SELAMAT MEMBACA

Monday, 1 July 2013

HUT POLRI KE-64


CATATAN REFORMASI POLRI DI HUT BHAYANGKARA KE-64
Oleh : Ian Haba Ora

Reformasi Polri
Reformasi polisi merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan. Reformasi sektor keamanan merupakan sebuah konsep reformasi dibidang keamanan yang bersifat holistic, mulai dari aktor, disiplin dan aktivitas; bergerak didalam prinsip dan norma demokratis; dengan demikian tujuan akhir dari RSK adalah terbentuknya sebuah sistem keamanan nasional yang integratif, demokratis dan humanis. Sedangkan reformasi kepolisian didefenisikan sebagai transformasi organisasi kepolisian agar lebih profesional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman, serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Disini polisi dituntut untuk profesional dan akuntabilitas.

Maksud dari polisi profesional mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi layanan terbaik, otonom, memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya, memiliki organisasi profesi melalui asosiasi, memiliki kode etik dan kebanggan profesi; profesi kepolisian sebagai pengabdian, bertanggung jawab atas monopoli keahlian dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup organisasi. Sedangkan secara akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian: 1). Answeribility, mengacu pada kewajiban polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; 2). Enforcement, mengacu pada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggota apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik; 3). Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana. Dengan demikian, tujuan dari reformasi polisi adalah membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan bertanggung jawab atas tiap tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi manusia. Mengapa diperlukan reformasi Polri?

Penggabungan Polri dalam ABRI melalui Keppres No 290/1964 telah menyebabkan sejumlah masalah pada polri dimana Polri berada dalam posisi yang lemah karena menjadi subordinasi satu institusi militer yang secara prinsipil mewakili watak dan fungsi yang bertentangan dengan kepolisian sebagai institusi sipil. Penggabungan Polri dan TNI juga berimplikasi pada tidak profesionalnya polri karena terjadinya tumpang tindih peran, tugas dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan dengan polri sebagai kekuatan keamanan dalam negeri dan ketertiban dibawah ABRI. Penggabungan telah membentuk kultur Polri yang militeristik tertanam dalam sistem pendidikan dan manajemen Polri sehingga mengakibatkan kerentanan terlibat dalam pelanggaran hukum dan HAM. Polri juga kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena bertindak represif, melanggar hukum dan HAM sebagaimana TNI. Dengan demikian dibutuhkan upaya memperbaiki kondisi tersebut dengan melakukan reformasi polisi yang berdasar pada norma demokrasi yaitu keterbukaan (openness) dan akuntabilitas (accountability).

Namun, konteks reformasi ini masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan seperti kondisi dilingkungan Polri masih menyisahkan dilema antara belum terkikisnya paradigma dan budaya militer dalam organisasi dengan trauma reposisi yang masih membayanginya; keberadaan Polri langsung dibawah presiden, menyebabkan polri memposisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan dan operasionalnya sekaligus dan impactnya adalah tidak adanya koordinasi antara kepala daerah sebagai penanggung jawab didaerah; format polri sebagai kepolisian nasional menyebabkan pemenuhan segala kebutuhan dan operasional polri ditanggung oleh pemerintah pusat. Ketergantungan anggaran pada pemerintah pusat menyebabkan alur anggaran polri menjadi panjang dan rawan korupsi; kendala anggaran, upaya membangun Polri yang mandiri dan profesional membutuhkan anggaran yang memadai. Hal ini menyebabkan Polri mencari anggarannya sendiri dan hal ini didukung UU Polri dimana tidak secara eksplisit menegaskan anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali anggaran untuk Komisi Kepolisian Nasional; Rasio perbandingan jumlah anggota Polri dengan jumlah penduduk. Saat ini rasio anggota Polri dengan masyarakat masih berkisar antara 1:750 hingga 1:1000. Sedangkan idealnya 1:350. Rasio perbandingan yang tidak merata ini menyulitkan Polri dalam menjalankan tugas, khususnya pada Pemolisian Masyarakat (community policing) dan Babinkamtibmas.

Reformasi Polri di NTT
Reformasi Polri di NTT ternyata tak sejalan dengan apa yang menjadi cita-cita reformasi. Reformasi polri di NTT tersirat pada pelaksanaan instrumen hukum dan organisatoris struktur, namun secara karakter belum sepenuhnya terlaksana. Aktualisasi ini, nampak pada masih adanya “distrust” masyarakat terhadap penegakan hukum Polri yang diskriminan. Seringkali kasus-kasus yang melibatkan anggota Polri, terkesan kasusnya diendapkan bahkan tidak tersentuh hukum (impunitas).  Namun, jika kasus melibatkan warga sipil, kasus tersebut terselesaikan dengan pidana atau kolusi. Sungguh mengherankan ketika tuntutan reformasi Polri namun secara institusi belum menjadi agenda. Nusa Tenggara Timur (NTT), tidak disangkali banyak kasus-kasus yang selalu terindikasi melibatkan anggota Polri.

Ironis memang ketika tuntutan reformasi Polri terus di kumandangkan, namun bertolak belakang dengan fenomena di NTT. Kasus terbunuhnya Paulus Usnaat dalam sel Mapolsek Nunpene pada 2008 lalu, hingga kini penuntasan kasusnya hanya pada “bolak balik” Kejaksaan dan Polda, diperparah lagi kasus tersebut hanya menetapkan tersangka dari warga sipil biasa sedangkan petugas piket tidak tersentuh proses hukum. Brutalitas Polri oleh anggota Samapta Polda NTT 12 Oktober 2009 yang mengakibatkan tewasnya Jerry Lay dan Cristofel Taebenu lantaran terkena tendangan salah satu anggota Polri, hingga kini kasusnya terkesan diendapkan. Begitupun, kasus keterlibatan Kanit Buser Polres Belu Soleman Kapitan dalam kasus Judi yang digerebek Brimobda Kompi A Atambua 06 Februari 2010, hingga kini kasusnya masih dalam proses hukum yang terkesan jauh dari penegakan hukum.

Fenomena lain, dugaan penembakan oleh seorang perwira Polda NTT, Adibert Adoe terhadap Lurah Naioni, M. Penun lantaran mangan ilegal yang diduga miliknya ditahan oleh warga bersama pemerintah Kelurahan, hingga kini penanganan proses hukum di Propam Polda NTT terkesan hilang dan raib. Brutalitas anggota Polri terhadap seorang mahasiswa FKIP Unimor yang dilakukan Briptu Lette cs, belum sepenuhnya memberi kepuasan pada korban. Beberapa kasus diatas, merupakan sebahagian kecil  kasus-kasus yang terpantau dan menjadi perhatian publik dalam proses penegakan hukum. Data Task Force Team NTT dari investigasi media, angka brutalitas Polri menempatkan rangking tertinggi dengan 98 kasus. Dari 98 kasus tersebut, 10 diantaranya telah terselesaikan dengan kekuatan hukum tetap dan 88 masih dalam proses penyelidikan. Disusul dengan 15 kasus keterlibatan anggota Polri dalam ilegal mining, satu diantaranya melibatkan Primkopol dalam pengangkutan mangan yang terindikasi ilegal di So’e Kabupaten TTS. Kemudian, 10 kasus keterlibatan anggota Polri dalam KDRT, Indisipilin Polri, Inkar Nikah, kekerasan seksual, makelar kasus, judi, dan lain-lain. Torehan kasus-kasus tersebut, jika tidak menjadi perhatian serius maka tidak dapat dipungkiri bahwa institusi Polri menjadi institusi yang mengesampingkan agenda reformasi Polri yang berbuntut pada pelanggaran hak asasi manusia.

Fenomena ini menunjukkan bahwa ditubuh institusi Polri sendiri, reformasi watak dan karakter Polri belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Meskipun, secara intrumen dan struktur, intitusi Polri telah melakukan reformasi walaupun dikatakan belum sempurna.

Akibat kurang optimalnya reformasi Polri, hingga kini masih banyak masyarakat kecewa atas tindakan polisi dalam melaksanakan tugas, seperti pungli saat pengurusan dan tilang STNK&SIM, salah tangkap, memeras, memperkosa tahanan, distorsi pembunuhan saat lakalantas, tidak ada jaminan keamanan dalam sel tahanan dan lain sebagainya. Karena reformasi Polri belum terlaksana secara optimal, untuk itu perlu terobosan dalam hal didudukannya ulang : Fungsionalisasi Polri dalam sistem keamanan nasional bersama fungsi-fungsi kepolisian dan alat-alat keamanan lainnya.  Pembentukan lembaga pengawas diluar Polri (external oversight) yang diberi wewenang oleh UU untuk mengawasi penjabat maupun anggota-anggota polisi dalam menjalankan tugas sehari-hari, sehingga memotong semangat “espirit de corps” yang masih kental dalam institusi Polri. Perubahan proses rekruitmen, sistem pendidikan dan pembinaan karier yang diarahkan pada pengelolaan secara transparan sesuai prinsip merit-system (polisi sipil). Perubahan karakteristik kepemimpinan dalam manajemen operasi dan pembinaan personel polri yang masih militeristik.  

Konsepsi redefinisi dalam memperhatikan luasnya bidang yang menyangkut reformasi Polri, naïf jika reformasi tersebut secara privilege dilaksanakan oleh Polri sendiri tanpa mengikutsertakan berbagai kalangan seperti, Politisi, Akademisi, Lembaga Non Pemerintah, Praktisi Hukum, dan masyarakat sipil lainnya. Hal ini mengingat setelah ± sebelas tahun reformasi berjalan, penataan kelembagaan Polri belum mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

HUT Polri dan Harapan
Tulisan ini, wujud kampanye Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform) oleh Task Force Team NTT dan F PAR Kota Kupang dalam memperjuangkan Human Security di Nusa Tenggara Timur di Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara yang ke 64 Tahun 2010. Tulisan ini, sebagai refleksi Apakah RSK di Institusi Kepolisian telah menyentuh secara Struktur, Instrumen dan Kultural para penegak hukum? Tanggung jawab keamanan merupakan tanggung jawab bersama sebagai sebuah Negara yang demokratis sehingga harapan akan polisi yang betul-betul sipil dapat terwujud. Polisi sipil menghormati hak-hak sipil. Masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai ini telah dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif negara (the guardian of civilian values). Polisi sipil mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Dengan demikian pada polisi sipil melekat sikap-sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak melakukan kekerasan dan mengedepankan persuasif menjadi ciri utamanya. Pengertian sipil secara diametral jauh dari karakteristik militer, sejalan dengan defenisi yang diangkat dalam perjanjian hukum international yang meletakkan kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang (non-combatant), sementara tentara didesain untuk berperang (combatant).

Apakah dengan maraknya kasus illegal mining di NTT yang mengindikasikan keterlibatan oknum Polri, Brutalitas Polisi, bentrok TNI dan Polri, Penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dalam tahanan, penyiksaan dan penganiayaan terhadap korban kekerasan, becking bisnis ilegal dan perbuatan amoral oknum polri dapat dikatakan bahwa institusi kepolisian sudah mereformasi? Disinilah Organisasi Masyarakat Sipil (civil society organization) berperan karena kebutuhan akan keamanan merupakan kebutuhan publik dan juga dalam rangka mendongkrak agenda reformasi sektor keamanan! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 1 Juli 2010).


-------------------------------
Penulis: Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

TRANSLATE: