BRUTALITAS POLRI
Oleh. Ian Haba Ora
Imparsial (2006) memberikan anekdot mummy yang baru temukan oleh tiga orang ahli yang berbeda negara,
yaitu ahli asal Amerika, Perancis, dan Indonesia. Ahli dari Indonesia
berprofesi sebagai polisi. Ketika diselidiki asal usul dan usia mummi tersebut, ahli pertama dan kedua
menyerah dan dinyatakan gagal. Tetapi ahli ketiga dari Indonesia dengan percaya
diri mengatakan bahwa usia mummy 15
ribu tahun. Bagaimana Anda tahu? Tanya ahli asal Amerika dan Perancis penuh
penasaran pada ahli Indonesia. Tentu saja mudah, jawab ahli Indonesia. Saya
siksa mummy itu sampai mengaku berapa
usianya.
Anekdot ini merupakan sindiran kepada polisi Indonesia
yang identik dengan brutalitas penyiksaan pada tahanan maupun warga yang
berurusan hukum dengan Polri. Nawawi (2006) pernah berpendapat bahwa brutalitas
polisi tidak hanya menjadi budaya yang muncul sebagai sesuatu yang diterima dan
dilestarikan oleh lingkungan melainkan sudah menjadi watak asli dari kepolisian
itu sendiri dan menjadi cermin dari watak rezim yang berkuasa. Brutalitas polri
juga ditunjukkan dengan mengkriminalisasi warga dalam tindakan melanggar hukum.
Jika ada aksi protes dan kritik warga cenderung dihadapi dengan moncong
senjata, borgol, terali sel penjara, bahkan tudingan stereotype sebagai perusuh, komunis, penjahat, ataupun pelaku
kriminal. Akhirnya, suara rakyat dibungkam.
Tuntutan reformasi dan demokrasi bangsa di Indonesia
belum mampu mengubah watak brutalitas polri, meskipun secara retorik dan
kekinian reformasi sektor keamanan telah diilhami oleh Polri. Kesan brutal
(tindakan kekerasan berlebihan) masih lekat pada institusi polri meskipun
disisi lain prestise polri dalam memberantas jaringan terorisme dan sindikat
narkoba perlu diancungi jempol.
Idealnya penggunaan kekerasan oleh polri diizinkan
apabila: pertama, pada saat
menjalankan tugas polisi diserang secara fisik oleh seseorang atau sekelompok
orang. Kedua, polisi telah memberi
peringatan baik kata-kata, tembakan peringatan, maupun cara-cara tertentu yang
diatur undang-undang terhadap seseorang atau kelompok orang tidak diindahkan. Ketiga, polisi menghadapi perlawanan
tidak seimbang dari seseorang atau sekelompok orang yang akan ditangkap.
Sedangkan penggunaan kekerasan tidak diizinkan apabila polisi menangkap
seseorang dan menggiringnya di depan umum, padahal seharusnya tidak perlu
ditangkap atau cukup dipanggil saja; seseorang yang tidak berusaha melarikan
diri atau melawan, tanpa alasan diborgol; dan seseorang yang ditangkap,
ditundukkan kemudian dipukul atau ditembak. Meskipun penggunaan kekerasan telah
diatur dalam KUHP, KUHAP, maupun petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis tetapi
brutalitas polri masih tetap terjadi.
Brutalitas polri dapat terjadi karena masalah mental
aparat dan espirit de corps. Rekruitmen
anggota polri yang tidak transparan dan sarat KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme), basis pemahaman hak asasi manusia tidak berjalan baik ketika masa
pendidikan polri, fungsi pengawasan dan punishment
institusi kepada anggota tidak memberikan efek jera, menjadi indikator
maraknya brutalitas polri yang terjadi.
Hambatan-hambatan itu disebabkan doktrinasi polri
berdasar solidaritas (solidarity) dan
kerahasiaan (secrecy) masih tumbuh
subur di institusi coklat tersebut. Solidaritas polisi untuk saling melindungi
kawan meskipun bersalah dan kerahasiaan institusi polri merasa tabu membuka aib
anggota yang melanggar hukum (terutama jajaran perwira).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Republik Indonesia pasal 37 mengamanatkan pada negara untuk membentuk Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai lembaga kontrol mekanisme pelaksanaan
tugas kepolisian, masih dirasa kabur. Bagaimana tidak, fungsi Kompolnas hanya
sebatas pembantu Presiden, mengumpulkan keluhan dan masukan dari masyarakat,
selebihnya tidak.
Kompleksitas kegagalan reformasi polri meniadakan
praktek-praktek brutalitas harus menjadi agenda utama mengubah budaya solider
dan secrecy yang masih tertanam
sistemik di institusi berbaju coklat ini.
BRUTALITAS
POLISI
Brutalitas dapat terjadi jika adanya penggunaan kekerasan
yang berlebihan (excessive use of force)
menyebabkan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Meskipun penggunaan kekerasan dan sejata api
merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang sebagai pilihan terakhir (last resort) bagi aparat kepolisian
menjalankan tugasnya tetapi harus berdasar norma dan aturan, tidak dianggap
sebagai pemberian kedaulatan penuh.
Moniche Saubaki berpendapat bahwa tindakan brutalitas
atau penyalahgunaan kekerasan oleh polri dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu:
1.
Brutalitas terhadap subjek tidak dalam penguasaan polisi
seperti pada pengendalian huru hara. Subyek dimaksud adalah orang atau kelompok
orang yang berdemonstrasi saat terjadi chaos
atau kacau tidak mampu diatasi aparat, perintah atasan untuk bertindak,
dilakukan dengan menggunakan kekerasan berlebihan. Pemukulan menggunakan alat pengendali
huru hara dan penggunaan senjata sampai menyebabkan luka serius sering
dilakukan anggota polri. Ratusan kejadian mempertontokan penyalagunaan senjata
diluar prosedur dalam menangani demonstrasi. Sekalipun yang digunakan peluru
karet, tetapi penembakan dilakukan membabi buta, tidak lagi memperhatikan
dampak dan jarak aman. Bahkan dibeberapa kejadian, anggota polri menggunakan
peluru tajam dalam membubarkan massa.
2.
Brutalitas dilakukan terhadap subyek yang berada
dalam penguasaannya. Subjeknya adalah seseorang atau
kumpulan orang yang ditahan atau ditangkap polisi disiksa
untuk mendapatkan
keterangan atau hal lain. Atau dengan alasan pelaku hendak melarikan diri,
polisi kemudian menggunakan senjata api untuk “membunuhnya”, padahal penggunaan
senjata api oleh polisi untuk melumpuhkan pelaku dan aksi
kejahatannya, bukan untuk membunuh.
Dengan demikian, brutalitas polri dapat diartikan sebagai
tindakan penyalahgunaan kekerasan dan pengunaan senjata api terhadap orang atau
sekumpulan orang yang berada dalam penguasaan atau tidak dalam penguasaan
polisi membahayakan keselamatan jiwa dan tidak menghormati harkat-martabat
manusia, menggunakan metode penyiksaan, penahanan dan penangkapan
sewenang-wenang (arbitrary
detention/arrest) dan atau cara yang menyebabkan luka serius dan kematian.
Mengapa
Polisi Masih Melakukan Tindakan Brutal?
Tiga agenda reformasi Polri menjadi spirit perubahan
militerisme menjadi sipilisasi, pendekatan struktur kepolisian dalam bidang
layanan kemasyarakatan dan perubahan perilaku anggota polri. Ironis ketika
agenda reformasi melalui penataan undang-undang, struktur dan perilaku masih
setengah hati dijalankan. Perilaku brutal menjadi tatanan reformasi yang sulit
diubah. Mengapa demikian? Karena paradigma atau cara pandang anggota polri yang
belum tertata baik.
1.
Kekuasaan. Polisi masih menganggap dan memposisikan diri
sebagai bagian dari penguasa. Kedekatan polri dan penguasa disempitkan artinya
menjadi alat pemerintah atau penguasa, jika ada masalah antara pemerintah
dengan rakyat, maka polisi akan berpihak pada pemerintah. Pandangan ini berpendapat jika terdapat
perbedaan terhadap pemerintah (penguasa) dianggap sebagai bentuk perlawanan
hukum, dan sebagai hukumnya patut diperlakukan brutal. Kelompok ini banyak
dialami oleh buruh, petani, kaum miskin, dan kelompok marginal lainnya. Superioritas
institusi terhadap sipil. Paradigma militer sebelum reformasi masih menciri dan
membekas di institusi Polri. Dengan demikian pola pikir dan bertindak masih
menganggap militer merupakan kekuasaan mutlak atas sipil.
2.
Ekonomi. Jika rakyat melakukan protes sama saja melawan
penguasa dan jika ditindak sangat merugikan penguasa secara politis dan
ekonomi. Kasus-kasus reclaiming tanah
merupakan contoh yang mudah dilihat, apalagi jika diintervensi pemodal.
3.
Balas dendam. Brutalitas juga didasari atas dendam.
Contoh kasus Abepura dimana Polsek Abepura diserbu orang tidak dikenal dan
mengakibatkan seorang polisi tewas. Berselang jam dari kejadian itu, aparat
kepolisian Jayapura dibantu militer melakukan sweeping di rumah-rumah penduduk. Akibat sweeping aparat yang brutal beberapa warga sipil tewas dan puluhan
lain luka-luka.
Brutalitas polri pada kasus yang sifatnya kriminal dan
populer lebih disebabkan upaya polisi mencari informasi dan data-data melalui
penyiksaan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus. Brutalitas juga
bersifat diskriminatif berdasar status sosial korban, dimana tersangka kaya dan
berpengaruh seperti sindikat narkoba dan koruptor akan dilayani istimewa karena
mereka mampu memenuhi kebutuhan polisi. Selain itu, jika sindikat dan koruptor
memiliki relasi yang kuat dengan petinggi Polri, maka polisi akan melayani
mereka dengan baik untuk mempertahankan jabatan mereka. Sebagai imbalannya,
sindikat dan koruptor bebas memilih jenis penahanan (tahanan kota, tahanan
rumah, atau sel dengan fasilitas lengkap). Menjadi ironi ketika tersangka
berasal dari golongan ekonomi lemah maka penyiksaan dan penganiayaan menjadi
solusi atas orang tersebut.
Prinsip
Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api Oleh polisi
17 Desember 1979, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi
34/169 agar dapat diadopsi masyarakat internasional tentang prinsip-prinsip berperilaku
bagi aparat penegak hukum yang tertuang dalam code of conduct for law enforcement. Prinsip ini mengijinkan aparat
penegak hukum menggunakan kekerasan, namun dibatasi penggunaan kekerasan dalam
batas tertentu (de Rover, 2000).
Prinsip-prinsip ini terdapat dalam enam kategori, yaitu
ketentuan umum (general previsions),
ketentuan khusus (special provisions),
penertiban pertemuan yang tidak sah (policing
unlawful assemblies), pengamanan orang dalam pengawasan dan penahanan (policing persons in custody or detention, kualifikasi pelatihan dan konseling (qualifications training and counselling),
dan pelaporan evaluasi prosedur (reporting
and review procedures).
Tiga asas esensial penggunaan kekerasan dan senjata api,
yaitu asas legalitas (legality), kepentingan
(necessity), dan proporsional (proportionality). Jikalau penggunaan
kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, maka harus sesuai situasi
dan kondisi lapangan. Apabila terjadi penyalahgunaan kekerasan dan senjata api
maka petugas akan dikenakan masalah, apalagi jika penyalahgunaan tersebut
menyebabkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini akan dikenakan pidana
karena dianggap melanggar harkat dan martabat manusia. Aparat penegak hukum
menggunakan kekerasan dan senjata api, apabila:
1.
Membela diri (self defence) atau membela orang lain dari ancaman yang tiba-tiba (imminent threat) dari kematian dan
luka-luka yang serius.
2.
Mencegah kejahatan (to Prevent) yang merupakan kejahatan
serius termasuk ancaman terhadap hidup dan;
3.
Menangkap orang yang sangat berbahaya
dan melawan kewenangan mereka (resisting
their authority) atau mencegah kaburnya seseorang dan jika tindakan
tersebut dipandang tidak berbahaya sehingga tidak cukup mencapai ketentuan ini.
Dalam setiap kejadian, penggunaan senjata yang mematikan hanya diperuntukkan
apabila terjadi hal yang tidak dapat dihindarkan untuk melindungi hidup.
Jikalau penanganan dilakukan pada pertemuan yang tidak
sah naum damai, aparat penegak hukum wajib menghindari penggunaan kekerasan
atau membatasi hingga batas minimum yang diperlukan. Jika terjadi kerusuhan,
kekacauan, dan keributan dalam pertemuan tersebut, polisi diperbolehkan
menggunakan kekerasan dengan batas minimum yang diperlukan. Tidak diperkenankan
melakukan penembakan membabibuta ke aras pertemuan sebagai solusi membubarkan
pertemuan. Jika dilakukan terhadap orang di bawah pengawasan (custody) dan penahanan (detention), aparat hukum tidak
diperbolehkan menggunakan kekerasan kecuali untuk menjaga keamanan dan
keselamatan seseorang yang terancam di dalam lembaga.
Ketika terjadi penyalahgunaan kekerasan dan senjata api
oleh anggota Polri, maka harus dituntut juga pertanggungjawaban hirarki komando
(command responsibility). Intinya,
harus ada pejabat yang bertanggungjawab, dikarenakan komandan dianggap mengetahui
tindakan tugas dan telah terjadi penyalahgunaan kekerasan dan senjata api.
Komandan dianggap gagal dan tidak mampu melakukan pencegahan, penindakan, dan
pengawasan terhadap penyalahgunaan kekerasan dan senjata api. Begitupun petugas tidak dibenarkan membela
diri atas dasar kepatuhan mutlak (absolute
obedience) terhadap perintah komandan, karena petugas dengan alasan yang
rasional dapat menolak perintah tersebut jika dapat menimbulkan luka serius dan
kematian pada orang lain.
Penutup
Panjangnya sejarah kekerasan berlebih aparat kepolisian
menggambarkan brutalitas masih mejadi spirit
tindakan menyimpang masa kini berlindung dibelakang oknumisasi. Brutalitas yang
adalah warisan masa lalu menjadi salah satu faktor masa transisi reformasi
sampai saat ini belum mampu untuk diubah. Bahkan tindakan brutal aparat hampir
tidak mendapatkan koreksi tegas dari institusi. Ketiadaan sanksi yang setimpal
menjadi sarang impunity pelaku
penyalahgunaan kekerasan dan senjata api oleh polri. Realita ini merupakan faktor
penghambat penciptaan Pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Minimnya akses masyarakat terhadap petunjuk lapangan
(juklap), petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis), dan prosedur
tetap (protap) Polri menjadi kendala fungsi kontrol dan koreksi masyarakat
terhadap brutalitas polri. Akibatnya, tafsir penyalahgunaan kekerasan dan
senjata api oleh polri dimonopoli oleh institusi polri sendiri. Oleh karena
itu, perlu sinergisitas kontrol publik setiap tindakan kekerasan polri berdasar
undang-undang, pemahaman protap, fungsi, dan wewenang polri. Publik yang
dimaksud adalah LSM, Akademisi, Praktisi, Media Pers, DPR (D) maupun masyarakat
itu sendiri. Jika kontrol publik baik dan kritis, secara perlahan-lahan
penyalahgunaan kekerasan akan hilang sendirinya. (Tulisan ini
dipublikasi Harian Kota KURSOR pada 9 dan 10 September 2013, edisi dua tulisan).
Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR
NTT.