SELAMAT MEMBACA

Friday, 4 October 2013

POLISI NAKAL



KETIKA WARGA MENJADI POLISI BAGI POLISI “NAKAL”
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT
(opini dipublikasi Surat Kabar Harian Timor Express, 2 Oktober 2013)

Pengantar
Belum pudar ingatan warga pecinta polisi atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan Kanit Buser Polres Belu Soleman Kapitan terkait beckingan judi yang digerebek oleh Brimob Kompi A Atambua pada tahun 2010, dihebohkan lagi dengan dugaan penyelundupan bahan bakar minyak (BBM) ke Timor Leste. Timor Express (30 September 2013) edisi pemberitaan “Kanit Buser Polres Belu ditangkap warga karena berusaha menyelundupkan BBM ilegal” kembali memberikan pameo institusi Polri belum sepenuhnya mengilhami reformasi secara kekinian. Meskipun masih sebatas dugaan (versi Polda NTT) tetapi dari kronologi terdapat indikasi kuat bahwa Polisi ini telah melakukan tindakan pelanggaran kode etik.

Polda NTT sebagai penanggungjawab teritori pun selalu menghindar dengan indikasi oknum. Oknumisasi merupakan strategi jitu sejak zaman orde baru untuk menutupi identitas kebobrokan yang masih terpolarisasi sampai kini. Indikasi oknum menjadi agenda pernyataan utama ketika ditemukan keterlibatan aktor-aktor keamanan melakukan tindakan-tindakan yang dapat mencoreng institusi.

Jika Polda NTT ingin berbenah maka yang harus dilakukan terlebih utama adalah memecat anggota Polri yang telah terbukti perbuatannya yang telah mengkangkangi institusi melancarkan setiap aksi yang tidak berdasarkan Undang-Undang. Jika ditilik dari persoalan Soleman Kapitan sebagai anggota Polri yang terindikasi melakukan keberulangan tindakan-tindakan melanggar aturan hukum, seharusnya anggota ini wajib tidak dipercaya lagi untuk diberikan jabatan. Tetapi realitas berkata lain ketika Soleman Kapitan masih tetap dipercaya sebagai Komandan BUSER sejak kasusnya mencuat di tahun 2010.

Meskipun negara ini telah melakukan gerakan reformasi hampir disetiap sektor, ternyata diinstitusi Polri sendiri, gerakan reformasi hanya sebatas euforia yang perlu diakui tetapi tidak harus dijalankan. Sebuah fenomena yang perlu dipertanyakan lagi kepada Kapolda NTT, apakah sekelas Jenderal masih dipertanyakan SDM dan kemampuannya untuk memberikan warna perubahan institusi yang baik dan berdaya guna dalam pelayanan keamanan dan pelaksana penegakan undang-undang berdasarkan KUHP. Ironi ketika sama saja yang ditunjukkan Polda NTT.

Kasus Soleman Kapitan merupakan bagian kecil yang tampak terungkap. Masih banyak kasus yang mungkin sengaja disembunyikan oleh Polda NTT untuk tidak diungkapkan ke publik dan pada akhirnya menjadi dan disimpulkan sebagai espirit de corps. Espirit de corps (perancis) merupakan strategi melindungi anggota dari jeratan hukum ketika anggotanya terlibat dalam tindakan-tindakan indisipliner maupun perbuatan pelanggaran hukum.

Tugas Poilisi
Satjipto Raharjo (2009:111-117) menyebutkan polisi sebagai alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantarnya melawan kejahatan. Akhirnya polisi akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 menegaskan fungsi polisi adalah memberikan keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, dan memberikan perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selain tugas tersebut, undang-undang Polri juga pada pasal 14 menegaskan tugas Polri untuk melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalulintas di jalan; membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum, melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; melakukan penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; menyelenggara identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara belum ditangani oleh instansi/atau pihak berwenang; memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian; melaksanakan tugas lain dengan peraturan perundang-undangan.

Sosok pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat, sekaligus juga sebagai penegak hukum yang harus menjunjung HAM sangat diharapkan dari polisi. Tentu saja tidak mudah bagi polisi melaksanakan tugas tersebut, apalagi beberapa faktor penunjang kinerja polisi masih perlu dikembangkan seperti sistem hukum, sistem manajemen perpolisian, sistem akuntabilitas publik, masalah budaya, budaya organisasi, masalah kesejahteraan, masalah moral, masalah kontrol (Rianto, 2006). Sehingga apa yang ditunjukkan Polisi merupakan gambaran citra polisi memahami tugas dan tupoksinya.

Warga Menjadi Polisi
Telah lama disepakati bahwa keberhasilan tugas-tugas kepolisian salah satunya ditentukan oleh tinggi-rendahnya tingkat partisipasi masyarakat (Rahardjo dan Tabah 1993). Namun dipihak lain, tingkat partisipasi itu sendiri nampaknya ditentukan pula oleh variabel lain seperti pengetahuan masyarakat pada umumnya maupun pengetahuan masing-masing individu pada khususnya mengenai peran polisi, kemampuan serta kewenangan polisional yang dimilikinya (Adrianus Meliala, 2003:1).

Kemudian Meliala mengklasifikasikan peran Polisi dalam dua hal yaitu: pertama melihat polisi sebagai PERAN, dengan demikian mencakup mulai dari melihat polisi sebagai profesi, sebagai karier, sebagai individu, sebagai kelompok sosial, sebagai kelompok kerja, polisi sebagai model perilaku bagi masyarakat di sekitarnya. Kedua, melihat polisi dari sudut kemampuan dan kewenangan kerja. Dengan demikian mencakup mulai dari melihat posisinya dalam peradilan pidana, prosedur kerja, wewenang serta kemampuan polisional, keterbatasan kerja dan larangan bagi polisi serta hak-hak masyarakat saat berhadapan dengan polisi. Pemilahan tersebut dianggap perlu dilakukan sehingga sejak awal dapat dikatakan bahwa kognisi sosial yang paling matang tentang polisi adalah bila seseorang telah mampu mengetahui secara amat baik dan lengkap perihal polisi baik mengenai perannya demikian pula konsep-konsep yang terkait dalam konteks peran tersebut.

Derbyshire (1968) menyimpulkan bahwa betapa pun polisi berupaya keras memperbaiki citranya di mata masyarakat, namun hal itu tetap harus berada dalam kerangka hubungan polisi-masyarakat yang juga baik, karena bila tidak akan sia-sia saja. Apa yang telah dilakukan Ny. Ferdinan Viegas dan Ermelinda Dorosario pada Minggu (22/9/2013) sekitar pukul 21.30 Wita menangkap Kanit Buser Polres Belu yang diduga akan menyelundupkan BBM Ilegal ke Timor Leste, merupakan salah satu bentuk pengawasan warga dalam mendukung kinerja reformasi polri.

Penutup
Salah satu penghambat reformasi Polri adalah masih berakarnya semangat melindungi korps (spirit the corps) oleh Polisi yang terus melindungi anggotanya ketika melakukan tindakan-tindakan indisipliner dan perbuatan melanggar hukum. Setiap terindikasi keterlibatan anggota Polri maka selalu dianggap sebagai oknumisasi, meskipun yang menjadi inti perbuatan adalah penyalahgunaan kekuasaan. Masyarakat harus terus mengawasi polisi dengan menjadi polisi bagi diri sendiri dan menjadi polisi bagi polisi, sehingga dengan demikian keterkaitan antara pengawasan masyarakat terhadap polisi mampu menjadi spirit dan penghormatan dalam mendukung reformasi Polri.

TRANSLATE: