Memperingati HUT
POLRI Ke-67
(Catatan
Perekrutan Aktor Keamanan di Polda NTT)
Oleh. Ian Haba
Ora
Widodo Umar (2009) menegaskan Polri secara
instrumen perundang-undangan memegang peran penting dalam penegakan hukum (law enforcement) dan the rule of law yang dijewantahkan
secara profesional dan akuntabel. Salah satu fungsi pemerintahan negara
dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayom, dan pelayanan kepada masyarakat adalah Kepolisian (UU
No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri, Pasal 2). Dengan demikian, setiap tindakan dan
aktivitas yang dilakukan harus berdasar prinsip profesionalitas dan akuntabel.
Profesionalisme
polisi yang dimaksud mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam
tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi
layanan terbaik; otonom; memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya; memiliki
organisasi profesi melalui asosiasi; memiliki kode etik dan kebanggaan profesi;
profesi kepolisian sebagai pengabdian; bertanggungjawab atas monopoli keahlian;
dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan
tujuan bagi kelangsungan hidup organisasinya. Sedangkan akuntabilitas ditandai
oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga
elemen akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian, yaitu: (1) Answeribility, mengacu kepada kewajiban
polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan;
(2) Enforcement, mengacu kepada
kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada pemegang kebijakan apabila mereka
mangkir dari tugas negara/publik; dan (3) Punishibility,
mengacu kepada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti
melanggar code of conduct atau tindak
pidana. Dengan demikian, tujuan dari reformasi polisi adalah membentuk lembaga
kepolisian untuk profesional dan bertanggungjawab atas tiap tindakan yang
diambil dan menghormati hak asasi manusia.
Ir.
Soekarno dalam pidato kenegaraan mengatakan “jangan melupakan sejarah”.
Secara historis, Polri merupakan institusi yang dibentuk dengan
pergolakan dwifungsi ABRI yang kental dengan tertutup, tindakan represif, dan
melanggar hak asasi manusia. Pergerakan 1999 (reformasi) menjadi perubahan
hampir disemua level penghidupan negara baik secara politik, ekonomi, sosial,
hankam bahkan institusi negarapun secara massif melakukan pembenahan-pembenahan
menuju arah yang demokratis. Ketetapan MPR No. VI Tahun 2000 tentang pemisahan
TNI-POLRI dan Tap MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan POLRI merupakan
jalinan sejarah baru untuk dapat melakukan reformasi secara gradual (penataan).
Polri melakukan reformasi pada tiga aspek, yakni secara structure, instrument, and culture.
Instrument
reform diantaranya
dikeluarkan Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000; amandemen pasal 30 UUD 1945; UU
No. 2 Tahun 2002; PP dan Keppres; refisi 300 juklak/juknis; perubahan doktrin
dan pedoman induk; menyusun grand
strategic (Renstra Polri 25 tahun) yakni jangka pendek (2005-2010) membangun
trust building, jangka menengah
(2011-2015) membangun partnership/networking,
dan jangka panjang (2016-2025) meraih keunggulan (strive for excellence). Structure
reform dilakukan dengan menjadikan Polri sebagai lembaga negara
nondepartemen (setingkat menteri), menjadi mitra kerja komisi III DPR RI,
kepegawaian dalam manajemen tersendiri (UU No. 43/1999), mengubah struktur
anggaran, pembenahan polisi berseragam dan tidak berseragam, pengembangan
satuan wilayah menjadi piramida-flat, Polda sebagai kesatuan induk penuh, titik
pengawasan pada pengemban diskresi
(psl 18 UU No 2/2002), membentuk Kompolnas, dan likuidasi Brimob dalam struktur
Polri. Sedangkan secara culture reform
melalui penerapan Tri Brata, Catur Prasetya, kode etik Polri (pemuliaan profesi),
filosofi pendidikan, etika staf, pedoman perilaku Polri, lagu dan lambang
(tradisi), meminimalkan seremonial dan upacara, pemberdayaan Bintara dan
Tamtama, redefinisi Polri (demiliterisasi, depolitisasi, desakralisasi,
desentralisasi, defeodalisasi, dekorporitasi, debirokratisasi, deotorisasi).
Namun
ada satu hal yang sering dilupakan institusi adalah pada perekrutan aktor
keamanan. Rekruitment anggota Polri selama ini masih menyisahkan paradigma KKN
yang belum sepenuhnya menjadi perhatian. ”perekrutan
menentukan proses, dan proses menentukan jati diri dan identitas”.
Pengawasan internal belum sepenuhnya menjadi indikator dalam menguji eksistensi
dan transparansi namun perlu didukung oleh sumber daya dari luar yaitu
pengawasan eksternal. Rekruitmen yang selama ini dilakukan, meskipun telah ada
pengawas internal dan eksternal (LSM, akademisi, dan organisasi profesi)
sepenuhnya belum disambut baik oleh Polri khususnya pada Polda-Polda.
Laporan
FPIP NTT tahun 2013 menulis dalam setiap rekruitmen anggota Polri (baik
bintara, tamtama, SPSS, dan taruna akpol), pengawas eksternal masih dianggap
sebagai pelengkap. Terbukti setiap komplain karena tidak berdasar prosedural tidak
pernah diterima oleh Polda NTT, bahkan eksternal dijadikan sebagai pelengkap
tandatangan laporan secara prosedural ke Mabes Polri.
Ini
mengindikasikan bahwa Polri (Polda NTT) belum sepenuhnya memahami tugas dan
peran pengawas ekternal. Jika polri ingin mereformasi maka semua aspek menjadi
pendukung dan pendorong reformasi itu sendiri, tidak dianggap sebagai musuh. Padahal Pengawas Eksternal menjadi mitra dan
hadir independent dalam setiap tahapan seleksi rekruimen dan menjadi wadah yang
cukup eksis dan terpecaya dalam mengawal transparansi dan bebas KKN selama
melakukan pengawasan. Namun kontras dengan seleksi bintara tahun 2013, pengawas
eksternal tidak mendapat kepastian tahapan seleksi padahal tahapan seleksi
telah berlangsung di MAPOLDA NTT.
Kejanggalan
lain adalah tidak pernah dilakukan Wanjak
dalam penentuan kelulusan, sehingga ruang pemantauan dari segi prosedural
tahapan tidak berjalan baik. Meskipun secara administrasi telah dianggap
sebagai bagian yang dieliminasi (sementara waktu) tetapi secara spirit
reformasi Polri harus tetap menjalankan itu.
Formalitas
penentuan kelulusan menjadi sorotan tajam yang pada akhirnya menjadikan Polda
dan Pengawas Eksternal tidak berjalan sesuai dengan MoU antara Polda NTT dan
Was Eksternal bahwa wajib diberitahukan dan hadir dalam setiap pengawasan
tahapan seleksi, bahkan was eksternal pernah dilarang bertemu kabid Dokes oleh
salah seorang staf RS. Bhayangkara untuk
mengkomplain dugaan non-procedural
pemeriksaan kesehatan casis bintara. Polda juga tidak memberikan hak panitia
penyusun soal berupa insentif padahal secara pengguna anggaran telah dimasukkan
pada plafon anggaran kepanitiaan 2013.
Kondisi
ini akan memperparah kepercayaan masyarakat akan independensi Polda NTT dalam
perekrutan bintara Polri dan mencerminkan embrio KKN yang semula berangsur
hilang bertunas kembali. Sekiranya dengan pergantian KAPOLDA yang baru dapat
memperhatikan kondisi yang sedang terjadi, agar tidak menciderai nilai BeTAH
(Bersih, Transparan, Aman, dan Humanis) dan tidak menjadi bumerang bagi Polda
NTT.
Ironis
ketika semangat reformasi digadang-gadangkan melaui security sector reform: instrument,
structure dan culture kontras dengan embrio control
impunity dari pengawasan eksternal. Padahal sejak tahun 2008-2012,
keterlibatan eksternal mampu mencitrakan dan mengawal rekruitmen yang
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan hingga Polda NTT mendapat award ISO dan termasuk Polda yang BeTAH.
Jika kita berbicara
mengenai aparat penegak hukum (Polisi), tentunya kita harus memperhatikan pula
proses awalnya, yaitu perekrutan para aparat penegak hukum. Proses perekrutan
dan pengangkatan aparat penegak hukum merupakan proses yang sangat penting
dalam melahirkan aparat penegak hukum yang profesional dan jujur. Apabila pada
proses awalnya sudah terjadi praktik-praktik yang tidak terpuji seperti korupsi
dan kolusi tentu ke depannya akan tidak baik pula. Selain itu sistem penegak
hukum yang ada di Indonesia-pun akan di isi oleh orang-orang yang tidak jujur,
tidak profesional, tidak capable dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum.
Namun apabila proses rekruitmen ataupun pengangkatan aparat penegak hukum
sesuai dengan prosedur yang berlaku, mudah-mudahan para aparat penegak hukum
yang tersaring merupakan orang-orang yang capable dan profesional dalam
menjalankan tugasnya (Wawancara bersama Moniche Aletha Saubaki, Aktivis Perempuan
NTT, saat dimintai komentar dalam perekrutan SIPSS Tahun 2012). Untuk itu,
pengawas independent dapat dijadikan sebagai indikator kinerja reformasi Polri.
Selamat Hari Ulang Tahun Polri Ke-67, seyogianya reformasi dijadikan amanat
negara sekaligus amanat demokrasi. (Tulisan ini pernah
dipublikasikan dalam Harian Kota KURSOR, tanggal 8 Juli 2013).
-------------------------------
Penulis:
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT