SELAMAT MEMBACA

Friday, 19 July 2013

POLITIK



JANGAN PILIH POLITISI BUSUK
Oleh. Ian Haba Ora

Politisi Busuk
Menjelang Pemilu 2014, masyarakat perlu hati-hati dalam memilih politisi untuk dititipkan aspirasi. Pasalnya, banyak politisi yang tidak mengapresiasi keterwakilannya dengan kinerja dan komitmen. Menjadi wakil rakyat harus amanah dan jauh dari image politisi busuk. Ray Rangkuti (2012) mencirikan image politisi busuk dari empat kriteria, yaitu: pertama adalah mereka yang pernah terlibat dengan beberapa kasus amoral seperti tindak pencurian dan perzinahan. Kedua, mereka yang mengandalkan uang jelang pemungutan suara untuk mengeruk suara terbanyak. Ciri ketiga adalah mereka yang terlibat tindak pidana korupsi. Dan ciri keempat adalah mereka yang tidak menghormati hak asasi manusia (HAM).

Mencitrakan seorang menjadi politisi busuk tidak sebatas opini saja namun dari pada itu wajib memiliki data yang sahih dan valid, variabel jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Pelabelan itupun bukan garansi bebas masalah, apalagi mengkampanyekannya, rawan digugat dengan delik penfitnahan dan pencemaran nama baik. Jika data dan variabel yang digunakan keliru, konsekuensinya adalah hukum.

Indonesia Coruption Watch (ICW) dalam agenda pemberantasan korupsi menempatkan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai propinsi terkorup nomor dua setelah propinsi Jawa Timur (2012). Sekarang, ketika ICW merilis 36 anggota DPR RI yang diragukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, lima orang diantaranya merupakan legislator asal NTT, yaitu legislator Golkar (Setya Novanto, Charles Mesang, Melkias Mekeng), PDIP (Herman Herry), dan Gerindra (Pius Lustrilanang).

Ironis, tahun 2012 sebagai propinsi terkorup dan tahun 2013 pada keterlibatan aktor. Publik bertanya, apakah kelima legislator tersebut dapat dikategorikan sebagai politisi busuk? Tidak bermaksud untuk memvonis, namun variabel-variabel yang ditentukan dalam pelabelan oleh ICW memiliki perspektif ilmiah.

Gerakan Anti Politisi Busuk
Gerakan memberantas politisi busuk atau bermasalah cenderung masih terkonsentrasi di kalangan penggiat gerakan masyarakat sipil. Hingga kini gerakan tersebut belum meluas pada masyarakat. Grass root people cenderung belum memahami gerakan ini. Aktualitas ini nampak dari masih dipercayanya oleh rakyat untuk memilih legislator-legislator bermasalah periode 2009. Kesadaran dan kecerdasan politik masyarakat sepenuhnya belum optimal.

Perlu revolusi dan restorasi untuk membuat gerakan anti politisi busuk. Aktivis Perempuan, Moniche Saubaki menuturkan Gerakan Anti Politisi Busuk (GAPB) akan berhasil di tanah air, seperti yang pernah dilakukan di Negara Korea dan Negara Jepang dalam melawan politisi yang korupsi. Kehadiran GAPB tersebut sangat positif disosialisasikan kepada masyarakat di NTT karena momentum itu bersamaan dengan menjelang pelaksanaan Pemilu 2014 nanti. NTT harus diberitahu perihal kehadiran politisi busuk itu sebelum menentukan wakil yang akan duduk baik di DPR, DPRD, maupun DPD. Tentunya penilaian GAPB tersebut ditunjang dengan bukti-bukti yang kuat dari hasil investigasi, hingga rakyat dalam mengikuti pemilu nantinya akan mengetahui siapa saja politisi busuk tersebut (2013).

Tetapi penting daripada itu, strategi memanggil publik untuk melakukan evaluasi dan membuka kenyataan kualitas legislator, serta memvonis lebih awal agar masyarakat bisa memilih yang tepat. Pencitraan dan pelabelan politisi yang diragukan komitmennya menjadi strategi dasar dalam merebut opini publik.

Politik Pencitraan
Pencitraan kualitas. Opini publik dipengaruhi pencitraan yang dijelmahkan dalam akumulasi pendekatan-pendekatan politik. Politic approach dapat dilakukan dengan cara Suku, Agama, dan Ras selain money politic. Seringkali masyarakat terjebak dalam metafora politik yang manipulatif. Rakyat jenuh dengan gagalnya pemerintah, kemiskinan terstruktur, dan tranparansi otonomi. Akumulasi tersebut menggagalkan pencerdasan politik rakyat.

Pencitraan politik kini dan nanti sebatas slogan. Kemandirian warga menentukan pilihannya tidak lagi dipengaruhi spirit reform, namun berdasar pada distorsi kepercayaan. Kemunduran kepercayaan untuk perubahan sebuah daerah, dan pesimis akan adanya politik yang demokratis. Pandangan moderat ini menjadi darah daging di rakyat, tampak dari tingginya angka golput maupun masih terpilihnya para politisi-politisi busuk dan bermasalah.

Ruang publik yang diberikan negara pada KPU untuk mensosialisasikan daftar caleg sementara (DCS) tidak menjadi jaminan partisipasi publik memberi masukan dan saran sebagai apresiasi demokrasi namun cenderung pada tahapan prosedural pemilu. Nyata, terindikasi beberapa caleg dalam DCS yang terduga korupsi masih tetap diakomodir partai dan KPU mengikuti pemilihan legislatif.

Partai sebagai wadah keterwakilan publik belum memiliki peran dan fungsi nyata. Bagaimana mungkin partai berperan fungsi jika struktur organisasi dikuasai para politisi busuk. Absurtisme pertanyaan masa lampau dalam dunia yang baru, pertanyaan yang sama dalam setiap momen politik, namun belum terjawab hingga sekarang.

Seyogyanya, reformasi dan desentralisasi kekuasaan kepada rakyat membuka ruang publik untuk terlibat dalam menentukan aktor-aktor legislator yang amanah. Namun kurangnya sosialisasi pendidikan politik membuat masyarakat apatis akan hak-hak politik mereka. Gerakan sipil dalam pengawasan aktor politik belum sepenuhnya terserap hingga arus bawah (rakyat). Perlu diketahui, kualitas aktor/figur tidak dipengaruhi oleh latar belakang partai namun lebih ditekankan pada komitmen subjektif untuk tidak terlibat sebagai politisi busuk. Meskipun terkadang secara sistem dipengaruhi oleh komunalisasi politisi partai, namun jika pengawasan konstituen/rakyat yang ketat dengan pendidikan politik yang baik maka akan meminimalisir terbentuknya politisi busuk.

Ir. Sarah Lery Mboeik, aktivis HAM dan Anti Korupsi NTT pernah mengatakan “biarpun kita kecil, kalau bersama kenapa takut???” korupsi telah merenggut harkat dan martabat bangsa ini, bangsa yang dulu besar, kini dikenal sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia. Penderitaan datang silih berganti karena para koruptor masih bebas beraksi seenaknya, tanpa punya rasa malu, apalagi hati nurani. Tak ada kata berhenti untuk sebuah perjuangan, tak ada kata diam untuk sebuah kebenaran, tak ada kata takut untuk sebuah keadilan, karena kebenaran dan keadilan harus ditegakkan. Cukup sudah! Saatnya kita bergerak, Gerakan Anti Politisi Busuk. (Tulisan ini dipublikasi oleh Harian Kota KURSOR Senin, 29 Juli 2013, halaman 7 dan 11).


Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

TRANSLATE: