SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 5 November 2013

HAM DAN POLRI



INDIKASI BRUTALITAS ANGGOTA POLRI DI WILAYAH POLDA NTT
Oleh : Ian Haba Ora
Ketua Task Force Team NTT

Konsepsi tulisan ini, sebatas pada monitoring reformasi sektor keamanan (RSK) di Nusa Tenggara Timur. Selama ini banyak kasus-kasus yang melibatkan oknum polri sebagai pelaku dan not is the respect to human rights. Misalkan aktualisasi kasus Paulus Usnaat yang terbunuh dalam sel Mapolsek Nunpene tanggal 2 Juni 2008 hingga kini proses hukum terhadap empat anggota piket pada polsek tersebut belum mengalami perkembangan, meskipun telah ada penetapan  Agus Talan cs yang diduga pelaku pembunuhan didalam proses penyidikan. Tapi kewenangan institusi Polri sesuai UU Polri No 2 tahun 2002 untuk melindungi dan mengayomi HAM seseorang tidak ditunjukkan. Buktinya, ada korban yang tewas terbunuh dalam sel tahanan. Jika dikaitkan dengan intrumen HAM dalam UU No 39 tahun 1999 maka negara dalam hal ini Polri gagal menjamin HAM seseorang. Indikasipun dapat bermunculan sebagai kejahatan pembiaran serangan terhadap HAM seseorang (by Ommision) dan ber-impact hilangnya HAM seseorang. Kasus ini, mengindikasikan distrust sipil pada negara atas perlindungan HAM seseorang. Kasus lakalantas maut dijalan Mohammad Hatta yang menewaskan Jefri Lay dan Christofel Taebenu yang diduga akibat tendangan salah satu oknum Samapta Polda NTT pada 12 Oktober 2009, mempertontonkan perilaku brutalitas oknum polri yang represif, koersif dan tidak menghargai nilai-nilai HAM dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum. Selain dua kasus diatas, masih trend perilaku penyiksaan dan penganiayaan oleh oknum Polri. Seperti kasus penganiayaan dan pemukulan terhadap dua tahanan di sel Mapolres Sikka, Abrosius Rodin dan Benediktus Ndawi oleh dua oknum polisi yang sedang ditahan dalam sel yang sama. Abro dan Benediktus dipukul oleh oknum Polri yang sedang mabuk, bahkan kedua korban ditelanjangi dan alat vital mereka “ditembak” dengan karet gelang (salah satu media lokal NTT, 28 Oktober 2009). Tontonan Brutalitas Oknum Polri belum menjustifikasi bahwa adanya reformasi polri di Institusi kepolisian. Brutalitas yang dipertontonkan masih menunjukkan perilaku orde baru dimana Polri masih doktrin dwifungsi ABRI. Reformasi polri masih berorientasi Intrumen hukum dan struktural belum menyentuh secara kultural.

Pantauan Task Force Team NTT dan F PAR Kota Kupang dalam memonitoring isu-isu Reformasi Sektor Keamanan (RSK) di NTT, menunjukkan belum optimalnya perlindungan akan Hak Asasi Manusia oleh negara disektor keamanan khususnya Polri dan TNI. Dalam konteks ini, institusi Polri dan TNI sebagai state actors yang diberi kewenangan oleh negara untuk menjalankan perlindungan akan HAM kadang-kadang mengabaikan prinsip-prinsip HAM dalam tugas dan fungsi mereka. Kondisi ini akan menstigma Pelaku sebagai pelanggar HAM karena mengabaikan prinsip-prisip HAM dalam menjalankan tugas. Pelanggar HAM bisa terjadi bila seorang aparat negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya secara langsung (by commission) melanggar HAM seseorang (contoh membunuh, melakukan tindakan secara langsung yang menyebabkan orang lain kehilangan hak akan hidup, dll). Pelanggaran HAM juga dapat terjadi bila aparat Negara dengan segala kewenangannya membiarkan terjadinya serangan terhadap seseorang (by ommission). Prinsip ini dapat diperhatikan pada teori HAM dimana pelanggaran HAM adalah suatu pelanggaran terhadap HAM seseorang karena adanya penyelewengan atau penyalagunaan otoritas negara dan pelaku pelanggaran HAM selalu aparat negara meskipun pelaku pelanggaran juga dapat dilakukan oleh aktor non Negara, selagi aktor non negara tersebut memiliki relasi politik dengan aktor negara. Seperti yang terjadi di Timor Timur ketika pelakunya merupakan anggota milisi sipil yang dipersenjatai dan dilatih oleh militer (Mboeik, 2007).

Akibat kurang optimalnya reformasi Polri dan sering mengesampingkan prinsip-prinsip HAM, hingga kini masih banyak masyarakat kecewa atas tindakan polisi dalam melaksanakan tugas, seperti melakukan kekerasan dan penganiayaan, represif dan lain-lain. Meskipun reformasi namun reformasi Polri dilakukan secara konvensional. Ini ditandai dengan masih belum terkikisnya paradigma dan budaya militer dalam organisasi dengan trauma reposisi yang membayanginya padahal reformasi polisi didefenisikan sebagai transformasi organisasi kepolisian agar lebih professional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Profesional yang dimaksudkan yakni dalam penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan yang menghargai prinsip-prinsip HAM, memiliki kode etik sebagai pengabdian dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup organisasi. Sedangkan akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Akuntabilitas itu berupa 1). Answeribility, mengacu pada kewajiban polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; 2). Enforcement, mengacu pada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggotanya apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik; 3). Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana. Dengan demikian, tujuan dari reformasi polisi adalah membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan bertanggung jawab atas tiap tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi manusia.

Mudah-mudahan reformasi polri guna menghasilkan polri yang professional dan akuntability dapat terlaksana di Indonesia khususnya di NTT. Walaupun kecenderungan agenda akuntabilitas dalam konteks reformasi sektor keamanan semakin hari menjadi semakin penting, meski tantangannya juga masih banyak. Kecenderungan global menunjukkan bahwa agenda akuntabilitas merupakan salah satu elemen terpenting dalam reformasi sektor kepolisian. Mengabaikan agenda akuntabilitas akan membuat reformasi sektor keamanan terjerumus menjadi agenda formalitas belaka. Situasi Indonesia pasca orde baru juga tetap mencerminkan relevansi pertautan antara agenda akuntabilitas dengan reformasi sektor keamanan.

Meski berbagai agenda reformasi terkait penegakan hukum dan HAM sudah berjalan, kemajuan baru sebatas perubahan institusional dan legislasi. Agenda akuntabilitas yang otentik belum terwujud yang ditandai oleh absennya penghukuman bagi para pelaku pelanggaran (brutalitas anggota polri). Minimnya akuntabilitas membuat agenda reformasi kedepan tidak akan berjalan mulus. Peran organisasi masyarakat sipil dalam agenda ini sangat penting mengingat berbagai kerangka legal dan institusional ditingkatan nasional dan internasional cukup mendukung partisipasi aktif mereka.

TRANSLATE: