Hegemoni Kekuasaan Yang Korup
Oleh. Ian Haba Ora
Jaman ekonomi yang serba sulit membuat orang mudah
terbeli menjadi munafik. Menghalalkan segala cara untuk menggapai impian. Tidak
peduli berdasarkan idealisme atau spirit perjuangan, intinya semua slogan itu
mampu dikaburkan dengan kekuasaan. Betul
juga kata Moni Saubaki bahwa kekuasaan cenderung korup. Dengan kekuasaan uang
dan jabatan mampu memanipulatif dan berspekulatif membeli atau menukar idealisme
dan moral dengan kemunafikan. Kacau!!!
Ya mau dikatakan apalagi! Negeri ini memang sudah
kacau. Parahnya lagi tidak terbatas pada orang-orang yang sulit secara ekonomi.
Akademisi dan aktivis pun mulai dirongrong dengan korupsi idealisme. Mereka-mereka
saat ini sedang didekati oleh hegemoni kekuasaan. Coba kita baca koran Victory
News edisi Senin (19/8/2013:2) yang tertulis “Lobi Pengamat Dukung Bendungan”,
untuk menggolkan pembangunan bendungan Kolhua, Pemerintah Kota Kupang menempuh
berbagai cara. Salah satunya adalah melobi para pengamat untuk membuat tulisan
mendukung rencana pembangunan bendungan. Para pengamat yang didekati adalah
mereka yang selama ini kritis terhadap kebijakan Pemkot membangun bendungan
Kolhua. Tapi syukurlah, pengamat yang dilobi itu belum mampu tergoyahkan
idealismenya. Perlu diancungi jempol!
Senangnya menjadi konsultan bayaran! Hanya mampu
menulis artikel ilmiah saja dapat duit. Apalagi kemampuan menulis artikel itu
sesuai pesanan penguasa, segolontor uang pun akan mengalir ke kantong-kantong
pribadi. Bisa kaya mendadak! Tidak peduli apa dampak karya ilmiah itu,
terpenting adalah ada bayarannya. Negara ini memang sedang sakit, dan
pemimpin-pemimpinnya pun mungkin lagi terganggu jiwanya. NKRI yang dianggap
sebagai negara idealis dan mantap demokrasinya telah dikaburkan jelmaan
kemunafikan. Sial betul negara ini.
Makin gila saja pemimpin daerah saat ini. Berupaya
segala cara untuk memperjuangkan kepentingan fiktif yang menyengsarakan rakyat.
Salah rakyat juga mau dipimpin jelmaan drakula yang senantiasa memanfaatkan
setiap kekuasaan mencari kesempatan untuk dijadikan pemuas hasrat pribadi.
Tidak ada klasifikasi kesempatan, ada uang bisa dibeli. Padahal uang yang
digunakan penguasa adalah uang dari rakyat yang dikorupsi dan dipakai lagi
untuk menggunakan tangan lain membunuh (memprovokasi) rakyat. Peribahasa lempar
batu sembunyi tangan sepertinya masih menjadi mantra yang mujarab!
Kata sejarah, penamaan dan pelabelan Kota Kupang
sebagai Kota “KASIH” syarat akan makna. Simbol Kupang yang aman, sehat, indah,
dan harmonis menjadi identitas warga penghuni. Label KASIH dikumandang
kemana-mana demi mempromosikan identitas Kota Kupang. Tapi, kenyataannya mulai
luntur maknanya akibat inkonsistensi pemimpin daerah.
Pemimpin sekarang pintar memanfaatkan kekuasaan.
Setiap pembangkangan kebijakan oleh warga dihujani dengan preman berseragam
(Satpol PP), seragam coklat, dan ular ijo. Dari dulu sampai sekarang represif
menjadi senjata utama membungkam rakyat. Selain itu, pemimpin daerah mulai
menjadi reinkarnasi penjajah Belanda dengan politik adu dombanya “devide et
empera” untuk memecah bela komunal masyarakat demi kepentingan sesaat. Pemimpin
cukup membuat konflik antara warga menggunakan kelemahan-kelemahan warga.
Membunuh tikus tidak harus membakar gudang. Cukup menggunakan umpan. Demikian
juga pemimpin, memprovokasi dan membiarkan rakyat sendiri saling membunuh, dan
pemerintah hadir sebagai dewa penyelamat dalam alternatif strategi manipulatif
dan spekulatif sesuai dramatisasi yang sudah tersusun rapi dari hulu sampai
hilir. Akhirnya, warga menjadi apatis terhadap pembangunan daerah. Rakyat makin
termaginalkan, penguasa makin berjaya.
Sepertinya, rakyat harus melakukan revolusi
menurunkan pemimpin yang munafik. Tapi salah juga karena mereka terpilih
menjadi pemimpin melalui mekanisme demokrasi, meskipun dugaan politik uang yang
lebih tampak. Mario Teguh dalam Golden Ways mengungkapkan jangan salahkan
pemimpin jika kita sendiri yang memberikan kesempatan pemimpin itu terpilih.
Oleh karena itu, marilah kita merefleksi diri
masing-masing artinya sebuah keharmonisan sesama warga maupun antara warga dan
pemerintah. Jika keharmonisan ini ada, maka tercemin konsensus dan kesepakatan
yang fair, tidak arogan dan represif pada kelompok tertentu. Berilah pemahaman
baik dan jujur akan suatu kebijakan agar tidak menimbulkan kecurigaan, karena
bagaimanapun yang merasakan langsung implementasi suatu kebijakan adalah rakyat
yang memilih pemimpin itu.
Sevan Aome pernah menuturkan ketika hidup dijalani dengan bijak,maka tidak sia-sia ketika
memimpin daerah ini. Pemimpin bijak itu mengalami kemudahan dalam hidup dan
terus memancarkan cahaya keilahian dalam pikiran, perkataan dan tindakan. Jadikan
dirimu pemimpin yang bijak. Jauhi diri dari pembelian idealis untuk
kepentingan tertentu, hindari kemunafikan untuk memanfaatkan ruang publik
mengkooptasi isu. Pemimpin jujur adalah yang berempati, bukan memprovokasi.
Jokowi ketika menjabat Walikota Solo mampu merelokasi pedagang tradisional ke
tempat yang disediakan Pemda tanpa
kekerasan dan adu domba. Seharusnya, Pemimpin perlu meneladani cara
kepemimpinan ala Joko Widodo. (Tulisan
ini dipublikasi Surat Kabar Harian Timor Express, 7 Sepetember 2013).
Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR
NTT