dari pelaku ke pembeli. Meskipun begitu, kinerja polisi perlu diancungi jempol.

Fenomena lain adalah ketika pelaku Curanmor merupakan sindikat. Mengungkap sindikat curanmor perlu daya kerja keras Polri untuk mengungkap satu per satu pelaku. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika Curanmor yang terjadi di NTT bagian dari kongkalikong dan bekengan aparat hukum. Indikasi ini sedikit menggelitik ketika beberapa kejadian kasus berita media massa menuliskan salah satu anggota lantas pada wilayah kerja Polda NTT terlibat sebagai penadah jaringan curanmor. Jika demikian maka akan sangat sulit jika ingin mengungkap kasus curanmor di NTT.

Akumulasi-akumulasi curanmor di NTT yang belum terungkap oleh kerja Polisi menjustifikasi dan mengkiaskan NTT sebagai Provinsi Curanmor. Metafora dan replika majas ini merupakan persepsi yang dibangun berdasarkan argumentatif atas maraknya pencurian kendaraan bermotor di NTT. Masyarakat saat ini dilanda sindrom kecemasan atas kepemilikan kendaraan bermotor yang aktivitasnya dapat terhambat akibat salah memakirkan kendaraannya.

Sindikat Curanmor di NTT
Tingginya angka kejadian Curanmor di wilayah NTT tidak lepas dari jaringan sindikat profesional. Sindikat profesional melibatkan banyak pihak mulai lintas daerah, lintas kabupaten, bahkan lintas negara. Operasi sindikat ini juga terindikasi dibekengi oleh aparat kepolisian dan tentara perbatasan. Khusus NTT, sindikat ini ketika melakukan aksinya, barang hasil curanmor diselundupkan ke perbatasan untuk dijual ke Timor Leste. Yampormase Kapolres Kupang menegaskan bahwa sindikat ini lebih banyak dilakukan oleh pemain-pemain lama atau para residivis. Jeruji besi belum mampu untuk memberikan efek jera para pelaku sehingga ketika pelaku keluar dari penjara tetap melakukan pekerjaan mencuri.

Polisi ketika membongkar jaringan curanmor, tidak serta merta diikuti dengan penyelamatan barang bukti. Hasil curian pelaku curanmor saat tertangkap telah berpindah tangan baik lokus maupun subjek. Tetapi cukup ironi, ketika curanmor yang terjadi di NTT melibatkan oknum-oknum kepolisian yang seharusnya menjadi penegak hukum. Tertangkap dan ditahannya anggota Propam Polda NTT, Brigpol Jhon Lau karena diduga terlibat sejumlah aksi pencurian sepeda motor di Kota Kupang membuktikan indikasi keterlibatan anggota polisi dalam setiap kejahatan curanmor. Demikian juga Bripka TF ditahan karena terduga sebagai jaringan curanmor (http://id.berita.yahoo.com/061257846.html). Keterlibatan anggota Polri juga diakui oleh Kapolres Kupang bahwa jaringan-jaringan curanmor yang dibekuk polisi mengakui bahwa kerja-kerja mereka dibekengi oleh aparat polres seperti Polres Kupang, bahkan jaringan Polisi mampu menjadi pelancar pengiriman sepeda motor curian lolos ke Timor Leste. Mungkin kita masih teringat kematian Buser Polres Kupang Kota yang diduga terbunuh oleh temannya sendiri karena ingin membongkar keterlibatan teman-temannya dalam kasus curanmor di Kota Kupang (https://kabarnet.wordpress.com/2012/01/10/). Bahkan sindikat-sindikat tersebut telah mewartakan struktur mereka selaku presiden dan perdana menteri (http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/16/).

Moral anak NTT sebagai pelaku curanmor semakin edan. Jaringan curanmor tidak saja melibatkan anggota Polri namun telah menyusup jaringan sel ke siswa sekolah. Penangkapan pelaku curanmor melibatkan tiga siswa sekolah menengah merupakan gambaran jaringan curanmor semakin mengakar di NTT. Ketiga anak sekolah masing-masing berinisial DK (15 tahun) siswa SMKN 2 Kupang Jurusan Teknik Audio Video warga Nunhila Kota Kupang, AFR (16 tahun) warga jalan Sasando Kelurahan Fatufeto, Kecamatan Alak, Kota Kupang, siswa kelas 1 Jurusan Teknik komputer dan jaringan SMKN 3 Kupang, serta RDRK alias Ory (16 tahun), siswa Jurusan Akuntansi SMK Effata Oeba, warga Kelurahan Nunhila Kecamatan Alak Kota Kupang (http://moral-politik.com/2013/12/). Fenomena riskan ini merupakan jawaban ketidakmampuan polisi dan pemerintah untuk menindak pelaku curanmor.

Sindikat curanmor telah masif berakar di NTT dengan melibatkan jaringan dalam dan luar daerah bahkan lintas negara. Struktur jaringan inipun telah berkembang membentuk organisasi kerja yang rapi dan terselubung. Organisasi ini memiliki Presiden dan Perdana Mentri sebagai otak dan dalang curanmor. Mereka bertugas sebagai pengatur wilayah kerja, penadah, penyelundupan dan penjualan sampai pada pembeli. Kerja pun berdasarkan pesanan.

Akibat dari impotenitas Polri dalam mengungkap jaringan ini maka masyarakat menjadi resah dan gelisah beraktivitas menggunakan kendaraan bermotor. Jika salah parkir maka kecurian akibatnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung kendaraan yang telah disimpan dalam lokasi berpagarpun raib diambil pelaku curanmor. Kejadian ini dirasakan oleh penulis sendiri dimana motor Yamaha Vixion keluaran tahun 2011 raib tanpa bekas apapun. Fenomena curanmor ini jika tidak di tanggulangi cepat oleh pihak berwenang maka akan terus memakan korban.

Perlu Upaya Lebih
Gambaran matrix angka kehilangan kendaraan bermotor yang makin menunjukkan peningkatan hari ke hari seharusnya mampu menggelitik aparat kepolisian dan pemerintah untuk lebih memaksimalkan kinerjanya. Meskipun masyarakat memberikan profisiat pada kinerja kepolisian untuk membongkar jaringan curanmor, Polri tidak harus berbangga hati dengan apa yang telah didapat. Tertangkapnya Presiden dan Perdana Mentri Curanmor oleh pihak Polres Kupang seharusnya menjadi gerak awal untuk terus menyusuri jaringan curanmor hingga pada level terbawah. Argumentatif ini berdasar pada asumsi dimana “bos besar” jaringan ini telah tertangkap namun kasus kecurian kendaraan bermotor masih saja terus terjadi. Ini mendandakan bahwa jaringan ini telah menjadi sel yang masif dengan wilayah kerjanya masing-masing. Polisi juga seharusnya terus melakukan peningkatan sumber daya manusia agar mampu menciptakan strategi jitu dan tepat guna pada aparatur hukum untuk cepat membongkar kasus curanmor di NTT. Atau jika memungkinkan perlu dilakukan refressh organisasi polisi khususnya reskrim dan buser karena terindikasi bahwa bagian ini riskan sebagai jaringan curanmor.

Pemerintah seharusnya terus mensosialisasikan kepada masyarakat untuk berhati-hati dalam menggunakan kendaraan bermotor karena dimungkinkan adanya ketidaktahuan warga masyarakat tentang masifnya kehilangan kendaraan bermotor di NTT. Pemerintah tidak harus berdiam diri terhadap tingginya angka kehilangan kendaraan bermotor diwilayah otonominya. Kerjasama antara pihak kepolisian dan kelurahan seharusnya mampu memetahkan daerah yang rawan pencurian untuk diketahui warga sehingga dapat mencegah masifnya pencurian kendaraan bermotor.

Masyarakat juga perlu menggalakan siskamling dalam mencegah terjadinya curanmor di wilayahnya. Masyarakat perlu berhati-hati dalam memakirkan kendaraannya saat berpergian, begitupun ketika memakirkan kendaraan di rumah perlu diperhatikan letak kendaraan agar mudah terpantau dan terjaga.

Penutup
Masifnya curanmor seharusnya menjadi perhatian serius aparatur hukum di wilayah NTT. Efek jera terali besi belum mampu memaksimalkan perubahan sikap dan mental pelaku curanmor. Banyaknya pelaku yang tertangkap merupakan residivis curanmor. Ini membuktikan bahwa konteks penghukuman hukum belum mampu merubah perilaku jaringan curanmor. Polisi jangan berdiam diri ketika para residivis maupun pelaku ternyata telah membentuk sindikat profesional yang melibatkan anggota Polri. Makin suburnya jaringan curanmor di NTT maka membuktikan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat kiaskan sebagai Provinsi Curanmor.

TRANSLATE: