Satpol PP Dalam Otonomi Daerah
Oleh. Ian Haba
Ora
Pengorbanan darah dan nyawa pemuda
negri meruntuhkan kabinet pemerintahan Orde Baru untuk mendeklarasikan
reformasi di tahun 1999, seiring durasi waktu (gradual) menunjukkan
signifikansi kemajuan pembangunan nasional melalui penerapan undang-undang,
reformasi birokrasi, dan reformasi perilaku aparatur agar terciptanya good gevernance and clean governance (Pemerintahan
yang baik dan bersih). Aktualisasi tampak pada konsep pemerintahan sentralistik
berganti desentralisasi, dekosentrasi, depolitisasi, demiliterisasi dan juga
pemberian ruang partisipasi publik untuk terlibat langsung dalam proses-proses
demokrasi sebagai jaminan hak sipil-politik, ekonomi, sosial-budaya (penegakan
HAM).
Konstitusional legalis UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjamin daerah (pemberian otonomi) untuk mengatur dan
mengurus pemerintahan sendiri dalam bingkai NKRI. Untuk membantu kerja daerah
maka dibentuklah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) oleh pemerintah daerah.
Pasal 148 dan 149 UU Pemda menegaskan bahwa masalah ketentraman dan ketertiban
umum, sekaligus penegakan peraturan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah
dibebankan pada Satuan Polisi Pamong Praja. Derivasi amanat UU ini adalah PP
Nomor 32 Tahun 2004 yang direvisi dengan PP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman
Satuan Polisi Pamong Praja. Penjelasan umum PP tersebut menegaskan sesuai
dengan semangat reformasi dan otonomi daerah maka penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat dibebankan tugas dan tanggungjawab pada
institusi Satpol PP dengan tugas membantu Kepala Daerah untuk menciptakan suatu
kondisi daerah yang tentram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan roda
pemerintahan dapat berjalan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya
dengan aman.
Amanat konstitusi Satpol PP yang terkesan alih fungsi dan
tugas dari urusan wajib Pemda dalam penegakan Perda dan Peraturan Kepala Daerah
secara subjektif dapat dikatakan sebagai underbown
Kepala Daerah. Aktualisasi represif dan arogansi Pol PP setiap penertiban dan
ketentraman umum justifikasi jiwa
premanisme aktor pelanggar hak asasi, seperti penangkapan dan penahanan non
prosedural; tindakan dan penyiksaan tidak berprikemanusiaan dan merendahkan
martabat manusia dan pelecehan seksual (contoh: WTS, Waria, kaum termaginal); abuse of power hukuman badan; prosedur
penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah; dan eksekusi penggusuran di luar
hukum, sewenang-wenang atau tidak
melalui proses semestinya. Contoh ini menunjukkan aksi kekerasan dan
pelanggaran dalam otonomi daerah diartikan sebagai upaya kebijakan khusus
pemimpin daerah untuk memobilisasi perangkat daerah representatif subjektivitas
dan kelompok tujuan tertentu.
Otonomi
Daerah
Pasal 1 ayat (5) UU 32/2004 mendeskripsikan otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dengan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Untuk membantu kepala daerah maka dibentuk SKPD sesuai PP Nomor 38
Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah,
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Isran Noor (2012) berpendapat bahwa otonomi daerah adalah
penciptaan good local governance,
artinya pemerintah daerah dalam menjalankan desentralisasi berorientasi good local governance harus mampu
meningkatkan baik efisiensi alokasi melalui penyesuaian pelayanan publik
terhadap preferensi lokal, dan juga efisiensi produktif dalam arti
responsivitas dan akuntabilitas. Dengan demikian tujuan otonomi daerah adalah
pemberian kewenangan pada Pemda untuk pengelolaan sumber daya dan
penyelenggaraan pemerintahan yang demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
dan kekhususan demi kesejateraan rakyat karena tanpa peningkatan kesejateraan
rakyat, sendi-sendi demokrasi akan rapuh.
Aktualisasi
Kepemimpinan
Kesejateraan rakyat dapat dicapai melalui peran optimal
Pemerintah Daerah dengan dunia usaha serta partisipasi masyarakat, didukung
oleh perundang-undangan serta regulasi teknis, karena undang-undang terbentuk
berdasar harapan (cita-cita), sehingga dipayungi untuk kesejateraan rakyat
berdasar pengaturan dan pengawasan melalui layanan umum untuk meningkatkan daya
saing daerah.
Penciptaan keteraturan di daerah melalui pembuatan Perda dan
peraturan kepala daerah oleh pelaku otonom (Pemda dan DPRD) agar setiap
kebijakan yang diambil mendorong partisipasi publik. Tapi fakta berkata lain,
otonomi daerah dianggap sebagai kedaulatan veto untuk berbuat apa saja.
Kesalahan ini menjadi impunitas SKPD sebagai pelaku infrastruktur otonomi
daerah.
Aksi brutalitas dan premanisme Satpol PP menjadi impunitas
Kepala Daerah untuk menekan kelompok minoritas (kelompok marginal). Lakon
emosional diperkuat regulasi daerah, dan semangat struktur berada langsung di
bawah kepala daerah sehingga jika ada pihak penentang maka akan menjadi
sasaran.
Selain arogansi dan brutalitas bertopeng regulasi daerah,
absurtisme anggaran Satpol PP pun demikian. Pasal 30 ayat (1) PP 6/2010
menegaskan bahwa pendanaan dalam teknis operasional dibebankan pada APBD dan
pembinaan dibebankan pada APBN. Ironisme dalam setiap nomenklatur APBD hanya
pemenuhan perlengkapan maka pendekatan yang dilakukan adalah pelatihan dan
pengajaran fisik (militer), sedangkan pembinaan oleh pusat tidak jelas
terdeskripsikan.
Akibat pemahaman otonomi daerah yang tidak sepenuhnya
dipahami pemimpin daerah maka Syafiie
(2004) mengatakan arogansi Pemda masih terkooptasi falsafah birokrat masa lalu
yaitu, kerja yang ketat pada aturan (rule),
tugas khusus (spesialisasi), kaku dan
sederhana (zakelijk), penyelenggaraan
yang resmi (formal), pengaturan dari
atas ke bawah (hirarkis), berdasar
logika (nasional), tersentralistis (otoritas), taat dan patuh (obedience), tidak melanggar ketentuan (dicipline), terstruktur (sistematis), tanpa pandang bulu (impersonal). Jika kondisi ini yang
dijalankan maka akan melahirkan karakteristik dari perilaku birokrat yang
akhir-akhir ini menjadi patologi (penyakit) dalam pemerintahan diantaranya,
budaya feodalistik masih terasa, kebiasaan menunggu petunjuk pengarahan,
loyalitas kepada atasan bukan kepada tugas organisasi, belum berorientasi pada
prestasi, keinginan melayani rendah, belum ditopang teknologi secara
menyeluruh, budaya ekonomi tinggi, dan jumlah pegawai relatif banyak tapi
kurang bermutu dan asal jadi.
Reinkarnasi sentralistis dalam bingkai otonomi daerah akan
membentuk pemerintahan oligarki. Seharusnya, pemimpin daerah harus memaknai
otonomi daerah sebagai servis (pelayanan), rasa puas orang yang memerlukan
pelayanan bisa diartikan dengan memperbandingkan pandangan antara penerima
manfaat dan harapan penerima manfaat layanan.
Otonomi daerah membuka ruang penggunaan “korps preman
berseragam” sebagai penekan sehingga rasa puas orang tidak lagi dipahami
sebagai kebutuhan namun lebih pada ketakutan. DPRD pun sebagai representasi
rakyat tidak mampu berbuat apa-apa ketika terjadi konflik antara rakyat dan
pemerintah. Bungkamnya DPRD menimbulkan inkonsistensi legislatif yang lemah,
sinergi pelayanan tidak maksimal. Fungsi pengawasan akan rawan mengikuti
kepentingan Pemda dan masuk dalam kelompok KKN karena tidak akan dikritik
legislatif. Atau sebaliknya, jika legislatfi hanya bicara saja dan mengkritik
cenderung menghambat pembangunan daerah yang berdampak pada kesejahteraan
rakyat.
Oleh karena itu, suatu SKPD akan baik jika dipimpin oleh
karakter dan sumber daya yang baik. Demikian juga dengan Satpol PP. Inu Kencana
(2002) mengungkapkan bahwa yang hilang dari pemimpin daerah ataupun wakil
rakyat adalah perasaan yang berasal dari seni pemerintahan itu sendiri,
kemudian yang hilang adalah moral yang berasal dari etika pemerintaha itu
sendiri, mereka hanya berlogika tetapi tidak beretika dan tidak berestetika,
artinya para pemimpin pemerintahan (eksekutif dan legislatif) hanya pintar
tetapi tidak bermoral dan tidak berseni. Itulah yang disebut benar tetapi tidak
baik dan tidak indah kepemimpinannya. (Tulisan ini
dipublikasi Harian Kota “KURSOR” Jumat, 16 Agustus 2013).
Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT