CATATAN REFORMASI POLRI DI HUT BHAYANGKARA
KE-64
Oleh : Ian Haba Ora
Reformasi Polri
Reformasi polisi merupakan bagian dari reformasi sektor
keamanan. Reformasi sektor keamanan merupakan sebuah konsep reformasi dibidang
keamanan yang bersifat holistic, mulai dari aktor, disiplin dan aktivitas;
bergerak didalam prinsip dan norma demokratis; dengan demikian tujuan akhir
dari RSK adalah terbentuknya sebuah sistem keamanan nasional yang integratif,
demokratis dan humanis. Sedangkan reformasi kepolisian didefenisikan sebagai
transformasi organisasi kepolisian agar lebih profesional dan akuntabel dalam
memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman, serta responsif dalam
memahami kebutuhan masyarakat. Disini polisi dituntut untuk profesional dan
akuntabilitas.
Maksud dari polisi profesional mengacu pada penggunaan
pengetahuan dan keahlian dalam tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan
latihan berjangka panjang; memberi layanan terbaik, otonom, memiliki lembaga
kontrol atas kinerjanya, memiliki organisasi profesi melalui asosiasi, memiliki
kode etik dan kebanggan profesi; profesi kepolisian sebagai pengabdian,
bertanggung jawab atas monopoli keahlian dan memiliki seperangkat ajaran yang
dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup
organisasi. Sedangkan secara akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi
menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas
yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian: 1). Answeribility, mengacu pada
kewajiban polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang
mereka lakukan; 2). Enforcement, mengacu pada kemampuan polisi menerapkan
sanksi kepada anggota apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik;
3). Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila
mereka terbukti melanggar code of conduct
atau tindak pidana. Dengan demikian, tujuan dari reformasi polisi adalah
membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan bertanggung jawab atas tiap
tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi manusia. Mengapa diperlukan reformasi Polri?
Penggabungan Polri dalam ABRI melalui Keppres No 290/1964
telah menyebabkan sejumlah masalah pada polri dimana Polri berada dalam posisi
yang lemah karena menjadi subordinasi satu institusi militer yang secara
prinsipil mewakili watak dan fungsi yang bertentangan dengan kepolisian sebagai
institusi sipil. Penggabungan Polri dan TNI juga berimplikasi pada tidak
profesionalnya polri karena terjadinya tumpang tindih peran, tugas dan fungsi
TNI sebagai kekuatan pertahanan dengan polri sebagai kekuatan keamanan dalam
negeri dan ketertiban dibawah ABRI. Penggabungan telah membentuk kultur Polri
yang militeristik tertanam dalam sistem pendidikan dan manajemen Polri sehingga
mengakibatkan kerentanan terlibat dalam pelanggaran hukum dan HAM. Polri juga
kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena bertindak represif, melanggar
hukum dan HAM sebagaimana TNI. Dengan demikian dibutuhkan upaya memperbaiki
kondisi tersebut dengan melakukan reformasi polisi yang berdasar pada norma
demokrasi yaitu keterbukaan (openness)
dan akuntabilitas (accountability).
Namun, konteks reformasi ini masih dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan seperti kondisi dilingkungan Polri masih menyisahkan
dilema antara belum terkikisnya paradigma dan budaya militer dalam organisasi
dengan trauma reposisi yang masih membayanginya; keberadaan Polri langsung
dibawah presiden, menyebabkan polri memposisikan diri sebagai lembaga yang
memproduksi kebijakan dan operasionalnya sekaligus dan impactnya adalah tidak
adanya koordinasi antara kepala daerah sebagai penanggung jawab didaerah;
format polri sebagai kepolisian nasional menyebabkan pemenuhan segala kebutuhan
dan operasional polri ditanggung oleh pemerintah pusat. Ketergantungan anggaran
pada pemerintah pusat menyebabkan alur anggaran polri menjadi panjang dan rawan
korupsi; kendala anggaran, upaya membangun Polri yang mandiri dan profesional
membutuhkan anggaran yang memadai. Hal ini menyebabkan Polri mencari
anggarannya sendiri dan hal ini didukung UU Polri dimana tidak secara eksplisit
menegaskan anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali anggaran untuk Komisi
Kepolisian Nasional; Rasio perbandingan jumlah anggota Polri dengan jumlah
penduduk. Saat ini rasio anggota Polri dengan masyarakat masih berkisar antara
1:750 hingga 1:1000. Sedangkan idealnya 1:350. Rasio perbandingan yang tidak
merata ini menyulitkan Polri dalam menjalankan tugas, khususnya pada Pemolisian
Masyarakat (community policing) dan
Babinkamtibmas.
Reformasi Polri di NTT
Reformasi Polri di NTT ternyata tak sejalan dengan apa
yang menjadi cita-cita reformasi. Reformasi polri di NTT tersirat pada
pelaksanaan instrumen hukum dan organisatoris struktur, namun secara karakter
belum sepenuhnya terlaksana. Aktualisasi ini, nampak pada masih adanya “distrust” masyarakat terhadap penegakan
hukum Polri yang diskriminan. Seringkali kasus-kasus yang melibatkan anggota
Polri, terkesan kasusnya diendapkan bahkan tidak tersentuh hukum (impunitas). Namun, jika kasus melibatkan warga sipil,
kasus tersebut terselesaikan dengan pidana atau kolusi. Sungguh mengherankan
ketika tuntutan reformasi Polri namun secara institusi belum menjadi agenda.
Nusa Tenggara Timur (NTT), tidak disangkali banyak kasus-kasus yang selalu
terindikasi melibatkan anggota Polri.
Ironis memang ketika tuntutan reformasi Polri terus di
kumandangkan, namun bertolak belakang dengan fenomena di NTT. Kasus terbunuhnya
Paulus Usnaat dalam sel Mapolsek Nunpene pada 2008 lalu, hingga kini penuntasan
kasusnya hanya pada “bolak balik” Kejaksaan dan Polda, diperparah lagi kasus
tersebut hanya menetapkan tersangka dari warga sipil biasa sedangkan petugas
piket tidak tersentuh proses hukum. Brutalitas Polri oleh anggota Samapta Polda
NTT 12 Oktober 2009 yang mengakibatkan tewasnya Jerry Lay dan Cristofel Taebenu
lantaran terkena tendangan salah satu anggota Polri, hingga kini kasusnya
terkesan diendapkan. Begitupun, kasus keterlibatan Kanit Buser Polres Belu
Soleman Kapitan dalam kasus Judi yang digerebek Brimobda Kompi A Atambua 06
Februari 2010, hingga kini kasusnya masih dalam proses hukum yang terkesan jauh
dari penegakan hukum.
Fenomena lain, dugaan penembakan oleh seorang perwira
Polda NTT, Adibert Adoe terhadap Lurah Naioni, M. Penun lantaran mangan ilegal
yang diduga miliknya ditahan oleh warga bersama pemerintah Kelurahan, hingga
kini penanganan proses hukum di Propam Polda NTT terkesan hilang dan raib.
Brutalitas anggota Polri terhadap seorang mahasiswa FKIP Unimor yang dilakukan
Briptu Lette cs, belum sepenuhnya memberi kepuasan pada korban. Beberapa kasus
diatas, merupakan sebahagian kecil
kasus-kasus yang terpantau dan menjadi perhatian publik dalam proses
penegakan hukum. Data Task Force Team NTT dari investigasi media, angka
brutalitas Polri menempatkan rangking tertinggi dengan 98 kasus. Dari 98 kasus
tersebut, 10 diantaranya telah terselesaikan dengan kekuatan hukum tetap dan 88
masih dalam proses penyelidikan. Disusul dengan 15 kasus keterlibatan anggota
Polri dalam ilegal mining, satu diantaranya melibatkan Primkopol dalam pengangkutan
mangan yang terindikasi ilegal di So’e Kabupaten TTS. Kemudian, 10 kasus
keterlibatan anggota Polri dalam KDRT, Indisipilin Polri, Inkar Nikah,
kekerasan seksual, makelar kasus, judi, dan lain-lain. Torehan kasus-kasus
tersebut, jika tidak menjadi perhatian serius maka tidak dapat dipungkiri bahwa
institusi Polri menjadi institusi yang mengesampingkan agenda reformasi Polri
yang berbuntut pada pelanggaran hak asasi manusia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ditubuh institusi Polri
sendiri, reformasi watak dan karakter Polri belum sepenuhnya terlaksana dengan
baik. Meskipun, secara intrumen dan struktur, intitusi Polri telah melakukan
reformasi walaupun dikatakan belum sempurna.
Akibat kurang optimalnya reformasi Polri, hingga kini
masih banyak masyarakat kecewa atas tindakan polisi dalam melaksanakan tugas,
seperti pungli saat pengurusan dan tilang STNK&SIM, salah tangkap, memeras,
memperkosa tahanan, distorsi pembunuhan saat lakalantas, tidak ada jaminan
keamanan dalam sel tahanan dan lain sebagainya. Karena reformasi Polri belum terlaksana secara optimal, untuk itu perlu
terobosan dalam hal didudukannya ulang : Fungsionalisasi Polri dalam sistem
keamanan nasional bersama fungsi-fungsi kepolisian dan alat-alat keamanan
lainnya. Pembentukan lembaga pengawas
diluar Polri (external oversight) yang diberi wewenang oleh UU untuk mengawasi
penjabat maupun anggota-anggota polisi dalam menjalankan tugas sehari-hari,
sehingga memotong semangat “espirit de corps” yang masih kental dalam institusi
Polri. Perubahan proses rekruitmen, sistem pendidikan dan pembinaan karier yang
diarahkan pada pengelolaan secara transparan sesuai prinsip merit-system
(polisi sipil). Perubahan karakteristik kepemimpinan dalam manajemen operasi
dan pembinaan personel polri yang masih militeristik.
Konsepsi redefinisi dalam memperhatikan luasnya bidang
yang menyangkut reformasi Polri, naïf jika reformasi tersebut secara privilege
dilaksanakan oleh Polri sendiri tanpa mengikutsertakan berbagai kalangan
seperti, Politisi, Akademisi, Lembaga Non Pemerintah, Praktisi Hukum, dan
masyarakat sipil lainnya. Hal ini mengingat setelah ± sebelas tahun reformasi
berjalan, penataan kelembagaan Polri belum mencapai sasaran yang telah
ditetapkan.
HUT Polri dan Harapan
Tulisan ini, wujud
kampanye Reformasi Sektor Keamanan (Security
Sector Reform) oleh Task Force Team
NTT dan F PAR Kota Kupang dalam memperjuangkan Human Security di Nusa Tenggara Timur di Hari Ulang Tahun (HUT)
Bhayangkara yang ke 64 Tahun 2010. Tulisan ini, sebagai refleksi Apakah RSK di Institusi
Kepolisian telah menyentuh secara Struktur, Instrumen dan Kultural para penegak
hukum? Tanggung jawab keamanan merupakan tanggung jawab bersama sebagai sebuah
Negara yang demokratis sehingga harapan akan polisi yang betul-betul sipil
dapat terwujud. Polisi sipil menghormati hak-hak sipil. Masyarakat demokratis
membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai
sipil. Nilai-nilai ini telah dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin
sebagai hukum positif negara (the guardian
of civilian values). Polisi sipil mengedepankan pendekatan kemanusiaan.
Dengan demikian pada polisi sipil melekat sikap-sikap budaya yang sopan,
santun, ramah, tidak melakukan kekerasan dan mengedepankan persuasif menjadi
ciri utamanya. Pengertian sipil secara diametral jauh dari karakteristik
militer, sejalan dengan defenisi yang diangkat dalam perjanjian hukum
international yang meletakkan kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak
terlibat perang (non-combatant),
sementara tentara didesain untuk berperang (combatant).
Apakah dengan maraknya kasus illegal mining di NTT yang mengindikasikan
keterlibatan oknum Polri, Brutalitas Polisi, bentrok TNI dan Polri, Penangkapan
sewenang-wenang, penyiksaan dalam tahanan, penyiksaan dan penganiayaan terhadap
korban kekerasan, becking bisnis ilegal dan perbuatan amoral oknum polri dapat
dikatakan bahwa institusi kepolisian sudah mereformasi? Disinilah Organisasi
Masyarakat Sipil (civil society organization) berperan karena kebutuhan akan
keamanan merupakan kebutuhan publik dan juga dalam rangka mendongkrak agenda
reformasi sektor keamanan! (Tulisan ini pernah
dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 1 Juli 2010).
-------------------------------
Penulis: Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT