JANGAN
PILIH POLITISI BUSUK
Oleh.
Ian Haba Ora
Politisi Busuk
Menjelang
Pemilu 2014, masyarakat perlu hati-hati dalam memilih politisi untuk dititipkan
aspirasi. Pasalnya, banyak politisi yang tidak mengapresiasi keterwakilannya dengan
kinerja dan komitmen. Menjadi wakil rakyat harus amanah dan jauh dari image
politisi busuk. Ray Rangkuti (2012) mencirikan image politisi busuk dari empat
kriteria, yaitu: pertama adalah mereka yang pernah terlibat dengan beberapa
kasus amoral seperti tindak pencurian dan perzinahan. Kedua, mereka yang
mengandalkan uang jelang pemungutan suara untuk mengeruk suara terbanyak. Ciri
ketiga adalah mereka yang terlibat tindak pidana korupsi. Dan ciri keempat adalah
mereka yang tidak menghormati hak asasi manusia (HAM).
Mencitrakan
seorang menjadi politisi busuk tidak sebatas opini saja namun dari pada itu
wajib memiliki data yang sahih dan valid, variabel jelas dan bisa
dipertanggungjawabkan. Pelabelan itupun bukan garansi bebas masalah, apalagi
mengkampanyekannya, rawan digugat dengan delik penfitnahan dan pencemaran nama
baik. Jika data dan variabel yang digunakan keliru, konsekuensinya adalah
hukum.
Indonesia
Coruption Watch (ICW) dalam agenda pemberantasan korupsi menempatkan Propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) sebagai propinsi terkorup nomor dua setelah propinsi Jawa
Timur (2012). Sekarang, ketika ICW merilis 36 anggota DPR RI yang diragukan
komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, lima orang diantaranya merupakan
legislator asal NTT, yaitu legislator Golkar (Setya Novanto, Charles Mesang,
Melkias Mekeng), PDIP (Herman Herry), dan Gerindra (Pius Lustrilanang).
Ironis,
tahun 2012 sebagai propinsi terkorup dan tahun 2013 pada keterlibatan aktor.
Publik bertanya, apakah kelima legislator tersebut dapat dikategorikan sebagai
politisi busuk? Tidak bermaksud untuk memvonis, namun variabel-variabel yang
ditentukan dalam pelabelan oleh ICW memiliki perspektif ilmiah.
Gerakan Anti
Politisi Busuk
Gerakan
memberantas politisi busuk atau bermasalah cenderung masih terkonsentrasi di
kalangan penggiat gerakan masyarakat sipil. Hingga kini gerakan tersebut belum
meluas pada masyarakat. Grass root people cenderung belum memahami gerakan
ini. Aktualitas ini nampak dari masih dipercayanya oleh rakyat untuk memilih
legislator-legislator bermasalah periode 2009. Kesadaran dan kecerdasan politik
masyarakat sepenuhnya belum optimal.
Perlu
revolusi dan restorasi untuk membuat gerakan anti politisi busuk. Aktivis
Perempuan, Moniche Saubaki menuturkan Gerakan Anti Politisi Busuk (GAPB) akan
berhasil di tanah air, seperti yang pernah dilakukan di Negara Korea dan Negara
Jepang dalam melawan politisi yang korupsi. Kehadiran GAPB tersebut sangat
positif disosialisasikan kepada masyarakat di NTT karena momentum itu bersamaan
dengan menjelang pelaksanaan Pemilu 2014 nanti. NTT harus diberitahu perihal
kehadiran politisi busuk itu sebelum menentukan wakil yang akan duduk baik di
DPR, DPRD, maupun DPD. Tentunya penilaian GAPB tersebut ditunjang dengan
bukti-bukti yang kuat dari hasil investigasi, hingga rakyat dalam mengikuti
pemilu nantinya akan mengetahui siapa saja politisi busuk tersebut (2013).
Tetapi
penting daripada itu, strategi memanggil publik untuk melakukan evaluasi dan
membuka kenyataan kualitas legislator, serta memvonis lebih awal agar
masyarakat bisa memilih yang tepat. Pencitraan dan pelabelan politisi yang
diragukan komitmennya menjadi strategi dasar dalam merebut opini publik.
Politik
Pencitraan
Pencitraan
kualitas. Opini publik dipengaruhi pencitraan yang dijelmahkan dalam akumulasi
pendekatan-pendekatan politik. Politic
approach dapat dilakukan dengan cara Suku, Agama, dan Ras selain money politic. Seringkali masyarakat
terjebak dalam metafora politik yang manipulatif. Rakyat jenuh dengan gagalnya
pemerintah, kemiskinan terstruktur, dan tranparansi otonomi. Akumulasi tersebut
menggagalkan pencerdasan politik rakyat.
Pencitraan
politik kini dan nanti sebatas slogan. Kemandirian warga menentukan pilihannya
tidak lagi dipengaruhi spirit reform,
namun berdasar pada distorsi kepercayaan. Kemunduran kepercayaan untuk
perubahan sebuah daerah, dan pesimis akan adanya politik yang demokratis.
Pandangan moderat ini menjadi darah daging di rakyat, tampak dari tingginya
angka golput maupun masih terpilihnya
para politisi-politisi busuk dan bermasalah.
Ruang
publik yang diberikan negara pada KPU untuk mensosialisasikan daftar caleg
sementara (DCS) tidak menjadi jaminan partisipasi publik memberi masukan dan
saran sebagai apresiasi demokrasi namun cenderung pada tahapan prosedural
pemilu. Nyata, terindikasi beberapa caleg dalam DCS yang terduga korupsi masih
tetap diakomodir partai dan KPU mengikuti pemilihan legislatif.
Partai
sebagai wadah keterwakilan publik belum memiliki peran dan fungsi nyata.
Bagaimana mungkin partai berperan fungsi jika struktur organisasi dikuasai para
politisi busuk. Absurtisme pertanyaan masa lampau dalam dunia yang baru,
pertanyaan yang sama dalam setiap momen politik, namun belum terjawab hingga
sekarang.
Seyogyanya,
reformasi dan desentralisasi kekuasaan kepada rakyat membuka ruang publik untuk
terlibat dalam menentukan aktor-aktor legislator yang amanah. Namun kurangnya
sosialisasi pendidikan politik membuat masyarakat apatis akan hak-hak politik
mereka. Gerakan sipil dalam pengawasan aktor politik belum sepenuhnya terserap
hingga arus bawah (rakyat). Perlu diketahui, kualitas aktor/figur tidak
dipengaruhi oleh latar belakang partai namun lebih ditekankan pada komitmen
subjektif untuk tidak terlibat sebagai politisi busuk. Meskipun terkadang
secara sistem dipengaruhi oleh komunalisasi politisi partai, namun jika
pengawasan konstituen/rakyat yang ketat dengan pendidikan politik yang baik
maka akan meminimalisir terbentuknya politisi busuk.
Ir.
Sarah Lery Mboeik, aktivis HAM dan Anti Korupsi NTT pernah mengatakan “biarpun kita kecil, kalau bersama kenapa
takut???” korupsi telah merenggut harkat dan martabat bangsa ini, bangsa
yang dulu besar, kini dikenal sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia.
Penderitaan datang silih berganti karena para koruptor masih bebas beraksi
seenaknya, tanpa punya rasa malu, apalagi hati nurani. Tak ada kata berhenti
untuk sebuah perjuangan, tak ada kata diam untuk sebuah kebenaran, tak ada kata
takut untuk sebuah keadilan, karena kebenaran dan keadilan harus ditegakkan.
Cukup sudah! Saatnya kita bergerak, Gerakan Anti Politisi Busuk. (Tulisan ini dipublikasi oleh Harian Kota KURSOR Senin, 29 Juli 2013, halaman 7 dan 11).
Penulis. Ketua
FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT