KATA
ORANG PINTAR DAN REFORMASI POLRI YANG
MEMBINGUNGKAN!
Mencermati
Opini Publik “Penahanan Ketua DPRD Kota Kupang” Oleh Polresta Kupang
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Task Force Team NTT
Kata
Orang Pintar
Tulisan dari
penulis dalam kelemahannya sebagai wong cilik/kaum proletar dengan keterbatasan
sumber daya manusia (IQ and EQ), mencoba mencermati fenomena penahanan Ketua
DPRD Kota Kupang, Vecky Viktor Lerik, SE oleh pihak Polresta Kupang dikaitkan
dengan pendapat pakar/pemikir/ahli atau yang lebih dikenal dengan istilah orang
pintar.
Pemberitaan
media massa atas penangkapan, penahanan dan menangguhkan penahanan menjadi
babak lakon retorika dugaan ketidakprofesionalisme Polri dalam menegakkan hukum
terhadap penerima layanan hukum. Indikasi ketidakprofesionalisme Polri,
berimplikasi pada termetaforanya opini yang kecewa dengan kinerja Polri (baca
Polresta Kupang). Aktualisasi penahanan Vecky yang disangkakan mencekik dan
mengancam akan melempar keluar Louis Charles Lily lewat jendela, melanggengkan
perspektif via opini publik lantaran kepentingan politik untuk menjegal Vecky
dalam upayanya menegakkan keadilan dan kepentingan masyarakat, termanifestasi
dalam pemikiran-pemikiran orang pintar.
CM, seorang
pintar asal NTT yang tinggal di Jakarta dalam opini Surat Kabar Harian (SKH) Timex
(Kamis, 27 Mei 2010), mencermati fenomena langkah penahanan Ketua DPRD Kota
Kupang bahwa telah terjadi ketidakadilan penahanan terhadap legislator Vecky
Lerik. Tulisnya “yang kita herankan adalah langkah Polresta Kupang yang
langsung melakukan penahanan terhadap seorang ketua DPRD untuk sebuah kasus
yang berkategori ringan ini. Disinilah rasa keadilan kita selaku anggota
masyarakat terusik. Betapa tidak, seorang ketua DPRD yang punya hak imunitas
ditahan hanya karena sebuah laporan perbuatan tidak menyenangkan yang terjadi didalam
ruang persidangan dewan. Entah ini sebuah kebodohan atau malahan kepintaran,
karena pasal 366 ayat 2 UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(MD3), secara jelas menyebutkan: anggota DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat dituntut
didepan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis didalam rapat DPRD
Kabupaten/Kota ataupun diluar rapat DPRD Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
fungsi serta tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota”. Frans Rengka, seorang
pintar dan Pengamat Hukum asal Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, saat
diwawancarai SKH Timex, mengungkapkan penahanan Ketua DPRD Kota Kupang terkesan
sarat muatan politik dan terkesan polisi main-main. “Polisi harusnya sudah
mengetahui alasan penahanan terhadap seseorang, dimana penahanan seseorang,
bertujuan memudahkan pemeriksaan dan penyidikan juga ditakutkan menghilangkan
barang bukti maupun melarikan diri. Namun jelas dia, dalam kasus yang melibatkan
Ketua DPRD Kota Kupang, Viktor Lerik, Polisi terkesan main-main untuk menahan,
juga menangguhkan penahanannya. Ia juga menilai kalau penahanan Ketua DPRD Kota
Kupang ada unsur politik, sehingga sulit dihindari,” tulis Lok dalam
pemberitaanya di Timex (Rabu, 27 Mei 2010). Media massa yang sama (Rabu, 26 Mei
2010), seorang pintar dari legislator Kota Kupang, Jerry Pingak mengungkapkan
penahanan oleh Polresta terhadap Ketua DPRD Kota Kupang merupakan pelanggaran
hukum, karena itu, pihaknya memintah pemerintah bertanggung jawab atas kondisi
ini. Selain itu, pihaknya (baca DPRD) mulai saat ini tidak akan menerima
aspirasi masyarakat. “Jika ada, silahkan ke Polresta, karena jika salah
sedikit, selalu berurusan dengan hukum,” ujarnya.
Perihal diatas
merupakan “sabetan parang” via opini dari orang-orang pintar guna mencermati
dugaan ketidakprofesionalisme Polri dalam penegakan hukum. Truss….bagaimana dengan
reformasi polri yang selama ± 11 tahun ini didengung-dengungkan sejak Polri
dipisahkan dari institusi militer (Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000). Bagaimana
yah…..?
Reformasi
Polri
Menurut Bambang
Widodo Umar (BWU), 2009 dalam Reformasi Polri didefenisikan sebagai
transformasi organisasi kepolisian agar lebih professional dan akuntabel dalam
memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman, serta responsif dalam
memahami kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, tujuan dari reformasi Polri
adalah membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan bertanggung jawab
atas tiap tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi manusia.
Namun bagaimana
tindakan Kepolisian Resort Kota (Polresta) Kupang menangkap, menyidik dan
menahan Ketua DPRD Kota Kupang selama 1x24 Jam yang terindikasi sarat dengan
muatan politik, kemudian baru dilepaskan setelah mendapat penangguhan?
Mungkinkan tabiat dan lakon ini menggambarkan reformasi Polri belum sepenuhnya
berjalan optimal dalam institusi Kepolisian?
Menurut CM, ini
adalah batu sandungan bagi reformasi Polri. “ditengah gencarnya polri
menggaungkan reformasi ditubuhnya, kasus penahanan Ketua DPRD Kota Kupang ini
jelas menjadi batu sandungan tersendiri. Mata masyarakat makin terbuka melihat
adanya ketidak sinkronan antara kata dan perbuatan, antara reformasi yang
diingini Kapolri dengan apa yang dijalankan Kapolresta Kupang, antara prestasi
yang diraih Polri dengan penyimpangan yang dilakukan oknum Polri. Pada
akhirnya, keinginan masyarakat untuk memiliki sosok Polri yang ramah,
melindungi, dan melayani, belum terwujud. Harus diakui untuk aspek sturuktural
dan instrumental, sudah ada kemajuan. Namun yang belum terlihat banyak berubah
adalah pada aspek Kultural, khususnya moral dan mental.
Mungkin apa
yang diungkapkan oleh CM ada benarnya, ketika persoalan perilaku Polri mendapat
kritik dimana organisasi ini dipandang belumlah professional dan bebas korupsi.
Budaya korupsi ditingkat kepolisian terjadi mulai dari tingkat yang paling
rendah seperti dalam pengurusan SIM, STNK, dan lain-lain, hingga ke tingkat
yang paling tinggi seperti penanganan kasus kejahatan. Penelitian yang
dilakukan oleh PTIK menunjukkan bahwa perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) dalam tubuh Polri terjadi hampir disemua lini/satuan organisasi
kepolisian. Misalkan area Korupsi di Reserse Kriminal, ada 11 jenis KKN yaitu :
penyimpangan prosedur penangguhan penahanan, rekayasa penanganan/penindakan
kasus ilegal logging, kolusi dalam penyelenggaraan perjudian (toto gelap),
penyimpangan prosedur pinjam pakai barang bukti, penyimpangan penerbitan surat
keterangan kehilangan kendaraan bermotor untuk persyaratan klaim asuransi,
penyimpangan dalam penanganan kasus narkoba, penyimpangan dalam penanganan
kasus depo BBM ilegal, penyimpangan proses penyelidikan kasus pidana, kolusi
pengelolaan kegiatan prostitusi, sindikasi tindak pidana bidang pertanahan, dan
penyimpangan dalam penyelidikan dan penyidikan peredaran VCD bajakan.
Kata
Orang Pintar dan Reformasi Polri dalam Fenomena Penahanan Ketua DPRD Kota
Kupang
Cermatan
berikut, penulis tidak melihat dalam konteks ranah hukum atau ranah penegakan
UU tetapi lebih berfokus pada sejauhmana pemahaman akan konteks imunitas
dipahami sebagai anggota legislator. Perlu ditekankan bahwa kita tidak
berbicara pada konteks hukum, karena penulis berlatar belakang pendidikan
rendah dan tak mengerti hukum, namun hanya ingin menggugah tabiat aktor negara
(baik legislator, akademisi, maupun Polri) menjadi tindakan moral sesuai
tuntutan reformasi moral walaupun secara struktur dan instrument banyak
beradaptasi kontemporer.
Jika kata CM,
setiap anggota legislator memiliki hak imunitas sehingga tidak dimungkinkan
untuk diadukan dalam ranah hukum/pengadilan ketika mengenduskan pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan baik secara lisan maupun
tertulis dalam rapat DPRD ataupun diluar rapat DPRD yang berkaitan dengan
fungsi serta tugas dan wewenang DPRD sesuai pasal 366 ayat 2 UU No 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Ironis ketika hak imunitas yang dimiliki
legislator digunakan untuk mengumpat dan memaki-maki hingga berujung pada
penganiayaan. Kita mungkin masih ingat, dugaan penganiayaan Ketua DPRD Vecky
Lerik disertai umpatan terhadap salah seorang Anggota DPRD Kota Kupang, Drs.
Rudi Tonibesie. Saat itu Vecky dalam wewenangnya selaku ketua DPRD Kota Kupang
mengatai sesama rekannya di Legislator dengan kata Monyet, binatang dan
lain-lain hingga berujung pada indikasi penganiayaan. Kasus ini sementara dalam
penyidikan kepolisian. Dan kini, hal yang sama juga terjadi pada Manajer PT.
Suara Sejati. Mungkinkan imunitas itu dipakai sebagai ajang untuk memaki,
mengumpat, mengancam dan menganiaya orang lain. Ataukah mungkin mengancam dan
menganiaya orang lain merupakan wewenang dan fungsi dari keanggotaan DPRD
sehingga diberikan hak imunitas seperti apa yang dikatakan CM? Meskipun kaum
proletar/wong cilik tidak memahami secara eksplisit yang dimaksudkan orang
pintar dalam UU No 27 pasal 366 ayat (2), namun dimungkinkan untuk menginclude-nya
dalam perspektif moral.
Kata Jerry
Pingak, setiap ada masalah jangan lagi diaspirasikan ke DPRD, masyarakat aspirasikan
ke Polisi saja, karena jika ada masalah sedikit langsung dilaporkan ke polisi.
Mungkinkah, legislator kita harus membuat statement begitu adanya. Ironis
memang ketika orang yang dianggap untuk mewakilkan aspirasi rakyat belum mampu
untuk mendewasakan diri dalam politik sehingga setiap persoalan selalu dihadapi
dengan tindakan reaksioner emosional belaka. Ataukah mungkin, statement yang
sering dilakonkan oleh legislator kita belum sepenuhnya terwakilkan secara
holistik karena masih terwakilkan kepentingan golongan dan kelompok.
Kata Frans
Rengka, Polisi sedang main-main dan ada unsur politiknya dalam penahanan Ketua
DPRD Kota Kupang. Warga negara kini dibingungkan lagi dengan kata “main-main”
yang dilontarkan Frans Rengka. Hukum tidak lagi dijadikan corong pencarian
keadilan dan kebenaran karena dapat dimainkan demi kepentingan tertentu dan
bukan lagi berasaskan rule of law. Kata
“ada unsur politik” menjadi trend baru saat ini karena hukum tidak dipandang
lagi sebagai instrument penegakan keadilan dan HAM namun dijadikan sebagai
ladang korupsi guna mencari kue keuntungan dan mesin penarik uang dari pelaku. Pantasan
juga, jika dalam setiap penegakan hukum, keadilan hanya dimiliki orang-orang
berduit saja. Jika begitu adanya, benar jika dikatakan Reformasi Polisi gagal
dalam menjajaki era demokratisasi.
Entah opini
orang pintar tersebut diatas terwakilkan kepentingan mana, tetapi yang pasti
seyogianya imunitas tidak dipakai sebagai impunitas dalam melakukan
tindakan-tindakan demoralisasi yang juga dapat mengganggu privasi warga negara
(human security). Jika bertalian
dengan ranah hukum alangkah baiknya diselesaikan dengan prosedur dan mekanisme
hukum tidak lagi mengumbar staetmen berjargon “kegagalan reformasi” jikalau
masih dilakukan oleh aktor negara/pejabat publik meski dalam konteks masalah
yang berbeda. Jadilah contoh pemikir pintar yang dapat diilhami dan adopsi oleh
mereka yang terbatas dalam SDM seperti penulis yang dibingungkan dengan konteks
imunitas seorang legislator.
Demikian juga Polri
yang gencarnya dengan Reformasi Polisi, dikarenakan memperhatikan luasnya
bidang yang menyangkut reformasi Polri, naïf jika reformasi tersebut secara
previlegge dilaksanakan oleh Polri sendiri tanpa mengikutsertakan berbagai
kalangan seperti politisi, akademisi, lembaga non pemerintah, praktisi hukum,
dan masyarakat sipil lainnya. Akibat kurang optimalnya reformasi polri, hingga
kini masih banyak masyarakat kecewa atas tindakan polisi dalam melaksanakan
tugas seperti melakukan pungli, salah tangkap, memeras, memperkosa tahanan dan
lain-lain.