Fellyanus
Haba Ora/Kepala Biro PAUD & DIKMAS DPP PD
Nawa Cita Presiden Joko
WIdodo dalam butir yang berbunyi “Kami
akan memilih Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi,
berkomitmen dalam penegakan hukum” menjadi spirit publik untuk berasa
terhadap kepemimpinan Presiden “blusukan” dalam memimpin bangsa ini, yang
profeisonal, mandiri/independen, akuntabilitas, dan bersandar pada amanat
undang-undang (hukum).
Komitmen good governance dan
clean governance juga tertuang dalam tagline “revolusi mental” semasa Joko
Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia. Nawa Cita dan Revolusi Mental menjadi harapan baru
ketika ide blusukan terhadap paradigma dan realitas warga sering dilakukan oleh
Joko Widodo.
Berbagai penelitian dan
opini publik menyatakan bahwa darurat masalah penegakan hukum paling tertinggi
terjadi di Kepolisian, mulai yang dilakukan oleh aparatur hukum terbawah sampai
aparatur perwira tinggi. Semakin tinggi jabatan maka semakin tinggi indikasi
perilaku korup. Butuh komitmen tersendiri dari pemimpin bangsa untuk mampu
menyelesaikan masalah yang telah akut dan tersistematis.
Tetapi komitmen dalam Nawa
Cita dan Revolusi Mental yang diprioritaskan dalam masa kepemimpinan Jokowi
sedang diuji saat anggapan publik menyayangkan adanya upaya tersistematis untuk
melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Komjen Budi Gunawan
ditetapkan statusnya oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sebagai tersangka
dalam kasus pemilikan aliran dana ke rekening yang diduga hasil gratifikasi
ataupun dugaan korupsi. Tetapi anehnya, sampai kini Presiden Jokowi belum
berani untuk mempertegas kewibawaan dan janji yang pernah diucapkan untuk
memimpin bangsa ini dengan jiwa satria dan spirit komitmen yang tidak
diragukan.
Sebenarnya nama Komisaris
Jenderal Budi Gunawan (Komjen BG) bukanlah sesuatu nama yang baru bagi Presiden
Jokowi. Ini dikarenakan nama Komjen Budi Gunawan merupakan salah satu nama yang
telah terinventarisir dalam calon-calon menteri dalam Kabinet Indonesia Hebat
yang diberikan kepada KPK untuk diteliti track
record-nya. Selain itu, asumsi
menjelaskan bahwa Komjen BG merupakan pemikir dalam pemenangan Jokowi sebagai
Presiden RI. Hasil ketelitian KPK telah diikuti Presiden Jokowi untuk tidak
melantik calon-calon Menteri yang telah ditandai warna oleh KPK, dimana bagi
nama-nama yang ditandai dengan warna merah dan kuning merupakan nama-nama yang
akan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi atau pun nama-nama yang
sedang dalam pengumpulan alat bukti sebagai subjek tersangka.
Nama Komjen Budi Gunawan
adalah salah satu nama yang telah disinyalkan oleh KPK sebagai calon tersangka
korupsi. Komjen BG-pun tidak dimasukkan dalam kabinet Indonesia Hebat. Rakyat
ancungi jempol saat dibacakan nama-nama Menteri di Istana Negara, tidak
terdapat nama-nama yang telah disinyalkan oleh KPK. Tetapi lain halnya ketika
Presiden ajukan nama Komjen BG ke DPR RI untuk dilakukan feed and proper test sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan
Kapolri Sutarman.
Kisruh-pun mulai memanas
ketika adanya dugaan mengkriminalisasikan empat pimpinan KPK sebagai tersangka
oleh Polri sehingga memunculkan cerita lama “KPK vs Polri atau tenar CICAK vs
BUAYA”. Anggapan publik pun mulai melemah terhadap Presiden Jokowi yang sampai
saat ini masih dianggap terbelenggu dengan kepentingan Politik partai pendukung
dan kepentingan dalam internal istana sendiri. Bahkan dibeberapa media sosial
telah disebar gambar-gambar dan foto-foto yang diedit oleh pihak tidak
bertanggungjawab yang mengilustrasikan bahwa yang Presiden dan Wakil Presiden
adalah Megawati Soekarno Putri dan Surya Paloh, bukan Joko Widodo.
Kompas (8/2/2015)
memberitakan bahwa telah ada sinyal kebosanan rakyat terhadap Presiden Jokowi
dalam memimpin bangsa ini. “Taufik mengisahkan, pada sebuah perjalanan dirinya
mampir di sebuah warung makan. Begitu siaran televisi menayangkan berita
tentang konflik berkepanjangan antara Polri dan KPK, pemilik warung mengubah
siaran, ini merupakan sinyal kebosanan rakyat terhadap Jokowi”. Rakyat menduga
bahwa ada kekuatan besar dibalik kepemimpinan Presiden Jokowi sehingga tidak
mampu untuk memutuskan nilai-nilai kebenaran yang krusial bagi keberlangsungan
negara ini. Dugaan rakyat cenderung pada kekuatan PDIP, karena Komjen BG
disinyalir memiliki afiliasi yang kuat terhadap pembesar-pembesar partai PDIP.
Asumsi ini juga diartikan dari wawancara Kompas kepada politisi PDIP Masinton
Pasaribu, yang mengatakan bahwa “…Jokowi itu bukan anak tiri di partai. Dia
kader utama dengan tempat yang sangat terhormat. Jangan jauhkan pula dari Ibu
Mega (Ketua Umum Megawati Soekarno Putri),…; Masinton yakin Presiden orang
baik, tetapi orang disekelilingnya juga harus punya semangat yang sama”.
Ungkapan Masinton ini merupakan ungkapan keragu-raguan antara Presiden yang
baik, Tetapi orang sekelilingnya juga
harus baik. Adakah makna yang mengartikan bahwa Presiden saat ini
dilingkupi proyeksi kepentingan tertentu, sehingga belum mampu untuk tegas.
Saya masih mengingat saat
pernyataan Jokowi terhadap Prabowo Subianto ketika acara debat calon Presiden
RI yang digelar KPU dan disiarkan secara terbuka umum oleh stasiun-stasiun
televise nasional. “Jangan kira kalo saya tidak bisa tegas”, ungkap Jokowi
terhadap Prabowo. Tetapi kenyataannya kini apakah Presiden Jokowi adalah orang
yang tegas? Pertanyaan ini harus mampu dijawab oleh Presiden Jokowi, “Beri
Bukti, Bukan Janji”.
Saat ini rakyat telah bosan
akan kepemimpinan janji. Presiden memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga
bangsa ini semakin sejahtera dan terbebas dari mereka yang koruptor. Kemelut
kisruh antara KPK dan Polri tidak terjadi hanya pada kepemimpinan Jokowi-JK
tetapi telah terjadi juga pada masa kepemimpinan Presiden SBY. Tetapi
kepemimpinan SBY mampu mempertahankan KPK sebagai entitas lembaga yang vital
dalam pemberantasan korupsi. Upaya mengkriminalisasi KPK pada era SBY tidak
berhasil dilakukan karena SBY sebagai Presiden mampu tegas terhadap aturan dan
tidak terikat dengan kepentingan politik sekitar istana. Pembuktian janji (nawa
cita dan revolusi mental) lebih penting dibandingkan pembuktian kepentingan
politik. Oleh karena negara kita adalah negara hukum, maka pelantikan BG harus
dibatalkan. Demikian juga, Presiden Jokwi harus mampu menyelesaikan kisruh yang
terjadi antara Polri dan KPK berdasarkan profesionalitas dan akuntabilitas
berdasarkan pertimbangan yang logis dan jauh dari asumsi politik orang-orang
sekitarnya.