Oleh: Ian Haba Ora (Ketua
FReePublik NTT)
Pendahuluan
Laporan Setahun Kinerja
Kemendikbud (November 2014 s/d November 2015) menyatakan aset terbesar
Indonesia bukanlah sumber daya alam, melainkan manusianya. Alasan ini menjadi
dasar pandangan bahwa pembangunan manusia Indonesia menjadi prioritas utama.
Tapi, fenomena di Indonesia masih banyak anak bangsa yang belum bisa
bersekolah, atau tidak mampu memenuhi kebutuhan sekolah seperti membeli buku
pelajaran, pelatihan siswa, dan lain sebagainya. Ini seharusnya menjadi
perhatian stakeholder (pemangku
kepentingan) untuk secara aktif mendorong penguatan pembangunan manusia. Salah
satu program pemerintah yang langsung menyentuh adalah Program Bantuan Siswa
Miskin (BSM) yang kini diubah menjadi Program Indonesia Pintar (PIP).
Tapi penguatan
pembangunan manusia di Indonesia harus terkendala akibat indikasi salah paham
(dapat juga disebut indikasi gagal paham) oleh beberapa stakeholder. Coba kita lihat alokasi penyerapan bantuan PIP di Kota
Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya 20,07% sesuai pengakuan
Mendikbud Anis Baswedan pada Raker besama Komisi X DPR RI pada 1 Februari 2016
lalu. Jika ditinjau dari pemberitaan media massa maupun media sosial, di Kota
Kupang ternyata terjadi salah paham diantara stakeholder dalam pemahaman terkait PIP. Penyerapan PIP belum
maksimal karena salah satu stakeholder
dalam hal ini Walikota Kupang diduga menyebar informasi kepada seluruh kepala
sekolah di teritorial Kota Kupang untuk tidak menerbitkan Surat Keterangan
Siswa dari kepala sekolah kepada penerima PIP dengan alasan yang dianggap
penulis tidak rasional. Tindakan ini dapat dianggap sebagai tindakan yang
cenderung memikirkan kepentingan diri dibandingkan kepentingan membangun sumber
daya manusia di wilayahnya.
Tindakan Kepala Daerah
ini dianggap telah menciderai komitmen pemerintah bahwa peningkatan pendidikan kuncinya
berada di pemimpin daerah (Kilas Kemendikbud, 2015:9). Tapi, Walikota Kupang
disinyalir belum sepenuhnya memahami gagasan Mendikbud Anis Baswedan sehingga
dianggap belum memahami spirit pemangku kepentingan (stakeholder) dengan tujuan sama membangung sumber daya manusia
Indonesia umumnya.
Jefri Riwu Kore
(Anggota Komisi X DPR RI) merupakan salah satu stakeholder yang memiliki hak untuk membantu dalam mendorong
peningkatan sumber daya manusia melalui program PIP. Tapi, perjuangan oleh stakeholder ini belum sepenuhnya
mendapat respon positif dari Walikota Kupang. Alhasil, penyerapan PIP di Kota
Kupang dapat dibilang buruk. Dampak dari belum ada sepakat dari Walikota Kupang
maka banyak warga miskin Kota Kupang yang dikorbankan. Seharusnya, Walikota Kupang
perlu memahami jika pembangunan manusia membutuhkan kerjasama dari seluruh
pihak terkait.
Fungsi
Pengawasan DPR RI
Seharusnya Walikota
Kupang dapat disarankan tidak perlu terganggu dengan adanya fungsi pengawasan
yang dilakukan oleh stakeholder pendidikan
selain dirinya. Ini sebagai dampak dari teori pengawasan yang dikemukakan Hans
Kelsen (2009:382) bahwa pengawasan yang berbeda muncul dari konsep triaspolitica yang memisahkan kekuasaan menjadi
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan demikian, pemisahan ini
menyebabkan muncul fungsi di setiap masing-masing bidang pemerintahan
berbeda-beda. Tujuannya sama, yakni untuk kesejahteraan rakyat.
PIP merupakan program
pemerintah sekaligus menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ditinjau dari pengawasan DPR RI maka terdapat pada Pasal 70 ayat (3) UU Nomor
17 Tahun 2014 Tentang MD3 yang menyebutkan fungsi pengawasan DPR RI dilakukan
terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN. Nurcholis (2007:208) juga
menyebutkan pengawasan atas pelaksanaan APBN dilakukan oleh legislative bukan
pemeriksaan untuk menghukum lembaga eksekutif tapi pengawasan untuk menjamin
capaian sasaran yang telah ditetapkan dalam APBN. Sebelumnya, Mardiasmo
(2001:206) telah menjelaskan bahwa pengawasan legislatif tidak perlu
diperdebatkan jika hal itu dilakukan mulai dari penyusunan anggaran,
pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban anggaran. Dengan demikian, saran
untuk Walikota Kupang adalah tidak perlu mempersoalkan fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh DPR RI karena telah dijamin secara aturan yang berlaku.
Pengawasan terhadap
program menggunakan APBN penting dilakukan untuk dipastikan alokasi anggaran
sesuai dengan prioritas program dan diajukan untuk kesejahteraan rakyat;
menjaga agar penggunaan APBN ekonomis, efisien dan efektif; menjaga agar
pelaksanaan APBN benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, pengawasan
DPR RI sangat penting untuk memastikan anggaran yang dikelolah secara
transparan dan akuntabel untuk meminimalkan adanya kebocoran ataupun penyimpangan.
Pendataan
PIP oleh DPR RI
DPR RI diberikan
kewenangan sesuai UU MD3 untuk memperjuangkan PIP yang didefenisikan sebagai
bantuan berupa uang tunai dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik
yang orang tuanya tidak dan/atau kurang mampu membiayai pendidikannya, sebagai
kelanjutan dan perluasan sasaran dari program BSM.
Untuk memaksimalkan
penyerapan anggaran PIP maka Mendikbud Anis Baswedan pada Rapat Kerja (Raker)
antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Komisi X DPR RI pada tanggal
10 Juni 2015 yang menyimpulkan bahwa untuk mencapai pemenuhan sasaran PIP maka
dialokasikan sebanyak 1.432.027 siswa untuk pemangku kepentingan dalam hal ini
Komisi X DPR RI dari 17.920. 270 siswa yang dialokasikan Kemendikbud RI.
Dasar hukum pelaksanaan
fungsi DPR RI yang diterjemahkan dalam mekanisme pendataan PIP ini sesuai
dengan Pasal 78 UU MD3 bahwa setiap anggota DPR RI saat dilantik telah
bersumpah memperjuangkan dapil. Pasal
227 ayat (1) UU MD3 menyatakan setiap anggota DPR berhak mengawasi APBN dan
memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk di dapilnya. Ini sesuai Pasal
72 huruf g bahwa menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat wajib dilakukan oleh setiap anggota DPR RI. dan bentuk
pertanggungjawaban DPR sesuai Pasal 81 huruf k, setiap anggota wajib memberi
pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di dapilnya.
Jika ditinjau dari
mekanisme perjuangan DPR RI terkait PIP di dapil maka sesuai UU MD3 Pasal 98
ayat (6) manyatakan hasil keputusan rapat di Komisi bersifat mengikat antara
DPR dan Pemerintah. Tertanggal 27 September 2010 dan 14 September 2012
dihasilkan keputusan bahwa PIP atau BSM saat itu, diberi wewenang kepada Komisi
X DPR RI untuk mendata dan mengusulkan program APBN Pendidikan (untuk PIP) dari
dapilnya. Hal ini juga diperkuat dengan penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 12 Tahun 2015 Tentang PIP, Pasal 8 menyatakan PIP dapat
diusulkan oleh Pemangku Kepentingan.
Dengan demikian, untuk
melaksanakan fungsi DPR dalam pengawasan maupun ruang pendataan penerima PIP
sebagai mekanisme aspirasi maka setiap anggota DPR RI dapat melakukan tindakan
maupun aksi yang tidak bertentangan dengan UU atau aturan lain sebagai
perlindungan dan jaminan impunitas
DPR RI. Artinya, Surat Pemberitahuan dan Surat Permohonan Aspirasi baik
dari/dan atau ke DPR RI merupakan tindakan yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang disebutkan di atas.
Penutup
Penyerapan APBN untuk
program PIP di Kota Kupang masih dibilang sangat buruk karena hanya mampu
menyerap 20,07% dari 100 persen anggaran untuk anak usia sekolah di Kota
Kupang. Salah satu penyebab karena dianggap belum ada dukungan moril dari
kepala daerah untuk membantu anak-anak miskin di Kota Kupang. Hal ini tampak dari
tindakan moril walikota kupang yang disinyalir tidak menerbitkan surat keterangan
siswa kepada penerima manfaat dari jalur pemangku kepentingan. Oleh karena itu
Walikota perlu memahami tupoksi perjuangan dan mekanisme pendataan dari jalur Stakeholder agar rakyat tidak
dikorbankan.