SELAMAT MEMBACA

Tuesday 11 August 2015

ESENSI PERADILAN DI INDONESIA


Ian Haba Ora

Oleh. Fellyanus Haba Ora
(Ketua FreePublik Nusa Tenggara Timur)

Huzein dalam artikel Inkrispena mengungkap data konflik agraria yang terjadi selama 2009-2014 didominasi oleh konflik agraria struktural. Artinya, konflik yang terjadi akibat kebijakan atau putusan pejabat publik dan mengakibatkan banyak korban serta berdampak luas secara sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merilis angka konflik agraria di Indonesia tahun 2009 sebanyak 89 kasus, tahun 2010 ada 106 kasus, tahun 2011-2013 ada 730 kasus, dan tahun 2014 terdapat 472 kasus. Data yang dirilis KPA membuktikan bahwa dalam rentan waktu 2009-2014 terjadi 1.397 atau 430% kasus konflik agraria. Jika dirata-ratakan maka setiap tahun terjadi 232,7 kasus agraria di Indonesia.

KPA juga dalam laporan akhir tahun 2014 menyebutkan konflik argaria meningkat tajam seiring luas areal konflik agraria terhitung tahun 2009-2014. Jika ditotalkan luas areal konflik agraria sejak tahun 2009-2014 mencapai 5.879.095 Ha luas areal konflik agraria. Tahun 2009, total luas areal konflik agraria yang terjadi sebesar 133.278 Ha dan terus meningkat sampai tahun 2014 menjadi 2.860.977 Ha. Jika ditinjau dari persentase terjadi kenaikan luas areal konflik agraria selama 2009-2014 sebanyak 2046,6%.

Jika ditinjau dari perkembangan konflik agraria Indonesia berbasis sektor tahun 2012-2014 yang didata KPA maka sektor perkebunan paling tinggi sebesar 455 kasus, diikuti infrastruktur (380 kasus), kehutanan (78 kasus), pertambangan (73 kasus), dan pesisir/perairan (15 kasus). Selama 2013-2014, konflik di sektor perkebunan meningkat sebanyak 95 konflik atau 105,6%, sementara konflik di sektor infrastruktur meningkat sebanyak 155 konflik atau 258%.

Tahun 2012 dan 2013, perkebunan merupakan sektor yang konfliknya pertama terbanyak. Namun, pada 2014, sektor yang konfliknya pertama terbanyak adalah sektor infrastruktur dengan 215 konflik, sementara sektor perkebunan ada di posisi kedua dengan 185 konflik. Adapun sektor lainnya, seperti kehutanan, pertambangan dan pesisir/perairan, meski konfliknya terus ada, tetapi jumlahnya cenderung fluktuatif.

Ditinjau dari pihak-pihak konflik agraria tahun 2014 maka jumlah terbesar konflik terjadi diantara warga versus swasta (221 kasus), diikuti warga versus pemerintah (115 kasus), warga versus warga (75 kasus), warga versus perusahaan negara (46 kasus), dan warga versus TNI/Polri (18 kasus). Jika ditinjau berdasarkankonflik diantara sektor maka tampak sektor perkebunan, pertambangan dan pertanian terjadi konflik terhadap perusahaan swasta lebih besar dibandingkan dengan perusahaan negara. Sektor infrastruktur lebih besar konflik terhadap perusahaan negara dibandingkan konflik terhadap perusahaan swasta.

Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang sementara dibahas oleh DPR RI tahun 2015 ini memasukan pasal tentang pengadilan pertanahan yang diharapkan dapat dibentuk sebagai pengadilan khusus dilingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perkara pertanahan.

