INDIKASI BRUTALITAS ANGGOTA POLRI DI WILAYAH POLDA NTT
Oleh : Ian Haba Ora
Ketua Task Force
Team NTT
Konsepsi
tulisan ini, sebatas pada monitoring reformasi sektor keamanan (RSK) di Nusa Tenggara
Timur. Selama ini banyak kasus-kasus yang melibatkan oknum polri sebagai pelaku
dan not is the respect to human rights. Misalkan aktualisasi kasus Paulus
Usnaat yang terbunuh dalam sel Mapolsek Nunpene tanggal 2 Juni 2008 hingga kini
proses hukum terhadap empat anggota piket pada polsek tersebut belum mengalami
perkembangan, meskipun telah ada penetapan
Agus Talan cs yang diduga pelaku pembunuhan didalam proses penyidikan.
Tapi kewenangan institusi Polri sesuai UU Polri No 2 tahun 2002 untuk
melindungi dan mengayomi HAM seseorang tidak ditunjukkan. Buktinya, ada korban
yang tewas terbunuh dalam sel tahanan. Jika dikaitkan
dengan intrumen HAM dalam UU No 39 tahun 1999 maka negara dalam hal ini Polri
gagal menjamin HAM seseorang. Indikasipun dapat bermunculan sebagai kejahatan
pembiaran serangan terhadap HAM seseorang (by Ommision) dan ber-impact hilangnya
HAM seseorang. Kasus ini, mengindikasikan distrust sipil pada negara atas
perlindungan HAM seseorang. Kasus lakalantas maut dijalan Mohammad Hatta yang
menewaskan Jefri Lay dan Christofel Taebenu yang diduga akibat tendangan salah
satu oknum Samapta Polda NTT pada 12 Oktober 2009, mempertontonkan perilaku
brutalitas oknum polri yang represif, koersif dan tidak menghargai nilai-nilai
HAM dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pelindung, pengayom dan penegak
hukum. Selain dua kasus diatas, masih trend perilaku penyiksaan dan
penganiayaan oleh oknum Polri. Seperti kasus penganiayaan dan pemukulan
terhadap dua tahanan di sel Mapolres Sikka, Abrosius Rodin dan Benediktus Ndawi
oleh dua oknum polisi yang sedang ditahan dalam sel yang sama. Abro dan Benediktus
dipukul oleh oknum Polri yang sedang mabuk, bahkan kedua korban ditelanjangi
dan alat vital mereka “ditembak” dengan karet gelang (salah satu media lokal
NTT, 28 Oktober 2009). Tontonan Brutalitas Oknum Polri belum menjustifikasi
bahwa adanya reformasi polri di Institusi kepolisian. Brutalitas yang
dipertontonkan masih menunjukkan perilaku orde baru dimana Polri masih doktrin
dwifungsi ABRI. Reformasi polri masih berorientasi Intrumen hukum dan struktural
belum menyentuh secara kultural.
Pantauan
Task Force Team NTT dan F PAR Kota
Kupang dalam memonitoring isu-isu Reformasi Sektor Keamanan (RSK) di NTT, menunjukkan belum optimalnya
perlindungan akan Hak Asasi Manusia oleh negara disektor keamanan khususnya Polri
dan TNI. Dalam konteks ini, institusi Polri dan TNI sebagai state actors yang
diberi kewenangan oleh negara untuk menjalankan perlindungan akan HAM
kadang-kadang mengabaikan prinsip-prinsip HAM dalam tugas dan fungsi mereka.
Kondisi ini akan menstigma Pelaku sebagai pelanggar HAM karena mengabaikan
prinsip-prisip HAM dalam menjalankan tugas. Pelanggar HAM bisa terjadi bila
seorang aparat negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya secara langsung
(by commission) melanggar HAM
seseorang (contoh membunuh, melakukan tindakan secara langsung yang menyebabkan
orang lain kehilangan hak akan hidup, dll). Pelanggaran HAM juga dapat terjadi
bila aparat Negara dengan segala kewenangannya membiarkan terjadinya serangan
terhadap seseorang (by ommission).
Prinsip ini dapat diperhatikan pada teori HAM dimana pelanggaran HAM adalah
suatu pelanggaran terhadap HAM seseorang karena adanya penyelewengan atau
penyalagunaan otoritas negara dan pelaku pelanggaran HAM selalu aparat negara
meskipun pelaku pelanggaran juga dapat dilakukan oleh aktor non Negara, selagi
aktor non negara tersebut memiliki relasi politik dengan aktor negara. Seperti
yang terjadi di Timor Timur ketika pelakunya merupakan anggota milisi sipil
yang dipersenjatai dan dilatih oleh militer (Mboeik, 2007).
Akibat
kurang optimalnya reformasi Polri dan sering mengesampingkan prinsip-prinsip
HAM, hingga kini masih banyak masyarakat kecewa atas tindakan polisi dalam
melaksanakan tugas, seperti melakukan kekerasan dan penganiayaan, represif dan
lain-lain. Meskipun reformasi namun reformasi Polri dilakukan secara konvensional.
Ini ditandai dengan masih belum terkikisnya paradigma dan budaya militer dalam
organisasi dengan trauma reposisi yang membayanginya padahal reformasi polisi
didefenisikan sebagai transformasi organisasi kepolisian agar lebih
professional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon
ancaman serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Profesional yang
dimaksudkan yakni dalam penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas
kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan yang menghargai prinsip-prinsip
HAM, memiliki kode etik sebagai pengabdian dan memiliki seperangkat ajaran yang
dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup
organisasi. Sedangkan akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima
pengawasan atas wewenang yang diberikan. Akuntabilitas itu berupa 1). Answeribility, mengacu pada kewajiban
polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan;
2). Enforcement, mengacu pada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada
anggotanya apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik; 3).
Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka
terbukti melanggar code of conduct atau
tindak pidana. Dengan demikian, tujuan dari reformasi polisi adalah membentuk
lembaga kepolisian untuk profesional dan bertanggung jawab atas tiap tindakan
yang diambil dan menghormati hak asasi manusia.
Mudah-mudahan reformasi polri guna menghasilkan polri yang
professional dan akuntability dapat terlaksana di Indonesia khususnya di NTT.
Walaupun kecenderungan agenda akuntabilitas dalam konteks reformasi sektor
keamanan semakin hari menjadi semakin penting, meski tantangannya juga masih
banyak. Kecenderungan global menunjukkan bahwa agenda akuntabilitas merupakan
salah satu elemen terpenting dalam reformasi sektor kepolisian. Mengabaikan
agenda akuntabilitas akan membuat reformasi sektor keamanan terjerumus menjadi
agenda formalitas belaka. Situasi Indonesia pasca orde baru juga tetap
mencerminkan relevansi pertautan antara agenda akuntabilitas dengan reformasi
sektor keamanan.
Meski berbagai agenda reformasi terkait penegakan hukum dan
HAM sudah berjalan, kemajuan baru sebatas perubahan institusional dan
legislasi. Agenda akuntabilitas yang otentik belum terwujud yang ditandai oleh
absennya penghukuman bagi para pelaku pelanggaran (brutalitas anggota polri).
Minimnya akuntabilitas membuat agenda reformasi kedepan tidak akan berjalan
mulus. Peran organisasi masyarakat sipil dalam agenda ini sangat penting
mengingat berbagai kerangka legal dan institusional ditingkatan nasional dan
internasional cukup mendukung partisipasi aktif mereka.