POLDA NTT IMPOTEN
Oleh. Ian Haba Ora
Pengantar
Kata
sahabatku Herlina Umbu Deta, semakin orang/lembaga dikritisi maka semakin
memberikan perubahan maupun progress
report untuk tidak lagi dikritisi. Tapi, saya mulai berpikir, apakah
perkataan itu masih menjadi mantra untuk saat ini dengan dinamika hukum yang
mampu dibeli dan diintervensi secara manipulatif.
Alasan
saya mendasar ketika suatu modus hukum dikritisi maka tidak akan jauh dari
terali besi penjara atas dasar pencemaran nama baik seseorang ataupun
institusi. Prita Mulyasari ketika mengkritisi Rumah Sakit ternama karena
diskriminasi pelayanan kesehatan harus mendekam di sel. Sarah Lery Mboeik
ketika mengkritisi penegakan HAM di NTT harus dianggap musuh dan komunis oleh
Letkol Arif Rahman ketika masih menjabat Danrem Kupang. Romo Frans Amanue harus
dicap sebagai pastor yang tidak berbobot karena mengadvokasi ketimpangan hukum
kaum miskin di Flores. Dumul Djami harus ditendang dari kabinet Pemkot Kupang
dan hampir dipolisikan karena mengkritisi kebijakan subjektif yang tidak propoor mantan Sekda Kota Kupang Jonas
Salean. Begitupun penulis pernah di polisikan karena sering mendemo kebijakan
pemkot kupang saat menjadi mahasiswa. Tetapi bersyukur, nama populis yang
disebutkan tidak sampai mendekam di bui penjara karena masih dilindungi
kemurahan Tuhan dan dibela rakyat.
Negara dan
Rakyat
Rakyat
tidak dapat dipisahkan dari pengertian negara karena salah satu unsur adanya sebuah
negara adalah rakyat selain kedaulatan, wilayah, pemerintahan, dan pengakuan
defakto negara lain. Dengan demikian, rakyat menyerahkan sepenuhnya kepada
negara untuk menjalankan kewajiban secara perundang-undangan demi terciptanya
kepuasan hukum dan kesejateraan bagi rakyat itu sendiri.
Tetapi
kini batas antara kewajiban negara dalam perlindungan rakyat sangat tipis
dibandingkan dengan kemampuan (vitalitas) negara dalam melindungi rakyatnya.
dr. Boyke dalam sebuah acara televisi menuturkan ketidakmampuan dalam memuaskan
hasrat klimaks reproduksi disebut impotensi.
Jika diilustrasikan pada ketidakmampuan vitalitas lembaga terhadap kepuasan
rakyat maka dapat juga disebut impoten.
Berbagai
pemberitaan di NTT yang hampir dikritisi setiap hari dalam headline media massa adalah kinerja penegakan hukum di Nusa
Tenggara Timur. Kinerja penegakan hukum selalu dipertanyakan oleh berbagai
kalangan baik korban maupun pemerhati hukum terhadap progress report sebuah kasus. Lembaga yang paling banyak dikritisi
adalah Polda NTT. Telah berganti pimpinan setiap periode, namun tetap saja
tidak mampu (impoten) memberikan kepastian penegakan hukum di Flobamora.
Impotensi Polda
NTT
Sarah
Lery Mboeik Anggota DPD RI setiap kali reses
selalu membuat merah telinga Kapolda NTT karena selalu menjudge ketidakmampuan Polda untuk menyelesaikan kasus-kasus
hukum, terlebih-lebih jika kasus hukum melibatkan anggota Polri maupun aktor
hukum lain (TNI, Jaksa, Hakim dan konglomerat).
Beberapa
kasus yang menjadi dasar kritikan impotensi kinerja di Polda NTT adalah kasus
terbunuhnya Paulus Usnaat dalam Sel Mapolsek Nunpene-TTU tanggal 2 Juni 2008
yang diduga terencana secara sistemik melibatkan penguasa wilayah dan anggota
Polri harus berulang tahun hampir satu dekade. Mutilasi pada seorang perempuan
yang dibuang pada bak sampah Fontein awal tahun 2011 diduga melibatkan seorang
aktor keamanan hingga kini belum ada kemajuan hukumnya, hanya menjadi wacana
proses hukum yang semu. Terakhir adalah tewasnya Bripka Obaja Nakmofa yang
diduga terbunuh oleh rekan sesama polisi Robson belum sepenuhnya memberikan
nilai keadilan pada keluarga korban. Ironisnya, terduga pelaku tidak terhukum
atas kasus pembunuhan tetapi terjerat atas kasus penggelapan motor curian.
Pertanyaannya, korban yang adalah anggota Polri tidak mampu diselesaikan secara
hukum oleh lembaga yang menaunginya, apalagi kasus hukum yang korbannya kaum
miskin dan marginal? Jawabnya adalah jauh panggang dari api.
Kapolda
NTT Brigjen Pol Untung Yoga Ana pernah mengatakan pada sebuah temu antara
Kompolnas dan Aktivis serta Pengamat Hukum di ruang rapat utama Mapolda NTT, “bahwa Polri ini telah baik kerjanya, tapi
banyak juga masyarakat yang tidak puas, itu karena mereka tidak tahu apa yang
kita kerjakan”. Subjektivitas Kapolda ini sebenarnya menunjukkan ‘espirit de corps’ perlindungan korps
yang dapat memberikan keleluasan penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota Polri.
Kritik itu
baik.
Sebuah
buku tulisan Widodo Umar (2009) yang saya baca ada tertulis, “jangan berhenti
mengkritik polisi” menjadi inspirasi tulisan ini. Semakin dikritik sebenarnya
kita menjadi pionir dalam memperbaiki kinerja hukum makin profesional dan
akuntabel di Indonesia.
Maksud
dari polisi profesional mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam
tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi
pelayanan terbaik; otonom, memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya, memiliki
organisasi profesi melalui asosiasi, memiliki kode etik dan kebanggaan profesi;
profesi kepolisian sebagai pengabdian, bertanggungjawab atas monopoli keahlian
dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan
tujuan bagi kelangsungan hidup organisasi. Sedangkan akuntabilitas ditandai
oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga
elemen akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian, yaitu: 1) Answeribility, mengacu pada kewajiban
polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan;
2) Enforcement, mengacu pada
kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggota apabila mereka mangkir dari
tugas-tugas negara/publik; 3) Punishibility,
mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti
melanggar code of conduct atau tindak
pidana.
Mengharapkan
profesioanal dan akuntabel dari kepolisian tidak akan terjadi dengan sendirinya
tanpa didukung pengawasan dari eksternal organisasi, yaitu masyarakat. Ciri
khas pendekatan pengawasan rakyat era reformasi dan demokrasi adalah kritik.
Kritik tanpa memberikan solusi adalah tidak membangun, dan kritik tanpa
resolusi adalah sebuah absurtisme.
Solusi dan
Resolusi
Morat
maritnya penegakan hukum menjadi pertanda kemunduran esensi hukum itu sendiri.
Secara gradual, reformasi Polri tidak segampang membalikkan telapak tangan
layaknya berjabat tangan. Tetapi, kontrol publik akan menjadi penyemangat dalam
mensikronkan reformasi untuk dilakukan secara bertahap, teratur, dan
berkesinambungan.
Untuk
itu, beberapa hal yang dapat ditawarkan adalah:
1. Setiap
pergantian pucuk pimpinan di setiap teritori dan otoritas lingkup Polri harus
ditandatangani pernyataan target penyelesaian sebuah kasus sistemik yang
terdekam tanpa ada kemajuan penanganan kasus. Kompolnas harus memberi warning
kasus prioritas penyelesaian untuk
dievaluasi progres report
setiap semester maupun setiap tahun, dan kasus-kasus tersebut harus dipublikasi
melalui media setiap dievaluasi. Solusi ini pasti dianggap sebagai retorika
oleh Polri, tetapi kenyataan selama ini, institusi Polri belum memiliki grand desighn yang jelas dan populis
setiap pergantian pucuk pimpinan di Polda NTT.
2. Membentuk tim
pencari fakta independent dengan menggandeng LSM seperti PIAR NTT, Pengacara,
dan praktisi hukum. Laporan TPF harus dibarengi dengan pelatihan khusus oleh
Polri dalam mencari fakta dan data sekaligus memberikan perlindungan kepastian
hukum pada TPF jauh dari intervensi pihak Polri. Ataupun, memintah bantuan
Kontras Jakarta dan LSM lain yang capable
dan integrity menyelidik
kasus-kasus tertentu yang sulit dipecahkan Polri. Solusi ini pasti akan
dibantah habis-habisan oleh Polri karena ketiadaan anggaran dan ketakutan
dianggap tidak mampu, tetapi banyak bukti menunjukkan bahwa TPF bentukan LSM
lebih mampu dibandingkan penyelidikan Polri. Misalkan TPF Munir mampu
membongkar aktor belakang layar pembunuhan aktivis Munir, namun eksekusi
hukumnya saja yang tumpul pada penegakan hukum untuk memberi keadilan pada
korban.
3. Kapolda NTT
perlu memikirkan pemberantasan mafia hukum dalam internal institusi karena dari
pengamatan publik sebenarnya Kapolda NTT banyak tertipu dari bawahannya.
Kapolda selalu dianggap tidak mampu memimpin oleh publik tetapi sebenarnya
dengan otoritas yang dimiliki Kapolda mampu secara prerogratif untuk memaksa
dan meminta pertanggungjawaban kinerja bawahan, jika dari evaluasi tidak
memberikan kemajuan maka direkomendasikan untuk di non job kan dari jabatan. Misalkan kasus-kasus korupsi, bawahan
lebih menjadikan tersangka sebagai tempat pemerasan “katanya permintaan
Kapolda” tetapi sesungguhnya itu adalah akal busuknya bawahan. Kasian Kapolda
dikritisi karena ketidakjujuran dan ketidakbecusan bawahan.
Mengkritisi Polri bukan merupakan
ketidaksenangan masyarakat akan institusi tetapi lebih dominasi kekecewaan
hasil hukum yang diterima korban dan pengamat hukum akan kemunduran reformasi
Polri. Kritikan publik harus dianggap sebagai penyamangat reformasi Polri,
tidak harus dijadikan sebagai ancaman. Demikian tulisan ini dibuat sebagai
wujud pemerhati Polri. Bravo POLRI. {Tulisan ini dipublikasi oleh Timor
Exprees pada 27 Agustus 2013}
Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT