SATPOL PP dan PARADIGMA WARGA
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua FPAR Komunitas
Dampingan PIAR NTT
Pengantar
Sosio kemasyarakatan menampilkan berbagai aktivitas kehidupan
yang tampak brutal menggunakan kewenangan institusi untuk mengintimidasi dan
arogansi premanisme pada kaum miskin dan marginal. Satuan Polisi Pamong Praja
merupakan manisfestasi metafora aksi kekerasan dalam penggusuran dan
pembongkaran lapak-lapak jualan secara paksa komunitas pedagang kaki lima.
Begitupun kabar audio, visual, maupun cetak memberitakan ketika terjadi razia
ke panti-panti pijat sering mengkangkangi perilaku pelecehan seksual, menangkap
dan menahan orang yang dianggap menyalahi aturan Perda tanpa prosedural,
memprovokasi masyarakat dengan arogansi kebijakan subversif. Dengan demikian,
setiap tindakan mendiskriminasi tanggungjawab negara untuk mensejaterahkan
rakyat, ironisnya lagi setiap aksi tanpa dipikirkan grand desighn pasca
penertiban. Namun, seringkali aksi-aksi Satpol PP menimbulkan cara pandang
beragam masyarakat terhadap aksi-aksi brutalisme Satpol PP. Berikut ini
beberapa pandangan Hairus Salim dalam buku Polisi Pamong Praja dan Reformasi
Sektor Keamanan terbitan IDSPS dan DCAF (2009:8-10) yaitu:
Pandangan moderat. Kelompok ini menganggap
arogansi Satpol terhadap warga berbuah kekerasan hanya kekeliruan teknis
prosedural atau adanya aksi-aksi masyarakat yang bersifat provokatif terhadap
anggota Satpol PP. Eksistensi Satpol PP sangat urgent dalam menata dan mengatur ketentraman dan ketertiban kota,
dan inisiasi hadirnya Satpol PP dalam mengawal kebijakan daerah dan penegakan
Perda yang berkualitas di masyarakat. Tetapi, cenderung masyarakat merasa
apatis dan menganggap pemerintah mengeluarkan aturan yang dianggap destruktif
dan represif. Ketika dilakukan penertiban maka muncul konfrontasi antara Satpol
PP dan warga berujung pada kekerasan.
Pandangan liberal. Kalangan ini menganggap
keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan sama sekali. Kaum ini lebih berharap agar
soal ketertiban dan keamanan diserahkan kepada kalangan polisi saja karena jika
satpol PP diberikan kewenangan lebih untuk melakukan penyidikan maka akan
tumpang tindih antara Satpol PP (PP 6/2010) dan Polri (UU 2/2002). Ini terutama
karena Satpol PP sering mengurus hal-hal yang bersifat “privacy” yang memang menjadi kemewahan kalangan kelas ini. Tumpang
tindih ini akan menimbulkan masalah, terutama makin banyaknya Satpol PP
mengambil peran polisi dengan mengabaikan ‘code
of conduct’ seorang penegak hukum. Kaum liberal lebih banyak didominasi
oleh kaum kelas menengah ke atas.
Pandangan kritis. Kaum kritis sama seperti kaum liberal yang menganggap
keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan. Tapi, alasannya berbeda. Ketidaksetujuan
terhadap Satpol PP lebih karena Satpol PP banyak merugikan hajat dasar dari hidup
kaum kritis seperti kaum miskin kota, pedagang kaki lima, pengamen, pedagang
asongan, pekerja seks komersial, dan lain-lain, yang selama ini menjadi sasaran
Satpol PP karena dianggap melanggar Perda mengenai ketentraman dan ketertiban
kota. Bagi kalangan kritis, Satpol PP tidak lebih dari ‘aparat militer’ dengan
aksi-aksi mereka yang sangat militeristik.
Pandangan-pandangan di atas menjustifikasi akan potensi
komunal antara yang mendukung dan tidak mendukung aktivitas Satpol PP sebagai
institusi penegak kebijakan dan peraturan daerah.
Ambiguitas Satpol PP
Durasi pergerakan terlepas dari cara pandang kaum
moderat, liberal, dan kritis terhadap Satpol PP menginisiasi aktualisasi yang
selama ini muncul dalam setiap kegiatan dan pemberitaan media massa maupun
elektronik. Ada beberapa hal yang mendasari aksi brutalitas Satpol PP, yaitu:
Terkait dengan pedoman Satpol PP
sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 06 Tahun 2010 tentang Pedoman Satuan
Polisi Pamong Praja dan prosedur tetap Satpol PP sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman Prosedur
Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam aturan ini memberi kewenangan pada Satpol PP untuk melakukan tugas
penyelidikan dan penahanan yang dapat menimbulkan multiintepretasi mengilhami
tugas polisi.
Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 35 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan
Satuan Polisi Pamong Praja dan Permendagri 26/2010 Tentang Penggunaan Senjata
Api Bagi Anggota SatpolPP. Kedua ketentuan tersebut, yang diikuti oleh sistem
pendidikan militeristik dan kualitas SDM yang rendah menyebabkan Satpol PP
selalu tampil militeristik, dan hampir-hampir menganggap diri mereka sebagai
bagian dari militer saja.
Hal penyebab
Satpol PP bersifat militeristik adalah materi pendidikan Satpol PP didominasi
oleh pendekatan militeristik daripada pendekatan sosial dan kultural. Institusi
Satpol PP lebih banyak diisi pegawai-pegawai yang tidak berkualitas, bahkan
cenderung dijadikan tempat pembuangan pegawai-pegawai yang tak lagi digunakan
di instansi-instansi lain, dan dijadikan preman-preman jalanan sebagai Banpol
(Bantuan Polisi) yang hangat dengan premanisme.
Institusi Satpol
PP rawan politisasi Kepala Daerah, karena bertanggung jawab penuh dan berada
langsung di bawah naungan Gubernur, Walikota, maupun Bupati. Seringkali dalam
setiap kebijakan kepala daerah sering menggerakkan satpol pp untuk
mengintimidasi dan arogan terhadap kaum penentang yang pada akhirnya menciderai
hak asasi manusia. Disisi lain saat mendekati proses pemilu maupun pilkada
Satpol PP dijadikan sebagai ‘mata-mata’ maupun mobilisasi aparatur untuk
menjadi tim sukses pemenangan melalui pendekatan kebijakan-kebijakan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak
regulasi-regulasi (Peraturan Daerah) dan keputusan-keputusan Kepala Daerah
sering kali menciderai demokratisasi dan desentralisasi kehidupan warga sebagai
daerah otonom. Banyak regulasi dan kebijakan memiskinkan rakyat, pinjam kata
Moniche Saubaki “Negara sebagai pelaku pemiskinan rakyat melalui regulasi dan abuse of power aktornya”. Dalih
menjalankan perintah Perda dan Keputusan Kepala Daerah, sering kali anggota
Satpol PP menggunakan kekerasan. Setiap peraturan baik secara Perda
(Legislatif) dan Keputusan Kepala Daerah (Eksekutif) selalu menempatkan Satpol
PP sebagai tameng dan motor penggerak pengawasan dan pelaksanaannya oleh warga
daerah otonom.
Revitalisasi dan reaktualisasi peran Satpol PP yang humanis
Penulis ketika mengetik artikel ini membangun komunikasi
via telepon untuk berdiskusi bersama Bapak Drs. Dumuliahi Djami, M.Si yang juga
adalah mantan Kasat Pol PP Kota Kupang (interview telpon, 8 Agustus 2013).
Alasan penulis menghubungi orang ini didasari atas loyalitas dan kemampuannya
ketika memimpin institusi Satpol PP Kota Kupang tidak pernah terindikasi aksi
brutalitas, penyalahgunaan wewenang, bahkan persuasif dan populis dalam
pendekatan regulasi pada masyarakat. Dari hasil diskusi maka penulis
menyimpulkan beberapa catatan penting untuk revitalisasi dan reaktualisasi peran
Satpol PP yang humanis, yaitu:
Perlunya reformasi dan revitalisasi birokrasi bukan saja pada
instrumen hukum namun secara struktur dan budaya. Secara intrumen Pol PP telah
memiliki PP 32 tahun 2004 dan direvisi dengan PP 6 tahun 2010. Secara struktur
Pol PP berbeda dengan garis komando Polri meskipun kata “polisi” yang lebih
ditonjolkan. Secara budaya, masih banyaknya anggota Satpol PP yang berkarakter
militer. Namun semua itu tidaklah dapat disamaratakan seantero nusantara
lantaran Pol PP mengilhami asas otonomi daerah, sehingga
yang menjadi inti pergerakan institusi adalah paradigma pemimpin yang responsif
hukum, HAM, Gender, dan populis;
Pelanggaran-pelanggaran yang
mengindikasikan keterlibatan aktor (baik aktor Pol PP maupun aktor sipil) perlu
diproses hukum secara imparsial (asas keadilan) sehingga dapat meminimalisir
kasus pelanggaran terhadap UU dan mencegah indikasi keberulangan (remidial
indicate);
Seringkali rekruitmen Pol PP
masih sebatas pada paradigma pegawai-pegawai bermasalah dilingkungan PNS tanpa
didasari pemahaman pendidikan persuasif. Begitupun perekrutan cenderung pada fisik semata belum pada tingkatan sumber daya manusia
yang kondusif. Bila pemerintah (pusat) benar-benar menciptakan Pol PP yang
profesional baik intitusional maupun anggotanya maka mulai proses rekrutmen,
proses pendidikan, kurikulum pun harus dimulai dengan profesional. Rekrutmen
anggota Satpol PP harus tersendiri dan berbeda dengan rekrutmen PNS non Pol PP
yang cenderung tidak tepat sasaran. Realita karena kekurangan anggota Satpol PP
diangkatlah Banpol PP yang cenderung tidak tepat sasaran. “Anggota Satpol PP harusnya menjadi anggota Satpol PP dari
awalnya bukan pada akhirnya”;
Polisi Pamong praja memiliki
sejarah tersendiri sehingga lahirnya tidak serta merta karena kekinian/kontemporer
tetapi lebih difokuskan karena kebutuhan hingga usianya kini yang makin dewasa.
Jika dikaitkan dengan segi historis maka dapat dikatakan upaya pembubaran
institusi Pol PP oleh kalangan kritis dan liberal merupakan pengingkaran terhadap sejarah. Karena secara otonom, institusi
Pol PP bertanggung jawab kepada Kepala Daerah maka secara Social Approach
(pendekatan sosial) berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, tidak
bisa dikatakan sebagai pemerataan.
Pol PP secara rasionalitas atau
praktis tidak dapat dijadikan sebagai salah satu institusi yang perlu
dibubarkan lantaran emosional dan anarkisme yang ditunjukkan institusi Pol PP
daerah otonom lain. Kebrutalan aktor tidak serta merta terwakilkan secara
institusi, misalkan kasus perkelahian aparat negara dan warga lantaran tindakan
emosional tidak serta merta dijadikan kesalahan institusi (bukan memahami
espirit de corps).
Resolusi atau Rekomendasi
Peningkatan peran dan kinerja anggota
Satpol PP dalam menertibkan sesuai perintah peraturan daerah (Perda) dan
Keputusan Kepala Daerah yang berkaitan dengan penegakan HAM, maka perlu
diberikan rekomendasi-rekomendasi.
Pertama, untuk Pemerintah Pusat: bekerjasama
dengan donor untuk melakukan reformasi kebijakan dan institusi Satpol PP, termasuk
untuk mengamandemen undang-undang, membuat cetak biru dan capacity building bagi Satpol PP yang lebih menghormati dan
melindungi nilai-nilai hak asasi manusia; menelaah
ulang serta mengaudit peraturan keterlibatan Satpol PP untuk memastikan
kesesuaiannya dengan standard penerapan undang-undang internasional, misalnya
standar PBB mengenai kode perilaku bagi aparat penegak hukum, dan prinsip dasar
penggunaan kekuatan dan senjata; menyediakan bagi
aparat Satpol PP pelatihan mengenai Hak Asasi Manusia dan pengetahuan mengenai
kebutuhan serta masalah yang dihadapi kaum termaginalkan (terpinggirkan).
Kedua, untuk Pemerintah Daerah: memastikan
bahwa petugas dan anggota Satpol PP menerima pelatihan professional yang sesuai
untuk melaksanakan tanggung jawab keamanan public; menyelidiki
dan menuntut secara hukum aparat Satpol PP yang bertanggung jawab melakukan
kekerasan, perampasan, penghancuran harta benda pribadi secara sewenang-wenang
selama operasi penertiban. Harus ada konsekuensi, termasuk penuntutan kriminal
dan pemecatan apabila terbukti; menelaah ulang
pengalokasian dana untuk sektor keamanan dan ketertiban dalam anggaran belanja
daerah (APBD) untuk menjadi perhatian serius lantaran beban kerja Pol PP yang
banyak dan berhubungan dengan kepentingan keamanan publik.
Dengan demikian, eksistensi Satpol PP dalam penegakan
Perda dan penjagaan ketentraman dan ketertiban masyarakat tidak semata-mata
dipandang sebagai boneka drakula yang
mudah diintervensi, diinvasi, dan dipolitasi berujung pada espirit de corps akan aksi-aksi brutalitas.