SELAMAT MEMBACA

Friday, 16 August 2013

SATPOL PP DALAM UU PEMDA



Satpol PP Dalam Otonomi Daerah
Oleh. Ian Haba Ora

Pengorbanan darah dan nyawa pemuda negri meruntuhkan kabinet pemerintahan Orde Baru untuk mendeklarasikan reformasi di tahun 1999, seiring durasi waktu (gradual) menunjukkan signifikansi kemajuan pembangunan nasional melalui penerapan undang-undang, reformasi birokrasi, dan reformasi perilaku aparatur agar terciptanya good gevernance and clean governance (Pemerintahan yang baik dan bersih). Aktualisasi tampak pada konsep pemerintahan sentralistik berganti desentralisasi, dekosentrasi, depolitisasi, demiliterisasi dan juga pemberian ruang partisipasi publik untuk terlibat langsung dalam proses-proses demokrasi sebagai jaminan hak sipil-politik, ekonomi, sosial-budaya (penegakan HAM).

Konstitusional legalis UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjamin daerah (pemberian otonomi) untuk mengatur dan mengurus pemerintahan sendiri dalam bingkai NKRI. Untuk membantu kerja daerah maka dibentuklah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) oleh pemerintah daerah. Pasal 148 dan 149 UU Pemda menegaskan bahwa masalah ketentraman dan ketertiban umum, sekaligus penegakan peraturan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah dibebankan pada Satuan Polisi Pamong Praja. Derivasi amanat UU ini adalah PP Nomor 32 Tahun 2004 yang direvisi dengan PP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja. Penjelasan umum PP tersebut menegaskan sesuai dengan semangat reformasi dan otonomi daerah maka penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibebankan tugas dan tanggungjawab pada institusi Satpol PP dengan tugas membantu Kepala Daerah untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang tentram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman.

Amanat konstitusi Satpol PP yang terkesan alih fungsi dan tugas dari urusan wajib Pemda dalam penegakan Perda dan Peraturan Kepala Daerah secara subjektif dapat dikatakan sebagai underbown Kepala Daerah. Aktualisasi represif dan arogansi Pol PP setiap penertiban dan ketentraman umum justifikasi jiwa premanisme aktor pelanggar hak asasi, seperti penangkapan dan penahanan non prosedural; tindakan dan penyiksaan tidak berprikemanusiaan dan merendahkan martabat manusia dan pelecehan seksual (contoh: WTS, Waria, kaum termaginal); abuse of power hukuman badan; prosedur penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah; dan eksekusi penggusuran di luar hukum, sewenang-wenang atau tidak  melalui proses semestinya. Contoh ini menunjukkan aksi kekerasan dan pelanggaran dalam otonomi daerah diartikan sebagai upaya kebijakan khusus pemimpin daerah untuk memobilisasi perangkat daerah representatif subjektivitas dan kelompok tujuan tertentu.

Otonomi Daerah
Pasal 1 ayat (5) UU 32/2004 mendeskripsikan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk membantu kepala daerah maka dibentuk SKPD sesuai PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Isran Noor (2012) berpendapat bahwa otonomi daerah adalah penciptaan good local governance, artinya pemerintah daerah dalam menjalankan desentralisasi berorientasi good local governance harus mampu meningkatkan baik efisiensi alokasi melalui penyesuaian pelayanan publik terhadap preferensi lokal, dan juga efisiensi produktif dalam arti responsivitas dan akuntabilitas. Dengan demikian tujuan otonomi daerah adalah pemberian kewenangan pada Pemda untuk pengelolaan sumber daya dan penyelenggaraan pemerintahan yang demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan demi kesejateraan rakyat karena tanpa peningkatan kesejateraan rakyat, sendi-sendi demokrasi akan rapuh.

Aktualisasi Kepemimpinan
Kesejateraan rakyat dapat dicapai melalui peran optimal Pemerintah Daerah dengan dunia usaha serta partisipasi masyarakat, didukung oleh perundang-undangan serta regulasi teknis, karena undang-undang terbentuk berdasar harapan (cita-cita), sehingga dipayungi untuk kesejateraan rakyat berdasar pengaturan dan pengawasan melalui layanan umum untuk meningkatkan daya saing daerah.

Penciptaan keteraturan di daerah melalui pembuatan Perda dan peraturan kepala daerah oleh pelaku otonom (Pemda dan DPRD) agar setiap kebijakan yang diambil mendorong partisipasi publik. Tapi fakta berkata lain, otonomi daerah dianggap sebagai kedaulatan veto untuk berbuat apa saja. Kesalahan ini menjadi impunitas SKPD sebagai pelaku infrastruktur otonomi daerah.

Aksi brutalitas dan premanisme Satpol PP menjadi impunitas Kepala Daerah untuk menekan kelompok minoritas (kelompok marginal). Lakon emosional diperkuat regulasi daerah, dan semangat struktur berada langsung di bawah kepala daerah sehingga jika ada pihak penentang maka akan menjadi sasaran.

Selain arogansi dan brutalitas bertopeng regulasi daerah, absurtisme anggaran Satpol PP pun demikian. Pasal 30 ayat (1) PP 6/2010 menegaskan bahwa pendanaan dalam teknis operasional dibebankan pada APBD dan pembinaan dibebankan pada APBN. Ironisme dalam setiap nomenklatur APBD hanya pemenuhan perlengkapan maka pendekatan yang dilakukan adalah pelatihan dan pengajaran fisik (militer), sedangkan pembinaan oleh pusat tidak jelas terdeskripsikan.

Akibat pemahaman otonomi daerah yang tidak sepenuhnya dipahami pemimpin daerah maka  Syafiie (2004) mengatakan arogansi Pemda masih terkooptasi falsafah birokrat masa lalu yaitu, kerja yang ketat pada aturan (rule), tugas khusus (spesialisasi), kaku dan sederhana (zakelijk), penyelenggaraan yang resmi (formal), pengaturan dari atas ke bawah (hirarkis), berdasar logika (nasional), tersentralistis (otoritas), taat dan patuh (obedience), tidak melanggar ketentuan (dicipline), terstruktur (sistematis), tanpa pandang bulu (impersonal). Jika kondisi ini yang dijalankan maka akan melahirkan karakteristik dari perilaku birokrat yang akhir-akhir ini menjadi patologi (penyakit) dalam pemerintahan diantaranya, budaya feodalistik masih terasa, kebiasaan menunggu petunjuk pengarahan, loyalitas kepada atasan bukan kepada tugas organisasi, belum berorientasi pada prestasi, keinginan melayani rendah, belum ditopang teknologi secara menyeluruh, budaya ekonomi tinggi, dan jumlah pegawai relatif banyak tapi kurang bermutu dan asal jadi.

Reinkarnasi sentralistis dalam bingkai otonomi daerah akan membentuk pemerintahan oligarki. Seharusnya, pemimpin daerah harus memaknai otonomi daerah sebagai servis (pelayanan), rasa puas orang yang memerlukan pelayanan bisa diartikan dengan memperbandingkan pandangan antara penerima manfaat dan harapan penerima manfaat layanan.

Otonomi daerah membuka ruang penggunaan “korps preman berseragam” sebagai penekan sehingga rasa puas orang tidak lagi dipahami sebagai kebutuhan namun lebih pada ketakutan. DPRD pun sebagai representasi rakyat tidak mampu berbuat apa-apa ketika terjadi konflik antara rakyat dan pemerintah. Bungkamnya DPRD menimbulkan inkonsistensi legislatif yang lemah, sinergi pelayanan tidak maksimal. Fungsi pengawasan akan rawan mengikuti kepentingan Pemda dan masuk dalam kelompok KKN karena tidak akan dikritik legislatif. Atau sebaliknya, jika legislatfi hanya bicara saja dan mengkritik cenderung menghambat pembangunan daerah yang berdampak pada kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, suatu SKPD akan baik jika dipimpin oleh karakter dan sumber daya yang baik. Demikian juga dengan Satpol PP. Inu Kencana (2002) mengungkapkan bahwa yang hilang dari pemimpin daerah ataupun wakil rakyat adalah perasaan yang berasal dari seni pemerintahan itu sendiri, kemudian yang hilang adalah moral yang berasal dari etika pemerintaha itu sendiri, mereka hanya berlogika tetapi tidak beretika dan tidak berestetika, artinya para pemimpin pemerintahan (eksekutif dan legislatif) hanya pintar tetapi tidak bermoral dan tidak berseni. Itulah yang disebut benar tetapi tidak baik dan tidak indah kepemimpinannya. (Tulisan ini dipublikasi Harian Kota “KURSOR” Jumat, 16 Agustus 2013).

Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

TRANSLATE: