SELAMAT MEMBACA

Saturday, 7 September 2013

PEMERINTAH DAERAH



Hegemoni Kekuasaan Yang Korup
Oleh. Ian Haba Ora

Jaman ekonomi yang serba sulit membuat orang mudah terbeli menjadi munafik. Menghalalkan segala cara untuk menggapai impian. Tidak peduli berdasarkan idealisme atau spirit perjuangan, intinya semua slogan itu mampu dikaburkan dengan kekuasaan. Betul juga kata Moni Saubaki bahwa kekuasaan cenderung korup. Dengan kekuasaan uang dan jabatan mampu memanipulatif dan berspekulatif membeli atau menukar idealisme dan moral dengan kemunafikan. Kacau!!!

Ya mau dikatakan apalagi! Negeri ini memang sudah kacau. Parahnya lagi tidak terbatas pada orang-orang yang sulit secara ekonomi. Akademisi dan aktivis pun mulai dirongrong dengan korupsi idealisme. Mereka-mereka saat ini sedang didekati oleh hegemoni kekuasaan. Coba kita baca koran Victory News edisi Senin (19/8/2013:2) yang tertulis “Lobi Pengamat Dukung Bendungan”, untuk menggolkan pembangunan bendungan Kolhua, Pemerintah Kota Kupang menempuh berbagai cara. Salah satunya adalah melobi para pengamat untuk membuat tulisan mendukung rencana pembangunan bendungan. Para pengamat yang didekati adalah mereka yang selama ini kritis terhadap kebijakan Pemkot membangun bendungan Kolhua. Tapi syukurlah, pengamat yang dilobi itu belum mampu tergoyahkan idealismenya. Perlu diancungi jempol!

Senangnya menjadi konsultan bayaran! Hanya mampu menulis artikel ilmiah saja dapat duit. Apalagi kemampuan menulis artikel itu sesuai pesanan penguasa, segolontor uang pun akan mengalir ke kantong-kantong pribadi. Bisa kaya mendadak! Tidak peduli apa dampak karya ilmiah itu, terpenting adalah ada bayarannya. Negara ini memang sedang sakit, dan pemimpin-pemimpinnya pun mungkin lagi terganggu jiwanya. NKRI yang dianggap sebagai negara idealis dan mantap demokrasinya telah dikaburkan jelmaan kemunafikan. Sial betul negara ini.

Makin gila saja pemimpin daerah saat ini. Berupaya segala cara untuk memperjuangkan kepentingan fiktif yang menyengsarakan rakyat. Salah rakyat juga mau dipimpin jelmaan drakula yang senantiasa memanfaatkan setiap kekuasaan mencari kesempatan untuk dijadikan pemuas hasrat pribadi. Tidak ada klasifikasi kesempatan, ada uang bisa dibeli. Padahal uang yang digunakan penguasa adalah uang dari rakyat yang dikorupsi dan dipakai lagi untuk menggunakan tangan lain membunuh (memprovokasi) rakyat. Peribahasa lempar batu sembunyi tangan sepertinya masih menjadi mantra yang mujarab!

Kata sejarah, penamaan dan pelabelan Kota Kupang sebagai Kota “KASIH” syarat akan makna. Simbol Kupang yang aman, sehat, indah, dan harmonis menjadi identitas warga penghuni. Label KASIH dikumandang kemana-mana demi mempromosikan identitas Kota Kupang. Tapi, kenyataannya mulai luntur maknanya akibat inkonsistensi pemimpin daerah.

Pemimpin sekarang pintar memanfaatkan kekuasaan. Setiap pembangkangan kebijakan oleh warga dihujani dengan preman berseragam (Satpol PP), seragam coklat, dan ular ijo. Dari dulu sampai sekarang represif menjadi senjata utama membungkam rakyat. Selain itu, pemimpin daerah mulai menjadi reinkarnasi penjajah Belanda dengan politik adu dombanya “devide et empera” untuk memecah bela komunal masyarakat demi kepentingan sesaat. Pemimpin cukup membuat konflik antara warga menggunakan kelemahan-kelemahan warga. Membunuh tikus tidak harus membakar gudang. Cukup menggunakan umpan. Demikian juga pemimpin, memprovokasi dan membiarkan rakyat sendiri saling membunuh, dan pemerintah hadir sebagai dewa penyelamat dalam alternatif strategi manipulatif dan spekulatif sesuai dramatisasi yang sudah tersusun rapi dari hulu sampai hilir. Akhirnya, warga menjadi apatis terhadap pembangunan daerah. Rakyat makin termaginalkan, penguasa makin berjaya.

Sepertinya, rakyat harus melakukan revolusi menurunkan pemimpin yang munafik. Tapi salah juga karena mereka terpilih menjadi pemimpin melalui mekanisme demokrasi, meskipun dugaan politik uang yang lebih tampak. Mario Teguh dalam Golden Ways mengungkapkan jangan salahkan pemimpin jika kita sendiri yang memberikan kesempatan pemimpin itu terpilih.

Oleh karena itu, marilah kita merefleksi diri masing-masing artinya sebuah keharmonisan sesama warga maupun antara warga dan pemerintah. Jika keharmonisan ini ada, maka tercemin konsensus dan kesepakatan yang fair, tidak arogan dan represif pada kelompok tertentu. Berilah pemahaman baik dan jujur akan suatu kebijakan agar tidak menimbulkan kecurigaan, karena bagaimanapun yang merasakan langsung implementasi suatu kebijakan adalah rakyat yang memilih pemimpin itu.

Sevan Aome pernah menuturkan ketika hidup dijalani dengan bijak,maka tidak sia-sia ketika memimpin daerah ini. Pemimpin bijak itu mengalami kemudahan dalam hidup dan terus memancarkan cahaya keilahian dalam pikiran, perkataan dan tindakan. Jadikan dirimu pemimpin yang bijak. Jauhi diri dari pembelian idealis untuk kepentingan tertentu, hindari kemunafikan untuk memanfaatkan ruang publik mengkooptasi isu. Pemimpin jujur adalah yang berempati, bukan memprovokasi. Jokowi ketika menjabat Walikota Solo mampu merelokasi pedagang tradisional ke tempat yang disediakan Pemda    tanpa kekerasan dan adu domba. Seharusnya, Pemimpin perlu meneladani cara kepemimpinan ala Joko Widodo. (Tulisan ini dipublikasi Surat Kabar Harian Timor Express, 7 Sepetember 2013).

Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT   

TRANSLATE: