SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 5 November 2013

LEMAHNYA PEMAHAMAN HAM DI KEPOLISIAN NTT



Mencermati esprit de corps di wilayah Polda NTT
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Task Force Team NTT

Kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh pelaku-pelaku tempurung dalam negara berlabel Polisi belum sepenuhnya mendapat perhatian serius dari state actors (aktor negara) itu sendiri. Meskipun belum dapat dikatakan sebagai indikasi pelanggaran HAM berat di NTT, namun telah memberikan rasa takut tersendiri di kalangan masyarakat bahwa negara sebagai ornamen yang diberi ruang oleh Undang-Undang untuk menjamin dan melindungi tegaknya Hak Asasi  menjadi penjahat dan pemusnah Hak Asasi. Coba kita perhatikan kasus tewasnya dua siswa SMK Eltari, Cristofel Taebenu dan Jefri Lay akibat ditendang motornya oleh Anggota Samapta Polda NTT, 12 Oktober 2009 saat melintas di jalan Mohammad Hatta-Kuanino Kupang hingga kini semakin kabur dalam proses penyidikannya. Alhasil, makin jauhnya pantauan media sehingga masyarakatpun bertanya-tanya, sejauhmana integritas institusi Polri dalam menyusut sebuah kasus pelanggaran yang diperbuat anggotanya?  Kasus tewasnya Paulus Usnaat dalam sel Mapolsek Nunpene-wilayah Polres TTU pada 2 Juni 2008 akibat dibunuh yang diduga melibatkan 4 orang anggota polisi yang sedang piket saat itupun, masih terkesan lamban penyusutannya, bahkan ke empat orang anggota piket itupun hanya di Mutasi ke Polda NTT dan belum mendapat status hukum yang jelas. Kasus Bripda Iwan Susanto anggota Brimobda NTT sebagai tersangka dalang pencurian dua kilogram emas di toko kanaan pada 12 Mei 2009, berkas penyidikannya hanya pada “bolak-balik” kejaksaan-polisi dan tindakan indisipliner belum sepenuhnya terlaksana. Tiga kasus ini, sedikit hal yang menggambarkan brutalitas Polisi di NTT, lain dari itu, pantauan Task Force NTT Team dalam data 2009 menemukan banyaknya brutalitas oknum polri yang penanganan kasusnya sebatas pada wacana misalkan penyiksaan dalam tahanan, distorsi BAP, Judi, Becking Ilegal Loging, Ilegal Mining, amoral, ingkar janji, penipuan, narkoba dan menjadi Calo-calo kotor.  

Terpenting bagi negara ini adalah sejauh mana penghargaan akan nilai-nilai HAM yang dapat di internalisasi oleh setiap aktor negara sehingga dapat menjamin akan hak setiap warganya. Dalam UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 2 menegaskan Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejateraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan. Hak-hak dasar itu sesuai pasal 3 berupa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pibadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan didepan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau oleh siapapun. Namun kenyataannya ialah Hak-Hak tersebut yang dikebiri oleh aktor negara.

UU Polri Nomor 2 tahun  2002 juga menegaskan HAM sebagai prinsipil pelaksanaan tugas negara anggota Polri dimana keamanan dan ketertiban menjadi perihal utama. Keamanan dan ketertiban sebagai suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. UU No. 2 tahun 2002 pasal 13 huruf (c) menegaskan Tugas Pokok Kepolisian adalah memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian Hak Asasi seseorang manusia telah dijamin oleh negara.

Bagaimana mungkin seorang tahanan Paulus Usnaat dapat tewas dalam sel Mapolsek Nunpene-TTU akibat dibunuh jika dugaan aktor negara tidak terlibat didalamnya. Sel tahanan merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan negara terhadap pelaku siapapun dia. Dengan sendirinya Hak Asasi manusia itu telah dijamin dalam rangka perlindungan dan pengayom. Namun dimentahkan dengan tewasnya tahanan dalam sel Mapolsek. Kasus ini memprihatinkan bahwa institusi Kepolisian sebagai bagian Negara belum menjamin Hak Asasi Manusia itu sendiri dan gagal dalam pemberian perlindungan hukum. Kasus ini bertentangan dengan UU Polri pasal 14 ayat (1) huruf (i) yang menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok, Kepolisian bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Mengapa? Karena HAM bagi penegak hukum adalah prinsip dan standar HAM yang berlaku secara universal bagi semua petugas penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya oleh karena Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disingkat HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan kebenaran manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Kasus tewasnya dua siswa SMK Eltari Jefri Lay dan Cris Taebenu akibat ditendang oleh salah seorang anggota Samapta Polda NTT masih mengingatkan kita betapa brutalnya anggota Kepolisian di NTT. Padahal dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (7) sudah menegaskan bahwa Pelanggaran HAM merupakan setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Brutalitas polisi ini telah mengesampingkan ketentuan berperilaku (code of conduct) sebagai pedoman berperilaku bagi petugas penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya agar sesuai dengan ketentuan tertulis maupun yang tidak tertulis yang diberlakukan oleh kesatuaannya.

Dua contoh kasus dari sekian banyak brutalitas Polisi di NTT yang sempat dipantau Task Force Team NTT, mempresedenkan bahwa penghargaan akan nilai-nilai HAM belum sepenuhnya terlaksana. Jika dikaitkan dengan semangat Reformasi Polisi untuk menjadikan polisi yang benar-benar dekat dengan rakyat belum sepenuhnya berjalan. Padahal tuntutan reformasi polisi sebagai bagian dari reformasi sektor keamanan agar sejalan dengan prinsip demokrasi, profesionalisme dan penegakan HAM. Karena Reformasi Polisi merupakan transformasi organisasi kepolisian agar lebih professional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman, serta reponsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Maksud dari polisi profesional mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi layanan terbaik, otonom, memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya, memiliki organisasi profesi melalui asosiasi, memiliki kode etik dan kebanggan profesi; profesi kepolisian sebagai pengabdian, bertanggung jawab atas monopoli keahlian dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup organisasi. Sedangkan secara akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian: 1). Answeribility, mengacu pada kewajiban polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; 2). Enforcement, mengacu pada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggota apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik; 3). Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana. Namun professional dan akuntabilitas yang dimiliki oknum kepolisian di NTT sangatlah dapat dimungkinkan sebagai profesionalitas brutal dan akuntabilitas brutal!

Jika tidak ingin dikatakan sebagai polisi yang memiliki professional brutal dan akuntabilitas brutal maka setiap kasus yang melibatkan oknum anggota Polri seharusnya menjadi prioritas penyelesaian terlepas dari semangat melindungi korps (espirit de corps) yang masih kental dalam institusi kepolisian. Juga perlu diajarkan konsep dasar perlindungan HAM  pada anggota kepolisian agar dalam pelaksanaan tugas tidaklah represif dan menggunakan SDMnya yang jongkok (SDM rendah). Konsep dasar perlindungan HAM itu sesuai Perkap No. 8 tahun 2009 pasal 4, antara lain : (a). Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama, mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan; (b). Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam instrumen HAM International maupun nasional dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain; (c). Pembatasan terhadap hak asasi manusia yang lainnya hanya dapat dibatasi berdasarkan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis; (d). Perlindungan (to protect), pemajuan (to promote), penghormatan (to respect), dan pemenuhan (to fulfil) HAM adalah tanggung jawab negara, termasuk Polri; (e). Setiap orang berhak mendapatkan pengakuan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM yang dimilikinya; (f). HAM merupakan landasan prinsip keadilan sebagai jembatan menuju perilaku beradab yang diciptakan dan diakui oleh masyarakat dunia; (g). HAM telah dikodifikasi dalam hukum internasional dan diakui oleh pengadilan internasional dan menjadi bagian dari Undang-Undang dan kebijakan negara di dunia; (h). HAM tidak membedakan ras, etnik, ideology, budaya/agama/keyakinan, falsafah, status sosial, dan jenis kelamin/orientasi seksual, melainkan mengutamakan komitmen untuk saling menghormati untuk menciptakan dunia yang beradab; dan (i). HAM untuk semua orang “diseluruh dunia,” baik yang lemah maupun yang kuat, untuk memberi pembenaran terhadap kebutuhan dan aspirasi manusia dan oleh karenanya berada diatas kepentingan semua golongan.

Meski berbagai agenda reformasi terkait penegakan hukum dan HAM sudah berjalan, kemajuan baru sebatas perubahan institusional dan legislasi. Agenda akuntabilitas yang otentik belum terwujud yang ditandai oleh absennya penghukuman bagi para pelaku kejahatan/pelanggaran HAM. Minimnya akuntabilitas membuat agenda reformasi ke depan tidak akan  berjalan mulus, sesuai dengan diktum “apa yang kita lakukan terhadap masa lalu akan menentukan nasib kita di masa depan”. Peran organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam agenda ini sangat penting mengingat berbagai kerangka legal dan institusional memberi peluang akan pengawasan terhadap negara selaku pelanggar HAM.

TRANSLATE: