SELAMAT MEMBACA

Thursday, 31 March 2016

JEFRI RIWU KORE (JERIKO) ADALAH SOSOK YANG PATUT DITELADANI

Baca juga:
  1. http://www.zonalinenews.com/2015/09/mendikbud-sebut-jeriko-legislator-yang-harus-diteladani/
  2. http://ntt.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/12
  3. http://www.harnas.co/2015/03/31/bappenas-ipm-ntt-masih-rendah

Foto: Jefri saat mempresentasekan kinerjanya di depan Mendikbud RI pada 2 September 2015


Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mungkin perlu berbangga karena memiliki putra daerah yang mampu mengoptimalkan dirinya menjadi seorang yang bermanfaat bukan saja untuk daerah asalnya tapi juga berjuang untuk meningkatkan taraf pendidikan di Indonesia. 

Ya..., sebut saja nama lengkapnya Jefirstson Richset Riwu Kore atau karib disapa Jeriko. Pria kelahiran Kupang, 13 Januari 1960 ini bisa disebut sebagai salah satu politisi yang mampu melakukan tugas pengabdian sebagai Anggota DPR RI yang bersungguh-sungguh berjuang untuk pendidikan yang masih tertinggal jika dibandingkan terhadap melek pendidikan di propinsi lain.

Jeriko yang duduk di Komisi X DPR RI sejak periode legislator 2009-2014 dan 2014-2019 ini disebut sebagai salah satu politisi yang patut diteladani. Jika kita membaca media online http://www.zonalinenews.com tertanggal 4 September 2015 (http://www.zonalinenews.com/2015/09/mendikbud-sebut-jeriko-legislator-yang-harus-diteladani/) dituliskan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud RI) Anis Baswedan memberi apresiasi pada legislator NTT Jefri Riwu Kore (tulisan akrab Jeriko) Anggota Komisi X DPR RI terkait usaha keras mendorong peningkatan mutu dan kuantitas pendidikan di Nusa Tenggara Timur.

Jeriko yang pernah menyabet prestasi Mahasiswa Teladan Seluruh Indonesia Tahun 1986 ini dikatain Mendikbud sebagai legislator yang harus dicontohi.

"Kami (Mendikbud) memberi apresiasi pada pak Jefri yang aktif mendorong peningkatan kualitas pendidikan di NTT. Usaha dan kerja keras untuk perbaikan pendidikan di Indonesia seperti yang dilakukan pak Jefri, sekiranya menjadi hal yang harus diteladani oleh seluruh stakeholder pendidikan. Mudah-mudahan perjuangan pak Jefri mampu mengubah stigma NTT dari Nasib Tidak Tentu (NTT) menjadi Nasib Tambah Terang (NTT)", ucap Baswedan diikuti tawa peserta Rapat Kerja (Raker) Komisi X DPR RI bersama Kemdikbud RI pada 2 September 2015.

Pujian Mendikbud Anis Baswedan ini tidak bisa dianggap retorika saja namun harus dipahami sesungguhnya jika NTT membutuhkan tokoh-tokoh yang bermutu untuk meningkatkan taraf pendidikan yang lebih baik dan berkelanjutan. Salah satu indikator yang menjadi tinjauannya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT yang berada di urutan 32 dari 34 provinsi di NTT tahun 2015.

Berkaca dari data yang dirilis oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof A. Chaniago bahwa  IPM Provinsi Nusa Tenggara Timur masih rendah dimana berada pada kisaran 68,77 tahun 2013 atau hanya naik 1,5 indeksnya dari tahun 2011 sebesar 66,23. Realita ini menyebabkan NTT menduduki peringkat 32 dari 34 provinsi di Indonesia (http://ntt.bps.go.id/) juga jauh dari rataan IPM nasional sebesar 73,81.

IPM menjadi acuan pendidikan karena digunakan untuk mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup maka IPM dibangun dari pendekatan tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak.  Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian yang sangat luas karena terkait banyak faktor, namun telah ditetapkan jika untuk mengukur dimensi kesehatan digunakan angka harapan hidup waktu lahir. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak.

Oleh karena itu rendahnya IPM Provinsi NTT menurut BPS (2015) ini diakibatkan dari rendahnya capaian daerah terhadap komponen indeks pembangunan manusia yang terdiri atas Angka Harapan Hidup (AHH); Angka Melek Huruf (AMH); Rata-Rata Lama Sekolah (RLS); dan Pengeluaran Riil per Kapita yang disesuaikan.

Angka Harapan Hidup pada waktu lahir diperoleh dari rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Sedangkan Angka Melek Huruf merupakan presentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Kemudian Rata-Rata Lama Sekolah diperoleh dari gambaran jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Setelah itu Pengeluaran Riil per Kapita yang disesuaikan menggunakan standar UNDP dalam mengukur standar hidup layak menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) riil yang disesuaikan atau yang sering digunakan BPS dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson.

BPS (2015) merilis data Angka Harapan Hidup NTT tahun 2014 hanya berkisar 65,91 atau berada jauh dari rataan nasional sebesar 70,10 selang waktu 2010-2015. Sedangkan Angka Harapan Lama Sekolah di NTT rata-rata hanya 12,65 tahun dengan rata-rata lama sekolah mencapai 6,85 tahun dan pendapatan per kapita hanya sekitar Rp 6.934 per hari. Kondisi ini menjadi akumulasi IPM NTT berada di peringkat 32 dari 34 provinsi atau 68,77 dan dianggap buruk jika disandingkan dengan propinsi Papua Barat (70,62) dan propinsi Maluku Utara (70,63) yang adalah propinsi baru dimekarkan.

Selain IPM menjadi penentu integritas propinsi NTT sebagai propinsi terbelakang dalam sumber daya manusianya, juga didukung oleh angka buta huruf yang masih tinggi dimana mencapai 34,73% menurut data BPS tahun 2013. Kemudian diduga juga bahwa angka buta huruf ini menjadi alasan jika di NTT masih terkategorisasi sebagai propinsi miskin dengan angka mencapai 1.006.900 jiwa tahun 2013.

Selain data yang disebutkan di atas, pengaruh lain disebabkan juga oleh kesenjangan yang ditunjukkan oleh rasio gini NTT yang hanya mencapai 0,35 jauh di bawah rasio gini nasional sebesar 0,41 meskipun sebelumnya rasio gini provinsi NTT menunjukkan peningkatan dari tahun 2004 sampai dengan 2010 namun  pada tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan.

Jika ditinjau dari tingkat kesenjangan ekonomi maka yang terjadi di NTT berkategori tinggi yang menunjukkan perekonomian di kabupaten/kota di provinsi ini belum merata. Hal ini juga dapat dicermati dari perbedaan antara perbedaan per kapita penduduk Kota Kupang hampir lima kali lipat pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Sumba Barat Daya.

Berdasarkan distribusi ekonomi maka kontribusi PDRB didominasi sektor pertanian (35%) dan jasa-jasa (26%). Sementara itu sektor angkutan, telekomunikasi dan industri pengolahan peranannya masing-masing mengalami penurunan yakni 6,4% menjadi 5,7% dan 1,8% menjadi 1,4%. Jika ditinjau dari profesi maka 65% berada pada sektor pertanian dan 11,5% di sektor jasa. Tapi beberapa sektor mengalami penurunan antara lain berada dii sektor pertanian dan pertambangan masing-masing 12,58% dan 0,87%. Pekerja di sektor industri pengolahan hanya mampu menyerap tenaga kerja 4,91% dan tingkat pertumbuhan penyerapan kerja relatif stagnan (http://www.harnas.co/2015/03/31/bappenas-ipm-ntt-masih-rendah).

Dijelaskan juga bahwa tantangan NTT pula berada pada angkatan kerja yang hanya berpendidikan SD mencapai 66,40%. Kemudian tantangan lain muncul pula dari pembiayaan investasi terkait potensi simpanan masyarakat masih bersifat konsumtif dari besar pinjaman masyarakat. Dalam perspektif jangka panjang maka pola ini kurang sehat karena sesuatu yang bersifat konsumtif tidak berkelanjutan.

Pemda juga belum kreatif dalam menggunakan APBD dimana hampir 50% anggaran terserap untuk belanja pegawai dan 17% untuk belanja barang jasa. Sedangkan untuk belanja publik terbilang rendah karena hanya mencapai 12% saja.

Tantangan-tantangan yang disebutkan di atas menjadi indikator pendukung jika propinsi NTT masih terbelakang. Perlu diingat juga bahwa salah satu penyebab meningkatnya tantangan tersebut adalah dari korupsi kebijakan struktural. Oleh karena itu untuk memperbaikinya membutuhkan sosok yang benar-benar terakumulasi dalam stakholder penentu kebijakan struktural tersebut.

Ternyata Jeriko mampu menjadi salah satu sosok yang mampu memfasilitasi penurunan tantangan tersebut agar propinsi ini lebih baik ke depannya. Salah satu bukti tampak dari apresiasi Mendikbud Baswedan memberi perhatian serius terkait presentase Jeriko dimana berdasar temuan lapangan masih banyak ditemukan ketimpangan-ketimpangan pendidikan di Indonesia, khususnya di NTT seperti bangunan sekolah yang tidak layak, politisi guru-guru oleh kepala daerah, penyaluran beasiswa yang tidak maksimal, tunjangan sertifikasi yang tidak dibayarkan atau sengaja diendapkan, dan kesejahteraan guru yang minim perhatian pemerintah.

Apa yang dilakukan Jefri belumlah sempurna karena hanya menyentuh satu sektor saja yaitu pendidikan namun secara simultan mampu memberi dampak terhadap sektor lain. 

Jika berbicara sosok maka Jeriko patut menjadi pionir untuk memunculkan sosok-sosok lain yang mampu hadir berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. Pendidikan hanya menjadi salah satu sektor yang dapat memberi efek terhadap sektor lain.

Bagaimana jika NTT memiliki banyak sosok seperti Jeriko. Sudah pasti NTT akan nyata berubah stigma dari NTT (Nasib Tidak Tentu) menjadi NTT sesungguhnya (Nasib Tambah Terang).

Good Jefri Riwu Kore (Jeriko)....! Lanjutkan.

TRANSLATE: