SELAMAT MEMBACA

Friday, 1 April 2016

OPINI BLOGGER: RAKYAT BUTUH BUKTI, BUKAN JANJI




Fellyanus Haba Ora/Kepala Biro PAUD & DIKMAS DPP PD




Nawa Cita Presiden Joko WIdodo dalam butir yang berbunyi “Kami akan memilih Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, berkomitmen dalam penegakan hukum” menjadi spirit publik untuk berasa terhadap kepemimpinan Presiden “blusukan” dalam memimpin bangsa ini, yang profeisonal, mandiri/independen, akuntabilitas, dan bersandar pada amanat undang-undang (hukum).

Komitmen good governance dan clean governance juga tertuang dalam tagline “revolusi mental” semasa Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Nawa Cita dan Revolusi Mental menjadi harapan baru ketika ide blusukan terhadap paradigma dan realitas warga sering dilakukan oleh Joko Widodo.

Berbagai penelitian dan opini publik menyatakan bahwa darurat masalah penegakan hukum paling tertinggi terjadi di Kepolisian, mulai yang dilakukan oleh aparatur hukum terbawah sampai aparatur perwira tinggi. Semakin tinggi jabatan maka semakin tinggi indikasi perilaku korup. Butuh komitmen tersendiri dari pemimpin bangsa untuk mampu menyelesaikan masalah yang telah akut dan tersistematis.
Tetapi komitmen dalam Nawa Cita dan Revolusi Mental yang diprioritaskan dalam masa kepemimpinan Jokowi sedang diuji saat anggapan publik menyayangkan adanya upaya tersistematis untuk melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Komjen Budi Gunawan ditetapkan statusnya oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus pemilikan aliran dana ke rekening yang diduga hasil gratifikasi ataupun dugaan korupsi. Tetapi anehnya, sampai kini Presiden Jokowi belum berani untuk mempertegas kewibawaan dan janji yang pernah diucapkan untuk memimpin bangsa ini dengan jiwa satria dan spirit komitmen yang tidak diragukan.

Sebenarnya nama Komisaris Jenderal Budi Gunawan (Komjen BG) bukanlah sesuatu nama yang baru bagi Presiden Jokowi. Ini dikarenakan nama Komjen Budi Gunawan merupakan salah satu nama yang telah terinventarisir dalam calon-calon menteri dalam Kabinet Indonesia Hebat yang diberikan kepada KPK untuk diteliti track record-nya. Selain itu, asumsi menjelaskan bahwa Komjen BG merupakan pemikir dalam pemenangan Jokowi sebagai Presiden RI. Hasil ketelitian KPK telah diikuti Presiden Jokowi untuk tidak melantik calon-calon Menteri yang telah ditandai warna oleh KPK, dimana bagi nama-nama yang ditandai dengan warna merah dan kuning merupakan nama-nama yang akan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi atau pun nama-nama yang sedang dalam pengumpulan alat bukti sebagai subjek tersangka.

Nama Komjen Budi Gunawan adalah salah satu nama yang telah disinyalkan oleh KPK sebagai calon tersangka korupsi. Komjen BG-pun tidak dimasukkan dalam kabinet Indonesia Hebat. Rakyat ancungi jempol saat dibacakan nama-nama Menteri di Istana Negara, tidak terdapat nama-nama yang telah disinyalkan oleh KPK. Tetapi lain halnya ketika Presiden ajukan nama Komjen BG ke DPR RI untuk dilakukan feed and proper test sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Kapolri Sutarman.

Kisruh-pun mulai memanas ketika adanya dugaan mengkriminalisasikan empat pimpinan KPK sebagai tersangka oleh Polri sehingga memunculkan cerita lama “KPK vs Polri atau tenar CICAK vs BUAYA”. Anggapan publik pun mulai melemah terhadap Presiden Jokowi yang sampai saat ini masih dianggap terbelenggu dengan kepentingan Politik partai pendukung dan kepentingan dalam internal istana sendiri. Bahkan dibeberapa media sosial telah disebar gambar-gambar dan foto-foto yang diedit oleh pihak tidak bertanggungjawab yang mengilustrasikan bahwa yang Presiden dan Wakil Presiden adalah Megawati Soekarno Putri dan Surya Paloh, bukan Joko Widodo.

Kompas (8/2/2015) memberitakan bahwa telah ada sinyal kebosanan rakyat terhadap Presiden Jokowi dalam memimpin bangsa ini. “Taufik mengisahkan, pada sebuah perjalanan dirinya mampir di sebuah warung makan. Begitu siaran televisi menayangkan berita tentang konflik berkepanjangan antara Polri dan KPK, pemilik warung mengubah siaran, ini merupakan sinyal kebosanan rakyat terhadap Jokowi”. Rakyat menduga bahwa ada kekuatan besar dibalik kepemimpinan Presiden Jokowi sehingga tidak mampu untuk memutuskan nilai-nilai kebenaran yang krusial bagi keberlangsungan negara ini. Dugaan rakyat cenderung pada kekuatan PDIP, karena Komjen BG disinyalir memiliki afiliasi yang kuat terhadap pembesar-pembesar partai PDIP. Asumsi ini juga diartikan dari wawancara Kompas kepada politisi PDIP Masinton Pasaribu, yang mengatakan bahwa “…Jokowi itu bukan anak tiri di partai. Dia kader utama dengan tempat yang sangat terhormat. Jangan jauhkan pula dari Ibu Mega (Ketua Umum Megawati Soekarno Putri),…; Masinton yakin Presiden orang baik, tetapi orang disekelilingnya juga harus punya semangat yang sama”. Ungkapan Masinton ini merupakan ungkapan keragu-raguan antara Presiden yang baik, Tetapi orang sekelilingnya juga harus baik. Adakah makna yang mengartikan bahwa Presiden saat ini dilingkupi proyeksi kepentingan tertentu, sehingga belum mampu untuk tegas.

Saya masih mengingat saat pernyataan Jokowi terhadap Prabowo Subianto ketika acara debat calon Presiden RI yang digelar KPU dan disiarkan secara terbuka umum oleh stasiun-stasiun televise nasional. “Jangan kira kalo saya tidak bisa tegas”, ungkap Jokowi terhadap Prabowo. Tetapi kenyataannya kini apakah Presiden Jokowi adalah orang yang tegas? Pertanyaan ini harus mampu dijawab oleh Presiden Jokowi, “Beri Bukti, Bukan Janji”.

Saat ini rakyat telah bosan akan kepemimpinan janji. Presiden memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga bangsa ini semakin sejahtera dan terbebas dari mereka yang koruptor. Kemelut kisruh antara KPK dan Polri tidak terjadi hanya pada kepemimpinan Jokowi-JK tetapi telah terjadi juga pada masa kepemimpinan Presiden SBY. Tetapi kepemimpinan SBY mampu mempertahankan KPK sebagai entitas lembaga yang vital dalam pemberantasan korupsi. Upaya mengkriminalisasi KPK pada era SBY tidak berhasil dilakukan karena SBY sebagai Presiden mampu tegas terhadap aturan dan tidak terikat dengan kepentingan politik sekitar istana. Pembuktian janji (nawa cita dan revolusi mental) lebih penting dibandingkan pembuktian kepentingan politik. Oleh karena negara kita adalah negara hukum, maka pelantikan BG harus dibatalkan. Demikian juga, Presiden Jokwi harus mampu menyelesaikan kisruh yang terjadi antara Polri dan KPK berdasarkan profesionalitas dan akuntabilitas berdasarkan pertimbangan yang logis dan jauh dari asumsi politik orang-orang sekitarnya.

OPINI BLOGGER: JERIKO DISINYALIR KORBAN POLITISASI PIP




Oleh: Ian Haba Ora (Ketua FReePublik NTT)

Pendahuluan

Laporan Setahun Kinerja Kemendikbud (November 2014 s/d November 2015) menyatakan aset terbesar Indonesia bukanlah sumber daya alam, melainkan manusianya. Alasan ini menjadi dasar pandangan bahwa pembangunan manusia Indonesia menjadi prioritas utama. Tapi, fenomena di Indonesia masih banyak anak bangsa yang belum bisa bersekolah, atau tidak mampu memenuhi kebutuhan sekolah seperti membeli buku pelajaran, pelatihan siswa, dan lain sebagainya. Ini seharusnya menjadi perhatian stakeholder (pemangku kepentingan) untuk secara aktif mendorong penguatan pembangunan manusia. Salah satu program pemerintah yang langsung menyentuh adalah Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang kini diubah menjadi Program Indonesia Pintar (PIP).

Tapi penguatan pembangunan manusia di Indonesia harus terkendala akibat indikasi salah paham (dapat juga disebut indikasi gagal paham) oleh beberapa stakeholder. Coba kita lihat alokasi penyerapan bantuan PIP di Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya 20,07% sesuai pengakuan Mendikbud Anis Baswedan pada Raker besama Komisi X DPR RI pada 1 Februari 2016 lalu. Jika ditinjau dari pemberitaan media massa maupun media sosial, di Kota Kupang ternyata terjadi salah paham diantara stakeholder dalam pemahaman terkait PIP. Penyerapan PIP belum maksimal karena salah satu stakeholder dalam hal ini Walikota Kupang diduga menyebar informasi kepada seluruh kepala sekolah di teritorial Kota Kupang untuk tidak menerbitkan Surat Keterangan Siswa dari kepala sekolah kepada penerima PIP dengan alasan yang dianggap penulis tidak rasional. Tindakan ini dapat dianggap sebagai tindakan yang cenderung memikirkan kepentingan diri dibandingkan kepentingan membangun sumber daya manusia di wilayahnya.

Tindakan Kepala Daerah ini dianggap telah menciderai komitmen pemerintah bahwa peningkatan pendidikan kuncinya berada di pemimpin daerah (Kilas Kemendikbud, 2015:9). Tapi, Walikota Kupang disinyalir belum sepenuhnya memahami gagasan Mendikbud Anis Baswedan sehingga dianggap belum memahami spirit pemangku kepentingan (stakeholder) dengan tujuan sama membangung sumber daya manusia Indonesia umumnya.

Jefri Riwu Kore (Anggota Komisi X DPR RI) merupakan salah satu stakeholder yang memiliki hak untuk membantu dalam mendorong peningkatan sumber daya manusia melalui program PIP. Tapi, perjuangan oleh stakeholder ini belum sepenuhnya mendapat respon positif dari Walikota Kupang. Alhasil, penyerapan PIP di Kota Kupang dapat dibilang buruk. Dampak dari belum ada sepakat dari Walikota Kupang maka banyak warga miskin Kota Kupang yang dikorbankan. Seharusnya, Walikota Kupang perlu memahami jika pembangunan manusia membutuhkan kerjasama dari seluruh pihak terkait.

Fungsi Pengawasan DPR RI

Seharusnya Walikota Kupang dapat disarankan tidak perlu terganggu dengan adanya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh stakeholder pendidikan selain dirinya. Ini sebagai dampak dari teori pengawasan yang dikemukakan Hans Kelsen (2009:382) bahwa pengawasan yang berbeda muncul dari konsep triaspolitica yang memisahkan kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan demikian, pemisahan ini menyebabkan muncul fungsi di setiap masing-masing bidang pemerintahan berbeda-beda. Tujuannya sama, yakni untuk kesejahteraan rakyat.

PIP merupakan program pemerintah sekaligus menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ditinjau dari pengawasan DPR RI maka terdapat pada Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3 yang menyebutkan fungsi pengawasan DPR RI dilakukan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN. Nurcholis (2007:208) juga menyebutkan pengawasan atas pelaksanaan APBN dilakukan oleh legislative bukan pemeriksaan untuk menghukum lembaga eksekutif tapi pengawasan untuk menjamin capaian sasaran yang telah ditetapkan dalam APBN. Sebelumnya, Mardiasmo (2001:206) telah menjelaskan bahwa pengawasan legislatif tidak perlu diperdebatkan jika hal itu dilakukan mulai dari penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban anggaran. Dengan demikian, saran untuk Walikota Kupang adalah tidak perlu mempersoalkan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR RI karena telah dijamin secara aturan yang berlaku.

Pengawasan terhadap program menggunakan APBN penting dilakukan untuk dipastikan alokasi anggaran sesuai dengan prioritas program dan diajukan untuk kesejahteraan rakyat; menjaga agar penggunaan APBN ekonomis, efisien dan efektif; menjaga agar pelaksanaan APBN benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, pengawasan DPR RI sangat penting untuk memastikan anggaran yang dikelolah secara transparan dan akuntabel untuk meminimalkan adanya kebocoran ataupun penyimpangan.

Pendataan PIP oleh DPR RI

DPR RI diberikan kewenangan sesuai UU MD3 untuk memperjuangkan PIP yang didefenisikan sebagai bantuan berupa uang tunai dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik yang orang tuanya tidak dan/atau kurang mampu membiayai pendidikannya, sebagai kelanjutan dan perluasan sasaran dari program BSM.

Untuk memaksimalkan penyerapan anggaran PIP maka Mendikbud Anis Baswedan pada Rapat Kerja (Raker) antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Komisi X DPR RI pada tanggal 10 Juni 2015 yang menyimpulkan bahwa untuk mencapai pemenuhan sasaran PIP maka dialokasikan sebanyak 1.432.027 siswa untuk pemangku kepentingan dalam hal ini Komisi X DPR RI dari 17.920. 270 siswa yang dialokasikan Kemendikbud RI.

Dasar hukum pelaksanaan fungsi DPR RI yang diterjemahkan dalam mekanisme pendataan PIP ini sesuai dengan Pasal 78 UU MD3 bahwa setiap anggota DPR RI saat dilantik telah bersumpah memperjuangkan dapil.  Pasal 227 ayat (1) UU MD3 menyatakan setiap anggota DPR berhak mengawasi APBN dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk di dapilnya. Ini sesuai Pasal 72 huruf g bahwa menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat wajib dilakukan oleh setiap anggota DPR RI. dan bentuk pertanggungjawaban DPR sesuai Pasal 81 huruf k, setiap anggota wajib memberi pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di dapilnya.

Jika ditinjau dari mekanisme perjuangan DPR RI terkait PIP di dapil maka sesuai UU MD3 Pasal 98 ayat (6) manyatakan hasil keputusan rapat di Komisi bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah. Tertanggal 27 September 2010 dan 14 September 2012 dihasilkan keputusan bahwa PIP atau BSM saat itu, diberi wewenang kepada Komisi X DPR RI untuk mendata dan mengusulkan program APBN Pendidikan (untuk PIP) dari dapilnya. Hal ini juga diperkuat dengan penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12 Tahun 2015 Tentang PIP, Pasal 8 menyatakan PIP dapat diusulkan oleh Pemangku Kepentingan.

Dengan demikian, untuk melaksanakan fungsi DPR dalam pengawasan maupun ruang pendataan penerima PIP sebagai mekanisme aspirasi maka setiap anggota DPR RI dapat melakukan tindakan maupun aksi yang tidak bertentangan dengan UU atau aturan lain sebagai perlindungan dan jaminan impunitas DPR RI. Artinya, Surat Pemberitahuan dan Surat Permohonan Aspirasi baik dari/dan atau ke DPR RI merupakan tindakan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas.

Penutup

Penyerapan APBN untuk program PIP di Kota Kupang masih dibilang sangat buruk karena hanya mampu menyerap 20,07% dari 100 persen anggaran untuk anak usia sekolah di Kota Kupang. Salah satu penyebab karena dianggap belum ada dukungan moril dari kepala daerah untuk membantu anak-anak miskin di Kota Kupang. Hal ini tampak dari tindakan moril walikota kupang yang disinyalir tidak menerbitkan surat keterangan siswa kepada penerima manfaat dari jalur pemangku kepentingan. Oleh karena itu Walikota perlu memahami tupoksi perjuangan dan mekanisme pendataan dari jalur Stakeholder agar rakyat tidak dikorbankan.

TRANSLATE: