SATPOLPP
KOTA KUPANG vs DPD PARTAI DEMOKRAT PROVINSI NTT
(Pentingnya
Adat Ketimuran/Kearifan Lokal)
Oleh. Ian Haba Ora)*
Ketua Task Force Team SSR NTT
Pemberitaan akan kinerja Satuan Polisi
Pamong Praja (SatpolPP) Kota Kupang, kian laun membahana citra baik persuasif
dan anti represif. Nampak tak kala sering terlibatnya institusi ini dalam
pergerakan sosial dan kemanusiaan, dari aktif dalam pemantauan pelaksanaan dan
penegakan Perda dan Peraturan Walikota, juga eksis dalam kerja-kerja sosial
seperti membantu membersikan got-got tersumbat, membersikan puing-puing
reruntuhan rumah-rumah yang terhantam angin puting beliung, tanah longsor dan
kegiatan amal lainnya.
Walaupun ini merupakan setitik susu
dalam gumpalan racun, tapi cukup memberikan warna akan citra positif yang perlu
dicontohi oleh institusi SatpolPP lain. Meskipun tidak terwakilkan secara
seantero NKRI lantaran pengaturan kinerja peraturan perundangan-undangan bahwa
institusi ini berbeda secara otonomi daerah, cukup representatif dengan
kinerja-kinerja jauh dari represif dan komunikasi koersif.
Pernah sekali dalam pemberitaan, Kasat
PolPP Kota Kupang dalam penanganan pengusuran perumahan warga penyabotase lahan
milik Pemkot Kupang di tahun 2010 (versi Pemerintah), Kasat PolPP mewanti-wanti
anggotanya untuk tidak melakukan kekerasan dan tindakan represif lainnya. “Saya
bersedia mati untuk tugas ini, tapi saya mohon tidak ada tindakan apapun
sebelum mendapat perintah dari saya, mereka itu (warga) adalah keluarga kita,
kita bantu mereka untuk direlokasi ditempat yang lebih aman. Meskipun pada
akhirnya timbul pro kontra dalam keputusan Walikota tersebut, namun Kasat PolPP
Kota Kupang memiliki andil penting dalam negosiasi mencari wind-wind
solution, pada akhirnya dinilai kalangan LSM dan civil society sebagai tindakan
propoor (kerakyatan), walaupun tidak
terintegrasi. Pernah sekali saat wawancara dengan penulis, AA Dumul (Sapaan
Karibnya), bersedia meletakkan jabatannya jika dinilai gagal dalam mencari
alternatif nilai luhur HAM karena menurutnya banyak aturan perundangan
Pemerintah yang mengebiri hak-hak rakyat dan yang lebih parah adalah sering
melangkahi nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
Kisah lain, sesuai dengan perintah
Perda Kota Kupang Nomor 56 Tahun 2002 Tentang Pengaturan Tempat Usaha dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima Kota Kupang, Pasal 2 ayat (2) menegaskan para
pedagang kaki lima wajib untuk tidak berusaha atau berdagang di badan jalan,
drainase, emperan toko, trotoar, halte, terminal, tempat parkir dan
tempat-tempat yang tidak ditetapkan dengan Keputusan Walikota. Namun, kenyataannya
paradoksal dengan realitas yang ada. Dari sekian banyak PKL yang beraktivitas
dalam usaha perdagangan, melakukan aktivitas diatas badan jalan, drainase,
emperan toko, trotoar, halte, terminal, tempat parkir dan tempat-tempat yang
tidak ditetapkan dengan Keputusan Walikota. Ironis memang jika akan
ditertibkan.
Satu hal menjadi perhatian adalah
apapun yang dilakukan oleh PKL tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan dalam
hidup sehari-hari, makan dan minum menjadi ihwal utama. Dilematis dalam nurani
seorang Dumul untuk menilai secara moral dan nilai-nilai estetik. Guna
menetralkan antara ketegasan Perda dan nurani, melalui institusi SatpolPP
mengumpulkan PKL-PKL Kota Kupang untuk menata sendiri aktivitasnya dengan tanpa
bertentangan dengan Perda. Akhirnya, PKL-PKL tersebut dengan sendirinya
menertibkan diri mereka guna beraktivitas dalam berdagang. Pendekatan persuasif
ternyata memberi nilai tambah dalam kinerja SatpolPP tanpa kekerasan.
Contoh lain, institusi ini juga
melakukan pemantauan dalam illegal mining batu mangan sesuai dengan perintah
Walikota Kupang, dan dari beberapa kasus penahanan mangan sudah di P-21 kan
oleh Kepolisian. Ini sebagai tanggung jawab institusi ini dalam mengawal
kelestarian lingkungan dari oknum-oknum yang tak
bertanggung jawab yang dengan sengaja mencuri perut bumi Kota Kupang.
Pantauan penulis dalam
pemberitaan-pemberitaan media massa baik visual maupun audio visual, aktivitas
SatpolPP Kota Kupang jauh dari pemberitaan-pemberitaan kekerasan. Nampak dalam
pemberitaan, sosialisasi dan akselerasi penegakan Perda dan Peraturan Kepala
Daerah dalam penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat (Trantibum).
Bahkan, eksis dalam kegiatan trantibum Satpol PP Kota Kupang membangun jaringan
kerja sama (networking) dengan Komunitas-Komunitas
Geng Motor Kota Kupang yang sering mengganggu dengan ugal-ugalan dan keributan
kebisingan kendaraan bermotor, berelasi dengan berbagai kalangan (aktivis LSM,
Akademisi, insan Pers, Mahasiswa, dan intitusi penegakan hukum: Polri), demi
kenyamanan masyarakat sesuai dengan amanat aturan daerah yang berlaku.
Sisi lain, guna menjawab akan
pentingnya eksistensi SatpolPP dalam pelayanan, Kasat PolPP Kota Kupang
memberlakukan Kotak Saran yang terpampang didepan Kantor guna menampung
aspirasi dan saran masyarakat penerima layanan Perda dan adiministratif Kota.
Dalam tulisan penulis terdahulu pada harian ini (Timex-Selasa, 23/11/2010),
guna menampung pengaduan masyarakat akan gangguan penyelenggaraan trantibum,
Kasat PolPP membuka layanan kring dinomor HP 081236892112 dan siap dihubungi
kapan saja.
Realitas diatas hanyalah segelintir
atau sebagian pendekatan persuasif yang dapat penulis rekam dalam melakukan
pemantauan-pemantauan isu reformasi sektor keamanan dan terintegrasi Satpol
secara inclave. Demikian juga, sebagai referensi dalam diskusi wacana
pembubaran SatpolPP lantaran tindakan represif dan kekerasan yang sering
dipertontonkan aparat SatpolPP secara holistik dan spasial, tumpang tindih
tugas dan wewenang antara Polri, DISHUB, dan sebagainya. Hemat penulis, tulisan
ini sebagai wujud tanggung jawab rakyat untuk mengawal sementara institusi ini,
hingga adanya pembubaran SatpolPP melalui UU. Karena biar bagaimanapun, sebelum
institusi ini dibubarkan masih memainkan peran penting dalam penegakan Perda
dan Peraturan Kepala Daerah yang bersentuhan langsung juga dengan pelayanan
publik.
POLPP
KOTA KUPANG vs DPD PARTAI DEMOKRAT NTT
Citra SatpolPP yang selama ini dinilai
banyak kalangan cukup mengedepankan persuasive
approach ini sedikit tercoreng dengan aksi pengrusakan baliho partai
demokrat Prov. NTT. Surat Kabar Harian Timor Express (11/2/2011), memberitakan
“Robek Baliho Demokrat, Pol PP di Polisikan”.
Sejumlah oknum anggota SatpolPP Kota Kupang diadukan ke pihak Kepolisian
oleh DPD Partai Demokrat Provinsi NTT oleh Jonathan Kana, Selasa (8/2/2011).
Aksi pembongkaran serta pengrusakan baliho Partai Demokrat tersebut dilakukan
secara bersama-sama oleh anggota SatpolPP Kota Kupang di Jalan Ade Irma,
Kelurahan Kelapa Lima, Kecamatan Kelapa Lima. Jonathan Kana, kepada petugas Ba
Min SPK Polresta mengatakan. Pada Selasa siang tersebut, ia mendapat telepon
dari Ketua DPD Partai Demokrat bahwa ada Baliho di depan rumah di Jalan Ade
Irma dirusak oleh anggota Satpol PP Kota Kupang. Dan saat di cek, baliho tersebut
telah diturunkan dan dirobek. Atas kejadian tersebut, pihaknya melaporkan ke
Polisi terkait kasus pengrusakan secara bersama-sama yang dilakukan PolPP Kota
Kupang.
Kasat PolPP, Dumuliahi Djami yang
dikonfirmasi wartawan terkait laporan yang dibuat pihak DPD Partai Demokrat
tersebut, mengatakan, pihaknya telah menyampaikan klarifikasi kepada DPD Partai
Demokrat. Dijelaskannya, tindakan penertiban yang dilaksanakan berdasarkan
perintah Presiden RI melalui pasukan Pengamanan Presiden (Paspanpres) atas nama
Letnan Satu (Lettu) Matfud. Saat itu, ada kunjungan kerja Presiden RI, DR. H.
Susilo Bambang Yudoyono berserta ibu negara dalam peresmian Gong Perdamaian
Nusantara di Kota Kupang. Dalam tugas kenegaraan ini, partai Demokrat
memanfaatkan momen dengan memasang baliho Partai Demokrat diarea sekitar
kunjungan itu. Entah untuk mencuri simpatik atau kepentingan lainnya oleh
Partai berlogo Bintang tersebut, maka atas perintah Presiden melalui Panpampres
Baliho tersebut diturunkan.
Sementara itu, Sekretaris DPD I Partai
Demokrat NTT, Jonathan Kana yang dikonfirmasi secara terpisah, mengatakan DPD I
Partai Demokrat NTT akan tetap menempuh proses hukum terkait kasus ini. Karena
hal yang dilakukan PolPP sudah menciderai perasaan pengurus Partai Demokrat. “Saya
kira kita masyarakat NTT punya adat ketimuran yang kental. Oleh karena itu
kalau memang ada informasi penurunan seperti itu, maka kurang lebih kita
diberitahu. Namun sikap PolPP ini cukup kalau boleh dinilai sudah diluar adat
dan kebiasaan ketimuran kita,” pungkas Jonathan Kana.
Keberanian
SatpolPP dalam Integritas
Beda aksi dalam perseteruan antara
institusi SatpolPP Kota Kupang yang di Polisikan oleh DPD Partai Demokrat,
menjadikan insiden ini sebagai pelajaran yang mungkin cukup untuk dimaknai oleh
anggota SatpolPP. Mengapa demikian? Ini lantaran alasan yang digunakan oleh
Jonathan Kana adalah adat ketimuran (kearifan lokal). Adat ketimuran yang
mengedepankan persuasif, ramah tamah, sopan santun, etika dan moral serta Kasih
menjadi senjata ampuh, meskipun terkadang dijadikan sebagai topeng tipu daya
oleh petarung-petarung muslihat. Bukan berarti oknum dari DPD Partai Demokrat
NTT seperti itu yang dimaksudkan oleh penulis, namun seharusnya dalam pelayanan
publik, kearifan lokal sangat urgen dalam aktivitas kegiatan tugas dan fungsi
SatpolPP.
Beberapa hal penting yang mungkin perlu
dipetik hikmahnya adalah:
1.
Adat ketimuran (kearifan Lokal)
seharusnya menjadi panutan dalam penegakan peraturan Satpol PP dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi kewenangan sehingga tidak menciderai nilai-nilai
luhur pendekatan persuasif.
2.
Meskipun dipolisikan oleh DPD Partai
Demokrat, namun satu hal yang perlu diperhatikan adalah adanya keinginan
institusi SatpolPP untuk dapat mengklarifikasi hal ihwal kejadian, walaupun
secara kewenangan, SatpolPP memiliki otoritas itu, apalagi didukung oleh
perintah Panpampres selaku matanya Presiden. Pengklarifikasian institusi Satpol
PP Kota Kupang ini masih mengkonfigurasikan adanya nilai kooperatif dan tidak
ego sektoral.
3.
Citra lain, institusi manapun tidak ada
yang kebal hukum melalui tindakan aparatnya, sehingga seharusnya dalam konteks
protab perlu memperhatikan nilai-nilai hukum yang berlaku dalam negara ini.
Sehingga dalam tugas tidak mengedepankan kecerobohan dan kesewenang-wenangan.
Kiranya insiden dan kesalahpahaman ini
dapat dipetik sebagai pelajaran berharga dalam hidup bernegara dan
bermasyarakat, sehingga tidak selalu menjadi momok kebisuan dalam penegakan
aturan menuju ketentraman dan ketertiban umum.