SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 9 July 2013

REKRUTMEN POLRI



Memperingati HUT POLRI Ke-67
(Catatan Perekrutan Aktor Keamanan di Polda NTT)
Oleh. Ian Haba Ora

Widodo Umar (2009) menegaskan Polri secara instrumen perundang-undangan memegang peran penting dalam penegakan hukum (law enforcement) dan the rule of law yang dijewantahkan secara profesional dan akuntabel. Salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayom, dan pelayanan kepada masyarakat adalah Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri, Pasal 2). Dengan demikian, setiap tindakan dan aktivitas yang dilakukan harus berdasar prinsip profesionalitas dan akuntabel.

Profesionalisme polisi yang dimaksud mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi layanan terbaik; otonom; memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya; memiliki organisasi profesi melalui asosiasi; memiliki kode etik dan kebanggaan profesi; profesi kepolisian sebagai pengabdian; bertanggungjawab atas monopoli keahlian; dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup organisasinya. Sedangkan akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian, yaitu: (1) Answeribility, mengacu kepada kewajiban polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; (2) Enforcement, mengacu kepada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada pemegang kebijakan apabila mereka mangkir dari tugas negara/publik; dan (3) Punishibility, mengacu kepada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana. Dengan demikian, tujuan dari reformasi polisi adalah membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan bertanggungjawab atas tiap tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi manusia.

Ir. Soekarno dalam pidato kenegaraan mengatakan “jangan melupakan sejarah”.  Secara historis, Polri merupakan institusi yang dibentuk dengan pergolakan dwifungsi ABRI yang kental dengan tertutup, tindakan represif, dan melanggar hak asasi manusia. Pergerakan 1999 (reformasi) menjadi perubahan hampir disemua level penghidupan negara baik secara politik, ekonomi, sosial, hankam bahkan institusi negarapun secara massif melakukan pembenahan-pembenahan menuju arah yang demokratis. Ketetapan MPR No. VI Tahun 2000 tentang pemisahan TNI-POLRI dan Tap MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan POLRI merupakan jalinan sejarah baru untuk dapat melakukan reformasi secara gradual (penataan). Polri melakukan reformasi pada tiga aspek, yakni secara structure, instrument, and culture.

Instrument reform diantaranya dikeluarkan Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000; amandemen pasal 30 UUD 1945; UU No. 2 Tahun 2002; PP dan Keppres; refisi 300 juklak/juknis; perubahan doktrin dan pedoman induk; menyusun grand strategic (Renstra Polri 25 tahun) yakni jangka pendek (2005-2010) membangun trust building, jangka menengah (2011-2015) membangun partnership/networking, dan jangka panjang (2016-2025) meraih keunggulan (strive for excellence). Structure reform dilakukan dengan menjadikan Polri sebagai lembaga negara nondepartemen (setingkat menteri), menjadi mitra kerja komisi III DPR RI, kepegawaian dalam manajemen tersendiri (UU No. 43/1999), mengubah struktur anggaran, pembenahan polisi berseragam dan tidak berseragam, pengembangan satuan wilayah menjadi piramida-flat, Polda sebagai kesatuan induk penuh, titik pengawasan pada pengemban diskresi (psl 18 UU No 2/2002), membentuk Kompolnas, dan likuidasi Brimob dalam struktur Polri. Sedangkan secara culture reform melalui penerapan Tri Brata, Catur Prasetya, kode etik Polri (pemuliaan profesi), filosofi pendidikan, etika staf, pedoman perilaku Polri, lagu dan lambang (tradisi), meminimalkan seremonial dan upacara, pemberdayaan Bintara dan Tamtama, redefinisi Polri (demiliterisasi, depolitisasi, desakralisasi, desentralisasi, defeodalisasi, dekorporitasi, debirokratisasi, deotorisasi).

Namun ada satu hal yang sering dilupakan institusi adalah pada perekrutan aktor keamanan. Rekruitment anggota Polri selama ini masih menyisahkan paradigma KKN yang belum sepenuhnya menjadi perhatian. ”perekrutan menentukan proses, dan proses menentukan jati diri dan identitas”. Pengawasan internal belum sepenuhnya menjadi indikator dalam menguji eksistensi dan transparansi namun perlu didukung oleh sumber daya dari luar yaitu pengawasan eksternal. Rekruitmen yang selama ini dilakukan, meskipun telah ada pengawas internal dan eksternal (LSM, akademisi, dan organisasi profesi) sepenuhnya belum disambut baik oleh Polri khususnya pada Polda-Polda.

Laporan FPIP NTT tahun 2013 menulis dalam setiap rekruitmen anggota Polri (baik bintara, tamtama, SPSS, dan taruna akpol), pengawas eksternal masih dianggap sebagai pelengkap. Terbukti setiap komplain karena tidak berdasar prosedural tidak pernah diterima oleh Polda NTT, bahkan eksternal dijadikan sebagai pelengkap tandatangan laporan secara prosedural ke Mabes Polri.

Ini mengindikasikan bahwa Polri (Polda NTT) belum sepenuhnya memahami tugas dan peran pengawas ekternal. Jika polri ingin mereformasi maka semua aspek menjadi pendukung dan pendorong reformasi itu sendiri, tidak dianggap sebagai musuh.  Padahal Pengawas Eksternal menjadi mitra dan hadir independent dalam setiap tahapan seleksi rekruimen dan menjadi wadah yang cukup eksis dan terpecaya dalam mengawal transparansi dan bebas KKN selama melakukan pengawasan. Namun kontras dengan seleksi bintara tahun 2013, pengawas eksternal tidak mendapat kepastian tahapan seleksi padahal tahapan seleksi telah berlangsung di MAPOLDA NTT.

Kejanggalan lain adalah tidak pernah dilakukan Wanjak dalam penentuan kelulusan, sehingga ruang pemantauan dari segi prosedural tahapan tidak berjalan baik. Meskipun secara administrasi telah dianggap sebagai bagian yang dieliminasi (sementara waktu) tetapi secara spirit reformasi Polri harus tetap menjalankan itu.

Formalitas penentuan kelulusan menjadi sorotan tajam yang pada akhirnya menjadikan Polda dan Pengawas Eksternal tidak berjalan sesuai dengan MoU antara Polda NTT dan Was Eksternal bahwa wajib diberitahukan dan hadir dalam setiap pengawasan tahapan seleksi, bahkan was eksternal pernah dilarang bertemu kabid Dokes oleh salah seorang staf  RS. Bhayangkara untuk mengkomplain dugaan non-procedural pemeriksaan kesehatan casis bintara. Polda juga tidak memberikan hak panitia penyusun soal berupa insentif padahal secara pengguna anggaran telah dimasukkan pada plafon anggaran kepanitiaan 2013.

Kondisi ini akan memperparah kepercayaan masyarakat akan independensi Polda NTT dalam perekrutan bintara Polri dan mencerminkan embrio KKN yang semula berangsur hilang bertunas kembali. Sekiranya dengan pergantian KAPOLDA yang baru dapat memperhatikan kondisi yang sedang terjadi, agar tidak menciderai nilai BeTAH (Bersih, Transparan, Aman, dan Humanis) dan tidak menjadi bumerang bagi Polda NTT.

Ironis ketika semangat reformasi digadang-gadangkan melaui security sector reform: instrument, structure dan culture kontras dengan embrio control impunity dari pengawasan eksternal. Padahal sejak tahun 2008-2012, keterlibatan eksternal mampu mencitrakan dan mengawal rekruitmen yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan hingga Polda NTT mendapat award ISO dan termasuk Polda yang BeTAH.

Jika kita berbicara mengenai aparat penegak hukum (Polisi), tentunya kita harus memperhatikan pula proses awalnya, yaitu perekrutan para aparat penegak hukum. Proses perekrutan dan pengangkatan aparat penegak hukum merupakan proses yang sangat penting dalam melahirkan aparat penegak hukum yang profesional dan jujur. Apabila pada proses awalnya sudah terjadi praktik-praktik yang tidak terpuji seperti korupsi dan kolusi tentu ke depannya akan tidak baik pula. Selain itu sistem penegak hukum yang ada di Indonesia-pun akan di isi oleh orang-orang yang tidak jujur, tidak profesional, tidak capable dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum. Namun apabila proses rekruitmen ataupun pengangkatan aparat penegak hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku, mudah-mudahan para aparat penegak hukum yang tersaring merupakan orang-orang yang capable dan profesional dalam menjalankan tugasnya (Wawancara bersama Moniche Aletha Saubaki, Aktivis Perempuan NTT, saat dimintai komentar dalam perekrutan SIPSS Tahun 2012). Untuk itu, pengawas independent dapat dijadikan sebagai indikator kinerja reformasi Polri. Selamat Hari Ulang Tahun Polri Ke-67, seyogianya reformasi dijadikan amanat negara sekaligus amanat demokrasi. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Kota KURSOR, tanggal 8 Juli 2013).


-------------------------------
Penulis: Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

TRANSLATE: