Mencermati esprit de corps di wilayah
Polda NTT
Oleh. Ian
Haba Ora
Ketua Task Force Team NTT
Kasus-kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh
pelaku-pelaku tempurung dalam negara berlabel Polisi belum sepenuhnya mendapat
perhatian serius dari state actors (aktor negara) itu sendiri. Meskipun belum
dapat dikatakan sebagai indikasi pelanggaran HAM berat di NTT, namun telah
memberikan rasa takut tersendiri di kalangan masyarakat bahwa negara sebagai
ornamen yang diberi ruang oleh Undang-Undang untuk menjamin dan melindungi
tegaknya Hak Asasi menjadi penjahat dan
pemusnah Hak Asasi. Coba kita perhatikan kasus tewasnya dua siswa SMK Eltari,
Cristofel Taebenu dan Jefri Lay akibat ditendang motornya oleh Anggota Samapta
Polda NTT, 12 Oktober 2009 saat melintas di jalan Mohammad Hatta-Kuanino Kupang
hingga kini semakin kabur dalam proses penyidikannya. Alhasil, makin jauhnya
pantauan media sehingga masyarakatpun bertanya-tanya, sejauhmana integritas
institusi Polri dalam menyusut sebuah kasus pelanggaran yang diperbuat
anggotanya? Kasus tewasnya Paulus Usnaat
dalam sel Mapolsek Nunpene-wilayah Polres TTU pada 2 Juni 2008 akibat dibunuh
yang diduga melibatkan 4 orang anggota polisi yang sedang piket saat itupun,
masih terkesan lamban penyusutannya, bahkan ke empat orang anggota piket itupun
hanya di Mutasi ke Polda NTT dan belum mendapat status hukum yang jelas. Kasus
Bripda Iwan Susanto anggota Brimobda NTT sebagai tersangka dalang pencurian dua
kilogram emas di toko kanaan pada 12 Mei 2009, berkas penyidikannya hanya pada
“bolak-balik” kejaksaan-polisi dan tindakan indisipliner belum sepenuhnya
terlaksana. Tiga kasus ini, sedikit hal yang menggambarkan brutalitas Polisi di
NTT, lain dari itu, pantauan Task Force
NTT Team dalam data 2009 menemukan banyaknya brutalitas oknum polri yang
penanganan kasusnya sebatas pada wacana misalkan penyiksaan dalam tahanan,
distorsi BAP, Judi, Becking Ilegal Loging, Ilegal Mining, amoral, ingkar janji,
penipuan, narkoba dan menjadi Calo-calo kotor.
Terpenting
bagi negara ini adalah sejauh mana penghargaan akan nilai-nilai HAM yang dapat
di internalisasi oleh setiap aktor negara sehingga dapat menjamin akan hak
setiap warganya. Dalam UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 2
menegaskan Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat
pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati dan
ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejateraan, kebahagiaan dan
kecerdasan serta keadilan. Hak-hak dasar itu sesuai pasal 3 berupa hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pibadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan didepan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun atau oleh siapapun. Namun kenyataannya ialah Hak-Hak
tersebut yang dikebiri oleh aktor negara.
UU
Polri Nomor 2 tahun 2002 juga menegaskan
HAM sebagai prinsipil pelaksanaan tugas negara anggota Polri dimana keamanan
dan ketertiban menjadi perihal utama. Keamanan dan ketertiban sebagai suatu
kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses
pembangunan dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh
terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum serta terbinanya
ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan
kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk
pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan
masyarakat. UU No. 2 tahun 2002 pasal 13 huruf (c) menegaskan Tugas Pokok
Kepolisian adalah memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat. Dengan demikian Hak Asasi seseorang manusia telah dijamin oleh
negara.
Bagaimana
mungkin seorang tahanan Paulus Usnaat dapat tewas dalam sel Mapolsek Nunpene-TTU
akibat dibunuh jika dugaan aktor negara tidak terlibat didalamnya. Sel tahanan
merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan negara terhadap
pelaku siapapun dia. Dengan sendirinya Hak Asasi manusia itu telah dijamin
dalam rangka perlindungan dan pengayom. Namun dimentahkan dengan tewasnya
tahanan dalam sel Mapolsek. Kasus ini memprihatinkan bahwa institusi Kepolisian
sebagai bagian Negara belum menjamin Hak Asasi Manusia itu sendiri dan gagal
dalam pemberian perlindungan hukum. Kasus ini bertentangan dengan UU Polri
pasal 14 ayat (1) huruf (i) yang menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas
pokok, Kepolisian bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda,
masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau bencana
termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Mengapa? Karena HAM bagi penegak hukum adalah prinsip dan standar HAM
yang berlaku secara universal bagi semua petugas penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya oleh karena Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disingkat
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan kebenaran manusia
sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Kasus
tewasnya dua siswa SMK Eltari Jefri Lay dan Cris Taebenu akibat ditendang oleh
salah seorang anggota Samapta Polda NTT masih mengingatkan kita betapa
brutalnya anggota Kepolisian di NTT. Padahal dalam Peraturan Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Perkap) Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan
Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia Pasal 1 ayat (7) sudah menegaskan bahwa Pelanggaran HAM
merupakan setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara
baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Brutalitas polisi ini telah
mengesampingkan ketentuan berperilaku (code
of conduct) sebagai pedoman berperilaku bagi petugas penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya agar sesuai dengan ketentuan tertulis maupun yang tidak
tertulis yang diberlakukan oleh kesatuaannya.
Dua
contoh kasus dari sekian banyak brutalitas Polisi di NTT yang sempat dipantau Task Force Team NTT, mempresedenkan
bahwa penghargaan akan nilai-nilai HAM belum sepenuhnya terlaksana. Jika
dikaitkan dengan semangat Reformasi Polisi untuk menjadikan polisi yang
benar-benar dekat dengan rakyat belum sepenuhnya berjalan. Padahal tuntutan
reformasi polisi sebagai bagian dari reformasi sektor keamanan agar sejalan
dengan prinsip demokrasi, profesionalisme dan penegakan HAM. Karena Reformasi
Polisi merupakan transformasi organisasi kepolisian agar lebih professional dan
akuntabel dalam memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman, serta
reponsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Maksud dari polisi profesional
mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas kepolisian
berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi layanan terbaik,
otonom, memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya, memiliki organisasi profesi
melalui asosiasi, memiliki kode etik dan kebanggan profesi; profesi kepolisian
sebagai pengabdian, bertanggung jawab atas monopoli keahlian dan memiliki
seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi
kelangsungan hidup organisasi. Sedangkan secara akuntabilitas ditandai oleh
kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga elemen
akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian: 1). Answeribility,
mengacu pada kewajiban polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala
apa yang mereka lakukan; 2). Enforcement, mengacu pada kemampuan polisi
menerapkan sanksi kepada anggota apabila mereka mangkir dari tugas-tugas
negara/publik; 3). Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima
sanksi bila mereka terbukti melanggar code
of conduct atau tindak pidana. Namun
professional dan akuntabilitas yang dimiliki oknum kepolisian di NTT sangatlah
dapat dimungkinkan sebagai profesionalitas brutal dan akuntabilitas brutal!
Jika tidak ingin dikatakan sebagai
polisi yang memiliki professional brutal dan akuntabilitas brutal maka setiap
kasus yang melibatkan oknum anggota Polri seharusnya menjadi prioritas
penyelesaian terlepas dari semangat melindungi korps (espirit de corps) yang
masih kental dalam institusi kepolisian. Juga perlu diajarkan konsep dasar
perlindungan HAM pada anggota kepolisian
agar dalam pelaksanaan tugas tidaklah represif dan menggunakan SDMnya yang
jongkok (SDM rendah).
Konsep dasar perlindungan HAM itu sesuai Perkap No. 8 tahun 2009 pasal 4, antara
lain : (a). Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak
yang sama, mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu
sama lain dalam persaudaraan; (b). Setiap orang berhak atas semua hak dan
kebebasan yang tercantum dalam instrumen HAM International maupun nasional
dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain; (c). Pembatasan
terhadap hak asasi manusia yang lainnya hanya dapat dibatasi berdasarkan UU
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis; (d). Perlindungan (to
protect), pemajuan (to promote),
penghormatan (to respect), dan
pemenuhan (to fulfil) HAM adalah
tanggung jawab negara, termasuk Polri; (e). Setiap orang berhak mendapatkan
pengakuan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM yang dimilikinya; (f).
HAM merupakan landasan prinsip keadilan sebagai jembatan menuju perilaku
beradab yang diciptakan dan diakui oleh masyarakat dunia; (g). HAM telah
dikodifikasi dalam hukum internasional dan diakui oleh pengadilan internasional
dan menjadi bagian dari Undang-Undang dan kebijakan negara di dunia; (h). HAM
tidak membedakan ras, etnik, ideology, budaya/agama/keyakinan, falsafah, status
sosial, dan jenis kelamin/orientasi seksual, melainkan mengutamakan komitmen
untuk saling menghormati untuk menciptakan dunia yang beradab; dan (i). HAM
untuk semua orang “diseluruh dunia,” baik yang lemah maupun yang kuat, untuk
memberi pembenaran terhadap kebutuhan dan aspirasi manusia dan oleh karenanya
berada diatas kepentingan semua golongan.
Meski
berbagai agenda reformasi terkait penegakan hukum dan HAM sudah berjalan,
kemajuan baru sebatas perubahan institusional dan legislasi. Agenda
akuntabilitas yang otentik belum terwujud yang ditandai oleh absennya
penghukuman bagi para pelaku kejahatan/pelanggaran HAM. Minimnya akuntabilitas
membuat agenda reformasi ke depan tidak akan
berjalan mulus, sesuai dengan diktum “apa yang kita lakukan terhadap
masa lalu akan menentukan nasib kita di masa depan”. Peran organisasi
masyarakat sipil (OMS) dalam agenda ini sangat penting mengingat berbagai
kerangka legal dan institusional memberi peluang akan pengawasan terhadap
negara selaku pelanggar HAM.