Secara instrument hukum, peraturan pertanahan telah ada dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tetapi UU ini dirasa belum memenuhi rasa keadilan dan bersifat neolib karena saat pembentukan UU tersebut dominasi dipengaruhi oleh kekuasaan neolib. Alhasil dari sekian banyak jabaran UU yang berkaitan dengan UUPA menjadi monopoli kekuasaan negara. Dilain pihak, ketidakkonsistenan tafsir dari Undang-Undang tersebut menyebabkan penumpukan kasus di pengadilan-pengadilan negeri hingga kasasi. Data BPN tahun 2015 menyebutkan bahwa total perkara yang berada di Mahkamah Agung sebesar 4.223 kasus. Total tersebut, sebanyak 2.014 kasus telah selesai dan menyisahkan 2.209 kasus sementara dalam proses peradilan. Atau dengan kata lain telah 47,69% kasus yang telah selesai.

Disisi lain penututan kasus dan perkara pertanahan yang membutuhkan bukti formil menyebabkan konflik tanah berkempanjangan terutama tentang hak kepemilikan. BPN dalam menyebutkan tipologi kasus pertanahan secara garis besar terjadi karena 10 hal, yaitu: penguasaan tanah tanpa hak; sengketa batas; sengketa waris; jual berkali-kali; sertifikat tanah ganda; sertifikat pengganti; akta jual beli palsu; kekeliruan penunjukan batas; tumpang tindih; dan putusan pengadilan.

Disisi lain rasa ketidakadilan dari penyelesaian kasus pertanahan di pengadilan umum karena membutuhkan alat bukti yang berbasis bukti formal. Kongkalikong yang terjadi diantara penguasa atau aktor yang berkuasa menjadikan alat bukti tersebut dapat direkayasa.

Kasus-kasus yang menumpuk di peradilan umum dan kasus yang melibatkan hadap-berhadapan antara warga terhadap warga atau korporasi maupun negara karena ketiadaan norma hukum formil terutama pada hak-hak kekuasaan masyarakat adat. Urgensi dan esensi dalam implementasi UUPA yang seharusnya memberi keadilan belum sepenuhnya menyentuh akar penyelesaian konflik pertanahan. Untuk itu dibutuhkan regulasi yang mampu menampung dan mengadili konflik maupun perkara/sengketa pertanahan secara khusus.

Berdasarkan data dan kajian konflik yang disebutkan di atas maka Indonesia memerlukan adanya pengadilan pertanahan. Dasar pijak dibutuhkan pengadilan pertanahan karena kasus tanah merupakan spesifik dengan pengetahuan khusus. Tumpukan kasus yang belum terselesaikan dan tertangani dengan baik akibat hakim yang memutuskan kasus pertanahan di pengadilan negeri maupun pengadilan tata usaha negara berpengetahuan umum dan selalu berpegang pada bukti formal (mengacu pada hukum perdata dan administrasi). Kelemahan dari penyelesaian hukumnya adalah masyarakat adat dalam kekuasaan adat yang sering lemah dalam bukti formal.

Disisi lain, tumpukan kasus di peradilan umum makin memakan waktu sengketa dan perkara di pengadilan sehingga status kepemilikan pun berlarut-larut. Akibatnya konflik semakin berkepanjangan. Putusan yang bersifat berkekuatan tetap (incracht) harus memakan waktu bertahun-tahun lamanya. Padahal rakyat/pemerkara membutuhkan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya yang ringan.

Mafia dan makelar tanah yang mampu menggandakan sertifikat dan bukti tanah semakin memperumit putusan pengadilan, termamsuk juga putusan pengadilan yang mampu membatalkan bukti sertifikat. Jika dasar putusan hakim pada bukti formal maka akan berdampak pada status-status kepemilikan orang tertentu seperti masyarakat hukum adat yang lemah. Sama halnya terhadap masyarakat marginal yang tidak mampu bersaing terhadap mafia dan makelar tanah. Oleh karena itu dibutuhkan hakim yang berpengetahuan khusus terhadap sengketa tanah yang bersifat spesifik namun kompleks.

Menjamin adanya keadilan dalam hukum pertanahan maka sangat dibutuhkan peradilan pertanahan. Terlepas dari bentuk paham pesimistik argumentatif subjektif, namun yang pasti Indonesia perlu dan wajib untuk dihadirkan Pengadilan Pertanahan. (*)

Thursday 26 March 2015

Genjatan Dalam Sindikasi Mafia Proyek Dinas PU Propinsi NTT



GENJATAN DALAM SINDIKASI MAFIA PROYEK DINAS PU PROPINSI NTT[1]
Oleh: Fellyanus HabaOra*
*Penulis: Tenaga Ahli DPR RI A:445 dan Mantan Dosen FKH Undana Kupang
(dapat juga diakses dalam http://www.timorexpress.com/opini/genjatan-dalam-sindikasi-mafia-proyek-dinas-pu-propinsi-ntt)

Tuntutan publik dalam upaya kesejahteraan publik melalui mekanisme good and clean governance merupakan esensi dari implikasi tujuan dan visi kebangsaan yang telah diatur dalam bingkai empat visi kebangsaan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian juga dalam tatalaksana bernegara, kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan demi kemakmuran rakyat. Ironi jika harapan untuk kemakmuran rakyat diperhadapkan pada kondisi absurt oleh mekanisme aparatur (baik pemerintah maupun lembaga perwakilan rakyat) yang inkonstitusional.
Perihal penjelasan di atas dalam mekanisme inkonstitusional merujuk pada headline berita tentang perseteruan APBD Jakarta antara Gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan Pimpinan DPRD DKI pro Haji Lulung. Perseteruan diantara keduanya berawal dari legalitas Ahok sebagai Gubernur Jakarta memangkas habis “proyeksi dana siluman” dalam APBD Jakarta yang disinyalir titipan proyek Haji Lulung sebagai Anggota DPRD Jakarta. Ahok tidak ingin agar pemerintahannya adalah pemerintahan yang korup. Sampai opini ini ditulis perseteruan tersebut masih menjadi perbincangan publik dan media.
Demikian juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur, indikasi dalam propestik penyalagunaan kepercayaan rakyat menguat seturut dengan temuan 14 paket proyek yang disinyalir sebagai “dana siluman” yang terlampir dalam program kegiatan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT. Dalam lansir berita: www.timorexpress.com (24 Maret 2015) dengan judul: “14 Proyek Siluman di Dinas PU NTT”, menulis Kepala Dinas PU NTT Andre Kore mempertanyakan 14 Paket proyek siluman yang tiba-tiba muncul tanpa esensi kebutuhan yang diusulkan SKPD. “terdapat dalam 14 item proyek siluman, dan proyek-proyek tersebut baru muncul setelah pembahasan di tingkat komisi, artinya 14 paket proyek tersebut muncul di Bandan Anggaran, bahkan mereka kemudian bersepakat untuk tidak lagi membuka ruang untuk membahas hal tersebut, ungkap Andre Kore seperti yang dilansir timorexpress.com. Tetapi juga dalam pemberitaan tersebut, Andre selaku Kepala Dinas berani membeberkan sejumlah proyek siluman yang dititipkan dalam APBD dalam satuan perangkat daerah kedinasan PU, kemudian Andre pun mau untuk menyetujui proyek tersebut dan memberikan jaminan bahwa akan terakomodir lagi dalam program kegiatan Dinas PU. “terkait dengan nasib 14 paket proyek tersebut, Andre tetap menjamin akan tetap diakomodir meski harus direncanakan lagi. Yah, termasuk 14 paket,” ungkap Andre.
Sindikasi ketidakkonsistenan Andre Kore mempersepsikan bahwa Andre sebagai Kepala Dinas setengah-setengah dalam upaya penciptaan good governance, artinya bahwa setiap program harus independen dari campur tangan proyek-proyek siluman. Ketidakkonsistenan Andre Kore juga mungkin disebabkan dari posisi tawar pemerintah daerah yang lemah terhadap DPRD ataupun dapat disinyalir adanya opini kong-kalikong antara pemangku kepentingan diantara Pemerintah Daerah dan DPRD.
Pemerintah daerah cenderung lemah terhadap posisi tawar DPRD. DPRD sebagai lembaga aspirasi memiliki kewenangan dalam peran dan fungsi yang dapat dianggap superbody dibandingkan dengan bentuk sentralisasi dan desentralisasi fungsi negara lainnya. Keistimewaan DPRD tersebut dijamin dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3/UU 17/2014); dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014). Kedua Undang-Undang tersebut mengatur jelas tentang kewenangan istimewa DPRD yang terimplementasi dalam tiga tugas, yaitu: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Seharusnya, keistimewaan fungsi DPRD sebagai mandat aspirasi rakyat wajib dijalankan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Fungsi anggaran tersebut akan dihasilkan melalui kebijakan maupun peraturan hukum yang disebut “Peraturan Daerah (Perda)”. Perda harus berorientasi pada kepentingan publik. Satjipto Rahardjo (2009) menyatakan: “Peraturan Daerah dengan kajian apapun yang dibentuk oleh dua unsur penyelenggara pemerintah daerah sekaligus pemangku wewenang legislasi dapat dipastikan memiliki dampak terhadap masyarakat. Tujuan dari pembentukan hukum, berimplikasi pada diharapkannya suatu peraturan daerah dapat mencerminkan kebijakan yang prorakyat. Kedua lembaga tersebut diharapkan dapat berkerja sama dalam peranannya mewujudkan kebijakan pemerintahan yang tercemin dalam peraturan daerah yang pro rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang sesungguhnya”.
Ditinjau dari Pasal 99 ayat (2) UU 23/2014 seperti yang dijelaskan Kaerwati, fungsi penganggaran merupakan penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama-sama pemerintah daerah. Implementasi pasal ini, DPRD sepatutnya aktif dan proaktif, bukan reaktif. DPRD sebagai legitimate usulan APBD yang diajukan Pemda. Untuk mendorong proseionalisme dan akuntabilitas penyusunan anggaran oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, maka perlu dicermati publik mengingat maknanya yang penting bagi kemakmuran rakyat, yaitu: (1). APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal (fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi); (2). APBD sebagai fungsi investasi daerah; (3). APBD sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah (fungsi perencanaan, fungsi otorisasi, dan fungsi pengawasan).
Kaerwati dalam artikel ilmiah menjelaskan bahwa, dalam konteks good governance, peran serta DPRD harus diwujudkan dalam tiap proses penyusunan APBD dengan menjunjung fiduciary duty. Kondisi demikian akan semakin cermat apabila diwujudkan dalam kecermatan penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA), penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), Rancangan Peraturan APBD Provinsi, dan sosialisasi APBD.
Penyusunan KUA harus berdasarkan efektivitas dalam pembentukan jaring asmara (aspirasi masyarakat); eliminasi kepentingan individu, kelompok, dan golongan; pembenahan penyusunan RPJMD dan Renstra-SKPD; peningkatan kapasitas pemerintah daerah dal DPRD dalam merumuskan KUA. Kemudian, penyusunan PPAS harus memperhatikan akuntabilitas terhadap nilai anggaran; kelengkapan data-data pendukung; peningkatan kapasitas anggota DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menyusun prioritas urusan dan program; dan kesesuaian antara prioritas program dengan kebutuhan rakyat.
Oleh karena itu, seharusnya antara Pemerintah Provinsi dan DPRD wajib mendorong pencapaian good governance, yaitu: (1). Eliminasi budaya KKN. Dalam memaksimalkan pemberantasan KKN dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak. Tidak hanya itu saja, perwujudannya harus komprehensif, mulai dari preventif (mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan faktor-faktor penyebab atau peluang korupsi), detektif (mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi), dan represif (menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku). (2). Reformasi birokrasi/administrasi public, upaya ini dapat dilakukan melalui efficiency and effectiveness penggunaan sumberdaya, kemitraan terhadap sektor atau penyedia pelayanan, desentralisasi, dan penggunaan teknologi informasi. (3). Penyusunan peraturan perundang-undangan yang berdampak pada efektivitas dalam hal implementasinya. (4). Kejelasan fungsi dan peran setiap instansi pemerintah dalam kaitannya antara instansi pemerintah, antara instansi pemerintah dengan legislatif, antara instansi pemerintah dengan masyarakat (publik), dengannya akan menghindari terjadinya tumpang tindih peran yang dilaksanakan. (5). Peningkatan kapasitas dan kapabilitas serta akuntabilitas, tentunya harus diikuti dengan evaluasi kerja. (6). Transpran dalam pengambilan keputusan serta mampu menerapkkan nilai budaya kerja dalam praktek penyelenggara negara. (7). Sesuai code of conduct bagi pejabat publik.
Pemberitaan media tentang adanya 14 paket proyek siluman wajib dipertanyakan oleh anggota DPRD sebagai perpanjangan tangan rakyat. Tetapi penting juga diketahui bahwa disinyalir bahwa proyek siluman tersebut bukan miliki pejabat pemerintahan daerah tetapi kuat dugaan milik oknum-oknum yang ada di DPRD Propinsi. Informasi ini berdasarkan pemberitaan bahwa Kadis PU mempertanyakan 14 paket proyek yang tidak direncanakan dalam program di Dinas PU tetapi tiba-tiba muncul dalam item anggaran. Meskipun saling lempar tanggungjawab antara DPRD dan Pemerintah, yang pasti publik menganggap telah ada dugaan mafia proyek yang terjadi di program pemprov NTT.
Tujuh syarat untuk menciptakan pemerintahan yang bersih seharusnya jangan dikotorkan oleh oknum DPRD atau pejabat publik daerah. Berkaca dari tokoh Ahok Gubernur DKI Jakarta seharusnya menjadi spirit bagi pemerintahan daerah untuk mendorong adanya clean governance di daerah. Demikian juga, DPRD harus member contoh kepada publik bahwa kepercayaan mandat aspirasi yang ada di DPRD terjaga dengan baik.
Gubernur NTT harus berani mengambil sikap terhadap bawahannya (Kepala Dinas PU NTT) atas ketidakkonsistenan bawahannya yang telah berani menyatakan ada 14 item proyek siluman di Dinas PU NTT namun dalam pertemuan bersama anggota DPRD menyetujui agar 14 item proyek siluman tersebut masuk dalam cluster anggaran APBD tanpa ada pembahasan yang intens terhadap item proyek tersebut. Demikian juga, Kadis PU NTT dan DPRD harus berani mempublikasikan oknum-oknum DPRD yang bermain mata anggaran program di Badan Anggaran sehingga dapat menjadi informasi publik. Jika adanya relasi yang professional dan akuntabel diantara Pemerintah Daerah-Legislatif-Masyarakat maka dengan sendirinya akan tercipta good governance and clean governance di bumi Flobamora.
Kepemimpinan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang mampu melakukan efisiensi anggaran dan memangkas adanya proyek siluman di Pemda DKI merupakan contoh nyata bagi kepemimpinan yang pro rakyat dan pro pemerintahan yang baik. Meskipun DPRD memiliki kewenangan yang istimewa tidak menjadi sandungan demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan baik. Sindikasi proyek siluman di Dinas PU Provinsi NTT jangan dijadikan genjatan (penundaan) tetapi harus menjadi awal dari reformasi birokrasi saat ini.


[1] Artikel ini telah dipublikasi oleh Surat Kabar Harian Timor Express-Rabu, 25 Maret 2015, hal.4

TRANSLATE: