SELAMAT MEMBACA

Monday, 9 September 2013

PENYALAHGUNAAN KEKERASAN & SENJATA API OLEH POLRI

BRUTALITAS POLRI
Oleh. Ian Haba Ora

Imparsial (2006) memberikan anekdot mummy yang baru temukan oleh tiga orang ahli yang berbeda negara, yaitu ahli asal Amerika, Perancis, dan Indonesia. Ahli dari Indonesia berprofesi sebagai polisi. Ketika diselidiki asal usul dan usia mummi tersebut, ahli pertama dan kedua menyerah dan dinyatakan gagal. Tetapi ahli ketiga dari Indonesia dengan percaya diri mengatakan bahwa usia mummy 15 ribu tahun. Bagaimana Anda tahu? Tanya ahli asal Amerika dan Perancis penuh penasaran pada ahli Indonesia. Tentu saja mudah, jawab ahli Indonesia. Saya siksa mummy itu sampai mengaku berapa usianya.

Anekdot ini merupakan sindiran kepada polisi Indonesia yang identik dengan brutalitas penyiksaan pada tahanan maupun warga yang berurusan hukum dengan Polri. Nawawi (2006) pernah berpendapat bahwa brutalitas polisi tidak hanya menjadi budaya yang muncul sebagai sesuatu yang diterima dan dilestarikan oleh lingkungan melainkan sudah menjadi watak asli dari kepolisian itu sendiri dan menjadi cermin dari watak rezim yang berkuasa. Brutalitas polri juga ditunjukkan dengan mengkriminalisasi warga dalam tindakan melanggar hukum. Jika ada aksi protes dan kritik warga cenderung dihadapi dengan moncong senjata, borgol, terali sel penjara, bahkan tudingan stereotype sebagai perusuh, komunis, penjahat, ataupun pelaku kriminal. Akhirnya, suara rakyat dibungkam.

Tuntutan reformasi dan demokrasi bangsa di Indonesia belum mampu mengubah watak brutalitas polri, meskipun secara retorik dan kekinian reformasi sektor keamanan telah diilhami oleh Polri. Kesan brutal (tindakan kekerasan berlebihan) masih lekat pada institusi polri meskipun disisi lain prestise polri dalam memberantas jaringan terorisme dan sindikat narkoba perlu diancungi jempol.

Idealnya penggunaan kekerasan oleh polri diizinkan apabila: pertama, pada saat menjalankan tugas polisi diserang secara fisik oleh seseorang atau sekelompok orang. Kedua, polisi telah memberi peringatan baik kata-kata, tembakan peringatan, maupun cara-cara tertentu yang diatur undang-undang terhadap seseorang atau kelompok orang tidak diindahkan. Ketiga, polisi menghadapi perlawanan tidak seimbang dari seseorang atau sekelompok orang yang akan ditangkap. Sedangkan penggunaan kekerasan tidak diizinkan apabila polisi menangkap seseorang dan menggiringnya di depan umum, padahal seharusnya tidak perlu ditangkap atau cukup dipanggil saja; seseorang yang tidak berusaha melarikan diri atau melawan, tanpa alasan diborgol; dan seseorang yang ditangkap, ditundukkan kemudian dipukul atau ditembak. Meskipun penggunaan kekerasan telah diatur dalam KUHP, KUHAP, maupun petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis tetapi brutalitas polri masih tetap terjadi.

Brutalitas polri dapat terjadi karena masalah mental aparat dan espirit de corps. Rekruitmen anggota polri yang tidak transparan dan sarat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), basis pemahaman hak asasi manusia tidak berjalan baik ketika masa pendidikan polri, fungsi pengawasan dan punishment institusi kepada anggota tidak memberikan efek jera, menjadi indikator maraknya brutalitas polri yang terjadi.

Hambatan-hambatan itu disebabkan doktrinasi polri berdasar solidaritas (solidarity) dan kerahasiaan (secrecy) masih tumbuh subur di institusi coklat tersebut. Solidaritas polisi untuk saling melindungi kawan meskipun bersalah dan kerahasiaan institusi polri merasa tabu membuka aib anggota yang melanggar hukum (terutama jajaran perwira).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia pasal 37 mengamanatkan pada negara untuk membentuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai lembaga kontrol mekanisme pelaksanaan tugas kepolisian, masih dirasa kabur. Bagaimana tidak, fungsi Kompolnas hanya sebatas pembantu Presiden, mengumpulkan keluhan dan masukan dari masyarakat, selebihnya tidak.

Kompleksitas kegagalan reformasi polri meniadakan praktek-praktek brutalitas harus menjadi agenda utama mengubah budaya solider dan secrecy yang masih tertanam sistemik di institusi berbaju coklat ini.

BRUTALITAS POLISI
Brutalitas dapat terjadi jika adanya penggunaan kekerasan yang berlebihan (excessive use of force) menyebabkan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Meskipun penggunaan kekerasan dan sejata api merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang sebagai pilihan terakhir (last resort) bagi aparat kepolisian menjalankan tugasnya tetapi harus berdasar norma dan aturan, tidak dianggap sebagai pemberian kedaulatan penuh.

Moniche Saubaki berpendapat bahwa tindakan brutalitas atau penyalahgunaan kekerasan oleh polri dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu:
1.    Brutalitas terhadap subjek tidak dalam penguasaan polisi seperti pada pengendalian huru hara. Subyek dimaksud adalah orang atau kelompok orang yang berdemonstrasi saat terjadi chaos atau kacau tidak mampu diatasi aparat, perintah atasan untuk bertindak, dilakukan dengan menggunakan kekerasan berlebihan. Pemukulan menggunakan alat pengendali huru hara dan penggunaan senjata sampai menyebabkan luka serius sering dilakukan anggota polri. Ratusan kejadian mempertontokan penyalagunaan senjata diluar prosedur dalam menangani demonstrasi. Sekalipun yang digunakan peluru karet, tetapi penembakan dilakukan membabi buta, tidak lagi memperhatikan dampak dan jarak aman. Bahkan dibeberapa kejadian, anggota polri menggunakan peluru tajam dalam membubarkan massa.
2.    Brutalitas dilakukan terhadap subyek yang berada dalam penguasaannya. Subjeknya adalah seseorang atau kumpulan orang yang ditahan atau ditangkap polisi disiksa untuk mendapatkan keterangan atau hal lain. Atau dengan alasan pelaku hendak melarikan diri, polisi kemudian menggunakan senjata api untuk “membunuhnya”, padahal penggunaan senjata api oleh polisi untuk melumpuhkan pelaku dan aksi kejahatannya, bukan untuk membunuh.

Dengan demikian, brutalitas polri dapat diartikan sebagai tindakan penyalahgunaan kekerasan dan pengunaan senjata api terhadap orang atau sekumpulan orang yang berada dalam penguasaan atau tidak dalam penguasaan polisi membahayakan keselamatan jiwa dan tidak menghormati harkat-martabat manusia, menggunakan metode penyiksaan, penahanan dan penangkapan sewenang-wenang (arbitrary detention/arrest) dan atau cara yang menyebabkan luka serius dan kematian.

Mengapa Polisi Masih Melakukan Tindakan Brutal?
Tiga agenda reformasi Polri menjadi spirit perubahan militerisme menjadi sipilisasi, pendekatan struktur kepolisian dalam bidang layanan kemasyarakatan dan perubahan perilaku anggota polri. Ironis ketika agenda reformasi melalui penataan undang-undang, struktur dan perilaku masih setengah hati dijalankan. Perilaku brutal menjadi tatanan reformasi yang sulit diubah. Mengapa demikian? Karena paradigma atau cara pandang anggota polri yang belum tertata baik.

1.    Kekuasaan. Polisi masih menganggap dan memposisikan diri sebagai bagian dari penguasa. Kedekatan polri dan penguasa disempitkan artinya menjadi alat pemerintah atau penguasa, jika ada masalah antara pemerintah dengan rakyat, maka polisi akan berpihak pada pemerintah.  Pandangan ini berpendapat jika terdapat perbedaan terhadap pemerintah (penguasa) dianggap sebagai bentuk perlawanan hukum, dan sebagai hukumnya patut diperlakukan brutal. Kelompok ini banyak dialami oleh buruh, petani, kaum miskin, dan kelompok marginal lainnya. Superioritas institusi terhadap sipil. Paradigma militer sebelum reformasi masih menciri dan membekas di institusi Polri. Dengan demikian pola pikir dan bertindak masih menganggap militer merupakan kekuasaan mutlak atas sipil.
2.    Ekonomi. Jika rakyat melakukan protes sama saja melawan penguasa dan jika ditindak sangat merugikan penguasa secara politis dan ekonomi. Kasus-kasus reclaiming tanah merupakan contoh yang mudah dilihat, apalagi jika diintervensi pemodal.
3.    Balas dendam. Brutalitas juga didasari atas dendam. Contoh kasus Abepura dimana Polsek Abepura diserbu orang tidak dikenal dan mengakibatkan seorang polisi tewas. Berselang jam dari kejadian itu, aparat kepolisian Jayapura dibantu militer melakukan sweeping di rumah-rumah penduduk. Akibat sweeping aparat yang brutal beberapa warga sipil tewas dan puluhan lain luka-luka.

Brutalitas polri pada kasus yang sifatnya kriminal dan populer lebih disebabkan upaya polisi mencari informasi dan data-data melalui penyiksaan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus. Brutalitas juga bersifat diskriminatif berdasar status sosial korban, dimana tersangka kaya dan berpengaruh seperti sindikat narkoba dan koruptor akan dilayani istimewa karena mereka mampu memenuhi kebutuhan polisi. Selain itu, jika sindikat dan koruptor memiliki relasi yang kuat dengan petinggi Polri, maka polisi akan melayani mereka dengan baik untuk mempertahankan jabatan mereka. Sebagai imbalannya, sindikat dan koruptor bebas memilih jenis penahanan (tahanan kota, tahanan rumah, atau sel dengan fasilitas lengkap). Menjadi ironi ketika tersangka berasal dari golongan ekonomi lemah maka penyiksaan dan penganiayaan menjadi solusi atas orang tersebut.

Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api Oleh polisi
17 Desember 1979, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi 34/169 agar dapat diadopsi masyarakat internasional tentang prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang tertuang dalam code of conduct for law enforcement. Prinsip ini mengijinkan aparat penegak hukum menggunakan kekerasan, namun dibatasi penggunaan kekerasan dalam batas tertentu (de Rover, 2000).

Prinsip-prinsip ini terdapat dalam enam kategori, yaitu ketentuan umum (general previsions), ketentuan khusus (special provisions), penertiban pertemuan yang tidak sah (policing unlawful assemblies), pengamanan orang dalam pengawasan dan penahanan (policing persons in custody or detention,  kualifikasi pelatihan dan konseling (qualifications training and counselling), dan pelaporan evaluasi prosedur (reporting and review procedures).

Tiga asas esensial penggunaan kekerasan dan senjata api, yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity), dan proporsional (proportionality). Jikalau penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, maka harus sesuai situasi dan kondisi lapangan. Apabila terjadi penyalahgunaan kekerasan dan senjata api maka petugas akan dikenakan masalah, apalagi jika penyalahgunaan tersebut menyebabkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini akan dikenakan pidana karena dianggap melanggar harkat dan martabat manusia. Aparat penegak hukum menggunakan kekerasan dan senjata api, apabila:
1.    Membela diri (self defence) atau membela orang lain dari ancaman yang tiba-tiba (imminent threat) dari kematian dan luka-luka yang serius.
2.    Mencegah kejahatan (to Prevent) yang merupakan kejahatan serius termasuk ancaman terhadap hidup dan;
3.    Menangkap orang yang sangat berbahaya dan melawan kewenangan mereka (resisting their authority) atau mencegah kaburnya seseorang dan jika tindakan tersebut dipandang tidak berbahaya sehingga tidak cukup mencapai ketentuan ini. Dalam setiap kejadian, penggunaan senjata yang mematikan hanya diperuntukkan apabila terjadi hal yang tidak dapat dihindarkan untuk melindungi hidup.

Jikalau penanganan dilakukan pada pertemuan yang tidak sah naum damai, aparat penegak hukum wajib menghindari penggunaan kekerasan atau membatasi hingga batas minimum yang diperlukan. Jika terjadi kerusuhan, kekacauan, dan keributan dalam pertemuan tersebut, polisi diperbolehkan menggunakan kekerasan dengan batas minimum yang diperlukan. Tidak diperkenankan melakukan penembakan membabibuta ke aras pertemuan sebagai solusi membubarkan pertemuan. Jika dilakukan terhadap orang di bawah pengawasan (custody) dan penahanan (detention), aparat hukum tidak diperbolehkan menggunakan kekerasan kecuali untuk menjaga keamanan dan keselamatan seseorang yang terancam di dalam lembaga.

Ketika terjadi penyalahgunaan kekerasan dan senjata api oleh anggota Polri, maka harus dituntut juga pertanggungjawaban hirarki komando (command responsibility). Intinya, harus ada pejabat yang bertanggungjawab, dikarenakan komandan dianggap mengetahui tindakan tugas dan telah terjadi penyalahgunaan kekerasan dan senjata api. Komandan dianggap gagal dan tidak mampu melakukan pencegahan, penindakan, dan pengawasan terhadap penyalahgunaan kekerasan dan senjata api.  Begitupun petugas tidak dibenarkan membela diri atas dasar kepatuhan mutlak (absolute obedience) terhadap perintah komandan, karena petugas dengan alasan yang rasional dapat menolak perintah tersebut jika dapat menimbulkan luka serius dan kematian pada orang lain.

Penutup
Panjangnya sejarah kekerasan berlebih aparat kepolisian menggambarkan brutalitas masih mejadi spirit tindakan menyimpang masa kini berlindung dibelakang oknumisasi. Brutalitas yang adalah warisan masa lalu menjadi salah satu faktor masa transisi reformasi sampai saat ini belum mampu untuk diubah. Bahkan tindakan brutal aparat hampir tidak mendapatkan koreksi tegas dari institusi. Ketiadaan sanksi yang setimpal menjadi sarang impunity pelaku penyalahgunaan kekerasan dan senjata api oleh polri. Realita ini merupakan faktor penghambat penciptaan Pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).

Minimnya akses masyarakat terhadap petunjuk lapangan (juklap), petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis), dan prosedur tetap (protap) Polri menjadi kendala fungsi kontrol dan koreksi masyarakat terhadap brutalitas polri. Akibatnya, tafsir penyalahgunaan kekerasan dan senjata api oleh polri dimonopoli oleh institusi polri sendiri. Oleh karena itu, perlu sinergisitas kontrol publik setiap tindakan kekerasan polri berdasar undang-undang, pemahaman protap, fungsi, dan wewenang polri. Publik yang dimaksud adalah LSM, Akademisi, Praktisi, Media Pers, DPR (D) maupun masyarakat itu sendiri. Jika kontrol publik baik dan kritis, secara perlahan-lahan penyalahgunaan kekerasan akan hilang sendirinya. (Tulisan ini dipublikasi Harian Kota KURSOR pada 9 dan 10 September 2013, edisi dua tulisan).

Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT.

TRANSLATE: