Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Freepublik NTT
{Tulisan ini dipublikasi oleh SKH Timor Express 18 Maret 2014 dan
Victory News /Edit pada 19 Maret 2014}
Opini ini merupakan catatan penulis saat
mengikuti kegiatan pelatihan transaksi politik, penyelenggara Puskapol dan
Demos Jakarta di Hotel Ima pada 5- 7 Februari 2014. Bicara politik. Andrew
Heywood mengartikan politik sebagai kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk
membuat, mempertahankan dan mengamandemen peraturan umum yang mengatur
kehidupannya yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan
kerjasama. Joyce Mitchell, politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau
pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya. Harrold Lasswell artikan
politik sebagai masalah siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Rod Hague
menganggap politik sebagai kegiatan menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok
mencapai keputusan-keputusan bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk
mendamaikan berbagai perbedaan diantara anggotanya. Susan C. Stokes, politik
terkait dengan alokasi dan distribusi sumber daya dari pemerintah ke warga.
Sedangkan Aristoteles mengartikan politik sebagai usaha yang ditempuh warga
negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Kemunduran esensi politik menjadikan
politik sebagai alat kekuasaan tirani, kotor, licik, dan penuh konflik kepentingan.
Korban politik pun dialamatkan pada rakyat yang buta politik, dan sering
tertipu dari kandidat-kandidat politisi. Warga harus berusaha keluar menjadi
warga yang memiliki posisi tawar. Tidak lagi menjadi warga yang dapat dibeli
suaranya untuk kepentingan kandidat tetapi rakyat harus berani melakukan politik
transaksional kepada kandidat.
Transaksi politik merupakan pertukaran sumber daya antara warga atau pemilih dengan
kandidat dan/atau partai politik peserta pemilu (Puskapol UI,2014). Fenomena
transaksi politik menjadi realitas pemilu pada setiap pesta demokrasi. Esensi
politik dikotori transaksi politik yang melemahkan posisi dan kepentingan
rakyat, namun ada juga transaksi politik yang menguatkan warga dalam jangka
panjang pascapemilu. Interaksi warga
dan kandidat/calon pemenang pemilu dapat ditentukan dari strategi transaksi
politik yang dijalin selama pelaksanaan pemilu.
Bentuk
transaksi politik yang melemahkan warga.
Jual
Beli Suara. Kandidat
maupun caleg melalui tim sukses atau pihak lain membagi-bagikan uang atau
barang sebagai jasa suara pada pemilih di suatu wilayah sebelum pemilih ke TPS
saat pemungutan suara. Jual beli suara ini sifatnya perorangan, belum tentu
semua warga disuatu wilayah yang sama mendapatkan pembagian uang. Istilah “serangan
fajar, kerap dilekatkan untuk situasi tersebut.
Klientilisme
(Warga dijadikan ‘mesin’ politik kandidat). Bentuk lain dari jual beli suara bisa dilakukan oleh
kandidat atau partai politik. Bentuknya adalah sekelompok warga/komunitas
dijanjikan akan mendapatkan imbalan uang atau fasilitas jika mereka bersepakat
untuk memberikan dukungan suara kepada kandidat tersebut. Kesepakatan dukungan
suara menjadi syarat pemberian imbalan materi oleh kandidat. Contohnya kandidat
menawarkan proyek/fasilitas kepada kelompok/komunitas menjanjikan dukungan
suara dari massa/anggotanya. Warga dijadikan ‘mesin politik’kemenangan
kandidat. Transaksi politik seperti ini lazim pula didalam pemilu kita.
Bias
Partisan (Program untuk simpati warga). Bentuk ini lebih lazim dilakukan oleh incumbent (yang sedang menjabat). Tujuannya agar bisa terpilih
lagi. Kandidat menyalurkan bantuan dalam bentuk program. Program disalurkan
menjelang pemilu untuk membangun simpati warga. Pemberian bantuan sosial yang
sering terjadi menjelang pemilu adalah contoh transaksi politik ini. Sifat
bantuannya yang tidak merata, menggunakan dana pemerintah, menyasar daerah
tertentu seperti basis partai/kandidat, dan bisa menggunakan aparat pemerintah
setempat atau ormas untuk menyalurkan program, membuatnya mirip jual beli suara
menjelang pemilu.
Setelah mengenali bentuk-bentuk transaksi
politik yang melemahkan kepentingan warga dalam berhubungan dengan kandidat
selama pemilu, maka penting untuk bisa membedakan mana transaksi politik yang
melemahkan dan mana yang bisa memperkuat
kepentingan warga setelah pemilu berakhir. Berikut adalah ciri-cirinya.
Transaksi politik yang melemahkan warga. Tertutup, tidak terpublikasikan secara
luas, tidak ada komunikasi terbuka antara warga dengan kandidat secara langsung,
warga tidak tahu tujuan pemberian imbalan. Personal,
hasil transaksi politik dinikmati oleh sekelompok orang tertentu, yang bisa saja mengatas namakan warga suatu
wilayah. Jangka pendek, tidak
ditujukan membangun ikatan jangka panjang setelah pemilu, kandiddat mendekati
warga untuk pemenangan saja. Pendanaan
pribadi, kandidat mendanai secara pribadi penyaluran imbalan untuk
menggalang dukungan warga pada hari pemilihan. Selain diri sendiri, sumber dana kandidat bisa
berasal dari pihak-pihak yang berkepetingan
terhadap kemenangan kandidat dalam pemilu. Melanggar
hukum, praktik jual beli suara pemilih termasuk jenis pelanggaran yang
dikenal sanksi/hukuman dalam Undang-Undang pemilu. Kandidat, perantara, dan
pemilih yang melakukan jual beli suara dapat diadukan ke pihak berwenang
(kepolisian, badan pengawas pemilu). Jika terbukti, hukumannya berupa penjara
dan denda. Bahkan kandidat bisa didiskualifikasi dari pencalonan pemilu.
Dinamika transaksi politik dapat kuat
jika dibaregi dengan komitmen warga untuk tahu, paham, dan awasi kandidat jika
terpilih menjadi wakil rakyat. Saat pra dan hari pencoblosan, warga dituntut
untuk membuat programatik dengan kandidat sehingga ketika pascapemilu, rakyat
harus mampu awasi kandidat untuk realisasikan kontrak kandidat yang telah
dilakukan bersama warga. Warga akan menjadi sejahtera jika peran rakyat mampu
mengawal dan mengawasi kandidat.
Hal-hal tersebut di atas tampak pada
bentuk politik menguatkan warga diantaranya:
Terbuka, terjadi proses komunikasi melalui
dialog tatap muka, ada publikasi yang luas, dan warga paham tentang
masalah-masalah yang dibicarakan dan disepakati bersama. Publik, hasil transaksi politik untuk kepentingan publik,
menjangkau warga secara keseluruhan dalam wilayah pemilihan. Jangka panjang, ditujukan untuk
membangun ikatan hubungan jangka panjang dengan kandidat pemenang pemilu,
misalnya melalui kesepakatan kontrak politik. Pendanaan negara, tidak ada pendanaan kandidat untuk menggalang
dukungan politik (suara) selama pemilu. Pendanaan negara dalam bentuk alokasi
anggaran program pembangunan untuk seluruh masyarakat di wilayah pemilihan.
Kandidat pemenang pemilu yang membangun kesepakatan kontrak politik dengan
warga akan memperjuangkan alokasinya dalam bentuk kebijakan. Warga dapat
memantau prosesnya. Tidak melanggar
hukum, sepanjang dalam proses transaksi politik, kandidat tidak menjanjikan
imbalan yang ditukar dengan suara pemilih pada hari pemilihan maka tidak
melanggar hukum. Publikasi yang luas dan komunikasi menjadi kontrol dalam
proses kesepakatan politik kandidat dengan warga agar tidak melanggar UU
pemilu. Sedangkan transaksi politik yang melemahkan warga adalah bersifat
tertutup, personal, jangka pendek, pendanaan pribadi, dan melanggar hukum.
Penutup
Pesta pemilihan umum telah dekat, saatnya
rakyat berjuang untuk mengawasi para kandidat yang mampu memperjuangkan hak dan
kebijakan bagi warga, bukan menjatuhkan dukungan suara pada kandidat yang
korup, licik, pelanggar hak asasi manusia, amoral, dan penuh janji. Pilihan
kita adalah penentuan kemajuan bangsa ini, jauhi transaksi politik yang
melemahkan warga, dan terapkan bentuk transaksi politik yang menguatkan warga.