SELAMAT MEMBACA

Thursday, 31 March 2016

Makalah Seminar: Mendorong Good Governance Dalam Akuntabilitas & Transparansi Kinerja Lembaga Negara


  Oleh: DR. Jefri Riwu Kore, MM., MH[1]
Anggota Komisi X DPR RI Periode 2014-2019

Pengantar
Mendorong dan mengupayakan terbentuknya pemerintah yang baik (good governance) merupakan isu intens dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigma pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance” dipahami sebagai entitas berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu memperkuat lembaga negara agar menjalankan tugasnya secara akuntabilitas dan transparansi melalui kinerjanya.
Upaya dalam mewujudkan good governance, secara epistemologi hanya mampu diimplementasi dalam lima prinsip yang universal, yakni: responsibility, accountability, fairness, independency, and transparency. Kelima hal tersebut mencakup kesesuaian di dalam pengelolaan pemerintahan terhadap prinsip lingkup negara yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku (responsibility); accountability mengacu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan prosedur pertanggungjawaban organ perusahaan/institusi sehingga pengelolaan pemerintahan (termasuk lembaga negara) terlaksana secara efektif; fairness mengacu pada perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak dasar (stakeholder) yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangan yang berlaku; indepedency mengacu pada pengelolaan secara profesional, menghindari benturan kepentingan dan tekanan pihak manapun sesuai perundangan yang berlaku; transparency mengacu pada keterbukaan informasi di dalam proses pengambilan keputusan dan di dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai pengelolaan pemerintahan (termasuk kinerja).
Kelima prinsip universal di atas bukanlah harga mati (one size fits all), artinya dalam implementasi  dan penegakan good governance, prinsip-prinsip tersebut disesuaikan dengan budaya dan problem masing-masing lembaga negara (instansi pemerintah) yang akan menjalankannya. Selain itu, jika ditinjau dari code of conduct or best practice dari berbagai lembaga atau institusi di berbagai negara, maka prinsip-prinsip tersebut hampir ditemukan karena sifatnya yang universal. Tetapi perlu diketahui bahwa prinsip tersebut bersifat evolutionary in nature, artinya berkembang sesuai kebutuhan dan dinamika masyarakat yang menerapkan dan menegakkannya.
Demikian juga, dalam praktik good governance diberbagai institusi di beberapa negara mengajarkan “good governance is about time as well”¸ penerapan dan penegakan good governance tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan akan terkait erat dengan waktu, mengingat perubahan yang akan dilakukan adalah tidak sedikit dan tidak sederhana, terutama pada aspek mental dan budaya masyarakat yang akan menerapkan dan menegakkan good governance.
Lembaga Negara
Pasca amandemen UUD NRI 1945, lembaga negara hasil amandemen adalah BPK, DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, dan KY (8 lembaga negara). Menurut Soemantri (2006:24), yang dikatakan sebagai lembaga negara adalah lembaga yang tugas dan wewenangnya diatur dalam UUD.  Soemantri mempertegas pendapat Bintan R. Saragih (2004) yang menggolongkan lembaga negara secara fungsional dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara, meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Berdasarkan konstrukksi ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 perubahan, lembaga negara terdistribusi secara “horizontal-fungsional” dengan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara yang sederajat. Konstruksi ini berbeda dengan kontruksi UUD sebelum amandemen yang meletakkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan semua lembaga negara berada di bawah kedudukan MPR.
Pasca amandemen, kontruksi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara namun berada sejajar dengan fungsi lembaga negara lainnya, dan kedaulatan sepenuhnya berada di rakyat. Rakyat yang menjadi pondasi utama dalam tujuan penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga tinggi negara.
Kinerja lembaga negara menjadi indikator terpenuhinya good governance. Kinerja menjadi gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/kebijakan dalam mewujudkan sasaran tujuan, misi dan visi organisasi (LAN, 2003). Darwanis dan Charunnisa (2013) mendefenisikan kinerja sebagai suatu proses umpan balik atas kinerja masa lalu yang berguna untuk meningkatkan produktivitas di masa mendatang bagi suatu proses yang berkelanjutan. Sedangkan Mardiasmo (2005:121) mendefenisikan kinerja dalam perspektif sektor publik dilakukan untuk memenuhi 3 (tiga) maksud, yaitu: (1). Untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah; (2). Untuk pengalokasian sumber daya dan pembuat keputusan; dan (3). Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Kemudian dilanjutkan bahwa untuk melakukan pengukuran kinerja dibutuhkan indikator kinerja yang kemudian akan dibandingkan dengan target kinerja atau standar kinerja. Atau dengan kata lain, indikator yang dimaksud adalah kepuasan penerima layanan publik melalui standar pelayanan minimal yang diberikan oleh organisasi pemerintah/sektor publik.
Sedangkan LAN (2003:13) mendefenisikan indikator kinerja sebagai syarat ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau digariskan, dan untuk mengukur kinerja diperlukan indikator kinerja yang dapat dikelompokkan atas indikator berikut ini.
1)   Inputs (masukan), didefenisikan segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program dapat berjalan sesuai yang diharapkan atau dalam rangka menghasilkan output, misalnya: sumber daya manusia, dana, material, waktu, teknologi, dan sebagainya.
2)   Process (proses), didefenisikan segala besaran yang menunjukkan upaya yang dilakukan dalam rangka mengolah masukan menjadi keluaran.
3)   Outputs (keluaran), didefenisikan segala sesuatu berupa produk/jasa (fisik dan atau non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan dan program berdasarkan masukan yang digunakan.
4)   Outcomes (hasil), didefenisikan segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah. Outcomes/hasil merupakan ukuran seberapa jauh setiap produk/jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.
5)   Benefits (manfaat), didefenisikan kegunaan suatu keluaran yang dirasakan langsung oleh masyarakat, berupa tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh publik.
6)   Impacts (dampak), didefenisikan sebagai ukuran tingkat pengaruh sosial, ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh pencapaian kinerja setiap indikator dalam suatu kegiatan.
Good Governance
Komarudin dan Yudo (2009:89) menyatakan peran pemerintah saat ini beralih dari “government” ke “governance”, dengan mengutamakan pelayanan prima kepada masyarakat. Dwiyanto (2004) saat dikukuhkan menjadi guru besar ilmu sosial dan politik Universitas Gadja Mada menjelaskan bahwa governance lokus utamanya bukan lagi birokrasi pemerintah seperti government tetapi telah bergeser lebih luas pengertiannya. Governace dapat dipahami sebagai pergeseran yang meluas dalam pembagian peran dan pengambilan kebijakan. Pemerintah membagi atau mengurangi perannya untuk melaksanakan kebijakan publik yang lebih baik dan merata. Terdapat beberapa hal yang mendasari peran pemerintah beralih dari government ke governance.
Fibiona dan Purba (2012) menjelaskan bahwa peralihan ini terjadi karena perbedaan government dengan governance yang dapat dilihat dari dimensi aktor, fungsi, struktur, konvensi dari interaksi dan distribusi dari kekuasaan. Kemudian dijelaskan Kurniawan (2007:14-16) bahwa perbedaan tersebut dapat dilihat dari dimensi aktor dimana government memiliki partisan yang sangat terbatas, yaitu umumnya diisi oleh lembaga pememrintah, sedangkan governance jumlah pesertanya sangat besar meliputi aktor publik dan aktor privat. Ditinjau dari dimensi fungsi, government jarang mengadakan konsultasi dengan pihak swasta ataupun civil society, sedangkan governance lebih banyak melakukan konsultasi, memperbesar kemungkinan kerjasama sehingga isu kebijakan yang dihasilkan lebih sempit. Ditinjau dari dimensi struktur, government lebih bersifat tertutup dan tidak sukarela, tidak dapat melibatkan civil society organization (CSO) dan swasta/privat dalam membentuk struktur keorganisasiannya. Ini berbeda dengan prinsip governance yang lebih terbuka dalam struktur keorganisasian dan bersifat sukarela. Governance melibatkan seluruh aktor baik publik maupun privat dalam membentuk struktur sehingga dapat menempatkan pengaturan kebijakan sesuai kebutuhan fungsionalitasnya. Demikian juga, governance ditinjau dari dimensi konvensi interaksi memiliki ciri konsultasi yang sifatnya horizontal dengan pola hubungan yang kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan. Government justru sebaliknya, hirarki kewenangan bersifat konflik dan penuh dengan kerahasiaan, termasuk pola pembentukan mindset. Jika dilihat dari dimensi distribusi kekuasaan, governance memiliki ciri dominasi negara sangat rendah dan lebih mempertimbangkan kepentingan masyarakat (publicness) dalam pengaturan kebijakan dan adanya keseimbangan antara aktor. Sedangkan dalam government justru dominasi negara sangat kuat dan tidak ada keseimbangan yang terjadi diantara aktor.
Dengan demikian dapat dikatakan perbedaan konsep government dan governance terletak pada bagaimmana cara penyelenggaraan otoritas ekonomi, politik dan administratif. Goverment lebih dominan peranan lembaga negara sedangkan governance mengandung makna distribusi kekuasaan dan mengelolah sumber daya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
Menurut Leach & Percy-Smith (2001) dikutip Chapter (2014) menyatakan bahwa government mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah penerima yang pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan “yang diperintah” karena kita semua adalah bagian dari proses governance. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mudahnya, dapat kita bilang bahwa governance merupakah seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan/kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Karenanya, analisis mengenai governance kemudian berfokus pada aktor-aktor dan struktur atau sistem, baik formal maupun informal, yang terlibat dalam proses pembuatan dan pengimplementasian sebuah keputusan. Pemerintah hanyalah salah satu aktor tersebut, sementara aktor-aktor lain diluar pemerintah dan militer biasa dikelompokkan sebagai bagian dari civil society. Demikian juga, struktur formal pengambilan keputusan yang dimiliki pemerintah (rapat kabinet, sidang paripurna, dialog dengan warga, dsb.) hanya merupakan salah satu struktur yang mempengaruhi pengambilan dan pengimplementasian keputusan, sementara diluarnya mungkin banyak terdapat struktur-struktur informal (adat istiadat, mafia, KKN, dsb.) yang dapat mempengaruhi pelaksanaan maupun individu-individu dalam struktur formal tadi.
Tinjauan para ahli di atas didasarkan dari pemunculan istilah good governance sekitar tahun 1980-an dalam diskusi-diskusi bertajuk pembangunan. Tangklisan (2005:115) dan Wrihatnolo dan Riant (2007:125) mengemukakan bahwa good governance ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:
1.    Participation (partisipasi), yaitu setiap warga memiliki suara dalam pembuatan keputusan secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mempresentasikan kepentingannya.
2.    Rule of Law/fairness (penerapan hukum), yaitu adanya kepastian hukum tanpa pandang bulu, terutama menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM).
3.    Transparency (transparansi), dibangun di atas kebebasan informasi.
4.    Responsiveness (responsif), setiap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus melayani stakeholders.
5.    Consensus Orientation (orientasi), dimana good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepenntingan yang lebih luas.
6.    Equity (keadilan), dimana publik memiliki kesempatan untuk menjaga kesejahteraan.
7.    Effectiveness and efficiency (efektif dan efisien), dimana proses  lembaga menghasilkan produk sesuai dengan yang digariskan dan menggunakan sumber daya yang dimiliki dengan efisien dan efektif.
8.    Accountability (akuntabilitas), dimana pembuat kebijakan/keputusan baik pemerintah, swasta maupun civil society atau civil social organization harus bertanggungjawab pada publik dan stakeholders.
9.    Strategic Vision (strategi vision), dimana para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
10. Saling keterkaitan, dimana keseluruhan ciri good governance tersebut di atas adalah saling memperkuat dan saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Misalnya, informasi semakin mudah diakses berarti transparansi semakin baik, tingkat partisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin efektif. Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi kepada dua hal, yaitu terhadap pertukaran informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan dan memperkuat keabsahan atau legitimasi atas berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong efektivitas pelaksanaannya. Kelembagaan yang responsif harus transparan dan berfungsi sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku agar berfungsinya itu dapat bernilai dan berkeadilan.
Prinsip-prinsip good governance tersebut mencirikan bahwa suatu negara dalam implementasi kebijakan maupun prinsip-prinsip administrasi negara  telah menjadi administrasi publik (public governance). Hal ini ditandai dengan adanya prinsip good governance yang didasarkan atas kelembagaan yang multistakeholder (melibatkan negara, swasta, dan masyarakat), penggunaan kekuasaan yang demokratis (sebagai konsekuensi adanya multistakeholder), dan mengutamakan proses dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan (Dwiyanto: 2004).
Literatur lain menyebutkan bahwa istilah good governance berasal dari bahasa latin gubernare yang diadopsi menjadi bahasa Inggris govern yang berarti steer (menyetir, mengendalikan), direct (mengarahkan), atau rule (memerintah). Dalam bahasa Inggris sering digunakan istilah to rule with authority (memerintah dengan kewenangan). Governance pertama kali digunakan di dunia usaha/korporat. Setelah perang dunia II, good governance makin berkembang. Good Governance dianggap sebagai suatu bentuk manajemen pembangunan yang dapat juga disebut administrasi pembangunan dimana menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi agent of change dari suatu masyarakat berkembang/developing di dalam negara berkembang. Agent of change karena perubahan yang dikehendakinya menjadi planned change (perubahan yang berencana) maka disebut juga agent of development yang diartikan sebagai pendorong proses pembangunan dan perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyek-proyek, dan peran perencanaan dalam anggaran (Chapter, 2013).
Adanya good governance, lembaga-lembaga negara seakan mengalami transformasi paradigm yang kesemuanya dimaksudkan untuk membangun peradaban suatu bangsa. Transformasi paradigm ini meliputi beberapa aspek, diantaranya: perubahan paradigma manajemen pemerintahan dari orientasi yang serba negara ke orientasi yang serba pasar (market or public interest); perubahan paradigma dari orientasi pemerintahan yang kuat, besar dan otoritarian ke orientasi pemerintahan yang small and less government, egalitarian dan demokratis; dan perubahan paradigm sistem pemerintahan dari yang sentralistis dalam pengelolaan pemerintahan menjadi desentralisasi dalam pengelolaan pemerintahan (Bappenas, 2007).
Sementara itu sering dijumpai kerancuan dalam pemahaman tentang pembedaan konsep dan arti dari government dan governance. Konsep governance lebih inklusif daripada konsep government. Konsep government hanya menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan pemerintahan berdasarkan kewenangan tertinggi. Sementara konsep governance melibatkan tidak sekedar pemerintah dan negara, tetapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara sehingga pihak yang terlibat juga sangat luas (Bappenas, 2007).
Secara umum, istilah government lebih mudah dipahami sebagai pemerintah yaitu lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggungjawab untuk mengurus negara dan menjalankan kehendak rakyat. Sementara governance adalah merupakan seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan/kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Atau dengan kata lain governance merupakan kumpulan dari berbagai cara yang diterapkan oleh individu warga negara dan para lembaga baik pemerintah maupun swasta dalam menangani kepentingan-kepentingan umum mereka. Hal ini merupakan sebuah proses yang berkesinambungan dimana segala jenis kepentingan maupun kebutuhan dapat diakomodasikan dan tindakan korektif diterapkan. Termasuk di dalamnya lembaga dan regim formal yang dikuasakan untuk menegakkan kepatuhan, maupun pengaturan secara informal sehingga masyarakat dan lembaga memiliki kesepakatan atau kesamaan kepentingan (UN Commission on Human Settlements, 1996). Sehubungan dengan hal tersebut, Mustopadidjaja (2003) mempertegas konsep governance sebagai kepemerintahan, pengelolaan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, penyelenggaraan negara, dan administrasi negara.
United Nations Development Programme (1997:9) mengartikan governance is defined as the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affairs (kepemerintahan diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk memanage urusan-urusan dari suatu bangsa). Lebih lanjut dijelaskan, it is the complex mechanism, process, relationships and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their rights and obligations and mediate their differences (kepemerintahan adalah suatu institusi, mekanisme, proses, dan hubungan yang komplek melalui warga negara dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya, melaksanakan hak dan kewajibannya dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan diantara mereka.
Konsep governance yang dikemukakan UNDP diterjemahkan LAN (2005:5) menjadi tiga kaki, yaitu economic, politic, and administrative. Economic Governance[2] mencakup proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi langsung atau tidak langsung aktivitas ekonomi negara atau berhubungan dengan ekonomi lainnya. Oleh karena itu, economic governance memiliki pengaruh implikasi terhadap equity, poverty, and quality of life. Political governance[3] merujuk pada proses pembuatan keputusan dan implementasi kebijakan suatu negara yang legitimate dan otoritatif. Oleh karena itu negara seharusnya terdiri dari tiga cabang pemerintahan yaitu eksekutif, legislative, dan judikatif yang mewakili kepentingan politik pluralis dan membolehkan setiap warga negara memilih secara bebas wakil-wakil mereka. Sedangkan untuk administrative Governance[4] adalah sistem implementasi kebijakan yang melaksanakan sektor publik secara efisien, tidak memihak, akuntabel dan terbuka.
Chapter (2015:89) menjelaskan bahwa dalam suatu negara modern, ketiga elemen tersebut di atas melaksanakan sistem kepemerintahan (the governance system) mencakup struktur kewenangan pembuatan keputusan (decision mmaking), institusi dan organisasi formal. Sedangkan unsur utama yang dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik terdiri dari tiga yaitu the state (negara), the private sector (swasta), dan civil society organization (masyarakat). Hubungan ketiganya harus dalam posisi yang seimbang dan saling kontrol (checks and balances) untuk menghindari penguasaan atau ekploitasi oleh satu komponen terhadap komponen lainnya. Bila salah satu komponen lebih tinggi daripada yang lain, yang terjadi adalah dominasi kekuasaan atas dua komponen lainnya. Upaya untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran ketiga pilar (pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat) karena ketiganya mempunyai peran masing-masing. Pemerintah (legislative, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain dalam governance. Dunia usaha swasta berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pendapatan, sementara masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan politik. Ketiga unsur tersebut dalam memainkan perannya masing-masing harus sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tata kepemerintahan yang baik.
Chapter (2013:59-60) menyatakan bahwa agenda penciptaan tata kepemerintahan yang baik setidaknya memiliki 5 (lima) sasaran, yaitu:
1.    Berkurangnya secara nyata praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di birokrasi yang dimulai dari jajaran pejabat yang paling atas.
2.    Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah yang efisien, efektif, dan profesional transparan dan akuntabel.
3.    Terhapusnya peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara.
4.    Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.
5.    Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah.
Wahab (2002:34) mengutip terminologi good governance yang dikemukakan Bank Dunia, dimana good governance dianggap suatu konsep dalam penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan investasi yang langka dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Bank Dunia juga menyebut good governance sebagai hubungan sinergis kostruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat.
Mardiasmo (2005:114) mengemukakan bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance, dimana pengertian dasarnya adalah pemerintahan yang baik. Kondisi ini berupaya untuk menciptakan suatu penyelenggaraan pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan dengan prinsip demokrasi, efisiensi, pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administrasi. Selain Bank Dunia, UNDP dalam dokumen kebijakannya menyebut tata pemerintahan mencapai good governance dilakukakan dengan penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelolah urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka. Dengan demikian jelas good governance adalah masalah perimbangan diantara negara, pasar dan masyarakat.
Chapter (2013:4) menyimpulkan defenisi good governance sebagai suatu konsep tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan penggunaan otoritas politik dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya demi pembangunan masyarakat yang solid dan bertanggungjawab secara efektif melalui pembuatan peraturan dan kebijakan yang abash dan yang merujuk pada kesejahteraan rakyat, pengambilan keputusan, serta tata laksana pelaksanaan kebijakan. Chapter mempertegas defenisi yang dikemukakan O’Brien dalam Nugroho (2005:142) yang mendefenisi good governance sebagai penjumlahan dari cara-cara dimana individu-individu dan institusi-institusi baik privat maupun publik mengelolah urusan-urusan bersamanya.
Fibiona dan Purba (2012) menjelaskan bahwa mewujudkan administrasi publik sebagai good governance salah satu yang menjadi indikator adalah kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud terdiri atas 3 (tiga) aktor, yaitu: negara, swasta, dan masyarakat. Interaksi atau hubungan diantara ketiga kelembagaan ini menjadi kekuatan untuk mengambil kebijakan. Interaksi atau hubungan ini dapat dimaksudkan sebagai pembagian peran. Peran swasta menjadi penting karena negara tidak bisa seluruhnya melaksanakan suatu kebijakan. Dalam hal tertentu dapat diserahkan pemerintah kepada swasta, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perusahaan, dan lain sebagainya. Keberadaan masyarakat juga menjadi penting dalam keberlanjutan dan keberhasilan kebijakan yang dimaksud. Demikian juga yang dimaksudkan dengan penggunaan kekuasaan tentunya haruslah demokrasi. Demokrasi karena interaksi dari multistakeholder seperti yang disebutkan. Artinya, kekuasaan tidak lagi didominasi oleh satu saja, hal ini tampak dalam penyebaran kekuasaan yang tidak tersentralisasi. Sama hal-nya dalam proses perumusan kebijakan sebagai public  governance. Proses perumusan kebijakan menjadi pembahasan yang sangat luas mengingat menyinggung banyak aspek yang harus diperhatikan. Untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua peran, baik itu peran sebagai warga negara biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin badan legislatif, aktivis partai, pemimpin partai, hakim, pegawai sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha.
Untuk itu maka tentunya masing-mmasing institusi/lembaga negara harus secara serempak menerapkan dan menegakkan good governance. Hal ini dapat efektif tercapai melalui administrasi publik/birokrasi yang mampu menjalankan peran, tugasm dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggungjawab yang dilaksanankan secara efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh mmasyarakt dan warga negara. Sama halnya pada sektor privat maka penerapan dan penegakan prinsip-prinsip good governance pada sektor publik menjadi prasyarat mutlak pula dalam mewujudkan good governance and clean government.
Konsep Akuntabilitas
Akuntabilitas dapat didefenisikan sebagai tanggungjawab individu atau bagian/departemen terhadap kinerja suatu fungsi tertentu. Akuntabilitas dapat ditetapkan atau diformulasikan melalui aturan hukum atau perjanjian tertentu (Darwanis dan Chairunnisa, 2013:158). Mardiasmo (2000) mendefenisikan akuntabilitas sebagai hubungan antara pihak yang memegang kendali dan mengatur entitas dengan pihak yang memiliki kekuatan formal atas pihak pengendali tersebut. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, akuntabilitas pemerintah tidak dapat diketahui tanpa pemerintah memberitahukan kepada rakyat tentang informasi sehubungan dengan pengumpulan sumber daya dan sumber dana masyarakat beserta penggunaannya.
American Accounting Association disitir Mardiasmo (2000) menyebutkan bahwa akuntabilitas dapat ditinjau dari 4 (empat) sudut perpektif akuntansi, yaitu: sumber daya finansial; kepatuhan terhadap hukum dan kebijaksanaan administratif; efisiensi dan ekonomisnya suatu kegiatan; dan hasil program dan kegiatan pemerintah yang tercemin dalam pencapaian tujuan, manfaat dan efektivitas.
Sedangkan jika diorientasikan pada sistem pencapaian karakter pokok akuntabilitas maka akuntabilitas berfokus pada hasil; menggunakan beberapa indikator yang telah dipilih untuk pengukuran kinerja; menghasilkan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan atas suatu program atau kebijakan; menghasilkan data secara konsisten dari waktu ke waktu; dan melaporkan hasil dan mempublikasikannya secara teratur (Mardiasmo, 2006).
Oleh karena itu kewajiban akuntabilitas publik oleh organisasi sektor publik maka perlu dilakukan pada setiap dimensi baik akuntabilitas kejujuran dan hukum; akuntabilitas proses; akuntabilitas program; dan akuntabilitas kebijakan. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan dan terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang diisyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik. Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, dan sistem informasi manajemen, dan prosedur administrasi. Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan alternative program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas (Mardiasmo, 2005:21).
Oleh Karena itu, akuntabilitas kinerja lembaga negara dapat didefenisikan sebagai perwujudan kewajiban suatu lembaga negara untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan/atau kegagalan pelaksanaan peran dan tugas organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan, digariskan, dan atau ditetapkan melalui suatu mekanisme pertanggungjawaban dalam waktu tertentu, baik dalam bentuk pelaporan maupun hasil dari aktivitas yang dilakukan. Bentuk akuntabilitas kinerja lembaga ini juga akan menjadi alat dan bahan yang dinilai oleh otoritas publik tertentu seperti badan pengawasan, dan juga memungkinkan masyarakat untuk menilai pertanggungjawaban jika terkait pertanggungjawaban pemerintah atas semua aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah.
Menurut LAN (2003:5) dalam akuntabilitas kinerja sebagai bentuk pertanggugjawaban kinerja melalui pelaporan, maka perlu diperhatikan syarat-syarat penyusunannya dengan memperhatikan hal-hal yang harus dipenuhi sebagai berikut:
1)   Beranjak dari sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber daya yang konsisten dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara.
2)   Komitmen pimpinan dan seluruh pendukungnya (staf) yang bersangkutan.
3)   Menunjukkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.
4)   Berorientasi pada pencapaian visi-misi serta hasil dari manfaat yang diperoleh.
5)   Jujur, objektif, transparan, dan akurat.
6)   Menyajikan keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian sasaran yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, dalam pertanggungjawaban (akuntabilitas) dari kinerja lembaga negara menurut LAN (2003:7), maka prinsip-prinsip ini perlu dilakukan oleh aktor lembaga negara, berupa:
1)   Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi pemerintah yang bersangkutan.
2)   Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang berlaku.
3)   Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
4)   Harus berorientasi pada pencapaian visi-misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh.
5)   Harus jujur, objektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen lembaga negara dalam bentuk pemutakhiran metode dan pengukuran kinerja dan penyusunan laporan akuntabilitas.
Transparansi
Mardiasmo (2005:30) mendefinisikan transparansi sebagai keterbukaan (opennes) pemerintah dalam meberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi jenis lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Sedangkan Rahmanurrasjid (2008:80) menyatakan bahwa transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah dan rakyatnya sehingga tercipta pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsive terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Sedangkan Rahman (2000:151) mendefenisikan transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan baik informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau publik. Transparansi terkait erat juga dengan keterbukaan informasi sehingga diharapkan akan menghasilkan kompetitif politik sehat, toleran, dan kebijakan yang dihasilkan berdasarkan preferensi publik. Terkait dengan transparansi yang dikemukakan sebelumnya sesuai dengan intisari dari Bappenas dan Depdagri (2002:18) yang mendefenisikan transparansi sebagai prinsip yang menjamin akses dan kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai.
Transparansi pula memiliki peran dalam penyelenggaraan negara sebagai wujud pertanggungjawaban penyelenggara kepada rakyat. Selain itu, transparansi memiliki daya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (Rahmanurrasjid, 2008:85). Terkait dengan hal tersebut, beberapa literatur menyebutkan transparansi penyelenggaraan lembaga negara dapat dilakukan dengan: memublikasi dan sosialisasi kebijakan-kebijakan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan; memublikasi dan mensosialisasikan regulasi yang dikeluarkan terkait dengan aturan dan penyelenggaraan peran pemerintah; transparansi dalam penawaran dan penetapan program maupun pendanaan proyek terhadap pihak ketiga; dan transparansi memberi kesempatan masyarakat untuk mengakses informasi yang jujur, benar dan tidak diskriminatif dari lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Transparansi juga dibutuhkan saat penyusunan peraturan dan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, hendaknya masyarakat sebagai stakeholders dilibatkan secara proporsional. ini dilakukan untuk memberi prinsip akuntabel terhadao aspirasi masyarakat. Max Pohan dalam artikel yang dikutip Rahmanurrasjid (2008) menyebutkan transparansi sebagai pembuka akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait, seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah dengan biaya yang minimal. Informasi yang tersedia baik sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya harus andal (reliable) dan berkala harus tersedia untuk diakses publik (umumnya melalui internet maupun media massa yang difilter dalam informasi bertanggungjawab). Artinya, transparansi dibangun di atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau. Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab,  penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
Demikian juga ditulis Rahmanurrasjid (2008:87-89) bahwa dalam implementasi transparansi oleh lembaga negara seringkali terjebak dalam “paradigma produksi” dalam hal penyebarluasan informasi ini, seakan-akan transparansi sudah dilaksanakan dengan mencetak leaflet suatu program dan menyebarluaskannya ke setiap akses publik, atau memasang iklan di surat kabar yang tidak dapat dibaca oleh sebagian komponen masyarakat. Pola pikir ini perlu berubah menjadi “paradigma pemasaran”, yaitu bagaimana masyarakat menerima informasi dan memahaminya. Untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan transparansi dalam mendukung good governance maka perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu:
1.    Kondisi masyarakat yang apatis terhadap program-program pembangunan selama ini membutuhkan adanya upaya-upaya khusus untuk mendorong keingintahuan mereka terhadap data/informasi ini. untuk itu, dibutuhkan adanya penyebarluasan (diseminasi) informasi secara aktif kepada seluruh komponen masyarakat, tidak bisa hanya dengan membuka akses masyarakat terhadap informasi belaka.
2.    Pemilihan media yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi dan substansi/materi informasi yang disebarluaskan sangat bergantung pada segmen sasaran yang dituju. Informasi yang dibutuhkan publik awam sangat berbeda dengan yang dibutuhkan oleh organisasi nonpemerintah, akademisi, dan anggota DPR maupun DPRD. Selain itu, khusus daerah-daerah seringkali cara-cara dan media yang sesuai dengan budaya lokal jauh lebih efektif dalam mencapai sasaran daripada “media modern” seperti televisi dan surat kabar.
3.    Seringkali berbagai unsur nonpemerintah seperti pers, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, menjadi lebih efektif untuk menyebarluaskan informasi daripada dilakukan pemerintah sendiri. Untuk itu, penginformasian kepada berbagai komponen strategis ini menjadi sangat penting.
Penciptaan Good Governance  Melalui Akuntabilitas dan Transparansi Kinerja Lembaga Negara
Beberapa cara untuk mendorong akuntabilitas dan transparansi kinerja lembaga negara dapat dilakukan melalui memperkuat basis penunjang instrument kinerja lembaga negara, memperkuat anggaran berbasis kinerja dan pengawasan penggunaan anggaran berbasis kinerja. Anggaran menjadi perhatian tersendiri karena anggaran sangat rawan untuk dikorupsi untuk kepentingan tertentu yang diikuti dengan tindakan nepotisme dan kolusi. Di samping itu, lembaga negara perlu diawasi pelaksanaan dan implementasi dalam setiap aktivitas yang dilakukan.
1)   Memperkuat Basis Penunjang Instrumen Kinerja Lembaga Negara.
Keberhasilan penciptaan good governance sangat terikat dengan pengaruh dan prosedur dari capaian dan target yang ingin dicapai. Pelaksanaannya dilakukan oleh aktor-aktor lembaga negara. Namun di sisi lain, aktor-aktor lembaga negara ini perlu diatur agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan, sehingga perlu diperkuat dengan basis penunjang instrument kinerja lembaga negara. Instrumen juga dapat menunjang penyelenggaraan kepentingan umum.
Secara garis besar, Stelinga dalam Atmosudirjo (1983:213) menjelaskan administrasi negara atau lembaga negara mempunyai kewenangan antara lain: melakukan penetapan kebijakan; melakukan pengaturan/regeling; melakukan pengamanan; melakukan peradilan; dan melakukan pelayanan kepada warga negara. Sementara Brown dalam Nugraha (2007:83), kegiatan kepentingan umum adalah dilakukan dengan melakukan layanan publik yang merupakan kegiatan yang menggunakan: kewenangan publik; dan dilakukan untuk memenuhi kepuasan kebutuhan publik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa otoritas publik yang melakukan hal tersebut harus memenuhi prinsip-prinsip antara lain jujur atau tidak memihak, integritas, objektif, seleksi dan promosi, dan akuntabilitas.
Berdasarkan hal di atas, maka Chapter (2015:6) menyimpulkan bahwa yang dikerjakan dan dijalankan oleh aktor dan atau aparatur lembaga negara adalah pelaksanaan hak, kewajiban, dan tanggungjawab (akuntabilitas) disertai transparasi untuk menjawab kepentingan umum dalam pencapaian good governance. Hak aparatur lembaga negara itu antara lain: melaksanakan kewenangannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; membuat kebijakan sesuai dengan ruang lingkup dan kewenangan yang dimilikinya; dan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kewajiban yang harus dijalankan oleh seorang aparatur/aktor lembaga negara adalah: aktor lembaga negara wajib taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku; wajib membuat suatu kebijakan terhadap suatu hal walaupun tidak ada peraturan yang mengaturnya; aparatur lembaga negara dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan susunan pembagian tugas (job-description); seorang aparatur wajib melaksanakan prinsip-prinsip organisasi; seorang aparatur pun wajib melaksanakan azas-azas umum pemerintahan yang baik (good governance).
Pengaturan kinerja menjadi penting melalui standar profesional maupun aturan lain karena melaksanakan good governance oleh aktor lembaga negara memiliki tugas, wewenang dan tanggungjawabnya. Selain itu, perlu diatur juga adanya sarana dan hukuman.
2)   Perkuat Anggaran Berbasis Kinerja Lembaga Negara.
Sancoko dkk. (2008) mendefenisikan prinsip anggaran berbasis kinerja merupakan anggaran yang menghubungkan anggaran negara (pengeluaran negara) dengan hasil yang diinginkan (output and outcome) sehingga setiap rupiah yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatannya. Dengan adanya penciptaan anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) maka dominasi lembaga negara akan mudah terawasi dan terkendali penggunaannya, baik dalam bentuk internal cost awareness (sadar menggunakan uang), audit keuangan dan audit kinerja, serta evaluasi kinerja eksternal. Dengan kata lain lembaga negara dipaksa untuk bertidak berdasarkan cost minded (sesuai kebutuhan) dan harus efisien (Mardiasmo, 2005:84). Artinya, selain ekonomis dan efisien, lembaga negara juga dituntut untuk mencapai tujuan yang telah disepakati, digariskan, dan ditetapkan.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan/target kinerja sangat diperlukan adanya tolak ukur dan program sebagai standar kinerja (Darwanis dan Charunnisa, 2013). Sancoko dkk. (2008) menjelaskan hal-hal terkait dengan elemen-elemen anggaran berbasis kinerja (performances based budgeting) yang harus menjadi dasar terdahulu, yaitu:
a)    Visi-Misi yang ingin dicapai. Visi mengacu kepada hal yang ingin dicapai oleh lembaga negara dalam jangka panjang sedangkan misi adalah kerangka yang menggambarkan bagaimana visi akan dicapai.
b)   Tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi dan misi. Tujuan tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang menunjukkan tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam rangka mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.
c)    Sasaran yang menggambarkan langkah-langkah yang spesifik untuk mencapai tujuan. Sasaran akan membantu penyusunan anggaran untuk mencapai tujuan dengan menetapkan target tertentu dan terukur. Kriteria sasaran yang baik adalah dilakukan dengan menggunakan kriteria spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan ada batasan waktu atau SMART (specific, measureable, achieveable, relevant, and timely) dan yang tidak kalah penting bahwa sasaran tersebut harus mendukung tujuan.
d)   Program yang menggambarkan sekumpulan kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai bagian dari usaha untuk mencapai serangkaian tujuan dan sasaran.
e)    Kegiatan yang menggambarkan serangkaian pelayanan yang mempunyai maksud menghasilkan output (keluaran) and outcome (hasil) yang penting untuk pencapaian program. Kegiatan yang baik kriterianya adalah harus dapat mendukung pencapaian program.
Anggaran menjadi penting perannya dalam mendukung terlaksananya kinerja untuk mencapai sasaran-sasaran dari suatu indikator keberhasilan. Ada beberapa fungsi yang melatarbelakangi fungsi anggaran dalam mencapai keberhasilan utama di sektor publik menurut Mardiasmo (2005: 63), yakni:
a)    Anggaran sebagai alat perencanaan. Artinya, anggaran merupakan alat perencanaan manajemen untuk mencapai tujuan organisasi. Anggaran sektor publik dibuat untuk merencanakan tindakan apa yang akan dilakukan oleh lembaga negara, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja tersebut.
b)   Anggaran sebagau alat pengendalian. Artinya, anggaran memberikan rencana detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Tanpa anggaran, lembaga negara tidak dapat mengendalikan pemborosan-pemborosan pengeluaran. Anggaran publik juga digunakan untuk mengendalikan (membatasi kekuasaan).
c)    Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal (khususnya pemerintah). Anggaran dapat digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui anggaran sektor publik tersebut dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah sehingga dapat dilakukan prediksi-prediksi dan estimasi ekonomi. Anggaran dapat digunakan untuk mendorong, memfasilitasi, dan mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
d)   Anggaran sebagai alat politik. Annggaran digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Untuk sektor publik, anggaran merupakan dokumen politik sebagai bentuk komitmen dan kesepakatan antara eksekutif dengan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu.
e)    Anggaran sebagai alat koordinasi dan komunikasi. Anggaran publik merupakan alat kooordinasi antar bagian dalam lembaga negara. Anggaran publik yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Di samping itu, anggaran publik jua berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja dalam lingkungan masing-masing triaspolitika. Anggaran harus dikomunikasikan ke seluruh bagian organisasi untuk dilaksanakan.
f)     Anggaran sebagai alat penilaian kinerja. Anggaran merupakan wujud komitmen dari budget holder (eksekutif) kepada pemberi wewenang (legislatif). Kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggara. Anggaran merupakan alat yang efektif untuk pengendalian dan penilaian kinerja.
g)   Anggaran sebagai alat motivasi. Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi manajer dan stafnya agar berkerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Target anggaran hendaknya jangan terlalu tinggi sehingga tidak dapat dipenuhi, namun juga jangan terlalu rendah sehingga mudah untuk dicapai.
h)   Anggaran sebagai alat untuk menciptakan ruang publik. Anggaran publik tidak boleh diabaikan oleh kabinet, birokrat, dan DPR/DPRD. Kelompok masyarakat yang terorganisir akan mencoba mempengaruhi anggaran pemerintah untuk kepentingan mereka. Kelompok lain dari masyarakat yang kurang terorganisasi akan mempercayakan aspirasinya melalui proses politik yang ada. Kelompok lain yang tidak berdaya akan dengan mudah dan tidak berdaya mengikuti tindakan pemerintah. Jika tidak ada alat menyampaikan suara mereka maka mereka akan mengambil tindakan lain seperti dengan tindakan massa dan melakukan boikot.
Kenis dalam Darwanis dan Chairunnisa (2013) menyebutkan bahwa kejelasan sasaran anggaran merupakan sejauh mana tujuan anggaran ditetapkan secara jelas dan spesifik dengan tujuan agar anggaran dapat dimengerti oleh orang yang bertanggungjawab atas pencapaian sasaran anggaran tersebut. Oleh sebab itu, anggaran berbasis kinerja dimaksudkan untuk mencapai sasaran yang jelas, spesifik, dan mudah diketahui oleh mereka yang bertanggungjawab untuk diupayakan se-maksimal mungkin mencapai sasaran sebagai bentuk transparansi lembaga.
Bentuk dari akuntabilitas dan transparansi dari kinerja suatu lembaga negara umumnya dalam bentuk pelaporan, hal demikian juga termasuk pelaporan kinerja berbasis anggaran. Halim (2002:159) menyatakan bahwa tujuan dari laporan keuangan pemerintah adalah untuk memberikan informasi keuangan terhadap :
a.    Akuntabilitas, yaitu pertanggungjawaban atas pengelolaan sumberdaya-sumberdaya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada unit organisasi negara dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui laporan keuangan lembaga negara secara periodik.
b.    Manajerial, yaitu menyediakan informasi keuangan yang berguna untuk perencanaan dan pengelolaan keuangan lembaga negara serta memudahkan pengendalian yang efektif atas seluruh aset, hutang, dan ekuitas dana.
c.    Transparansi, yaitu menyediakan informasi keuangan yang terbuka bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan good governance yang baik.
Halim (2002:160) juga memaparkan terdapat empat karakteristik kualitatif pokok dari suatu laporan keuangan yaitu sebagai berikut :
1.    Dapat Dipahami. Informasi keuangan yang dapat dipahami adalah informasi yang disajikan dalam bentuk dan bahasa teknis yang sesuai dengan tingkat pengertian penggunanya. Dalam konteks ini, para pihak pengguna sendiri dituntut untuk memiliki tingkat pengetahuan tertentu mengenai akuntansi dan informasi keuangan yang dikandungnya. Dengan demikian sama sekali tidak berarti bahwa informasi akuntansi harus dapat dimengerti oleh setiap orang.
2.    Relevan. Penyajian informasi keuangan harus berpautan dengan tujuan pemanfaatannya. Informasi yang tidak berpautan dengan pemanfaatannya adalah tidak relevan dan tidak ada gunanya. Berhubung laporan keuangan disusun untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak yang yang memiliki rupa-rupa tujuan, maka upaya penyajian informasi yang relevan lebih difokuskan kepada kepentingan umum pengguna.
3.    Andal. Agar bermanfaat, informasi harus andal. Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan yang material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang tulus atau jujur dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan. Jujur dalam pengertian ini bahwa informasi harus menggambarkan dengan jujur transaksi atau peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan. Disamping itu tidak memihak atau netral yang artinya harus diarahkan pada kebutuhan umum dan tidak bergantung pada kebutuhan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha untuk menyajikan informasi yang menguntungkan pihak tertentu yang akan merugikan pihak lain.
4.    Dapat Diperbandingkan. Informasi akuntansi harus dapat diperbandingkan dengan informasi akuntansi periode sebelumnya pada unit kerja atau organisasi yang sama ataupun dengan unit kerja atau organisasi yang sejenis lainnya pada periode waktu yang sama. Agar bisa diperbandingkan, maka lembaga negara harus konsisten dalam menerapkan prinsip akuntansi dari tahun ke tahun. Namun demikian tidak membatasi institusi negara untuk mengubah metode akuntansi yang selama ini digunakan, bila ada metode akuntansi yang lebih baik maka bisa saja merubahnya. Hanya dalam hal ini alasan perubahan metode tersebut harus diungkapkan dalam laporan keuangan pada periode terjadinya perubahan tersebut.
3)  Lembaga Negara perlu diawasi.
Secara umum yang dimaksud dengan pengawasan adalah segala kegiatan/aktivitas dan tindakan dat/atau aksi untuk menjamin agar penyelenggaraan suatu kegiatan tidak menyimpang dari tujuan serta rencana yang telah digariskan atau ditetapkan (Darwanis dan Chairunnisa, 2013:153). Hal ini mempertegas yang dinyatakan Mardiasmo (2001) bahwa pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak di luar ekesekutif yaitu masyarakat dan legislative untuk mengawasi kinerja pemerintah. Pengawasan juga sangat diperlukan untuk mengetahui apakah perencanaan yang telah disusun dapat berjalan secara efisien, efektif dan ekonomis (Corynata, 2007). Dengan demikian pengawasan merupakan bentuk aktivitas dan aksi personal atau bentukan yang dilakukan untuk memastikan apakah sesuatu tujuan dan harapan yang telah ditetapkan dapat terlaksana dengan tepat guna dan tepat sasaran melalui kegiatan monitoring dan evaluasi.
Baswir (2000:121) menyebutkan bahwa pengawasan dapat dilakukan atas 2 (dua) ruang lingkup yaitu pengawasan secara internal dan eksternal. Pengawasan internal merupakan pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dari lingkungan internal organisasi pemerintah. Pengawasan internal dalam arti sempit adalah pengawasan yang berasal dari lingkungan internal departemen atau Lembaga Negara yang diawasinya. Sedangkan pengawasan internal dalam arti luas adalah pengawasan internal internal yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dari lembaga khusus pengawasan yang dibentuk secara internal oleh pemerintah atau lembaga eksekutif.  Sedangkan pengawasan ekternal merupakan suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh suatu unit pengawasan yang sama sekali berasal dari luar lingkungan organisasi eksekutif. Dengan demikian dalam pengawasan eksternak ini antara pengawas dengan pihak yang diawasi tidak lagi terdapat hubungan kedinasan. Fungsi ini di Indoensia diselenggarakan oleh DPR, BPK, BPKP, dan secara langsung oleh masyarakat.
Berdasarkan tinjauan di atas maka dapat dipahami bahwa pengawasan terhadap atau diantara lembaga negara bertujuan agar kinerja yang dihasilkan dapat memenuhi karakteristik kualitatif, yaitu dapat membantu diantara lembaga negara untuk dapat mengambil keputusan yang akan berguna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengawasan yang multicontroling juga mampu menciptakan akuntabilitas dan transparansi. Hal ini dapat ditemukan dalam kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau penjelasan kinerja seseorang dari apa yang telah dilakukannya. Jika ditinjau dari konteks administrasi negara, akuntabilitas menghendaki birokrasi dapat menjelaskan secara transparan dan terbuka kepada publik mengenai tindak apa yang telah dilakukan. Tujuannya, untuk menjelaskan bagaimanakan pertanggungjawaban hendak dilaksanakan dan apa dampaknya. Dengan adanya penjelasan secara transparan dan terbuka, masyarakat (publik) menjadi tahun tentang apa yang telah dilakukan oleh lembaga negara, berapa besarnya anggaran yang digunakan, dan bagaimana tindakan itu (Chapter, 2015).
Tetapi dalam kenyataannya, meskipun lembaga negara mampu memenuhi dan mempertemukan tuntutan dan harapan publik dengan standar kerja (standart of performance) tertentu, tetap saja terdapat suatu ruang diskresi (pengambilan keputusan secara sepihak) yang cukup luas. Selain akan kurang memberikan kepuasan dalam penyediaan kebutuhan dan layanan publik, hal tersebut juga berpotensi terbukanya peluang penyalahgunaan kekuasaan atau praktek yang menyimpang/mal-administration[5]. Chapter (2015) menjelaskan bahwa mal-administrasi yang seringkali dilakukan selain korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), adalah juga inefisiensi dan tindakan yang kurang profesional serta cenderung melampaui kewenangannya. Meskipun begitu, aktor (pemerintah/eksekutif) dan politisi (legislative) berpeluang besar untuk menampik atau mengelak dari tanggungjawab tersebut, yang antara lain adalah dengan dalih ketidakjelasan instruksi atau belum mendapatkan instruksi sehingga mereka selayaknya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Selanjutnya ketidakmampuan birokrasi lembaga negara untuk mempertanggungjawabkan secara subjektif (responsible) maupun tanggungjawab secara objektif (accountable), dan responsifitas (responsiveness), menjadikan tidak saja kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik menjadi jelek, melainkan juga menjadikan masyarakat menjadi tidak puas dengan layanan yang diberikan dan tidak percaya dengan kinerja lembaga negara, meskipun lembaga negara tersebut legitimate.
Masalah kontrol (pengawasan) menjadi penting, bukan saja karena birokrasi publik dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya memiliki etika dan standar profesional, tapi juga perlu adanya sarana dan sanksi (punishment) untuk hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan, karena nilai-nilai etika dan standar profesional belum cukup memberikan hukuman, dan keterlibatan yang berlebihdan aktor lembaga negara dalam penyelenggaraan good governance tidak saja melaksanakan undang-undang, tetapi juga secara sadar membuat undang-undang dan bahkan membuat keputusan hukum.
Di samping itu, kontrol (pengawasan) bukanlah untuk mencari kesalahan, tetapi untuk menemukan penyimpangan atas pelaksanaan suatu pekerjaan sehingga dapat dilakukan tindakan korektif. Dengan adanya tindakan korektif maka kinerja yang dilakukan akan sesuai dengan rencana. Jika tidak terdapat kontrol maka hasil yang diharapkan sebagaimana yang ditentukan dalam perencanaan menjadi tidak terwujudkan. Tetapi Chapter (2013) menjelaskan bahwa kontrol juga tidak akan efektif jika tidak ada perencanaan karena harus ada kejelasan apa yang dijadikan standar untuk melakukan kontrol. Standar untuk melakukan kontrol adalah visi-misi, tujuan-sasaran, serta kebijakan yang telah dituangkan sebelumnya dalam suatu perencanaan strategis. Oleh karena itu, keberadaan perencanaan yang baik (strategic planning), pelaksanaan (implementation) yang sesuai, pengawasan yang ketat adalah kata kunci mencapai akuntabilitas untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).
Lebih lanjut dijelaskan Chapter bahwa selain kontrol internal juga terdapat kontrol eksternal, dimana terdapat berbagai strtaegi untuk melakukan kontrol eksternal tersebut baik dengan melibatkan peran serta masyarakat maupun dengan bantuan lembaga legislatif. Strategi pertama adalah dengan menekan aktor lembaga negara untuk berbagi informasi sehingga mereka harus terbuka (opennes) dan transparan (transparency). Selain itu, lembaga legislatif juga berwenang untuk meminta birokrasi melaporkan kinerka atau hasil kerja mereka secara berkala maupun sewaktu-waktu diperlukan, dan dimana perlu dapat menahan resources (anggaran) yang dibutuhkan oleh lembaga negara tersebut.
Selain kontrol administratif juga dikenal kontrol lainnya, seperti kontrol politis dan kontrol yuridis terhadap pemerintah. Kontrol politis adalah kewenangan parlemen, dan kontrol yuridis adalah kewenangan yudikatif, baik melalui peradilan administrative atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun pengadilan umum, sedangkan hal-hal lain dilakukan oleh masing-masing lembaga negara.
Penutup
Upaya dalam mewujudkan good governance, secara epistemologi hanya mampu diimplementasi dalam lima prinsip yang universal, yakni: responsibility, accountability, fairness, independency, and transparency.
Pasca amandemen UUD NRI 1945, lembaga negara hasil amandemen adalah BPK, DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, dan KY (8 lembaga negara). Menurut Soemantri (2006:24), yang dikatakan sebagai lembaga negara adalah lembaga yang tugas dan wewenangnya diatur dalam UUD.  Soemantri mempertegas pendapat Bintan R. Saragih (2004) yang menggolongkan lembaga negara secara fungsional dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara, meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Berdasarkan konstrukksi ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 pasca-perubahan, lembaga negara terdistribusi secara “horizontal-fungsional” dengan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara yang sederajat. Konstruksi ini berbeda dengan kontruksi UUD sebelum amandemen yang meletakkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan semua lembaga negara berada di bawah kedudukan MPR.
untuk mengukur kinerja diperlukan indikator kinerja yang dapat dikelompokkan atas indikator Inputs (masukan), Process (proses), Outputs (keluaran), Outcomes (hasil), Benefits (manfaat), dan Impacts (dampak).
berdasarkan pemunculan istilah, good governance ditandai dengan karakteristik atas participation (partisipasi), rule of law/fairness (penerapan hukum), transparency (transparansi), responsiveness (responsif), consensus orientation (orientasi), equity (keadilan), effectiveness and efficiency (efektif dan efisien), accountability (akuntabilitas), strategic vision (strategi vision), dan saling keterkaitan.
Sedangkan agenda penciptaan tata kepemerintahan yang baik setidaknya memiliki 5 (lima) sasaran, yaitu: berkurangnya secara nyata praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di birokrasi yang dimulai dari jajaran pejabat yang paling atas; terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah yang efisien, efektif, dan profesional transparan dan akuntabel; terhapusnya peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara; meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik; terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah.
Beberapa cara untuk mendorong akuntabilitas dan transparansi kinerja lembaga negara dapat dilakukan melalui memperkuat basis penunjang instrument kinerja lembaga negara, memperkuat anggaran berbasis kinerja dan pengawasan penggunaan anggaran berbasis kinerja. Anggaran menjadi perhatian tersendiri karena anggaran sangat rawan untuk dikorupsi untuk kepentingan tertentu yang diikuti dengan tindakan nepotisme dan kolusi. Di samping itu, lembaga negara perlu diawasi pelaksanaan dan implementasi dalam setiap aktivitas yang dilakukan.
Referensi
Atmosodirjo, P. 1983. Hukum Administrasi Negara. Cetakan Kesepuluh. Ghalia Indonesia Press. Jakarta.
Bappenas. 2007. Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik. Petunjuk Bagi Aparatur Negara. Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik. Jakarta. (http://bappenas.go.id/). Akses tanggal 30 Agustus 2015.
Baswir, R. 2000. Akuntansi Pemerintahan Indonesia. Edisi Ketiga. BPFE. Yogyakarta.
Chapter. 2013. Good Governance. Suatu Tinjauan. (http://google.com//pdf./). Akses tanggal 29 Agustus 2015.
-------------. 2014. Good Governance. Suatu Studi Pemikiran. (http://google.com//pdf./). Akses tanggal 29 Agustus 2015.
-------------. 2015. Perkembangan Tata Kelolah yang Baik (Good Governance) dan Penerapannya Dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik. Suatu Studi Pustaka. (http://google.com//pdf./). Akses tanggal 29 Agustus 2015.
Coryanata, I. 2007. Akuntabilitas, Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik Sebagai Pemoderating Hubungan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan Daerah (APBD).  Simposium Nasional Akuntansi. Makassar.
Darwanis dan S. Chairunnisa. 2013. Akuntabilitas Kinerja Instansi Pememrintah. Fakultas Ekonomi. Universitas Syiah Kuala. Jurnal Telaah dan Riset Akuntansi. Vol. 6(2):150-174.
Dwiyanto, A. 2004. Reorientasi Administrasi Publik dari Government ke Governance. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fisipol UGM. Jogjakarta. (http://lib.ugm.ac.id/). Akses tanggal 29 Agustus 2015.
Halim, A. 2002. Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah: Akuntansi dan Pengendalian Keuangan Daerah. UPP AMPYKPN. Yogyakarta.
----------------- 2007. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Ketiga. Salemba Empat Press. Jakarta.
Fibiona, I dan J. R. T. Purba. 2012. Dari Administrasi Publik Ke Publik Governance. (http://indracuin.blogspot.co.id). Akses Agustus 2015.
Helmi, Amir. 2009. Tunjangan Besar, Kinerja SKPA Kedodoran: SILPA membengkak Dari Tahun ke Tahun. Opini. Harian Serambi Indonesia, Kamis, 10 Desember 2009.
Kenis, I.  1979. Effects on Budgetary Goal Characteristic on Managerial Attitudes and Performance. The Accounting Review LIV (4). 707-721.
Komarudin dan S. Yudo. 2009. Transparansi dan Akuntabilitas Pelayanan Publik Kasus Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Air Limba Domestik. Jurnal Akuntansi Indonesia. Vol. 5(1): 89-103.
Kurniawan, T. 2007. Pergeseran Paradigma Administrasi Publik: Dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. Vol. VII. (http://teguh-kurniawan.web.ugm.ac.id). Akses tanggal 29 Agustus 2015.
Lembaga Administrasi Negara. 2003. Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta.
Mardiasmo. 2001. Pengawasan, Pegendalian, dan Pemeriksaan Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol.3(2):441-456.
-------------. 2005.  Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
-------------. 2006. Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance. Jurnal Akuntansi Pemerintahan. Vol. 2(1) :1-17.
Nugraha, S. 2007. Hukum Administrasi Negara. Ed. Revisi. CLGGS Press. Depok..
Nugroho, 2005. Pendidikan Karakter. Dalam Chapter. 2015. Perkembangan Tata Kelolah yang Baik (Good Governance) dan Penerapannya Dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik. Suatu Studi Pustaka. (http://google.com//pdf./). Akses tanggal 29 Agustus 2015.
Pasolong, H. 2010. Teori Administrasi Publik. Penerbit Alfabeta. Bandung. Jawa Barat.
Rahmanurrasjid, A. 2008. Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Baik di Daerah. (Studi di Kabupaten Kebumen). Thesis. Program Magister Ilmu Hukum. Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
Wahab. 2002. Good Governance. Dalam Rahmanurrasjid, A. 2008. Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Baik di Daerah. (Studi di Kabupaten Kebumen). Thesis. Program Magister Ilmu Hukum. Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
Wrihatnolo, R. R., dan R. N. Dwidjowijoto. 2007. Manajemen Pemberdayaan. Penerbit Elekmedia Komputindo. Jakarta.


[1] Makalah ini diseminarkan dalam Kegiatan “Seminar Nasional Fraksi Partai Demokrat MPR RI, dengan Tema ‘Akuntabilitas dan Transparansi Kinerja Lembaga Negara’; Kamis, 3 September 2015 di Hotel Lindo Graha, Lheuksomawe, Banda Aceh.
[2] Economic Governance includes process of decision-making that direct or indirectly a country’s economic activities or its relationship with other economics.
[3] Political Governance refer to decission making and policy implementation of a legitimate and authoritative state.
[4] Administrative Governance is a system of policy implementation carried out throught an efficient, independent, accountable, and open public sector.
[5] Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenaang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan (Ombudsman RI, 2009).

TRANSLATE: