Oleh: Ian Haba Ora
Indonesia Bangsa Majemuk
Pada awalnya kita menduga munculnya anasir intoleransi adalah sebuah hal yang biasa ditengah periode transisi setelah kungkungan rezimotoritarianisme yang begitu lama. Histeria kebebasan memunculkan luapan-luapan ekspresi komunal dan politik identitas yang ekstrem. Namun setelah tiga belas tahun reformasi bergulir di negeri kita, jangan-jangan anasir-anasir negatif dalam kehidupan berdemokrasi ini tengah terbentuk menjadi bagian dari karakter bangsa. Ketika karakter anti pluralisme dan kecenderungan mempergunakan kekerasan menjadi kultur dan gagasan hegemonik dalam ruang publik berbangsa dan bernegara, maka eksistensi demokrasi terancam dan hanya akan menjadi instrument bagi pemenuhan tujuan-tujuan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadaban melalui legitimasi tirani mayoritas.
Fenomena fanatisme, penolakan terhadap kemajemukan, dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa demokrasi dan partisipasi politik berjalan tanpa kualitas diskursus demokrasi yang tinggi. Krisis ini terjadi di saat meluruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan tirani mayoritas dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara, pelecehan terhadap supremasi hukum (Fareed Zakaria; 2003).
Dengan menimbang ancaman-ancaman dalam kehidupan berbangsa, maka tumbuhnya kesadaran terhadap pluralisme dalam kehidupan berbangsa menjadi sebuah keharusan. Hadirnya masyarakat pluralis memerlukan desain fondasi arsitektural (bangunan dasarnya) yang kompleks. Keberhasilan pembentukannya akan sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan tekstur dasar yang dapat menopang perkembangan masyarakat yang menghargai nilai-nilai keragaman. Untuk itu menjadi salah satu tugas kaum intelektual untuk memikirkan kembali bagaimana memikirkan desain transformatif untuk merealisasikan konfigurasi masyarakat pluralis.
Salah seorang sosiolog pembangunan asal Jerman penganut mazhab kritis yaitu Dieter Senghaas (1997) dalam “The Clash within Civilization: Coming to terms with cultural conflict” menguraikan secara jernih, bahwa penghormatan terhadap pluralisme bukanlah sesuatu yang tumbuh dari langit ataupun sesuatu yang secara esensial merupakan karakter kultural yang dimiliki secara eksklusif oleh peradaban tertentu. Sebagai manifestasi dari karakter peradaban yang tinggi (madani), pembentukan masyarakat pluralis dan penghargaan terhadap civic virtue (nilai-nilai keadaban) tumbuh ditengah kerja-kerja desain transformatif pembentukan modern nation-state, law enforcement, democratic participation, penemuan kerangka manajemen konflik berbasis pada prinsip anti-kekerasan dan komitmen bersama dalam diskusi di ruang publik untuk merealisasikan keadilan dan fairness untuk tiap-tiap orang.
Sebaliknya kegagalan eksperimentasi desain modern nation-state akan berujung pada krisis pluralisme di masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat yang hidup dalam krisis pembangunan nation-states merasa kehilangan pijakan ditengah runtuhnya landasan masyarakat terdahulu sementara landasan tatanan baru belum kunjung terbangun dengan baik. Dalam kondisi seperti ini masyarakat cenderung mencari pijakan pasti dan sering menjebak mereka kedalam sikap fanatis dan ekstrem.
Dinamika perubahan yang begitu cepat dan ketidakpastian di era kebebasan membuat masyarakat cenderung bersikap lari dari kebebasan (escape from freedom). Mereka cenderung membangun kultur defensif dan bersikap eksklusif dan merasa aman untuk berpijak dalam tempurung budayanya yang terbatas sambil bersikap curiga terhadap “the other” sebagai sesuatu yang mengancam.
Aktualitas Cita-cita Kebangsaan
Kita hendak mendirikan suatu negara ”semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya-tetapi semua buat semua (Ir. Soekarno dalam Pidato ”Lahirnya Panca-Sila” tanggal 1 Juni 1945)
Filsuf perempuan Jerman legendaris Hannah Arendt pada tahun 1961dalam karyanya Between Past and Future menguraikan kesadaran aktif kita untuk menguak memori di masa lalu sangat mempengaruhi upaya kita membangun perubahan bermakna di hari ini dan masa mendatang.
Hal ini bukanlah berarti bahwa kita terjebak pada romantisisme sejarah atau berusaha memperjuangkan masa lalu yang dimitologisasikan sebagai arahan kita di masa depan. Arendt menguraikan bahwa mengingat menjadi amat penting agar kita dapat menyelamatkan elemen-elemen di masa lalu yang masih berguna untuk mencerahkan kehidupan kita saat ini dan di masa mendatang. Tanpa pemahaman kritis terhadap masa lalu maka pengalaman kita akan kehilangan pijakan dan identitas diri kita menjadi rapuh tanpa pegangan dan tujuan (Maurizio Passerin d’Enteves 1994).
Hannah Arendt merefleksikan hubungan antara masa lalu, kini dan esok dalam suasana dan konteks sosial peradaban Eropa modern pada waktu itu yang telah menghadapi ancaman absolutisme-totalitarian Fasis Hitler dan Stalinisme. Ditengah krisis peradaban yang berlangsung di Eropa pada waktu itu kemudian Arendt mengingatkan masyarakat Eropa untuk menelusuri kembali perjalanan histories arus modernitas Barat, untuk mencari elemen-elemen kearifan di masa lalu guna menerangi jalan modernitas yang terancam mengalami krisis.
Relevan dengan kondisi kekinian negeri ini, perjalanan demokrasi tengah menghadapi ancaman serius. Merebaknya sikap absolutisme dan anti pluralis yang mengklaim membawa suara mayoritas dapat beresiko menghancurkan bangunan rumah negara-kebangsaan yang menghargai kemajemukan. Untuk itulah pemahaman secara reflektif terhadap memori bangsa di masa lalu dapat menyelamatkan elemen-elemen kearifan didalamnya yang sangat bermakna untuk mencerahkan langkah bangsa kita saat ini dan lintasan yang dapat kita lalui di masa depan.
Menelaah ulang perjalanan terbangunnya republik yang kita cintai, maka hal penting untuk kita renungkan sejak masa awal kebangkitan pergerakan modern di Indonesia, kita telah memiliki modal histories yang sangat besar sebagai suatu bangsa modern dan inklusif. Ide kebangsaan egalitarian telah menjadi imajinasi bersama dari seluruh rakyat yang disosialisasikan oleh kalangan pemimpin intelektual di Indonesia sebagai tiang pancang awal bagi semangat pluralisme. Ketika rakyat kecil masih terbelenggu dalam penindasan kolonialisme dan kungkungan tatanan feodalisme, kaum terpelajar telah menjadi agensi pencerahan untuk membukakan mata bahwa kita sebagai bangsa memiliki hak untuk merdeka (Muhammad Hatta 1957).
Satu hal yang patut kita renungkan, sejak masa awal kebangkitan pergerakan modern di Indonesia, kita telah memiliki modal histories yang sangat besar sebagai suatu bangsa modern dan inklusif. Pada fase awalnya fondasi prinsip egalitarian telah muncul pertama kali melalui tulisan. Abdul Rivai pada tahun 1902 dalam karyanya Bangsawan Pikiran, ia memperkenalkan istilah bangsawan pikiran sebagai pengganti dari bangswasan asal. Dengan memperkenalkan istilah bangsawan pikiran untuk menggeser bangsawan asal, kalangan inteligensia modern ingin mendobrak konstruksi sosial yang timpang dan previledge status keningratan bangsawan asal diatas kelompok lain, untuk digantikan dengan bangsawan fikiran yang mengutamakan prestasi dan kesetaraan (Yudi Latif 2005).
Mulai dari sinilah imaji keindonesiaan dibangun diatas fondasi kesetaraan dari tiap-tiap orang yang memperjuangkannya, dimana penghargaan terhadap tiap-tiap orang diberikan atas dasar pencapaian prestasi dan komitmen kepada rakyat bukan atas dasar status keningratan maupun perbedaan etnis ataupun dominasi agama tertentu. Perubahan mentalitas dari pengagungan pada bangsawan asal menuju bangsawan pikiran membawa kalangan intelegensia modern Indonesia pada orientasi cita-cita kemadjoean. Fenomena ini adalah perubahan revolusioner sebagai batu pijakan awal untuk membangun masyarakat terbuka, setara dan pluralistik.
Semenjak saat itulah pergerakan nasional modern dimulai pertama-tama sebagai upaya menghancurkan sekat-sekat hierarkhi masyarakat tribus yang menempatkan perbedaan asal-asul keturunan dan tatanan aristokrasi dalam posisi adiluhung. Respek terhadap keragaman atas dasar penghargaan terhadap nilai kesetaraan menjadi langkah awal membangun model nasionalisme inklusif dan berkeadaban sekaligus membongkar sekat-sekat ketimpangan sosial diantara kelompok-kelompok sosial di masyarakat.
Perjuangan mewujudkan karakter kebangsaan yang bercirikan inklusif-egalitarian ini menapak lebih jauh seiring dengan kemerdekaan Republik Indonesia. Lepasnya bangsa Indonesia dari rantai penjajahan diikuti dengan semangat kolektif bangsa untuk menghapuskan segala diskriminasi sosial yang diciptakan oleh formasi kolonialisme.
Pada saat itu suatu simbol revolusioner baru yang mengandung semangat kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan muncul dalam istilah panggilan bung yang diperkenalkan oleh Soekarno. Kata sapaan bung yang berarti saudara dapat dibandingkan dengan kata citizen (rakyat) atau kamerad (kawan) dalam bahasa Rusia. Sebutan bung bagi kaum muda adalah bentuk sapaan egaliter karena tidak membedakan hierarkhi strata sosial.
Kandungan makna yang muncul didalamnya--sesuai dengan konteks gelombang pasang api revolusi di Indonesia paska kemerdekaan--dapat diartikan sebagai “saudara revolusioner” atau “saudara nasionalis Indonesia”. Dalam istilah tersebut segenap strata sosial kaya, miskin, tua, muda dipersatukan dalam solidaritas sosial dan kesetaraan status bersama sebagai bangsa Indonesia (George Mc Turnan Kahin 1995).
Titik kulminasi dari perjuangan kaum intelegensia nasional Indonesia untuk membangun fondamen bagi karakter bangsa kemudian tercapai dengan terumuskan nilai-nilai esensial kenegaraan Pancasila.
Sejak awal perumusannya kalangan intelegensia dan pemimpin Indonesia seperti Bung Karno telah merumuskan Pancasila sebagai bentuk kesepakatandiantara kekuatan-kekuatan politik yang ada untuk membangun konsensus bersama diantara setiap identitas-identitas kebangsaan. Apabila mencermati momen sejarah di masa lalu, dapat dikatakan bahwa penghapusan tujuh kata yang tertera didalam Piagam Jakarta (menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dapat dikatakan sebagai kekalahan politik ummat Islam yang harus dibalas ketika waktunya tiba. Hal tersebut merupakan bentuk kebesaran hati dan ketajaman visi dari kalangan founding father kita untuk membangun sebuah cita-cita kebangsaan yang inklusif dan menjadikan Indonesia sebagai rumah kebangsaan bagi seluruh warganya tanpa terkecuali.
Prinsip kebangsaan Inklusif ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Sukarno dalam pidatonya tentang Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945, bahwa kebangsaan Indonesia bukanlah kebangsaan yang sempit. Negara yang hendak didirikan adalah negara “semua untuk satu”, “satu untuk semua” artinya semua orang berhak atas tanah air Indonesia. Indonesia yang dibangun haruslah berbasis pada suatu landasan bersama bagi berbagai aliran yang terdapat di kalangan rakyat (Bernard Dahm 1987).
Relevansi Pancasila untuk mencerahkan langkah bangsa kita saat ini dan masa mendatang, bukanlah dalam pengertian pentingnya bagi mitologisasi dan sakralisasi Pancasila untuk dimanfaatkan bagi kepentingan kekuasaan seperti masa-masa terdahulu terutama di masa Orde Baru. Yang paling mendasar adalah kesadaran akan etos kebangsaan inklusif yang terkulminasi pada Pancasila merupakan jembatan yang dapat menghubungkan kita pada ingatan bermakna di masa lalu.
Bahwa semenjak awal berdirinya bangsa ini dibangun tidak diatas pengutamaan satu kelompok suku, ras, kelas sosial atau agama apapun diatas kelompok lainnya. Penjelajahan kreatif terhadap memori di masa lalu telah memberi kesadaran penting untuk langkah kita kini. Nilai-nilai ideal nasionalisme bangsa kita sejak awal telah dibangun berdasarkan keterlibatan partisipasi warga bersama (civic engagement) yang berpijak pada orientasi nilai-nilai kebebasan sipil, pluralisme dan kesetaraan.
Sastrawan besar kita almarhum Pramoedya Ananta Toer pernah berpesan “hanya bangsa yang sadar sejarah dirinya yang mampu menentukan tujuan dari bangsa tersebut”. Masa lalu menjadi mutiara terpendam yang dapat menyegarkan langkah kita saat ini. Ketika kita memahami bahwa sejak awalnya negeri ini dibangun diatas nilai-nilai prinsipal yang menghormati keragaman, membela hak-hak sipil tiap warga negara dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial bagi semua, maka di masa depan memori tersebut menjadi lentera bagi kita untuk berdiri tegar menghadapi ancaman fanatisme golongan dan manipulasi demokrasi untuk kepentingan tirani yang mengklaim legitimasi suara mayoritas.
Pemahaman kritis terhadap karakter nasionalisme Indonesia yang sejak awal memiliki kesadaran yang terbuka dan egaliter (civic nationalism) dapat mencerahkan jalan kita untuk berkomunikasi dengan nilai-nilai moralitas internasional seperti pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, karena pada dasarnya komitmen awal kita untuk hidup berbangsa berjalan seiring dengan dinamika nilai-nilai universal kemanusiaan tersebut. Penelaahan reflektif terhadap akar-akar kebangsaan kita di masa lalu membuat kita tidak akan mengalami hambatan psikologis untuk merealisasikan nilai-nilai keadaban (civic virtue) dari bangunan modern nation-state saat ini.
Kesadaran inklusif bahwa setiap warga negara memiliki posisi setara adalah hal fundamental untuk pemenuhan terhadap agenda demokrasi konstitusional. Sebuah bangunan politik demokrasi dimana didalamnya tindakan politik ditujukan untuk menghadirkan keadilan sosial untuk semua (Jurgen Habermas 1998). Didalam bangunan politik yang memperjuangkan keadilan, tiap warga negara berperan sebagai agensi politik dalam penentuan berbagai permasalahan komunitas mereka.
Disini tindakan politik menjadi aktivitas yang merealisasikan solidaritas, respek terhadap keragaman dan otonomi warga. Sementara ruang politik adalah ruang komunikasi, negosiasi antara warga yang berjalan melalui tindak persuasi yang mengharamkan tindak-tindak kekerasan. Sementara pada level negara, maka negara dan segenap institusinya harus menjadi pelayan bagi pemenuhan aspirasi publik dengan tetap tidak memihak terhadap kepentingan suatu golongan (imparsial) sekaligus menimbang suara dan aksi politik dari warga dalam mengambil kebijakan. Negara juga menjaga dan merawat agar ruang politik tetap menjadi tempat bagi proses negosiasi dan komunikasi intersubyektif dikalangan warganegara dengan menghormati kebebasan sipil, pluralisme dan anti kekerasan.
Persoalannya adalah seperti yang diutarakan oleh Muhammad Hatta dalam pidatonya di Universitas Indonesia pada tahun 1957, bahwa revolusi kita menang dalam menegakkan kebenaran baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya. Sampai saat ini apa yang diuraikan oleh Muhammad Hatta masih relevan dengan kondisi bangsa kita sekarang.
Pelaksanaan cita-cita kita untuk membentuk masyarakat yang berbasis pada kesetaraan, kesejahteraan bersama dan penghormatan terhadap kemajemukan masih jauh dari berhasil. Penelaahan terhadap problem berbangsa dan bernegara ini dapat kita mulai dari proses demokratisasi yang tengah berjalan di republik ini.
HKBP dan Pluralisme
Penusukan dan penganiayaan oleh oknum tak bertanggung jawab berlatar ormas Islam terhadap Pendeta dan Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur, Ciketing, Kota Bekasi, sekitar pukul 08.00 Minggu (12/9/2010) memanifestasi bangsa ini belum sepenuhnya terinternalisasi kebhinekaan tunggal ika sebagai bangsa yang pluralis. Cermatan lain ialah kebebasan menjalankan ibadah dan keagamaan sesuai dengan kenyakinan yang dianut telah dijamin sepenuhnya oleh konstitusi dasar dalam UUD 1945 hasil amandemen. Namun, faktanya lain yang tertampak.
Kasus penusukan dan penganiayaan ini, mendapat sorotan dan kecaman dari berbagai organisasi dan elemen masyarakat, bukan saja dari PGI, GMKI, GAMKI atau LSM, namun kecaman ini juga datang dari ormasi islam itu sendiri seperti FPI, PBNU, GP Ansor dan lain-lain. Kecaman ini juga tidak saja dipanahkan ke pelaku penusukan dan penganiayaan, juga ditujukan pada SKB dua Menteri yang dinilai diskriminan dan mengancam kebebasan beragama kaum minoritas.
Sampai saat ini, telah ditetapkan 10 orang tersangka dan satu diantaranya adalah ketua Front Pembela Islam (FPI) Cabang Bekasi. Indikasi membenarkan beliau yang memprokasi warga untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab. Mengklaim sebagi ormas Islam, melakukan hal-hal yang tak terpuji yang dapat menciderai ketentraman bangsa.
Seyogianya, peristiwa ini tidak juga akan terjadi jika persoalan ini tanggap oleh pemerintah karena di NKRI ini, masalah yang bersifat SARA akan sangat mudah terprovokasi dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah Indonesia harus tanggap dalam persoalan negeri sebagai perwujudan bangsa yang majemuk sehingga nilai estetika pluralis dapat terjaga sebagai cita-cita the Founding Father bangsa ini. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi Timor Express, pada tanggal 21 September 2010).
-----------------
Penulis: Ketua Task Force Team NTT