Lembaran Hitam Pol PP Pada Kasus
Koja-Tanjung Priuk
Oleh Ian Haba Ora
Ketua Task Force NTT
Bagian 1.
Brutalitas Satpol PP
Kasus brutalitas satuan Polisi Pamong
Praja Kota Jakarta (Koja) di lokasi Pelindo Tanjung Priok dengan warga lantaran
rencana pergusuran lokasi makam mbah Priuk (merenovasi, versi Pemerintah) yang
berujung pada tewasnya tiga orang anggota Satpol PP, mengindikasikan masih
massifnya kebrutalan “preman berseragam” (Versi Warga). Alih-alih tuntutan
pembubaran kesatuan Polisi Pamong Praja di seantero nusantarapun makin
menyeruak dengan kasus satpol PP vs Warga Tanjung Priuk pada Rabu, 14 April
2010.
Ketua Komnas HAM, dalam staetmen
mediapun mempertegas bahwa ada indikasi pelanggaran HAM oleh Satpol PP, tak
elak pun, Gubernur DKI Jakarta, Fauzy Bowo (Foke) dituntut untuk membebastugaskan
Kepala Satpol PP DKI Jakarta. Lapisan ornop dan warga pun melakukan aksi dan
somasi ke pemerintah Pusat untuk segera membubarkan Satuan Polisi Pamong Praja
lantaran aksi brutal dan represif yang selalu dipertontonkan oleh anggota
Satpol PP. kontroversipun dalam penyidikan kasus satpol PP versus warga tak
elak terjadi dikalangan elit hingga warga biasa, pada akhirnya terjadi distrust antara aparat negara dan
warganya. Gaung reformasi, tuntutan demokrasi seruak muncul untuk mengeliminasi
kasus-kasus pelanggaran HAM yang sering terjadi dalam tugas dan instruksi
dilapangan demi upaya good governance and
clean governance. Lepas dari tuntutan good
governance and clean governance; keamanan insani kini menjadi aktualisasi
kalangan demokratior untuk hidup bebas dari rasa takut dan bebas dari tekanan.-
Menurut Amdy Hamdani (2009), dalam
Almanak Hak Asasi Manusia di reformasi Sektor Keamanan dalam tulisannya Wacana
HAM dan Sektor Keamanan Kontemporer menulis tentang keamanan insani (human
security). Menurutnya, kemanan insani menganut cara pandang keamanan
berorientasi manusia sebagai elemen penting bagi stabilitas lokal, nasional dan
global. Lebih jauh, konsep keamanan insani juga terkait dengan praktek
pembangunan. Berdasarkan konsep keamanan insani, kemiskinan dan ketimpangan
merupakan akar penyebab dari kerentanan individu.
Ancaman atas keamanan insani
sendiri-menurut pendekatan HAM-berasal dari pengingkaran terhadap HAM dan
tiadanya sistem demokrasi disebuah negara. Pendekatan ini menjadikan perang
sebagai ancaman utama keamanan insani hingga keselamatan individu dipandang
sebagai tujuan utama pengembangan konsep keamanan insani. Sedangkan elemen
penting dalam keamanan insani hanya penegas dari peran dan kewajiban negara
kepada rakyatnya.
Tahun 1994 United Nations Development
Programs (UNDP) merilis Human Development Report yang dianggap sebagai tonggak
awal diadopsinya konsep keamanan insani. UNDP menjelaskan konsep keamanan insani
mencakup: keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan
lingkungan hidup, keamanan personal, keamanan komunitas dan keamanan politik.
Sebernarnya kemanan insani dan keamanan
tradisional (keamanan nasional) bukanlah konsep yang perlu dipertentangkan.
Keamanan insani dan keamanan nasional merupakan hal yang saling bergantung satu
sama lain, kekacauan sosial, politik, dan kebutuhan ekonomi adalah hal yang
bisa menjadi alasan goyahnya sebuah rezim, dan pada akhirnya akan melemahkan
negara dalam menghadapi ancaman internal dan eksternal.
France Stewart menyatakan bahwa keamanan
dan pembangunan sangat terkait satu sama lain. Keamanan insani menjadi tujuan
dari pembangunan karena membentuk bagian penting dari keberadaan manusia.
Kurangnya keamanan insani memiliki dampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan. Sedangkan ketidak seimbangan pembangunan yang melibatkan
ketimpangan holizontal adalah sumber konflik.
Dengan demikian keamanan harus dilihat
dalam konteks keseluruhan (comprehensive
security) dan keseimbangan antara kepentingan keamanan negara (state security) disatu pihak dan
keamanan insani (human security) dilain pihak.
Ancaman terhadap yang satu tidak secara
otomatis memberi hak bagi pemerintah untuk meniadakan penghormatan atau
melakukan pengorbanan atas lainnya. Dalam pemahaman keamanan nasional sebagai
barang publik, pemerintah senantiasa dituntut untuk menjaga keseimbangan antara
kebebasan (liberty) dan keamanan (security). Dalam perkembangannya, mulai
diakui keamanan insani (bebas dari kekurangan dan ketakutan) tidak selalu bisa
dipenuhi oleh negara. Bahkan, negara justeru bisa menjadi sumber dari
ketidakamanan.
Kekerasan, penindasan, dan pelecehan
terhadap kemanusiaan oleh rezim totaliter diabad modern-yang tidak berbeda jauh
dengan perilaku kekuasaan diabad pertengahan dan zaman primitif merupakan
sumber munculnya gagasan dan upaya mendorong adanya respon global pentingnya
pengakuan atas HAM. Dimana perumusan dan proses internasionalisasi Hak Asasi
Manusia merupakan usaha serius manusia untuk menjaga dan melindungi harkat dan
martabat kemanusiaannya. Dan aplikasi HAM berupa pengakuan atas kebebasan
(bebas dari rasa takut dan bebas dari kekurangan) dan kesetaraan seharusnya
memperoleh jaminan dari negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Melihat
perkembangan ancaman keamanan yang terjadi didunia belakangan ini, maka penting
sekali menanamkan kepada publik mengenai perspektif keamanan baru yaitu “human
security” dalam mempengaruhi kebijakan stabilitas lokal, regional dan
internasional untuk menciptakan perdamaian abadi agar generasi mendatang mewarisi
lingkungan yang sehat.
Kasus Koja,
Negara Gagal Menjamin Human Security
Kekerasan yang dilakukan oleh Satuan
Polisi Pamong Praja DKI Jakarta menggambarkan masih massifnya pendekatan dan
perilaku kekerasan dan represif demi penegakan perda dan Keputusan Kepala
Daerah. Maraknya aksi brutalitas dan pengesampingan penghargaan akan nilai Hak
Asasi Manusia mencirikan negara ini mereformasi diri secara subyektif belum
pada upaya reformasi secara obyektif. Negara masih mereformasi secara reaksioner
belum pada reformasi secara kekinian (contemporer reform). Kasus Koja,
menjustifikasi maraknya aksi pelanggaran HAM di Indonesia. Meskipun secara
aktualisasi kasus saat ini, semakin dipolitisir dengan berbagai macam
kronologis dan sebab-akibat, intinya negara telah gagal menjamin human
security.
Salah satu cara negara merepresif
warganya adalah melalui legislasi dan kebijakan negara. Seringkali tindakan
negara diamini dengan kekerasan dan represif. Metode ini sering digunakan
negara bercirikan abuse of power.
Polisi Pamong Praja selaku bahagian
dari negara yang sesuai tugas dan intruksinya dalam PP 32 tahun 2004 pasal (3)
“Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai
tugas memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum,
menegakkan peraturan daerah dan keputusan Kepala Daerah” dan pasal (4)
menyatakan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, Satuan
Polisi Pamong Praja menyelenggarakan fungsi: a). penyusunan program dan
pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, penegakan peraturan daerah dan
keputusan Kepala Daerah; b). pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan
penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum didaerah; c). pelaksanaan
kebijakan penegakan peraturan daerah dan keputusan Kepala Daerah; d).
pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah, keputusan Kepala Daerah
dengan aparat kepolisian negara, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan atau
aparatur lainnya; e). pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan mentaati
Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
Dengan demikian, Polisi Pamong Praja
wajib untuk menjalankan amanat perda dan keputusan Kepala Daerah yang terkadang
berlawanan dengan nurani. Banyak perda-perda subversif yang sering mengebiri hak-hak
rakyat terutama hak-hak komunal dari masyarakat adat. Kasus Koja, menggambarkan
aksi kekerasan yang ditunjukkan oleh oknum aparat negara dalam menjalankan
amanat keputusan Gubernur, yang pada akhirnya mengorbankan beberapa anggota
Satpol PP dan warga sipil. Indikasi pelanggaran HAM pun nyata dalam kasus Koja.
Negara gagal menjamin ketentaraman dan keamanan warganya dengan bentrok yang
terjadi.
Lantaran sebagai penegak Perda dan
Keputusan Kepala Daerah dan demi mengamankan perintah/keputusan Gubenur maka
indikasi tindakan-tindakan represif diambil oleh Satpol PP untuk mengamankan
kebijakan yang ada, sehingga Polisi pamong Praja pun “terpaksa” melakukan
kekerasan. Hal lain juga terletak pada pelatihan dan perekrutan anggota Satpol
PP sebatas pada kesamaptaan tanpa dibekali dengan materi HAM, civic education
dan social approach.
Untuk menimalisir pelanggaran HAM,
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja juga harus bertanggung jawab untuk memberi
advis dalam penegakan perda dan keputusan Kepala daerah kepada anggotanya seperti
yang ditunjukkan Kasat Pol PP Kota Kupang, Drs. Dumuliahi Djami, M.Si., ketika
menggelar operasi penertiban “Tegakkan Perda tapi jangan hilangkan mata
pencaharian orang,” (mengutip perintah
walikota Kupang pada saat Kasat pol pp bekonsultasi dengan Walikota Kupang) kata-kata
ini dilecutkan Kasat PolPP Kota Kupang ketika berdialog dengan belasan PKL di
aula PolPP Kota Kupang, Kamis (25/3/2010). Kondisi ini mencerminkan masih
adanya junjungan penghargaan akan nilai-nilai HAM sehingga pelanggaran HAM
secara terstruktur dalam dinamika penegakan perda di Kota Kupang dapat
diminimalisir. Kiranya semakin memperkokoh anggota Satpol PP menjadi lebih
professional.
Pesan “jaga harga diri institusi PolPP
dan jangan arogan” yang sering dilakon oleh Kasat Pol PP Kota Kupang pada
anggotanya dalam setiap kegiatan operasi perintah perda seturut pengakuannya,
agar anggotanya tidak melakukan kekerasan dan mengutamakan pendekatan
persuasif, secara temporer terbukti dengan pemberitaan-pemberitaan media jauh
dari pemberitaan kekerasan yang dilakoni oleh Satpol PP. Apa yang telah
ditunjukkan oleh PolPP Kota Kupang agar terus diasah agar menjadi lebih
professional tanpa mengabaikan perintah Perda.
Aturan
Subversif
Dengan dalih menjalankan perintah perda
sering kali anggota dari kesatuan Polisi Pamong Praja sering malakukan
kekerasan dalam penegakan perda dan keputusan Kepala Daerah.
Peraturan daerah yang dihasilkan oleh
DPRD sering kali mengebiri hak-hak rakyat, begitupun Keputusan Kepala Daerah
sering melalaikan eksistensi hak-hak komunal maupun hak-hak dasar dari warga
negara. Ketika perda dan keputusan kepala daerah menuntut untuk ditegakkan,
maka Satpol PP lah yang menjadi senjata andalannya. Meskipun dalam
penegakkannya bertentangan dengan nurani, namun karena tugas maka kekerasan dan
represif sering menjadi solusi terakhir. Meskipun upaya pendekatan persuasif (persuasive approach) sering dilakukan
oleh Satpol PP namun tidak serta merta dipahami warga negara sebagai
alternatif. Dengan adanya teori HAM dan UU HAM, warga negara sering salah
menginterpretasi menjadi brutalitas warga negara.
Namun eksistensi Satpol PP akan baik
dimata masyarakat jika perda dan Keputusan Kepala Daerah menjadi perda yang
berorientasi kebutuhan masyarakat (need
oriented). Untuk itu partai politik perlu membekali kadernya yang duduk di
lembaga legislatif untuk selalu mengedepankan kebijakan yang propoor dan
menghargai nilai-nilai hak asasi manusia. Hal yang sama juga berlaku bagi
Kepala Daerah dalam merubah mindset/mindstreeming menjadi keputusan yang
menghargai warga negara sebagai penerima layanan dan kebijakan. Sehingga apapun
yang dihasilkan dari peraturan daerah ditingkat DPRD dan Keputusan Kepala
Daerah ditingkat eksekutif tidaklah mengebiri hak-hak rakyat. Karena kadangkala
negaralah pelaku sumber ancaman bagi warganya.
Polisi
Pamong Praja dan Harapan
UU dan Perda-Perda serta berbagai perda
yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah telah menempatkan Satpol PP
menjadi aktor pengendalian ketentraman dan ketertiban kota/daerah yang
strategis dan penting. Aksi mereka banyak mengundang perhatian masyarakat
karena memang bersifat publik. Selain itu, aksi mereka juga kerap diberitakan
baik oleh media visual, auditif, maupun cetak. Sebahagian motif pemberitaan ini
juga bagian dari ‘sosialisasi’ aparatus pemerintah daerah akan kewajiban mereka
melaksanakan amanat Perda. Langsung maupun tidak langsung, aksi-aksi Satpol PP
ini menyentuh kepentingan masyarakat banyak.
Dengan demikian, corak anekdot
institusi Polisi Pamong Praja berwatak dan berwajah represif dapat bermetamorphosis menjadi Polisi Pamong
Praja yang persuasif, profesional dan akuntabel. Tunjukkan Polisi Pamong Praja
yang proaktif dalam penegakkan perda dan tidak arogan dan mengesampingkan
kekerasan, mengutamakan persuasif. Masyarakat tentram, jauh dari ketakutan akan
kekerasan yang dilakonkan oleh Satpol PP. Saatnya pendekatan persuasif menjadi
trend dalam penegakan perda dengan alternatif-alternatif yang disolusikan tanpa
menghilangkan hak-hak rakyat.
Lembaran
Hitam Pol PP (Bagian 2)
“Wacana
Kebutuhan Akan Satpol PP”
Indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang sering dipertontonkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja hampir diseluruh
antero nusantara menuntut agar Pol PP dibubarkan. Ditambah dengan indikasi aksi
pelanggaran HAM di Koja oleh Satpol PP DKI Jakarta terhadap warga tanjung priuk
Rabu, 14 April 2010 menguatkan tema pembubaran Pol PP.
Satpol PP, Sejarah dan Dasar Hukum
Keberadaan Satpol PP, yang bermoto
Prajawibawa, sebernarnya bisa dilacak lebih jauh pada pembentukan Bailluw saat VOC menduduki Batavia
(1602). Bailluw saat itu merupakan
polisi yang merangkap jaksa dan hakim yang bertugas untuk menangani
perselisihan hukum yang timbul antara VOC dengan warga kota. Selain menjaga ketertiban
dan ketentraman warga kota, institusi ini berkembang menjadi organisasi
kepolisian disetiap Kerisidenan dan Kawedanan untuk melakukan tugas-tugas
ketertiban dan keamanan pasca kekuasaan Raffles (1815). Bailluw ini terus berkembang menjadi suatu organisasi yang tersebar
disetiap Keresidenan dengan dikendalikan sepenuhnya oleh residen dan asisten
residen. Selanjutnya, organisasi kepolisian kolonial dikembangkan menjadi: pertama, Polisi Pamongpraja (Bestuurpolitie) yang ditempatkan menjadi
bagian dari pemerintahan pribumi yang didukung oleh kepala-kepala desa, para
penjaga malam, dan agen-agen polisi yang diperbantukan pada pejabat-pejabat
pamongpraja. Kedua, Polisi umum (Algemeen Politie) yang merupakan
kesatuan khusus dan berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
kepolisian. Ketiga, polisi bersenjata
(Gewapende Politie). Untuk polisi
pamong praja dan polisi umum, keduanya ditempatkan dibawah Kejaksaan (Procureur Generaal) pada Mahkamah Agung
(Hoogerrechtshof) sebagai penanggung
jawab tertinggi atas pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum (IDSPS, 2009).
Pasca Proklamasi kemerdekaan yang
diawali dengan kondisi yang mengancam NKRI, dibentuklah Detasemen Polisi
Penjaga Keamanan Kapanewon di Yogyakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan
Praja di DIY No 1/1948 tertanggal 30 Oktober 1948 untuk menjaga ketentraman dan
ketertiban masyarakat. Pada tanggal 10 Nopember 1948, lembaga ini berubah
menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja berdasarkan Surat Perintah Jawatan Praja
DIY No 2/1948. Di Jawa tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. UR32/2/21/Tahun 1950 untuk mengubah Detasemen Pol PP menjadi
Kesatuan Polisi Pamong Praja. Inilah embrio terbentuknya Satpol PP. Tanggal 3
Maret ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) yang diperingati setiap tahun (Tadie, 109:170). Pada Tahun 1960,
dimulai pembentukan Kesatuan Polisi Pamong Praja diluar Jawa dan Madura
berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 7 Tahun 1960 tanggal
30 Nopember 1960, yang mendapat dukungan para petinggi militer (Angkatan
Perang). Tahun 1962 namanya berubah menjadi Kesatuan Pagar Baya dengan
peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962
tertanggal 11 Juni 1962 untuk membedakannya dari Korps Kepolisian Negara
seperti dimaksud dalam UU No 13/1961 tentang Pokok-Pokok Kepolisian. Tahun
1963, lembaga ini berganti nama lagi menjadi Kesatuan Pagar Praja dengan
Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.1 Tahun 1963 tanggal
11 Februari 1963. Istilah Satpol PP sendiri mulai populer sejak pemberlakuan UU
No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam pasal 86 ayat 1 UU
itu disebutkan, Satpol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakan tugas
dekosentrasi.
Kini UU 5/1974 sudah tidak berlaku
lagi, digantikan UU No 22/1999 dan direvisi menjadi UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan bahwa tujuan Satpol
PP adalah untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan perda dan
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan
Polisi Pamong Praja dan, pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi
Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan
Pemerintah. UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya pasal 148
menjadi landasan hukum keberadaan Satpol PP. Pasal ini bahkan menuntut
pembentukan Satpol PP sebagai kelengkapan struktur pemerintah daerah. Dengan UU
ini, hampir tak ada lagi daerah yang tidak mempunyai lembaga Satpol PP. Satpol
PP juga dilengkapi dengan Pedoman Satpol PP dalam PP No 32/2004 tentang Pedoman
Satuan Polisi Pamong Praja.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26
Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong
Praja merupakan prosedur tetap operasional yang dimilki Satpol PP. Pasal 4
Permendagri No 26/2005, Protab terdiri atas: prosedur operasional ketentraman
dan ketertiban umum; prosedur operasional pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan
kerusuhan massa; prosedur operasional pelaksanaan pengawalan
pejabat/orang-orang penting; prosedur operasional pelaksanaan tempat-tempat
penting; prosedur pelaksanaan operasional patroli; prosedur operasional
penyelesaian kasus pelanggaran ketentraman, ketertiban umum dan Peraturan Daerah.
Sementara, mengenai pakaian dinas,
perlengkapan dan peralatan Satuan Polisi Pamong Praja diatur oleh Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 tentang Pedoman Pakaian Dinas,
Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja. Permendagri ini mengatur
seluruh perlengkapan operasional satuan polisi pamong praja, baik perorangan
maupun institusional. Terkait dengan perlengkapan perorangan, pedoman ini juga
memberikan kewenangan pada anggota Satpol PP untuk memakai dan menggunakan
senjata api. Dan kini kesatuan Satpol PP pada Hari Ulang Tahunnya yang ke 60
pada 3 Maret 2010 mendapat kado istimewa berupa PP No. 6 tahun 2010 tentang Pol
PP.
Wacana Masyarakat Mengenai Kebutuhan
akan Satpol PP
UU dan Perda-Perda serta berbagai perda
yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah telah menempatkan Satpol PP
menjadi aktor pengendalian ketentraman dan ketertiban kota/daerah yang
strategis dan penting. Aksi mereka banyak mengundang perhatian masyarakat
karena memang bersifat publik. Selain itu, aksi mereka juga kerap diberitakan
baik oleh media visual, auditif, maupun cetak. Sebahagian motif pemberitaan ini
juga bagian dari ‘sosialisasi’ aparatus pemerintah daerah akan kewajiban mereka
melaksanakan amanat Perda. Langsung maupun tidak langsung, aksi-aksi mereka
Satpol PP ini menyentuh kepentingan masyarakat banyak. Tak heran kalau
kedudukan dan kiprahnya itu mengundang beragam pandangan. Dalam penelusuran
wacana di masyarakat ada beberapa pandangan terhadap Satpol PP. pertama,
pandangan Moderat, kedua, pandangan liberal, dan ketiga, pandangan kritis.
Pandangan moderat menganggap keberadaan
Satpol PP penting dan perlu terutama untuk menjaga ketentraman dan ketertiban
kota. Kalaupun ada aksi-aksi mereka yang terkesan penuh kekerasan dan melanggar
hak asasi manusia, itu menurut mereka, tidak mengharuskan Satpol PP dibubarkan
atau ditiadakan. Kekerasan terjadi lebih sering karena kekeliruan yang bersifat
teknis-prosedural atau karena adanya aksi-aksi masyarakat yang bersifat
provokatif terhadap mereka. Dengan pandangan ini, kalangan moderat lebih banyak
membela keberadaan Satpol PP sambari mengusulkan perlunya Satpol PP bertindak
lebih persuasif dengan tahapan pendekatan mulai pengayoman, pencegahan hingga
penindakan bagi pelanggaran Perda. Disisi lain, mengharapkan masyarakat untuk
tidak melawan dan memprovokasi para petugas Satpol PP yang memancing emosi dan
kemarahan mereka. Untuk itu mereka mengusulkan perlunya revitalisasi Satpol PP,
misal dengan membuat rambu “kewenangan prosedural” yang harus jelas dan terukur
terutama dalam tahap aksi penindakan. Pandangan yang banyak didukung masyarakat
menengah ini selanjutnya mengharapkan adanya peningkatan SDM, anggaran, dan
sarana, agar dalam berbagai tindakan, Satpol PP bisa lebih baik dan persuasif.
Pandangan kalangan moderat cukup
beralasan. Dengan cara yang persuasif, Pol PP bisa menghindari aksi kekerasan
dan pelanggaran Hak Asasi dalam aksi-aksi mereka. Hal ini dilakukan sejauh ini
oleh misalnya Satpol PP Kota Kupang. Berbeda dengan gambaran Satpol PP di media
elektronik yang terkesan sangar dalam menangani perda, menurut Drs. Dumuliahi
Djami, Kepala Satpol PP Kota Kupang, selama ia bekerja dilapangan di wilayah
Kota Kupang, mereka lebih mengedepankan cara “kekeluargaan” dan negosiasi. Dia mencontohkan ketika mereka
akan menertibkan PKL atau pasar liar maka pertama-tama mereka melakukan
pendekatan terhadap masyarakat yang terkena jalur penertiban. “Kami
memberitahukan kepada mereka kalau mereka dilarang berjualan diarea tersebut
dan selanjutnya meminta mereka untuk pindah secara baik-baik. Bahkan kami
membantu mereka untuk pindah dan mengangkut barang-barang mereka,” cerita Dumul
Djami. Cara-cara seperti ini menurutnya jauh lebih efektif dan lancar di
lapangan (Temuwicara Kasat Pol PP setiap kegiatan Operasi).
Berbeda dengan kalangan moderat,
pandangan liberal, menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan sama
sekali. Mereka lebih banyak berharap agar soal ketertiban dan keamanan
diserahkan kepada kalangan Polisi saja. Ketidak setujuan kalangan liberal yang
didukung kalangan kelas menengah keatas ini terutama karena Satpol PP sering
mengurus hal-hal yang bersifat ‘privacy,’ yang memang menjadi kemewahan
kalangan kelas ini.
Meskipun secara teoritis wewenang
polisi dan Satpol PP telah tertulis dan berbeda, dalam praktiknya clash dan
kesalahpahaman tidak terhindarkan. Satpol PP bertanggung jawab untuk mengawal
pelaksanaan Perda, terutama peraturan yang mempunyai hukuman, dengan kata lain
terhadap pejabat publik. Sementara polisi sebagai penegak hukum memainkan peran
sebagai pengawal, pelindung, dan pembela. Ini berarti polisi dengan fungsinya
sebagai penyelidik resmi juga berwenang menegakan Perda sesuai dengan tuntutan
hukuman. Tumpang tindih peran, wewenang, dan tanggung jawab kedua lembaga ini
sangat disadari.
Sementara pandangan kritis, seperti
kalangan liberal, menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan. Tapi
alasannya sangat berbeda, ketidaksetujuan terhadap Satpol PP lebih karena
Satpol PP banyak merugikan hajat dasar dari kehidupan mereka. Pandangan kritis
ini didukung kalangan kelas bawah seperti kaum miskin kota, pedagang kaki lima,
pedagang asongan, pekerja seks komersial, dan lain-lain yang selama ini memang
sering menjadi sasaran Satpol PP karena dianggap melanggar Perda mengenai
ketentraman dan ketertiban kota. Bagi kalangan ini, Satpol PP telah banyak
melakukan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam aksi-aksi mereka.
Bagi kalangan kritis ini, Satpol PP tidak lebih dari “aparat militer yang tak
berseragam” dengan aksi-aksi mereka yang sangat militeristik. Berbeda dengan
kalangan moderat, yang memandang aksi-aksi kekerasan yang dilakukan Satpol PP
lebih sebagai ‘akibat’ saja, bagi kalangan kritis ini sifat kekerasan dan
militeristik ini sudah menjadi watak dan karakter dari Satpol PP ini. Ini bukan
saja terlihat dari seragam yang mereka pakai, latihan-latihan fisik ala militer
yang merka terima (yang porsinya mendominasi dibandingkan latihan-latihan atau
kursus-kursus lain), dan riwayat sejarah mereka yang terhubung dengan sejarah
militer. Sehingga imajinasi dan citra diri yang membentuk pandangan mereka pun
dipenuhi penampilan sebagai ‘militer.’
Pandangan kalangan yang kritis ini
sangat mendasar dan perlu menjadi perhatian. Kalau ditelusuri lebih lanjut,
memang setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan pola perilaku dan
pendekatan-pendekatan yang dilakukan Satpol PP begitu militeristik. Pertama,
terkait dengan pedoman Satpol PP sendiri sebagaimana diatur dalam PP No.
32/2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja dan prosedur tetap Satpol PP
sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 26/2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap
Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Kedua, Permendagri No.35/2005 tentang
Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja.
Faktor ketiga yang menyebabkan Satpol PP bersifat militeristik adalah materi
pendidikan Satpol PP didominasi oleh pendekatan militeristik dari pada
pendekatan sosial dan kultural. Keempat, institusi Satpol PP lebih banyak diisi
pegawai-pegawai yang tidak berkualitas, bahkan cenderung dijadikan tempat
pembuangan pegawai-pegawai yang tak lagi digunakan di instansi-instansi lain.
Kedua ketentuan tersebut, yang diikuti oleh sistem pendidikan militeristik dan
kualitas SDM yang rendah menyebabkan Satpol PP selalu tampil militeristik, dan
hampir-hampir menganggap diri mereka sebagai bagian dari militer saja.
Dengan alasan ini, kalangan kritis
menuntut agar Satpol PP dibubarkan saja. Atau setidaknya mereka menuntut
pencabutan beberapa perda, misal yang menyangkut ketertiban, ketentraman, dan
keamanan, yang sebenarnya merupakan ‘nyawa’ dari keberadaan Satpol PP.
Berbagai alasan dan pandangan tersebut
diatas akan mewadahi kita sebagai warga negara untuk dapat menilai layakkah Pol
PP untuk tetap dipertahankan?
Lembaran Hitam
Pol PP (Bagian 3-habis)
Sedikit cerita
dari Pol PP Kota Kupang
Ketika maraknya tuntutan warga negara
agar dilakukan pembubaran Satpol PP lantaran peristiwa Tanjung Priuk berdarah
pada Rabu, 14 April 2010, kita dihentakkan dengan upaya logis dan nyata oleh
Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Kupang dalam mengeliminasi pelanggaran HAM
yang kental dengan Satpol PP, terlepas dari tiga pandangan wacana kebutuhan
akan Satpol PP baik secara Moderat, Liberal dan Kritis.
Pantauan penulis menyimak pemberitaan
media lokal NTT seperti Surat Kabar Harian Timor Express, sering aktif menulis
aktifitas Polisi Pamong Praja Kota Kupang dalam urusannya dengan penegakan
perda. Kenyataan temporer terlihat paradox di Kota Kupang, dimana anekdot Polisi
Pamong Praja selaku institusi represif terhadap warga pelanggar perda jarang
tervisualisasi dalam tatanan penegakan perda di Kota Kupang. Misalkan saat
penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pelabuhan Indonesia III (Pelindo) Tenau
Kupang oleh Satpol PP Kota Kupang koordinasi Kasie Ops Alponthus Loban dan
anggota beberapa waktu lalu, tidak
terjadi perlawanan oleh PKL. PKL dengan kesadaran membongkar lapak-lapak
mereka, dan jika ada PKL yang belum dapat membongkar lapak mereka akan dibantu
oleh anggota Polpp. Nampak adanya kedekatan antara anggota Satpol PP dan PKL.
Lapak-lapak tersebut dipindahkan ketempat yang telah ditentukan demi penataan
Kota yang lebih asri. Aktifitas yang kondusif ini ternyata dipengaruhi oleh
pendekatan persuasif dan dialog antara Kasat Pol PP dan PKL, dan jika dikaitkan
dengan kondisi Pol PP diwilayah otonom lain yang sering kita tonton dan baca
dimedia, pasti lapak-lapak PKL akan dibongkar, dagangan dan pedagang menjadi
korban kekerasan Satpol PP jika ada perlawanan dari PKL. Seturut Kasat Pol PP
dalam pemberitaan media, “Penertiban PKL di Pelabuhan Tenau tanpa ada
perlawanan karena ketika dilakukan pendekatan secara persuasif oleh Satpol PP,
masyarakat sadar demi penataan pelabuhan yang lebih asri”.
Pemberitaan media juga, demi melaksanakan
amanat perda dengan tanpa mengabaikan mata pencaharian PKL, insiasi Kasat Pol
PP Kota Kupang, Drs. Dumuliahi Djami untuk melakukan dialog bersama PKL
diseputaran Kota Kupang, mempertontonkan adanya institusi yang masih menghargai
pentingnya nilai persuasif dalam penegakkan perda. Saran dan gagasan banyak
yang dilontarkan PKL dan terbentuk kesepakatan-kesepakatan antara Pol PP dan
PKL. Retorika ini memperlihatkan Pemerintah tidak selalu represif dan arogan
dalam melaksanakan perda, kiranya dapat dicontohi oleh institusi lain. Mungkin
apa yang diinisiator oleh Kasat PolPP Kota Kupang menjadi terobosan dan corong
sehingga dapat meminimalisir kekerasan anggota PolPP dilapangan dan juga
masyarakat dapat sadar akan kewajibannya sebagai warga kota.
Namun kondisi ini kiranya dapat menjadi
temuan dan kajian dalam penegakan ribuan perda lainnya yang menjadi tugas Pol
PP sesuai PP 06 tahun 2010 tentang Pol PP dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi
Pamong Praja seperti halnya Pasal 4 Permendagri No 26/2005, Protab terdiri
atas: prosedur operasional ketentraman dan ketertiban umum; prosedur
operasional pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa; prosedur
operasional pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting; prosedur
operasional pelaksanaan tempat-tempat penting; prosedur pelaksanaan operasional
patroli; prosedur operasional penyelesaian kasus pelanggaran ketentraman,
ketertiban umum dan Peraturan Daerah. Dengan demikian Kota Kupang semakin
cantik dan bersih dari penataan kota yang sembrawut.
“Tegakkan Perda tapi jangan hilangkan
mata pencaharian orang,” kata-kata ini
dilecutkan Kasat PolPP Kota Kupang ketika berdialog dengan belasan PKL di aula
PolPP Kota Kupang, Kamis (25/3/2010) lalu. Kondisi ini mencerminkan masih
adanya junjungan penghargaan akan nilai-nilai HAM sehingga pelanggaran HAM
secara terstruktur dalam dinamika penegakan perda di Kota Kupang dapat
diminimalisir. Kiranya semakin memperkokoh anggota Satpol PP menjadi lebih
professional.
Pesan “jaga harga diri institusi PolPP”
yang sering dilakon oleh Kasat Pol PP Kota Kupang pada anggotanya dalam setiap
kegiatan operasi perintah perda seturut pengakuannya, agar anggotanya tidak
melakukan kekerasan dan mengutamakan pendekatan persuasif, secara temporer
terbukti dengan pemberitaan-pemberitaan media jauh dari pemberitaan kekerasan
yang dilakoni oleh Satpol PP. Apa yang telah ditunjukkan oleh PolPP Kota Kupang
agar terus diasah agar menjadi lebih professional tanpa mengabaikan perintah
Perda.
Contoh lain adalah operasi penertiban
minuman keras (berakhohol) yang beredar tanpa label perda oleh Satuan Polisi
Pamong Praja beberapa waktu lalu membantu mendongkrak kenaikan pendapatan asli
daerah (PAD) Kota Kupang. Operasi pendataan bangunan liar yang tidak memiliki
Ijin Membangun Bangunan (IMB), masyarakat disadarkan untuk mengurusnya ke
perijinan. Hal yang sama juga berlaku dalam operasi pendataan Surat Ijin Tempat
Usaha (SITU) dan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) bagi pengusaha. Begitupun
ketika terjadi kenaikan harga Sembilan bahan pokok (sembako) Pol PP Kota Kupang
menggerebek pengusaha hitam yang memainkan harga pasar sehingga permainan harga
pasar pun tidak terjadi di Kota Kupang. Pol PP aktif menahan pengangkutan
mangan secara ilegal oleh pengusaha yang mencuri hasil alam meskipun penanganan
secara pidana terkesan “gelap” di pihak Kepolisian.
Dalam keaktifan kemasyarakatan, Polisi
Pamong Praja aktif dalam mencermati kondisi keluhan masyarakat seperti bersama
warga membersihkan got guna mencegah penyakit, membantu warga yang terkena
dampak banjir, dampak pohon tumbang, membantu warga untuk dievakuasi ketika
terjadi konflik holizontal, dan kegiatan positif lainnya.
Dengan demikian tidak serta merta
tuntutan pembubaran Satpol PP secara Nasional dapat dilakukan lantaran kejadian
Koja berdarah. Dapat saja dimungkinkan Koja berdarah merupakan realitas dan
emosional antara warga dan aparat negara. Begitupun kasus DKI Jakarta (Koja
berdarah) belum dapat dikatakan representase secara institusi lantaran Pol PP
merupakan kesatuan otonomi daerah yang sosio approach berbeda antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain. Pembubaran Pol PP juga dapat dikatakan
sebagai pengingkaran terhadap sejarah lantaran Pol PP bercikal bakal sejak
1602. Seharusnya yang perlu diperhatikan dalam kejadian Koja adalah menuntut
reformasi birokrasi agar tindakan represif aparat negara dapat diminimalisir
baik secara perekrutan dan pendidikan.
Demikian sedikit catatan dari kesatuan
Polisi Pamong Praja yang kental dengan tindakan represif dan arogan. Dari
catatan yang ada, seyogyanya pendekatan persuasif sangat diutamakan selain
merubah cara pandang legislatif dan eksekutif agar tidak menghasilkan peraturan
daerah dan kebijakan yang mengebiri hak-hak rakyat.