Oleh. Ian Haba Ora
Wakil Sekretaris Forum Pengawas Independen Polri NTT
Opini ini dipublikasi SKH Timor Express pada Selasa, 11 Februari
2014
Pengantar
“Saya akan segera pecat oknum anggota
Polri. Saya tidak ada urusan karena oknum itu telah merusak citra korps
kepolisian. Masa polisi terlibat sindikat curanmor. Itu sangat memalukan,”
ungkap Kapolda NTT Ricky HP Sitohang ketika salah satu anggota Polri pada
Propam Polda NTT Bripka Jhon Lou (JL) ditetapkan sebagai tersangka Curanmor (http://www.suarakarya-online.com). Selain
tersangka JL, Polda juga memproses tiga anggota polisi yang terlibat kasus
pencurian motor (curanmor) yang terjadi di NTT. “Tidak boleh polisi yang
menjadi pencuri,” lanjut Sitohang pada media massa sekitar Januari 2012 (http://www.nttterkini.com).
Tribunnews.com sekira Nopember 2012 memberitakan
bahwa selain Bripka JL, pelaku curanmor melibatkan polisi juga di sangkakan
pada Bripka TF anggota Polda NTT. TF bertindak sebagai penadah dan distributor
meloloskan kendaraan curanmor keluar daerah bahkan lintas negara. Pelaku
berseragam polisi yang terduga dan tertangkap tersebut merupakan manifestasi
dan gambaran bahwa di aparatur hukum sendiri tidak steril dari
sindikat-sindikat kejahatan seperti curanmor yang marak di Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Ironis lagi bahwa sindikat ini telah melibatkan jaringan lintas
batas baik nasional dan internasional, pelaku utamanya pun disebut-sebut adalah
polisi.
Tidak tegasnya korps polisi dalam menindak
anggotanya untuk profesional dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas dan
instruksi sebagai pelindung, penjaga keamanan dan ketertiban, pelayan
masyarakat, dan penengak hukum makin menyemangati anggota polri untuk berbuat
kejahatan. Buktinya, Bripka John Lou yang telah menjadi napi curanmor tahun
2012 lalu, harus kembali berurusan dengan institusinya karena terlibat
kejahatan yang sama sebagai residivis curanmor. Menjalani hukuman sebagai pelaku
kejahatan diterali jeruji sel tidak mampu mengubah tabiat kejahatan dari
anggota Polri ini. Bahkan janji Kapolda Sitohang untuk memecat anggota yang
terlibat curanmor tidak mampu dilakukan sampai saat ini ketika jabatan Kapolda
telah berganti ke Brigjen Untung Yoga Ana.
Sulit terungkapnya kasus curanmor di NTT
dapat diindikasikan sebagai bentuk dukungan Polda NTT untuk mendukung makin
maraknya kejahatan Curanmor. Berbagai daya keterlibatan Polri pun diakui oleh
pimpinan Polres-Polres di NTT bahwa sulitnya pengungkapan Curanmor di NTT
karena jaringan ini telah masif dan berakar di NTT (Haba Ora, 2014). Tertangkapnya
Bripka JL sebagai residivis curanmor pada Sabtu (8/2/2014) Sore di Perumahan
BTN Kolhua merupakan tamparan pada korps kepolisian sebagai institusi penegak
hukum yang dapat dipameokan sebagai pemelihara pencuri.
Masyarakat kini bertanya-tanya, mampukah
Polri (Polda NTT) menuntaskan keterlibatan anggotanya sebagai sindikat
curanmor. Masyarakat NTT telah direcoki citra buruk kepolisian sebagai
institusi yang tumpul dan impoten mengungkap setiap kejahatan curanmor di NTT.
Sulit dan rumit pengungkapan kasus curanmor di NTT oleh pihak kepolisian dapat dianggap
justifikasi sebagai dukungan dan spirit
korps berbaju coklat mendukung aksi kejahatan curanmor. Lebih ironi, Polda NTT
terkesan melindungi anggotanya yang terlibat dalam sindikat curanmor. Janji
Kapolda untuk memecat anggotanya yang terlibat sindikat curanmor hanya sebatas
ungkapan majas dan pemanis untuk tidak perlu dibuktikan.
Polisi Profesional dan Akuntabilitas
Keterlibatan anggota Polri dalam sindikat
kejahatan telah menjadi rahasia umum. Sindikat kejahatan curanmor hanya menjadi
lembaran kasuistik yang ditelaah Polri, namun jika dibedah lebih mendalam,
keterlibatan anggota polri dalam sindikat kejahatan ibarat gunung es, sedikit
yang tampak namun meluas yang belum terungkap. Jika lembaga korps saja sebagai
institusi penegak hukum telah diperkosa oleh infiltrasi sindikat curanmor,
bagaimana dengan warga negara yang selama ini mengharapkan dan menumpuhkan
harapan agar polisi makin profesional dan akuntabel.
Profesional mengacu pada penggunaan
pengetahuan dan keahlian berdasar pendidikan dan latihan sesuai tupoksi
kepolisian, layanan publik terbaik, otonom, memiliki mekanisme dan lembaga
kontrol kinerja kepolisian, memiliki asosiasi organisasi profesi sebagai aplikasi
pengabdian dan kode etik, dan arah tujuan organisasi polisi. Sedangkan
akuntabilitas lebih mengacu pada tiga elemen, yakni: pertama, asweribility
dimana polisi mengacu pada kewajiban memberikan informasi dan penjelasan atas
segala apa yang dilakukan; kedua,
enforcement, mengacu pada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggota
apabila mereka mangkir dari tugas negara atau publik; dan ketiga, punishibiliy, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima
sanksi bila mereka terbukti melanggar code
of conduct atau tindakan pidana (Widodo Umar, 2009).
Ternyata, apa yang telah digariskan dan
ditumpuhkan warga negara kepada kepolisian
agar profesional dan akuntabilitas sebatas retorika absurt. Masyarakat
semakin tidak mempercayai polisi, akibatnya adalah ungkapan-ungkapan kekesalan
dan kekecewaan warga negara kepada kepolisian di negeri ini.
Ditetapkan Bripka JL sebagai tersangka jaringan
curanmor di NTT seharusnya menjadi ujian Polda NTT untuk lebih memaksimalkan
upaya profesional dan akuntabilitas polri sebagai institusi penegak hukum.
Pengungkapan kasus-kasus curanmor yang belum terselesaikan hingga saat ini,
sekiranya menjadi perhatian serius aparatur hukum untuk membarantas kejahatan
curanmor dan sebagai bentuk membangun kepercayaan masyarakat (trust building).
Polisi di Indonesia Tidak Berbobot
Warga negara menjadi lesu dan pesimis akan
eksistensi kepolisian dalam mengungkap dan memberantas bentuk-bentuk kejahatan
di negeri ini, apalagi jika pelaku kejahatan tersebut merupakan jaringan
sindikat anggota kepolisian. Rasa pesimistis dan apriori terhadap polisi
menjadikan institusi polri semakin memiliki citra buruk di kacamata warga
negara. Ini dibuktikan hasil Survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
dirilis Senin (1/12/2010) membeberkan bahwa Polri sebagai lembaga pencitraan
buruk karena mendapat nilai dibawah rata-rata yaitu 6 (http://politik.news.viva.co.id/news/read/186193). Hasil riset Transparency International Indonesia
(TII) melalui Global Corruption Barometer (GCB) menyebutkan bahwa kepolisian
dianggap sebagai lembaga terkorup dalam kaitan dengan pelayanan publik. 53
persen dari 1000 responden menyatakan polisi selalu meminta bayaran suap saat
berurusan dengan mereka (http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/11). Demikian juga berdasar hasil survei Corruption Perception Index (CPI) 2013,
Polri masih menjadi lembaga terkorup di Indonesia.
Tiga data hasil survei tersebut merupakan
gambaran tingkat kepercayaan masyarakat pada Polri yang semakin menurun seiring
dengan cara pandang warga negara akan ketidakprofesionalan Polri dalam memberi
perlindungan dan penegakan hukum di warga negara. Warga negara sangsi akan
kemampuan Polri dalam menuntaskan kejahatan-kejahatan di wilayah operasional
Polri, apalagi jika pelaku merupakan anggota korps. Perilaku-perilaku korup
dalam institusi sering menciderai nilai-nilai hukum di negeri ini. Dimungkinkan
bahwa perilaku korup anggota Polri berimbas pada perilaku anggota Polri dalam
sindikat curanmor. Temuan-temuan fakta lapangan ini menjadikan institusi Polri
merupakan institusi yang tidak berbobot.
POLDA HARUS BERSIKAP
Kejahatan-kejahatan yang melibatkan
anggota Polri harus mendapat penghukuman setimpal untuk membersihkan citra
buruk kepolisian. Kapolda NTT tidak harus selalu menghiasi pemberitaan media
massa dan eletronik dengan kata-kata manis, namun tidak ada sesuatupun yang
terealisasi. Ini dimaksudkan agar masyarakat mampu merasakan bukti keseriusan
Kapolda sebagai pimpinan tertinggi untuk merespon dinamika kejahatan yang
terjadi.
Meskipun Indonesia telah banyak mengatur
instrumen sikap dan tingkah laku korps coklat ini sesuai dengan kemajuan dan
teknologi namun belum diikuti oleh kemajuan reformasi struktur dan perubahan
perilaku anggota yang koruptif dan riskan sindikat dalam institusi. Kapolda
harus sadar akan penyusupan benalu sindikat kejahatan dalam institusi yang
menggunakan kewenangan kepolisian untuk memuluskan aksi-aksi kejahatan. Polda
NTT pun tidak perlu tertutup atas segala proses hukum yang sedang dilakukan
pada tersangka curanmor maupun kejahatan lain yang melibatkan polisi sebagai
pelaku agar tingkat pengawasan dan kontrol masyarakat dapat maksimal memulihkan
citra polisi yang buruk. Sejauh mana profesioanlitas dan akuntabilitas Polri
dalam mengungkap setiap kejahatan anggota Polri akan berkorelasi positif
tingkat kepercayaan masyarakat polri. Meskipun Polri gagal dalam desighn strategic 2005-2010 dalam
pembangunan kepercayaan masyarakat, namun belum bisa dikatakan gagal ketika
Polri ingin berusaha.
Penutup
Kasus curanmor yang melibatkan salah satu
anggota Propam Polda NTT dan bahkan telah menyandang status residivis merupakan
tamparan keras yang harus segera direspon Polda NTT untuk bersikap sebagai
penegak hukum agar etika profesional dan akuntabilitas polri dapat terukur. Selama
ini, jika kasus kejahatan melibatkan anggota Polri maka yang terjadi adalah
Polri terkesan menutupi agar tidak diketahui publik. Apabila telah diketahui
publik dan menjadi booming maka Polri
akan berargumentatif sebagai kejahatan oknumisasi. Cara-cara ini merupakan
strategi lama yang belum hilang di tubuh Polri sebagai semboyan e spirit de corps (semangat melindungi
korps).