Oleh: DR. Jefri Riwu Kore, MM., MH[1]
Anggota Komisi X DPR RI Periode 2014-2019
Pengantar
Mendorong
dan mengupayakan terbentuknya pemerintah yang baik (good governance) merupakan isu intens dalam pengelolaan
administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat
kepada pemerintah untuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang baik
adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya
globalisasi pergeseran paradigma pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance” dipahami sebagai
entitas berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu memperkuat lembaga negara
agar menjalankan tugasnya secara akuntabilitas dan transparansi melalui kinerjanya.
Upaya
dalam mewujudkan good governance,
secara epistemologi hanya mampu diimplementasi dalam lima prinsip yang
universal, yakni: responsibility,
accountability, fairness, independency, and transparency. Kelima hal
tersebut mencakup kesesuaian di dalam pengelolaan pemerintahan terhadap prinsip
lingkup negara yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku (responsibility); accountability mengacu
kejelasan fungsi, struktur, sistem dan prosedur pertanggungjawaban organ
perusahaan/institusi sehingga pengelolaan pemerintahan (termasuk lembaga
negara) terlaksana secara efektif; fairness
mengacu pada perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak dasar
(stakeholder) yang timbul berdasarkan
perjanjian dan peraturan perundangan yang berlaku; indepedency mengacu pada pengelolaan secara profesional,
menghindari benturan kepentingan dan tekanan pihak manapun sesuai perundangan
yang berlaku; transparency mengacu
pada keterbukaan informasi di dalam proses pengambilan keputusan dan di dalam
mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai pengelolaan pemerintahan
(termasuk kinerja).
Kelima
prinsip universal di atas bukanlah harga mati (one size fits all), artinya dalam implementasi dan penegakan good governance, prinsip-prinsip tersebut disesuaikan dengan budaya
dan problem masing-masing lembaga negara (instansi pemerintah) yang akan
menjalankannya. Selain itu, jika ditinjau dari code of conduct or best practice dari berbagai lembaga atau
institusi di berbagai negara, maka prinsip-prinsip tersebut hampir ditemukan
karena sifatnya yang universal. Tetapi perlu diketahui bahwa prinsip tersebut
bersifat evolutionary in nature,
artinya berkembang sesuai kebutuhan dan dinamika masyarakat yang menerapkan dan
menegakkannya.
Demikian
juga, dalam praktik good governance diberbagai
institusi di beberapa negara mengajarkan “good
governance is about time as well”¸ penerapan dan penegakan good governance tidak semudah
membalikkan telapak tangan, melainkan akan terkait erat dengan waktu, mengingat
perubahan yang akan dilakukan adalah tidak sedikit dan tidak sederhana,
terutama pada aspek mental dan budaya masyarakat yang akan menerapkan dan
menegakkan good governance.
Lembaga Negara
Pasca amandemen UUD NRI 1945, lembaga negara hasil amandemen adalah
BPK, DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, dan KY (8 lembaga
negara). Menurut Soemantri (2006:24), yang dikatakan sebagai lembaga negara
adalah lembaga yang tugas dan wewenangnya diatur dalam UUD. Soemantri mempertegas pendapat Bintan R.
Saragih (2004) yang menggolongkan lembaga negara secara fungsional dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan negara, meliputi eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Berdasarkan konstrukksi ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 perubahan,
lembaga negara terdistribusi secara “horizontal-fungsional” dengan kedudukan
lembaga-lembaga tinggi negara yang sederajat. Konstruksi ini berbeda dengan
kontruksi UUD sebelum amandemen yang meletakkan MPR sebagai lembaga tertinggi
negara dan semua lembaga negara berada di bawah kedudukan MPR.
Pasca amandemen, kontruksi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi
negara namun berada sejajar dengan fungsi lembaga negara lainnya, dan
kedaulatan sepenuhnya berada di rakyat. Rakyat yang menjadi pondasi utama dalam
tujuan penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga tinggi negara.
Kinerja
lembaga negara menjadi indikator terpenuhinya good governance. Kinerja menjadi gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/kebijakan dalam mewujudkan sasaran
tujuan, misi dan visi organisasi (LAN, 2003). Darwanis dan Charunnisa (2013)
mendefenisikan kinerja sebagai suatu proses umpan balik atas kinerja masa lalu
yang berguna untuk meningkatkan produktivitas di masa mendatang bagi suatu
proses yang berkelanjutan. Sedangkan Mardiasmo (2005:121) mendefenisikan
kinerja dalam perspektif sektor publik dilakukan untuk memenuhi 3 (tiga)
maksud, yaitu: (1). Untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah; (2). Untuk
pengalokasian sumber daya dan pembuat keputusan; dan (3). Mewujudkan
pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Kemudian
dilanjutkan bahwa untuk melakukan pengukuran kinerja dibutuhkan indikator
kinerja yang kemudian akan dibandingkan dengan target kinerja atau standar
kinerja. Atau dengan kata lain, indikator yang dimaksud adalah kepuasan
penerima layanan publik melalui standar pelayanan minimal yang diberikan oleh
organisasi pemerintah/sektor publik.
Sedangkan
LAN (2003:13) mendefenisikan indikator kinerja sebagai syarat ukuran
kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran
atau tujuan yang telah ditetapkan atau digariskan, dan untuk mengukur kinerja
diperlukan indikator kinerja yang dapat dikelompokkan atas indikator berikut
ini.
1) Inputs (masukan), didefenisikan segala sesuatu yang
dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program dapat berjalan sesuai yang
diharapkan atau dalam rangka menghasilkan output, misalnya: sumber daya
manusia, dana, material, waktu, teknologi, dan sebagainya.
2) Process (proses), didefenisikan segala besaran yang
menunjukkan upaya yang dilakukan dalam rangka mengolah masukan menjadi
keluaran.
3) Outputs (keluaran), didefenisikan segala sesuatu berupa
produk/jasa (fisik dan atau non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan
suatu kegiatan dan program berdasarkan masukan yang digunakan.
4) Outcomes (hasil), didefenisikan segala sesuatu yang
mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah. Outcomes/hasil merupakan ukuran seberapa
jauh setiap produk/jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.
5) Benefits (manfaat), didefenisikan kegunaan suatu keluaran yang
dirasakan langsung oleh masyarakat, berupa tersedianya fasilitas yang dapat
diakses oleh publik.
6) Impacts (dampak), didefenisikan sebagai ukuran tingkat
pengaruh sosial, ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang dimulai
oleh pencapaian kinerja setiap indikator dalam suatu kegiatan.
Good Governance
Komarudin
dan Yudo (2009:89) menyatakan peran pemerintah saat ini beralih dari
“government” ke “governance”, dengan mengutamakan pelayanan prima kepada
masyarakat. Dwiyanto (2004) saat dikukuhkan menjadi guru besar ilmu sosial dan
politik Universitas Gadja Mada menjelaskan bahwa governance lokus utamanya bukan lagi birokrasi pemerintah seperti government tetapi telah bergeser lebih
luas pengertiannya. Governace dapat
dipahami sebagai pergeseran yang meluas dalam pembagian peran dan pengambilan
kebijakan. Pemerintah membagi atau mengurangi perannya untuk melaksanakan
kebijakan publik yang lebih baik dan merata. Terdapat beberapa hal yang
mendasari peran pemerintah beralih dari government ke governance.
Fibiona
dan Purba (2012) menjelaskan bahwa peralihan ini terjadi karena perbedaan government dengan governance yang dapat dilihat
dari dimensi aktor, fungsi, struktur, konvensi dari interaksi dan distribusi
dari kekuasaan. Kemudian dijelaskan Kurniawan (2007:14-16) bahwa perbedaan
tersebut dapat dilihat dari dimensi aktor dimana government memiliki partisan yang sangat terbatas, yaitu umumnya
diisi oleh lembaga pememrintah, sedangkan governance
jumlah pesertanya sangat besar meliputi aktor publik dan aktor privat. Ditinjau
dari dimensi fungsi, government jarang
mengadakan konsultasi dengan pihak swasta ataupun civil society, sedangkan governance
lebih banyak melakukan konsultasi, memperbesar kemungkinan kerjasama sehingga
isu kebijakan yang dihasilkan lebih sempit. Ditinjau dari dimensi struktur, government lebih bersifat tertutup dan
tidak sukarela, tidak dapat melibatkan civil
society organization (CSO) dan swasta/privat dalam membentuk struktur keorganisasiannya.
Ini berbeda dengan prinsip governance
yang lebih terbuka dalam struktur keorganisasian dan bersifat sukarela. Governance melibatkan seluruh aktor baik
publik maupun privat dalam membentuk struktur sehingga dapat menempatkan
pengaturan kebijakan sesuai kebutuhan fungsionalitasnya. Demikian juga, governance ditinjau dari dimensi
konvensi interaksi memiliki ciri konsultasi yang sifatnya horizontal dengan
pola hubungan yang kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan. Government
justru sebaliknya, hirarki kewenangan bersifat konflik dan penuh dengan
kerahasiaan, termasuk pola pembentukan mindset.
Jika dilihat dari dimensi distribusi kekuasaan, governance memiliki ciri dominasi negara sangat rendah dan lebih
mempertimbangkan kepentingan masyarakat (publicness)
dalam pengaturan kebijakan dan adanya keseimbangan antara aktor. Sedangkan
dalam government justru dominasi
negara sangat kuat dan tidak ada keseimbangan yang terjadi diantara aktor.
Dengan
demikian dapat dikatakan perbedaan konsep government
dan governance terletak pada
bagaimmana cara penyelenggaraan otoritas ekonomi, politik dan administratif. Goverment lebih dominan peranan lembaga
negara sedangkan governance mengandung
makna distribusi kekuasaan dan mengelolah sumber daya dan berbagai masalah yang
dihadapi masyarakat.
Menurut Leach &
Percy-Smith (2001) dikutip Chapter
(2014) menyatakan bahwa government
mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur,
melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah
penerima yang pasif. Sementara governance
meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan “yang diperintah” karena kita
semua adalah bagian dari proses governance.
Dengan kata lain, dalam konsep governance
terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mudahnya,
dapat kita bilang bahwa governance
merupakah seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan/kebijakan dan seluruh
rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak
diimplementasikan. Karenanya, analisis mengenai governance kemudian berfokus pada aktor-aktor dan struktur atau
sistem, baik formal maupun informal, yang terlibat dalam proses pembuatan dan
pengimplementasian sebuah keputusan. Pemerintah hanyalah salah satu aktor
tersebut, sementara aktor-aktor lain diluar pemerintah dan militer biasa
dikelompokkan sebagai bagian dari civil
society. Demikian juga, struktur formal pengambilan keputusan yang dimiliki
pemerintah (rapat kabinet, sidang paripurna, dialog dengan warga, dsb.) hanya
merupakan salah satu struktur yang mempengaruhi pengambilan dan
pengimplementasian keputusan, sementara diluarnya mungkin banyak terdapat
struktur-struktur informal (adat istiadat, mafia, KKN, dsb.) yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan maupun individu-individu dalam struktur formal tadi.
Tinjauan
para ahli di atas didasarkan dari pemunculan istilah good governance sekitar tahun 1980-an dalam diskusi-diskusi
bertajuk pembangunan. Tangklisan (2005:115) dan Wrihatnolo dan Riant (2007:125)
mengemukakan bahwa good governance ditandai
dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Participation (partisipasi), yaitu
setiap warga memiliki suara dalam pembuatan keputusan secara langsung maupun
melalui intermediasi institusi legitimasi yang mempresentasikan kepentingannya.
2. Rule of Law/fairness
(penerapan hukum),
yaitu adanya kepastian hukum tanpa pandang bulu, terutama menyangkut Hak Asasi
Manusia (HAM).
3. Transparency (transparansi), dibangun di atas kebebasan informasi.
4. Responsiveness (responsif), setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus melayani stakeholders.
5. Consensus
Orientation (orientasi), dimana good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk
memperoleh pilihan terbaik bagi kepenntingan yang lebih luas.
6. Equity (keadilan),
dimana publik memiliki kesempatan untuk menjaga kesejahteraan.
7. Effectiveness
and efficiency (efektif dan
efisien), dimana proses lembaga menghasilkan produk sesuai dengan
yang digariskan dan menggunakan sumber daya yang dimiliki dengan efisien dan
efektif.
8. Accountability (akuntabilitas),
dimana pembuat kebijakan/keputusan baik pemerintah, swasta maupun civil society atau civil social organization harus bertanggungjawab pada publik dan stakeholders.
9. Strategic
Vision (strategi vision), dimana para
pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan
sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
10. Saling keterkaitan, dimana keseluruhan ciri good governance tersebut di atas adalah
saling memperkuat dan saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Misalnya,
informasi semakin mudah diakses berarti transparansi semakin baik, tingkat
partisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin
efektif. Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi kepada dua hal, yaitu
terhadap pertukaran informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan dan
memperkuat keabsahan atau legitimasi atas berbagai keputusan yang ditetapkan.
Tingkat legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong
efektivitas pelaksanaannya. Kelembagaan yang responsif harus transparan dan
berfungsi sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku agar
berfungsinya itu dapat bernilai dan berkeadilan.
Prinsip-prinsip
good governance tersebut mencirikan bahwa suatu negara dalam
implementasi kebijakan maupun prinsip-prinsip administrasi negara telah menjadi administrasi publik (public governance). Hal ini ditandai
dengan adanya prinsip good governance
yang didasarkan atas kelembagaan yang multistakeholder
(melibatkan negara, swasta, dan masyarakat), penggunaan kekuasaan yang
demokratis (sebagai konsekuensi adanya multistakeholder),
dan mengutamakan proses dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan (Dwiyanto: 2004).
Literatur
lain menyebutkan bahwa istilah good
governance berasal dari bahasa latin gubernare
yang diadopsi menjadi bahasa Inggris govern
yang berarti steer (menyetir, mengendalikan), direct (mengarahkan), atau rule
(memerintah). Dalam bahasa Inggris sering digunakan istilah to rule with authority (memerintah
dengan kewenangan). Governance pertama
kali digunakan di dunia usaha/korporat. Setelah perang dunia II, good governance makin berkembang. Good Governance dianggap sebagai suatu
bentuk manajemen pembangunan yang dapat juga disebut administrasi pembangunan
dimana menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi agent of change dari suatu masyarakat berkembang/developing di
dalam negara berkembang. Agent of change karena
perubahan yang dikehendakinya menjadi planned
change (perubahan yang berencana) maka disebut juga agent of development yang diartikan sebagai pendorong proses
pembangunan dan perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyek-proyek, dan peran perencanaan
dalam anggaran (Chapter, 2013).
Adanya
good governance, lembaga-lembaga
negara seakan mengalami transformasi paradigm yang kesemuanya dimaksudkan untuk
membangun peradaban suatu bangsa. Transformasi paradigm ini meliputi beberapa
aspek, diantaranya: perubahan paradigma manajemen pemerintahan dari orientasi
yang serba negara ke orientasi yang serba pasar (market or public interest); perubahan paradigma dari orientasi
pemerintahan yang kuat, besar dan otoritarian ke orientasi pemerintahan yang small and less government, egalitarian
dan demokratis; dan perubahan paradigm sistem pemerintahan dari yang
sentralistis dalam pengelolaan pemerintahan menjadi desentralisasi dalam
pengelolaan pemerintahan (Bappenas, 2007).
Sementara
itu sering dijumpai kerancuan dalam pemahaman tentang pembedaan konsep dan arti
dari government dan governance. Konsep governance lebih inklusif daripada konsep government. Konsep government
hanya menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan pemerintahan berdasarkan
kewenangan tertinggi. Sementara konsep governance
melibatkan tidak sekedar pemerintah dan negara, tetapi juga peran berbagai
aktor di luar pemerintah dan negara sehingga pihak yang terlibat juga sangat
luas (Bappenas, 2007).
Secara
umum, istilah government lebih mudah dipahami
sebagai pemerintah yaitu lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai
tanggungjawab untuk mengurus negara dan menjalankan kehendak rakyat. Sementara governance adalah merupakan seluruh
rangkaian proses pembuatan keputusan/kebijakan dan seluruh rangkaian proses
dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Atau
dengan kata lain governance merupakan
kumpulan dari berbagai cara yang diterapkan oleh individu warga negara dan para
lembaga baik pemerintah maupun swasta dalam menangani kepentingan-kepentingan
umum mereka. Hal ini merupakan sebuah proses yang berkesinambungan dimana
segala jenis kepentingan maupun kebutuhan dapat diakomodasikan dan tindakan
korektif diterapkan. Termasuk di dalamnya lembaga dan regim formal yang dikuasakan
untuk menegakkan kepatuhan, maupun pengaturan secara informal sehingga
masyarakat dan lembaga memiliki kesepakatan atau kesamaan kepentingan (UN
Commission on Human Settlements, 1996). Sehubungan dengan hal tersebut,
Mustopadidjaja (2003) mempertegas konsep governance
sebagai kepemerintahan, pengelolaan pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan, penyelenggaraan negara, dan administrasi negara.
United Nations Development Programme (1997:9) mengartikan governance is defined as the exercise of political, economic, and
administrative authority to manage a nation’s affairs (kepemerintahan
diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administratif
untuk memanage urusan-urusan dari suatu bangsa). Lebih lanjut dijelaskan, it is the complex mechanism, process,
relationships and institutions through which citizens and groups articulate
their interests, exercise their rights and obligations and mediate their
differences (kepemerintahan adalah suatu institusi, mekanisme, proses, dan
hubungan yang komplek melalui warga negara dan kelompok-kelompok yang
mengartikulasikan kepentingannya, melaksanakan hak dan kewajibannya dan
menengahi atau memfasilitasi perbedaan diantara mereka.
Konsep
governance yang dikemukakan UNDP
diterjemahkan LAN (2005:5) menjadi tiga kaki, yaitu economic, politic, and administrative. Economic Governance[2] mencakup
proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi langsung atau tidak langsung
aktivitas ekonomi negara atau berhubungan dengan ekonomi lainnya. Oleh karena
itu, economic governance memiliki
pengaruh implikasi terhadap equity,
poverty, and quality of life. Political governance[3]
merujuk pada proses pembuatan keputusan dan implementasi kebijakan suatu negara
yang legitimate dan otoritatif. Oleh
karena itu negara seharusnya terdiri dari tiga cabang pemerintahan yaitu
eksekutif, legislative, dan judikatif yang mewakili kepentingan politik
pluralis dan membolehkan setiap warga negara memilih secara bebas wakil-wakil
mereka. Sedangkan untuk administrative
Governance[4]
adalah sistem implementasi kebijakan yang melaksanakan sektor publik secara
efisien, tidak memihak, akuntabel dan terbuka.
Chapter
(2015:89) menjelaskan bahwa dalam suatu negara modern, ketiga elemen tersebut
di atas melaksanakan sistem kepemerintahan (the
governance system) mencakup struktur kewenangan pembuatan keputusan (decision mmaking), institusi dan
organisasi formal. Sedangkan unsur utama yang dilibatkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang baik terdiri dari tiga yaitu the state (negara), the
private sector (swasta), dan civil
society organization (masyarakat). Hubungan ketiganya harus dalam posisi
yang seimbang dan saling kontrol (checks
and balances) untuk menghindari penguasaan atau ekploitasi oleh satu
komponen terhadap komponen lainnya. Bila salah satu komponen lebih tinggi
daripada yang lain, yang terjadi adalah dominasi kekuasaan atas dua komponen
lainnya. Upaya untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik hanya dapat
dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran ketiga pilar (pemerintah, dunia
usaha swasta, dan masyarakat) karena ketiganya mempunyai peran masing-masing.
Pemerintah (legislative, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran dan
menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain
dalam governance. Dunia usaha swasta
berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pendapatan, sementara masyarakat
berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan politik. Ketiga unsur
tersebut dalam memainkan perannya masing-masing harus sesuai dengan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tata kepemerintahan yang baik.
Chapter
(2013:59-60) menyatakan bahwa agenda penciptaan tata kepemerintahan yang baik
setidaknya memiliki 5 (lima) sasaran, yaitu:
1. Berkurangnya secara nyata praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme di birokrasi yang dimulai dari jajaran pejabat yang paling atas.
2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah
yang efisien, efektif, dan profesional transparan dan akuntabel.
3. Terhapusnya peraturan dan praktek yang bersifat
diskriminatif terhadap warga negara.
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan
kebijakan publik.
5. Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan
daerah.
Wahab
(2002:34) mengutip terminologi good
governance yang dikemukakan Bank Dunia, dimana good governance dianggap suatu konsep dalam penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan dengan demokrasi
dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan investasi yang langka
dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan
disiplin anggaran serta penciptaan legal framework bagi tumbuhnya aktivitas
kewiraswastaan. Bank Dunia juga menyebut good
governance sebagai hubungan sinergis kostruktif diantara negara, sektor
swasta dan masyarakat.
Mardiasmo
(2005:114) mengemukakan bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk
menciptakan good governance, dimana pengertian
dasarnya adalah pemerintahan yang baik. Kondisi ini berupaya untuk menciptakan
suatu penyelenggaraan pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan
dengan prinsip demokrasi, efisiensi, pencegahan korupsi, baik secara politik
maupun administrasi. Selain Bank Dunia, UNDP dalam dokumen kebijakannya
menyebut tata pemerintahan mencapai good
governance dilakukakan dengan penggunaan wewenang ekonomi, politik dan
administrasi guna mengelolah urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata
pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana
warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka,
menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan
diantara mereka. Dengan demikian jelas good
governance adalah masalah perimbangan diantara negara, pasar dan
masyarakat.
Chapter
(2013:4) menyimpulkan defenisi good
governance sebagai suatu konsep tata pemerintahan yang baik dalam
penyelenggaraan penggunaan otoritas politik dan kekuasaan untuk mengelola
sumber daya demi pembangunan masyarakat yang solid dan bertanggungjawab secara
efektif melalui pembuatan peraturan dan kebijakan yang abash dan yang merujuk
pada kesejahteraan rakyat, pengambilan keputusan, serta tata laksana
pelaksanaan kebijakan. Chapter mempertegas defenisi yang dikemukakan O’Brien
dalam Nugroho (2005:142) yang mendefenisi good
governance sebagai penjumlahan dari cara-cara dimana individu-individu dan
institusi-institusi baik privat maupun publik mengelolah urusan-urusan
bersamanya.
Fibiona
dan Purba (2012) menjelaskan bahwa mewujudkan administrasi publik sebagai good governance salah satu yang menjadi
indikator adalah kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud terdiri atas 3 (tiga)
aktor, yaitu: negara, swasta, dan masyarakat. Interaksi atau hubungan diantara
ketiga kelembagaan ini menjadi kekuatan untuk mengambil kebijakan. Interaksi
atau hubungan ini dapat dimaksudkan sebagai pembagian peran. Peran swasta
menjadi penting karena negara tidak bisa seluruhnya melaksanakan suatu kebijakan.
Dalam hal tertentu dapat diserahkan pemerintah kepada swasta, seperti Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), perusahaan, dan lain sebagainya. Keberadaan
masyarakat juga menjadi penting dalam keberlanjutan dan keberhasilan kebijakan
yang dimaksud. Demikian juga yang dimaksudkan dengan penggunaan kekuasaan
tentunya haruslah demokrasi. Demokrasi karena interaksi dari multistakeholder
seperti yang disebutkan. Artinya, kekuasaan tidak lagi didominasi oleh satu
saja, hal ini tampak dalam penyebaran kekuasaan yang tidak tersentralisasi.
Sama hal-nya dalam proses perumusan kebijakan sebagai public governance. Proses
perumusan kebijakan menjadi pembahasan yang sangat luas mengingat menyinggung
banyak aspek yang harus diperhatikan. Untuk memahami siapa sebenarnya yang
merumuskan kebijakan lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua peran, baik
itu peran sebagai warga negara biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR,
pemimpin badan legislatif, aktivis partai, pemimpin partai, hakim, pegawai
sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha.
Untuk
itu maka tentunya masing-mmasing institusi/lembaga negara harus secara serempak
menerapkan dan menegakkan good governance.
Hal ini dapat efektif tercapai melalui administrasi publik/birokrasi yang mampu
menjalankan peran, tugasm dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa
tanggungjawab yang dilaksanankan secara efektif, efisien, bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh
mmasyarakt dan warga negara. Sama halnya pada sektor privat maka penerapan dan
penegakan prinsip-prinsip good governance pada sektor publik menjadi
prasyarat mutlak pula dalam mewujudkan good
governance and clean government.
Konsep Akuntabilitas
Akuntabilitas
dapat didefenisikan sebagai tanggungjawab individu atau bagian/departemen
terhadap kinerja suatu fungsi tertentu. Akuntabilitas dapat ditetapkan atau
diformulasikan melalui aturan hukum atau perjanjian tertentu (Darwanis dan Chairunnisa,
2013:158). Mardiasmo (2000) mendefenisikan akuntabilitas sebagai hubungan
antara pihak yang memegang kendali dan mengatur entitas dengan pihak yang
memiliki kekuatan formal atas pihak pengendali tersebut. Dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan, akuntabilitas pemerintah tidak dapat diketahui
tanpa pemerintah memberitahukan kepada rakyat tentang informasi sehubungan
dengan pengumpulan sumber daya dan sumber dana masyarakat beserta
penggunaannya.
American Accounting Association disitir Mardiasmo (2000) menyebutkan bahwa
akuntabilitas dapat ditinjau dari 4 (empat) sudut perpektif akuntansi, yaitu:
sumber daya finansial; kepatuhan terhadap hukum dan kebijaksanaan
administratif; efisiensi dan ekonomisnya suatu kegiatan; dan hasil program dan
kegiatan pemerintah yang tercemin dalam pencapaian tujuan, manfaat dan efektivitas.
Sedangkan
jika diorientasikan pada sistem pencapaian karakter pokok akuntabilitas maka
akuntabilitas berfokus pada hasil; menggunakan beberapa indikator yang telah
dipilih untuk pengukuran kinerja; menghasilkan informasi yang berguna bagi
pengambilan keputusan atas suatu program atau kebijakan; menghasilkan data
secara konsisten dari waktu ke waktu; dan melaporkan hasil dan
mempublikasikannya secara teratur (Mardiasmo, 2006).
Oleh
karena itu kewajiban akuntabilitas publik oleh organisasi sektor publik maka
perlu dilakukan pada setiap dimensi baik akuntabilitas kejujuran dan hukum;
akuntabilitas proses; akuntabilitas program; dan akuntabilitas kebijakan. Akuntabilitas
kejujuran dan akuntabilitas hukum
terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan dan terkait dengan jaminan
adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang diisyaratkan dalam
penggunaan sumber dana publik. Akuntabilitas
proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan
tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, dan
sistem informasi manajemen, dan prosedur administrasi. Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan
yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan
alternative program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang
minimal. Akuntabilitas kebijakan
terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas
kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat
luas (Mardiasmo, 2005:21).
Oleh
Karena itu, akuntabilitas kinerja lembaga negara dapat didefenisikan sebagai
perwujudan kewajiban suatu lembaga negara untuk mempertanggungjawabkan
keberhasilan dan/atau kegagalan pelaksanaan peran dan tugas organisasi dalam
mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan, digariskan, dan atau
ditetapkan melalui suatu mekanisme pertanggungjawaban dalam waktu tertentu,
baik dalam bentuk pelaporan maupun hasil dari aktivitas yang dilakukan. Bentuk
akuntabilitas kinerja lembaga ini juga akan menjadi alat dan bahan yang dinilai
oleh otoritas publik tertentu seperti badan pengawasan, dan juga memungkinkan
masyarakat untuk menilai pertanggungjawaban jika terkait pertanggungjawaban
pemerintah atas semua aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah.
Menurut
LAN (2003:5) dalam akuntabilitas kinerja sebagai bentuk pertanggugjawaban
kinerja melalui pelaporan, maka perlu diperhatikan syarat-syarat penyusunannya
dengan memperhatikan hal-hal yang harus dipenuhi sebagai berikut:
1) Beranjak dari sistem yang dapat menjamin penggunaan
sumber-sumber daya yang konsisten dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara.
2) Komitmen pimpinan dan seluruh pendukungnya (staf) yang
bersangkutan.
3) Menunjukkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang
telah ditetapkan.
4) Berorientasi pada pencapaian visi-misi serta hasil
dari manfaat yang diperoleh.
5) Jujur, objektif, transparan, dan akurat.
6) Menyajikan keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian
sasaran yang telah ditetapkan.
Dengan
demikian, dalam pertanggungjawaban (akuntabilitas) dari kinerja lembaga negara
menurut LAN (2003:7), maka prinsip-prinsip ini perlu dilakukan oleh aktor
lembaga negara, berupa:
1) Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf
instansi pemerintah yang bersangkutan.
2) Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin
penggunaan sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang berlaku.
3) Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan.
4) Harus berorientasi pada pencapaian visi-misi serta
hasil dan manfaat yang diperoleh.
5) Harus jujur, objektif, transparan, dan inovatif
sebagai katalisator perubahan manajemen lembaga negara dalam bentuk
pemutakhiran metode dan pengukuran kinerja dan penyusunan laporan
akuntabilitas.
Transparansi
Mardiasmo
(2005:30) mendefinisikan transparansi sebagai keterbukaan (opennes) pemerintah dalam meberikan informasi yang terkait dengan
aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan
informasi. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi
jenis lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan. Sedangkan Rahmanurrasjid (2008:80) menyatakan bahwa
transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara
pemerintah dan rakyatnya sehingga tercipta pemerintahan yang bersih, efektif,
efisien, akuntabel, dan responsive terhadap aspirasi dan kepentingan
masyarakat.
Sedangkan
Rahman (2000:151) mendefenisikan transparansi adalah adanya kebijakan terbuka
bagi pengawasan baik informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang
dapat dijangkau publik. Transparansi terkait erat juga dengan keterbukaan
informasi sehingga diharapkan akan menghasilkan kompetitif politik sehat,
toleran, dan kebijakan yang dihasilkan berdasarkan preferensi publik. Terkait
dengan transparansi yang dikemukakan sebelumnya sesuai dengan intisari dari
Bappenas dan Depdagri (2002:18) yang mendefenisikan transparansi sebagai
prinsip yang menjamin akses dan kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi
tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses
pembuatan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai.
Transparansi
pula memiliki peran dalam penyelenggaraan negara sebagai wujud
pertanggungjawaban penyelenggara kepada rakyat. Selain itu, transparansi
memiliki daya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme (Rahmanurrasjid, 2008:85). Terkait dengan hal tersebut, beberapa
literatur menyebutkan transparansi penyelenggaraan lembaga negara dapat
dilakukan dengan: memublikasi dan sosialisasi kebijakan-kebijakan terkait
dengan penyelenggaraan pemerintahan; memublikasi dan mensosialisasikan regulasi
yang dikeluarkan terkait dengan aturan dan penyelenggaraan peran pemerintah;
transparansi dalam penawaran dan penetapan program maupun pendanaan proyek
terhadap pihak ketiga; dan transparansi memberi kesempatan masyarakat untuk
mengakses informasi yang jujur, benar dan tidak diskriminatif dari lembaga
negara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Transparansi
juga dibutuhkan saat penyusunan peraturan dan kebijakan yang menyangkut hajat
hidup orang banyak, hendaknya masyarakat sebagai stakeholders dilibatkan secara proporsional. ini dilakukan untuk
memberi prinsip akuntabel terhadao aspirasi masyarakat. Max Pohan dalam artikel
yang dikutip Rahmanurrasjid (2008) menyebutkan transparansi sebagai pembuka
akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait,
seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah
dengan biaya yang minimal. Informasi yang tersedia baik sosial, ekonomi,
politik, dan lain sebagainya harus andal (reliable)
dan berkala harus tersedia untuk diakses publik (umumnya melalui internet
maupun media massa yang difilter dalam informasi bertanggungjawab). Artinya,
transparansi dibangun di atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai
disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau. Transparansi jelas
mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan
implementasi kebijakan publik. Sebab,
penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya
dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat
untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi
ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain
itu, transparansi ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di
kalangan para pejabat publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan
keputusan oleh masyarakat luas.
Demikian
juga ditulis Rahmanurrasjid (2008:87-89) bahwa dalam implementasi transparansi
oleh lembaga negara seringkali terjebak dalam “paradigma produksi” dalam hal
penyebarluasan informasi ini, seakan-akan transparansi sudah dilaksanakan
dengan mencetak leaflet suatu program
dan menyebarluaskannya ke setiap akses publik, atau memasang iklan di surat
kabar yang tidak dapat dibaca oleh sebagian komponen masyarakat. Pola pikir ini
perlu berubah menjadi “paradigma pemasaran”, yaitu bagaimana masyarakat
menerima informasi dan memahaminya. Untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan
transparansi dalam mendukung good
governance maka perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu:
1. Kondisi masyarakat yang apatis terhadap
program-program pembangunan selama ini membutuhkan adanya upaya-upaya khusus
untuk mendorong keingintahuan mereka terhadap data/informasi ini. untuk itu,
dibutuhkan adanya penyebarluasan (diseminasi) informasi secara aktif kepada
seluruh komponen masyarakat, tidak bisa hanya dengan membuka akses masyarakat
terhadap informasi belaka.
2. Pemilihan media yang digunakan untuk menyebarluaskan
informasi dan substansi/materi informasi yang disebarluaskan sangat bergantung
pada segmen sasaran yang dituju. Informasi yang dibutuhkan publik awam sangat
berbeda dengan yang dibutuhkan oleh organisasi nonpemerintah, akademisi, dan
anggota DPR maupun DPRD. Selain itu, khusus daerah-daerah seringkali cara-cara
dan media yang sesuai dengan budaya lokal jauh lebih efektif dalam mencapai
sasaran daripada “media modern” seperti televisi dan surat kabar.
3. Seringkali berbagai unsur nonpemerintah seperti pers,
lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, menjadi lebih efektif untuk
menyebarluaskan informasi daripada dilakukan pemerintah sendiri. Untuk itu,
penginformasian kepada berbagai komponen strategis ini menjadi sangat penting.
Penciptaan Good
Governance Melalui Akuntabilitas dan Transparansi
Kinerja Lembaga Negara
Beberapa
cara untuk mendorong akuntabilitas dan transparansi kinerja lembaga negara
dapat dilakukan melalui memperkuat basis penunjang instrument kinerja lembaga
negara, memperkuat anggaran berbasis kinerja dan pengawasan penggunaan anggaran
berbasis kinerja. Anggaran menjadi perhatian tersendiri karena anggaran sangat
rawan untuk dikorupsi untuk kepentingan tertentu yang diikuti dengan tindakan
nepotisme dan kolusi. Di samping itu, lembaga negara perlu diawasi pelaksanaan
dan implementasi dalam setiap aktivitas yang dilakukan.
1) Memperkuat Basis Penunjang Instrumen Kinerja Lembaga
Negara.
Keberhasilan
penciptaan good governance sangat
terikat dengan pengaruh dan prosedur dari capaian dan target yang ingin
dicapai. Pelaksanaannya dilakukan oleh aktor-aktor lembaga negara. Namun di
sisi lain, aktor-aktor lembaga negara ini perlu diatur agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan, sehingga perlu diperkuat dengan basis
penunjang instrument kinerja lembaga negara. Instrumen juga dapat menunjang
penyelenggaraan kepentingan umum.
Secara
garis besar, Stelinga dalam Atmosudirjo (1983:213) menjelaskan administrasi
negara atau lembaga negara mempunyai kewenangan antara lain: melakukan
penetapan kebijakan; melakukan pengaturan/regeling; melakukan pengamanan;
melakukan peradilan; dan melakukan pelayanan kepada warga negara. Sementara
Brown dalam Nugraha (2007:83), kegiatan kepentingan umum adalah dilakukan
dengan melakukan layanan publik yang merupakan kegiatan yang menggunakan:
kewenangan publik; dan dilakukan untuk memenuhi kepuasan kebutuhan publik. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa otoritas publik yang melakukan hal tersebut harus
memenuhi prinsip-prinsip antara lain jujur atau tidak memihak, integritas,
objektif, seleksi dan promosi, dan akuntabilitas.
Berdasarkan
hal di atas, maka Chapter (2015:6) menyimpulkan bahwa yang dikerjakan dan
dijalankan oleh aktor dan atau aparatur lembaga negara adalah pelaksanaan hak,
kewajiban, dan tanggungjawab (akuntabilitas) disertai transparasi untuk
menjawab kepentingan umum dalam pencapaian good
governance. Hak aparatur lembaga negara itu antara lain: melaksanakan
kewenangannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; membuat
kebijakan sesuai dengan ruang lingkup dan kewenangan yang dimilikinya; dan
hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan
kewajiban yang harus dijalankan oleh seorang aparatur/aktor lembaga negara
adalah: aktor lembaga negara wajib taat pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku; wajib membuat suatu kebijakan terhadap suatu hal walaupun tidak ada
peraturan yang mengaturnya; aparatur lembaga negara dalam melaksanakan tugasnya
harus sesuai dengan susunan pembagian tugas (job-description); seorang aparatur wajib melaksanakan
prinsip-prinsip organisasi; seorang aparatur pun wajib melaksanakan azas-azas
umum pemerintahan yang baik (good
governance).
Pengaturan
kinerja menjadi penting melalui standar profesional maupun aturan lain karena
melaksanakan good governance oleh
aktor lembaga negara memiliki tugas, wewenang dan tanggungjawabnya. Selain itu,
perlu diatur juga adanya sarana dan hukuman.
2) Perkuat Anggaran Berbasis Kinerja Lembaga Negara.
Sancoko
dkk. (2008) mendefenisikan prinsip anggaran berbasis kinerja merupakan anggaran
yang menghubungkan anggaran negara (pengeluaran negara) dengan hasil yang
diinginkan (output and outcome)
sehingga setiap rupiah yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan
kemanfaatannya. Dengan adanya penciptaan anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) maka
dominasi lembaga negara akan mudah terawasi dan terkendali penggunaannya, baik
dalam bentuk internal cost awareness (sadar
menggunakan uang), audit keuangan dan
audit kinerja, serta evaluasi kinerja eksternal. Dengan kata lain lembaga
negara dipaksa untuk bertidak berdasarkan cost
minded (sesuai kebutuhan) dan harus efisien (Mardiasmo, 2005:84). Artinya,
selain ekonomis dan efisien, lembaga negara juga dituntut untuk mencapai tujuan
yang telah disepakati, digariskan, dan ditetapkan.
Oleh
karena itu, untuk mencapai tujuan/target kinerja sangat diperlukan adanya tolak
ukur dan program sebagai standar kinerja (Darwanis dan Charunnisa, 2013).
Sancoko dkk. (2008) menjelaskan hal-hal terkait dengan elemen-elemen anggaran
berbasis kinerja (performances based
budgeting) yang harus menjadi dasar terdahulu, yaitu:
a) Visi-Misi yang ingin dicapai. Visi mengacu kepada hal
yang ingin dicapai oleh lembaga negara dalam jangka panjang sedangkan misi
adalah kerangka yang menggambarkan bagaimana visi akan dicapai.
b) Tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi dan
misi. Tujuan tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang
menunjukkan tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam rangka mencapai visi dan
misi yang telah ditetapkan.
c) Sasaran yang menggambarkan langkah-langkah yang
spesifik untuk mencapai tujuan. Sasaran akan membantu penyusunan anggaran untuk
mencapai tujuan dengan menetapkan target tertentu dan terukur. Kriteria sasaran
yang baik adalah dilakukan dengan menggunakan kriteria spesifik, terukur, dapat
dicapai, relevan, dan ada batasan waktu atau SMART (specific, measureable, achieveable, relevant, and timely) dan yang
tidak kalah penting bahwa sasaran tersebut harus mendukung tujuan.
d) Program yang menggambarkan sekumpulan kegiatan yang
akan dilaksanakan sebagai bagian dari usaha untuk mencapai serangkaian tujuan
dan sasaran.
e) Kegiatan yang menggambarkan serangkaian pelayanan yang
mempunyai maksud menghasilkan output (keluaran)
and outcome (hasil) yang penting
untuk pencapaian program. Kegiatan yang baik kriterianya adalah harus dapat
mendukung pencapaian program.
Anggaran
menjadi penting perannya dalam mendukung terlaksananya kinerja untuk mencapai
sasaran-sasaran dari suatu indikator keberhasilan. Ada beberapa fungsi yang
melatarbelakangi fungsi anggaran dalam mencapai keberhasilan utama di sektor
publik menurut Mardiasmo (2005: 63), yakni:
a) Anggaran sebagai alat perencanaan. Artinya, anggaran
merupakan alat perencanaan manajemen untuk mencapai tujuan organisasi. Anggaran
sektor publik dibuat untuk merencanakan tindakan apa yang akan dilakukan oleh
lembaga negara, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh
dari belanja tersebut.
b) Anggaran sebagau alat pengendalian. Artinya, anggaran
memberikan rencana detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan
yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Tanpa anggaran,
lembaga negara tidak dapat mengendalikan pemborosan-pemborosan pengeluaran.
Anggaran publik juga digunakan untuk mengendalikan (membatasi kekuasaan).
c) Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal (khususnya
pemerintah). Anggaran dapat digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Melalui anggaran sektor publik tersebut dapat diketahui
arah kebijakan fiskal pemerintah sehingga dapat dilakukan prediksi-prediksi dan
estimasi ekonomi. Anggaran dapat digunakan untuk mendorong, memfasilitasi, dan
mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dapat mempercepat
pertumbuhan ekonomi.
d) Anggaran sebagai alat politik. Annggaran digunakan
untuk memutuskan prioritas-prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas
tersebut. Untuk sektor publik, anggaran merupakan dokumen politik sebagai
bentuk komitmen dan kesepakatan antara eksekutif dengan legislatif atas
penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu.
e) Anggaran sebagai alat koordinasi dan komunikasi.
Anggaran publik merupakan alat kooordinasi antar bagian dalam lembaga negara.
Anggaran publik yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya
inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Di samping
itu, anggaran publik jua berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja
dalam lingkungan masing-masing triaspolitika. Anggaran harus dikomunikasikan ke
seluruh bagian organisasi untuk dilaksanakan.
f) Anggaran sebagai alat penilaian kinerja. Anggaran
merupakan wujud komitmen dari budget
holder (eksekutif) kepada pemberi wewenang (legislatif). Kinerja eksekutif
akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksanaan
anggara. Anggaran merupakan alat yang efektif untuk pengendalian dan penilaian
kinerja.
g) Anggaran sebagai alat motivasi. Anggaran dapat
digunakan sebagai alat untuk memotivasi manajer dan stafnya agar berkerja
secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi yang
telah ditetapkan. Target anggaran hendaknya jangan terlalu tinggi sehingga
tidak dapat dipenuhi, namun juga jangan terlalu rendah sehingga mudah untuk
dicapai.
h) Anggaran sebagai alat untuk menciptakan ruang publik.
Anggaran publik tidak boleh diabaikan oleh kabinet, birokrat, dan DPR/DPRD.
Kelompok masyarakat yang terorganisir akan mencoba mempengaruhi anggaran
pemerintah untuk kepentingan mereka. Kelompok lain dari masyarakat yang kurang
terorganisasi akan mempercayakan aspirasinya melalui proses politik yang ada.
Kelompok lain yang tidak berdaya akan dengan mudah dan tidak berdaya mengikuti
tindakan pemerintah. Jika tidak ada alat menyampaikan suara mereka maka mereka
akan mengambil tindakan lain seperti dengan tindakan massa dan melakukan
boikot.
Kenis
dalam Darwanis dan Chairunnisa (2013) menyebutkan bahwa kejelasan sasaran
anggaran merupakan sejauh mana tujuan anggaran ditetapkan secara jelas dan
spesifik dengan tujuan agar anggaran dapat dimengerti oleh orang yang
bertanggungjawab atas pencapaian sasaran anggaran tersebut. Oleh sebab itu,
anggaran berbasis kinerja dimaksudkan untuk mencapai sasaran yang jelas,
spesifik, dan mudah diketahui oleh mereka yang bertanggungjawab untuk
diupayakan se-maksimal mungkin mencapai sasaran sebagai bentuk transparansi
lembaga.
Bentuk
dari akuntabilitas dan transparansi dari kinerja suatu lembaga negara umumnya
dalam bentuk pelaporan, hal demikian juga termasuk pelaporan kinerja berbasis
anggaran. Halim (2002:159) menyatakan bahwa tujuan dari laporan keuangan
pemerintah adalah untuk memberikan informasi keuangan terhadap :
a. Akuntabilitas, yaitu pertanggungjawaban atas
pengelolaan sumberdaya-sumberdaya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan
kepada unit organisasi negara dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan melalui laporan keuangan lembaga negara secara periodik.
b. Manajerial, yaitu menyediakan informasi keuangan yang
berguna untuk perencanaan dan pengelolaan keuangan lembaga negara serta
memudahkan pengendalian yang efektif atas seluruh aset, hutang, dan ekuitas
dana.
c. Transparansi, yaitu menyediakan informasi keuangan
yang terbuka bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan good governance yang baik.
Halim
(2002:160) juga memaparkan terdapat empat karakteristik kualitatif pokok dari
suatu laporan keuangan yaitu sebagai berikut :
1. Dapat Dipahami. Informasi keuangan yang dapat dipahami
adalah informasi yang disajikan dalam bentuk dan bahasa teknis yang sesuai
dengan tingkat pengertian penggunanya. Dalam konteks ini, para pihak pengguna
sendiri dituntut untuk memiliki tingkat pengetahuan tertentu mengenai akuntansi
dan informasi keuangan yang dikandungnya. Dengan demikian sama sekali tidak
berarti bahwa informasi akuntansi harus dapat dimengerti oleh setiap orang.
2. Relevan. Penyajian informasi keuangan harus berpautan
dengan tujuan pemanfaatannya. Informasi yang tidak berpautan dengan
pemanfaatannya adalah tidak relevan dan tidak ada gunanya. Berhubung laporan
keuangan disusun untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak yang yang memiliki rupa-rupa
tujuan, maka upaya penyajian informasi yang relevan lebih difokuskan kepada
kepentingan umum pengguna.
3. Andal. Agar bermanfaat, informasi harus andal.
Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan,
kesalahan yang material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang
tulus atau jujur dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar
diharapkan dapat disajikan. Jujur dalam pengertian ini bahwa informasi harus
menggambarkan dengan jujur transaksi atau peristiwa lainnya yang seharusnya
disajikan. Disamping itu tidak memihak atau netral yang artinya harus diarahkan
pada kebutuhan umum dan tidak bergantung pada kebutuhan pihak tertentu. Tidak
boleh ada usaha untuk menyajikan informasi yang menguntungkan pihak tertentu
yang akan merugikan pihak lain.
4. Dapat Diperbandingkan. Informasi akuntansi harus dapat
diperbandingkan dengan informasi akuntansi periode sebelumnya pada unit kerja
atau organisasi yang sama ataupun dengan unit kerja atau organisasi yang
sejenis lainnya pada periode waktu yang sama. Agar bisa diperbandingkan, maka lembaga
negara harus konsisten dalam menerapkan prinsip akuntansi dari tahun ke tahun.
Namun demikian tidak membatasi institusi negara untuk mengubah metode akuntansi
yang selama ini digunakan, bila ada metode akuntansi yang lebih baik maka bisa
saja merubahnya. Hanya dalam hal ini alasan perubahan metode tersebut harus
diungkapkan dalam laporan keuangan pada periode terjadinya perubahan tersebut.
3) Lembaga Negara perlu diawasi.
Secara umum yang dimaksud dengan pengawasan adalah
segala kegiatan/aktivitas dan tindakan dat/atau aksi untuk menjamin agar
penyelenggaraan suatu kegiatan tidak menyimpang dari tujuan serta rencana yang
telah digariskan atau ditetapkan (Darwanis dan Chairunnisa, 2013:153). Hal ini
mempertegas yang dinyatakan Mardiasmo (2001) bahwa pengawasan mengacu pada
tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak di luar ekesekutif yaitu
masyarakat dan legislative untuk mengawasi kinerja pemerintah. Pengawasan juga
sangat diperlukan untuk mengetahui apakah perencanaan yang telah disusun dapat
berjalan secara efisien, efektif dan ekonomis (Corynata, 2007). Dengan demikian
pengawasan merupakan bentuk aktivitas dan aksi personal atau bentukan yang
dilakukan untuk memastikan apakah sesuatu tujuan dan harapan yang telah
ditetapkan dapat terlaksana dengan tepat guna dan tepat sasaran melalui
kegiatan monitoring dan evaluasi.
Baswir (2000:121) menyebutkan bahwa pengawasan dapat
dilakukan atas 2 (dua) ruang lingkup yaitu pengawasan secara internal dan
eksternal. Pengawasan internal merupakan pengawasan yang dilakukan oleh aparat
pengawasan yang berasal dari lingkungan internal organisasi pemerintah.
Pengawasan internal dalam arti sempit adalah pengawasan yang berasal dari
lingkungan internal departemen atau Lembaga Negara yang diawasinya. Sedangkan
pengawasan internal dalam arti luas adalah pengawasan internal internal yang
dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dari lembaga khusus pengawasan
yang dibentuk secara internal oleh pemerintah atau lembaga eksekutif. Sedangkan pengawasan ekternal merupakan suatu
bentuk pengawasan yang dilakukan oleh suatu unit pengawasan yang sama sekali
berasal dari luar lingkungan organisasi eksekutif. Dengan demikian dalam
pengawasan eksternak ini antara pengawas dengan pihak yang diawasi tidak lagi
terdapat hubungan kedinasan. Fungsi ini di Indoensia diselenggarakan oleh DPR,
BPK, BPKP, dan secara langsung oleh masyarakat.
Berdasarkan tinjauan di atas maka dapat dipahami bahwa
pengawasan terhadap atau diantara lembaga negara bertujuan agar kinerja yang
dihasilkan dapat memenuhi karakteristik kualitatif, yaitu dapat membantu
diantara lembaga negara untuk dapat mengambil keputusan yang akan berguna bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengawasan yang multicontroling juga mampu menciptakan
akuntabilitas dan transparansi. Hal ini dapat ditemukan dalam kewajiban untuk
memberikan pertanggungjawaban atau penjelasan kinerja seseorang dari apa yang
telah dilakukannya. Jika ditinjau dari konteks administrasi negara,
akuntabilitas menghendaki birokrasi dapat menjelaskan secara transparan dan
terbuka kepada publik mengenai tindak apa yang telah dilakukan. Tujuannya,
untuk menjelaskan bagaimanakan pertanggungjawaban hendak dilaksanakan dan apa
dampaknya. Dengan adanya penjelasan secara transparan dan terbuka, masyarakat
(publik) menjadi tahun tentang apa yang telah dilakukan oleh lembaga negara,
berapa besarnya anggaran yang digunakan, dan bagaimana tindakan itu (Chapter,
2015).
Tetapi dalam kenyataannya, meskipun lembaga negara
mampu memenuhi dan mempertemukan tuntutan dan harapan publik dengan standar
kerja (standart of performance)
tertentu, tetap saja terdapat suatu ruang diskresi (pengambilan keputusan
secara sepihak) yang cukup luas. Selain akan kurang memberikan kepuasan dalam
penyediaan kebutuhan dan layanan publik, hal tersebut juga berpotensi
terbukanya peluang penyalahgunaan kekuasaan atau praktek yang menyimpang/mal-administration[5].
Chapter (2015) menjelaskan bahwa mal-administrasi yang seringkali dilakukan
selain korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), adalah juga inefisiensi dan
tindakan yang kurang profesional serta cenderung melampaui kewenangannya.
Meskipun begitu, aktor (pemerintah/eksekutif) dan politisi (legislative)
berpeluang besar untuk menampik atau mengelak dari tanggungjawab tersebut, yang
antara lain adalah dengan dalih ketidakjelasan instruksi atau belum mendapatkan
instruksi sehingga mereka selayaknya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Selanjutnya ketidakmampuan birokrasi lembaga negara
untuk mempertanggungjawabkan secara subjektif (responsible) maupun tanggungjawab secara objektif (accountable), dan responsifitas (responsiveness), menjadikan tidak saja
kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik menjadi jelek,
melainkan juga menjadikan masyarakat menjadi tidak puas dengan layanan yang
diberikan dan tidak percaya dengan kinerja lembaga negara, meskipun lembaga
negara tersebut legitimate.
Masalah kontrol (pengawasan) menjadi penting, bukan
saja karena birokrasi publik dalam melaksanakan tugas, wewenang dan
tanggungjawabnya memiliki etika dan standar profesional, tapi juga perlu adanya
sarana dan sanksi (punishment) untuk
hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan, karena nilai-nilai etika
dan standar profesional belum cukup memberikan hukuman, dan keterlibatan yang
berlebihdan aktor lembaga negara dalam penyelenggaraan good governance tidak saja melaksanakan undang-undang, tetapi juga
secara sadar membuat undang-undang dan bahkan membuat keputusan hukum.
Di samping itu, kontrol (pengawasan) bukanlah untuk
mencari kesalahan, tetapi untuk menemukan penyimpangan atas pelaksanaan suatu
pekerjaan sehingga dapat dilakukan tindakan korektif. Dengan adanya tindakan
korektif maka kinerja yang dilakukan akan sesuai dengan rencana. Jika tidak
terdapat kontrol maka hasil yang diharapkan sebagaimana yang ditentukan dalam
perencanaan menjadi tidak terwujudkan. Tetapi Chapter (2013) menjelaskan bahwa kontrol
juga tidak akan efektif jika tidak ada perencanaan karena harus ada kejelasan
apa yang dijadikan standar untuk melakukan kontrol. Standar untuk melakukan
kontrol adalah visi-misi, tujuan-sasaran, serta kebijakan yang telah dituangkan
sebelumnya dalam suatu perencanaan strategis. Oleh karena itu, keberadaan
perencanaan yang baik (strategic planning),
pelaksanaan (implementation) yang
sesuai, pengawasan yang ketat adalah kata kunci mencapai akuntabilitas untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik (good
governance).
Lebih lanjut dijelaskan Chapter bahwa selain kontrol
internal juga terdapat kontrol eksternal, dimana terdapat berbagai strtaegi
untuk melakukan kontrol eksternal tersebut baik dengan melibatkan peran serta
masyarakat maupun dengan bantuan lembaga legislatif. Strategi pertama adalah
dengan menekan aktor lembaga negara untuk berbagi informasi sehingga mereka
harus terbuka (opennes) dan
transparan (transparency). Selain
itu, lembaga legislatif juga berwenang untuk meminta birokrasi melaporkan
kinerka atau hasil kerja mereka secara berkala maupun sewaktu-waktu diperlukan,
dan dimana perlu dapat menahan resources (anggaran) yang dibutuhkan oleh
lembaga negara tersebut.
Selain kontrol administratif juga dikenal kontrol
lainnya, seperti kontrol politis dan kontrol yuridis terhadap pemerintah.
Kontrol politis adalah kewenangan parlemen, dan kontrol yuridis adalah
kewenangan yudikatif, baik melalui peradilan administrative atau Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) maupun pengadilan umum, sedangkan hal-hal lain
dilakukan oleh masing-masing lembaga negara.
Penutup
Upaya
dalam mewujudkan good governance,
secara epistemologi hanya mampu diimplementasi dalam lima prinsip yang
universal, yakni: responsibility,
accountability, fairness, independency, and transparency.
Pasca amandemen UUD NRI 1945, lembaga negara hasil amandemen adalah
BPK, DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, dan KY (8 lembaga
negara). Menurut Soemantri (2006:24), yang dikatakan sebagai lembaga negara
adalah lembaga yang tugas dan wewenangnya diatur dalam UUD. Soemantri mempertegas pendapat Bintan R.
Saragih (2004) yang menggolongkan lembaga negara secara fungsional dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan negara, meliputi eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Berdasarkan konstrukksi ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945
pasca-perubahan, lembaga negara terdistribusi secara “horizontal-fungsional”
dengan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara yang sederajat. Konstruksi ini
berbeda dengan kontruksi UUD sebelum amandemen yang meletakkan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara dan semua lembaga negara berada di bawah kedudukan
MPR.
untuk
mengukur kinerja diperlukan indikator kinerja yang dapat dikelompokkan atas
indikator Inputs (masukan), Process (proses), Outputs (keluaran), Outcomes (hasil),
Benefits (manfaat), dan Impacts (dampak).
berdasarkan
pemunculan istilah, good governance ditandai
dengan karakteristik atas participation (partisipasi), rule of law/fairness (penerapan hukum), transparency
(transparansi), responsiveness (responsif), consensus orientation (orientasi), equity (keadilan), effectiveness and efficiency (efektif dan efisien), accountability
(akuntabilitas), strategic vision (strategi
vision), dan saling keterkaitan.
Sedangkan
agenda penciptaan tata kepemerintahan yang baik setidaknya memiliki 5 (lima)
sasaran, yaitu: berkurangnya secara nyata praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme di birokrasi yang dimulai dari jajaran pejabat yang paling atas;
terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah yang efisien,
efektif, dan profesional transparan dan akuntabel; terhapusnya peraturan dan
praktek yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara; meningkatnya
partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik; terjaminnya
konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah.
Beberapa
cara untuk mendorong akuntabilitas dan transparansi kinerja lembaga negara
dapat dilakukan melalui memperkuat basis penunjang instrument kinerja lembaga
negara, memperkuat anggaran berbasis kinerja dan pengawasan penggunaan anggaran
berbasis kinerja. Anggaran menjadi perhatian tersendiri karena anggaran sangat
rawan untuk dikorupsi untuk kepentingan tertentu yang diikuti dengan tindakan
nepotisme dan kolusi. Di samping itu, lembaga negara perlu diawasi pelaksanaan
dan implementasi dalam setiap aktivitas yang dilakukan.
Referensi
Atmosodirjo, P. 1983. Hukum Administrasi Negara.
Cetakan Kesepuluh. Ghalia Indonesia Press. Jakarta.
Bappenas. 2007. Penerapan Tata Kepemerintahan yang
Baik. Petunjuk Bagi Aparatur Negara. Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan
Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik. Jakarta. (http://bappenas.go.id/). Akses tanggal 30 Agustus 2015.
Baswir, R. 2000. Akuntansi Pemerintahan Indonesia. Edisi
Ketiga. BPFE. Yogyakarta.
Chapter. 2013. Good
Governance. Suatu Tinjauan. (http://google.com//pdf./). Akses tanggal 29 Agustus 2015.
-------------. 2014. Good Governance. Suatu Studi Pemikiran. (http://google.com//pdf./). Akses tanggal 29 Agustus 2015.
-------------. 2015. Perkembangan Tata Kelolah yang
Baik (Good Governance) dan
Penerapannya Dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik. Suatu Studi Pustaka. (http://google.com//pdf./).
Akses tanggal 29 Agustus 2015.
Coryanata, I. 2007. Akuntabilitas, Partisipasi
Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik Sebagai Pemoderating Hubungan
Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). Simposium Nasional Akuntansi. Makassar.
Darwanis dan S. Chairunnisa. 2013. Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pememrintah. Fakultas Ekonomi. Universitas Syiah Kuala. Jurnal
Telaah dan Riset Akuntansi. Vol. 6(2):150-174.
Dwiyanto, A. 2004. Reorientasi Administrasi Publik
dari Government ke Governance. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Fisipol UGM. Jogjakarta. (http://lib.ugm.ac.id/). Akses tanggal 29 Agustus 2015.
Halim, A. 2002. Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan
Daerah: Akuntansi dan Pengendalian Keuangan Daerah. UPP AMPYKPN. Yogyakarta.
----------------- 2007. Akuntansi Sektor Publik:
Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Ketiga. Salemba Empat Press. Jakarta.
Fibiona, I dan J. R. T. Purba. 2012. Dari Administrasi
Publik Ke Publik Governance. (http://indracuin.blogspot.co.id). Akses Agustus 2015.
Helmi, Amir. 2009. Tunjangan Besar, Kinerja SKPA
Kedodoran: SILPA membengkak Dari Tahun ke Tahun. Opini. Harian Serambi
Indonesia, Kamis, 10 Desember 2009.
Kenis, I. 1979.
Effects on Budgetary Goal Characteristic on Managerial Attitudes and
Performance. The Accounting Review LIV (4). 707-721.
Komarudin dan S. Yudo. 2009. Transparansi dan
Akuntabilitas Pelayanan Publik Kasus Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Air
Limba Domestik. Jurnal Akuntansi Indonesia. Vol. 5(1): 89-103.
Kurniawan, T. 2007. Pergeseran Paradigma Administrasi
Publik: Dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. Vol. VII. (http://teguh-kurniawan.web.ugm.ac.id). Akses tanggal 29 Agustus 2015.
Lembaga Administrasi Negara. 2003. Pedoman Penyusunan
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta.
Mardiasmo. 2001. Pengawasan, Pegendalian, dan
Pemeriksaan Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal
Bisnis dan Akuntansi. Vol.3(2):441-456.
-------------. 2005.
Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
-------------. 2006. Perwujudan Transparansi dan
Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good
Governance. Jurnal Akuntansi Pemerintahan. Vol. 2(1) :1-17.
Nugraha, S. 2007. Hukum Administrasi Negara. Ed.
Revisi. CLGGS Press. Depok..
Nugroho, 2005. Pendidikan Karakter. Dalam Chapter.
2015. Perkembangan Tata Kelolah yang Baik (Good
Governance) dan Penerapannya Dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik. Suatu
Studi Pustaka. (http://google.com//pdf./). Akses tanggal 29 Agustus 2015.
Pasolong, H. 2010. Teori Administrasi Publik. Penerbit
Alfabeta. Bandung. Jawa Barat.
Rahmanurrasjid, A. 2008. Akuntabilitas dan
Transparansi Dalam Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Untuk Mewujudkan
Pemerintahan yang Baik di Daerah. (Studi di Kabupaten Kebumen). Thesis. Program
Magister Ilmu Hukum. Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
Wahab. 2002. Good
Governance. Dalam Rahmanurrasjid, A. 2008. Akuntabilitas dan Transparansi
Dalam Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Untuk Mewujudkan Pemerintahan yang
Baik di Daerah. (Studi di Kabupaten Kebumen). Thesis. Program Magister Ilmu
Hukum. Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
Wrihatnolo, R. R., dan R. N. Dwidjowijoto. 2007.
Manajemen Pemberdayaan. Penerbit Elekmedia Komputindo. Jakarta.
[1] Makalah ini
diseminarkan dalam Kegiatan “Seminar Nasional Fraksi Partai Demokrat MPR RI,
dengan Tema ‘Akuntabilitas dan Transparansi Kinerja Lembaga Negara’; Kamis, 3
September 2015 di Hotel Lindo Graha, Lheuksomawe, Banda Aceh.
[2] Economic Governance includes
process of decision-making that direct or indirectly a country’s economic
activities or its relationship with other economics.
[3] Political Governance refer to
decission making and policy implementation of a legitimate and authoritative
state.
[4] Administrative Governance is a
system of policy implementation carried out throught an efficient, independent,
accountable, and open public sector.
[5] Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan
hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenaang untuk tujuan lain dari yang
menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban
hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara
negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial
bagi masyarakat dan orang perseorangan (Ombudsman RI, 2009).