Oleh: DR. Jefri Riwu Kore, MM., MH[1]
Anggota Komisi X DPR RI Periode 2014-2019
Pengantar
Lembaga negara sering disebut dengan istilah badan negara atau organ
negara. Jika di Inggris, lembaga negara disebut political institution. Sedangkan di Belanda disebut dengan istilah staat organen. Dalam kamus hukum Andrea
Fockema yang diterjemahkan Adiwinata dkk, organ diartikan sebagai alat
perlengkapan atau orang dan/atau majelis
yang terdiri dari orang-orang dan berdasarkan undang-undang atau anggaran dasar
berwenang mengemukakan dan merealisasikan kehendak badan hukum. Sedangkan Refly
Harun dkk. (2004) berpandangan bahwa organ atau lembaga negara adalah
badan-badan di semua lingkungan pemerintahan negara (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif). Pandangan ini disesuaikan dengan yang dikemukakan Hans Kelsen
(1961) yang mendefenisikan lembaga sebagai organ, artinya siapa saja yang
menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum.
Sri Soemantri (2004) menjelaskan bahwa konsep diadakannya lembaga
negara atau alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi
negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Artinya,
lembaga-lembaga tersebut harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama
lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara (actual governmental process).
Berdasarkan kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan
dalam rangka penyelenggaran fungsi negara, tentunya masing-masing
lembaga/institusi negara harus secara serempak dan menegakkan good governance. Hal ini dapat tercapai
jika masing-masing lembaga mampu melaksanakan peran, tugas, dan fungsinya
secara bertanggungjawab, efektif dan efisien, bebas dari KKN (korupsi, kolusi,
dan nepotisme) untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh
masyarakat atau warga negara. Di Indonesia, peran dan fungsi ini terdistribusi
pada 3 (tiga) bagian, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Bintan R.
Saragih, 2004). Pendapat ini dipertegas lagi oleh Soemantri (2006:24) bahwa
yang dikatakan sebagai lembaga negara adalah yang tugas dan wewenangnya diatur
dalam UUD 1945. Oleh karena itu, setelah dilakukan amandemen keempat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), maka lembaga negara
tersebut adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), Presiden
dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi
Yudisial (KY).
Berdasarkan hasil amandemen keempat UUD NRI 1945, maka lembaga negara
di Indonesia terdistribusi secara “horizontal-fungsional”
dengan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara (bukan lembaga tertinggi negara)
yang sederajat. Hal ini berbeda dengan masa pra-amandemen yang menempatkan MPR
sebagai lembaga tertinggi negara dan semua lembaga negara berada di bawah
kedudukan MPR.
Sebelum amandemen UUD NRI 1945, bentuk pertanggungjawaban kinerja
seluruh lembaga tinggi negara wajib ke MPR dalam mekanisme sidang tahunan MPR. Atas laporan kinerja tersebut, MPR membentuk Ketetapan MPR tentang penerimaan atas laporan
Pertanggungjawaban Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Tetapi dalam rentan waktu
tahun 1999-2003, sidang tahunan MPR diperlukan terkait dengan proses perubahan
UUD NRI 1945 yang disepakati secara bertahap dalam rentan waktu tersebut
sebagai satu rangkaian proses perubahan (Gaffar, 2015).
Pasca tahun 2003, Sidang Tahunan MPR RI terjadi kevakuman hingga tahun
2014. Terkait rentan waktu tersebut banyak perdebatan perlu tidaknya Sidang
Tahunan MPR RI karena kedudukan MPR RI yang sejajar holizontal tidak lagi
vertikal dimana MPR RI dianggap lembata tertinggi negara. Tahun 2015,
diselenggarakan Sidang Tahunan MPR RI pertama kali lagi di masa awal
pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla setelah vakum
semenjak tahun 2003. Terhadap ini, Gaffar (2015) menyatakan bahwa Sidang
Tahunan MPR RI yang dilakukan merupakan kreasi ketatanegaraan yang diinisiasi
oleh MPR RI dengan harapan setiap lembaga tinggi negara yang diberikan mandat
oleh konstitusi melalui presiden sebagai kepala negara dapat menyampaikan
laporan kinerjanya kepada rakyat. Namun Gaffar menekankan bahwa meskipun
laporan kinerja dalam bentuk pidato yang disampaikan dalam forum sidang tahunan
MPR RI, laporan kinerja tersebut bukan ditujukan kepada MPR RI tetapi kepada
pemberi mandat yaitu rakyat. Hal ini diketahui sesuai dengan konstruksi
ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 pasca-perubahan yang tidak lagi “vertikal-hirarkis” terhadap MPR RI
sebagai lembaga tertinggi, namun terdistribusi secara “horizontal-fungsional”. Demikian pun MPR RI juga akan menyampaikan
laporan kinerjanya kepada rakyat melalui presiden selaku kepala negara dalam
Sidang Tahunan MPR RI yang dilakukan tersebut. Dengan demikian, bentuk laporan
kinerja lembaga tinggi negara ini merupakan pandangan dari bentuk horizontal fungsional diantara lembaga
negara hasil amandemen UUD NRI 1945.
Tetapi perlu disadari agar tidak terjadi salah tafsir terkait posisi
lembaga Megara yang saling berkait dalam mendukung penyelenggaraan negara
sehingga perlu ditinjau konsep masing-masing lembaga negara pasca amandemen UUD
NRI 1945. Demikian juga keterkaitan fungsi dalam penyelenggaraan negara dan
mekanisme pelaporan kinerja kepada rakyat (pemegang kedaulatan tertinggi).
Demikian juga, salah satu mekanisme yang dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR
RI.
Berdasarkan tinjauan tersebut di atas maka perlu dijelaskan sejauhmana
bentuk “akuntabilitas dan transparansi publik kinerja lembaga negara melalui
Sidang Tahunan MPR RI”.
Konsep Lembaga
Negara
Hans Kelsen dalam bukunya berjudul “General
Theory of Law and State” menyebut lembaga negara dengan sebutan organ. Siapa
saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum adalah
suatu organ. Organ negara itu tidak selalu berbentuk organik, lebih luas lagi,
setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan
fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). Atau dalam naskah
aslinya tertulis: “Whoever fulfills a
function determined by the legal order is an organ. “These functions, be they
of a norm creating or of a norm applying character, are all ultimately aimed at
the execution of a legal sanction”.
Pandangan Kelsen didasarkan pada intepratasinya terhadap parlemen yang
menetapkan undang-undang dan rakyat yang memilih wakilnya untuk duduk di
parlemen melalui mekanisme pemilihan umum. Kedua mekanisme ini sama-sama
sebagai organ negara (konsep luas). Hal ini dapat juga dianalogikan terhadap
hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan
hukuman putusan hakim di lembaga permasyarakatan. Ini juga dikatakan sebagai
organ negara. Jadi organ adalah individu yang melaksanakan fungsi tertentu.
Kualitas seseorang sebagai organ dibentuk oleh fungsinya. Ia adalah seorang
organ karena dan bila dia melakukan fungsi dan membuat atau menerapkan hukum (an organs, in this sense, is an individual
fulfilling a specific function. He is an organ because and in so far as he
performs a law creating or law applying function).
Faridah T (2012) menyimpulkan pandangan Kelsen dalam arti luas ini
menjadi proses yang identik dengan individu yang melaksanakan fungsi atau
jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara, dan biasanya disebut dengan
jabatan publik atau jabatan umum (public
offices) dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials).
Selain pengertian luas di atas, Kelsen mempersempit konsep
lembaga/organ negara ditinjau dari konsep material, “seseorang dikatakan
sebagai organ negara jika dia secara pribadi menempati kedudukan hukum
tertentu”, (He personally has a specific
legal position). Suatu transaksi hukum, seperti halnya perjanjian atau
kontrak, merupakan tindakan membuat hukum, seperti halnya keputusan pengadilan
(Farida T, 2012:4).
Jimly Asshiddiqie (2004) mempertegas pengertian organ negara ditinjau
dari pengertian yang sempit dan pengertian yang luas. Dalam arti sempit jika
organ negara itu bercirikan:
1. Jika organ negara itu dipilih atau diangkat
untuk menduduki jabatan atau fungsi tertentu.
2. Jika fungsi itu dijalankan sebagai profesi
utama atau bahkan secara hukum bersifat ekslusif.
3. Jika karena fungsinya itu, ia berhak untuk
mendapatkan imbalan berupa gaji dari negara.
Sedangkan dalam arti luas dikemukakan bahwa cakupan organ/lembaga
negara, terdapat hal-hal yang perlu dijelaskan dan diterangkan dalam defenisi
organ negara di Indonesia, yaitu:
1. Dalam arti luas, (pengertian pertama), yaitu
organ negara mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi law creating and law applying.
2. Pengertian kedua, organ negara dalam arti luas
tetapi lebih sempit dari pengertian pertama, yaitu mencakup individu yang
menjalankan fungsi law creating or law
applying dan juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan
kenegaraan atau jabatan pemerintahan.
3. Pengertian ketiga, organ negara dalam arti
lebih sempit, yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi law-creating dan/atau law-applying dalam kerangka struktur dan
sistem kenegaraan atau pemerintahan.
4. Pengertian keempat, yang lebih sempit lagi, organ
atau lembaga negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara
yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh peraturan yang lebih rendah.
5. Pengertian kelima, selain empat pengertian yang
dikemukakan di atas, untuk memberikan kekhususan kepada lembaga-lembaga negara
yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh UUD
1945.
Dengan demikian Faridah T (2012:5) menyimpulkan bahwa pembicaraan
terkait organisasi negara, terdapat dua unsure pokok yang saling berkaitan yaitu
organ dan fungsi. Organ adalah bentuk atau wadahnya. Sedangkan fungsi berupa
isinya. Atau dalam status bentuknya, di Inggris diistilahkan dengan form, di Jerman diistilahkan dengan vorm. Sedangkan fungsi adalah gerakan
wadah itu sesuai dengan maksud pembentukannya. Terkait dengan naskah UUD NRI
1945, organ-organ yang dimaksud ada yang disebut secara eksplisit namanya dan
adapula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ
yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur
dengan peraturan yang lebih rendah.
Lembaga
Negara Berdasar UUD NRI 1945
Berdasarkan konsep lembaga negara atau organ negara yang dikemukakan
Jimly Assiddiqie, Hans Kelsen, dan Farida T maka terdapat beberapa istilah
lembaga negara di Indonesia yang dapat disebut dengan lembaga pemerintahan,
lembaga non-departemen, atau lembaga negara saja. Pengistilahan tersebut sangat
terkait dengan pembentukan lembaga yang dibentuk karena mandat atau amanah
dalam UUD NRI 1945, ada pula yang dibentuk karena kekuasaan Undang-Undang, dan
bahkan ada yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden. Dengan demikian,
hirarki atau ranking kedudukannya tentu saja bergantung pada derajat pengaturan
menurut kekuasaan peraturan perundangan yang berlaku. Artinya, lembaga negara
yang diatur dan dibentuk oleh UUD NRI 1945 merupakan organ konstitusi,
sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya
dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan
derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula
jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan
Daerah maka tentu lebih rendah lagi tingkatannya (Farida T, 2012:5).
Penyebutan lembaga negara diungkapkan Sri Soemantri (1993), bahwa
secara konseptual, tujuan dibentuknya lembaga-lembaga negara atau alat-alat
kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk
menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.
Artinya, lembaga-lembaga tersebut harus membentuk suatu kesatuan proses
yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi
negara atau actual governmental process.
Berdasarkan perihal terkait kedudukan lembaga negara berdasarkan
tinjauan tingkatan peraturan yang dibentuk baik penyebutan lembaga negara yang
ekplisit namanya maupun eksplisit fungsinya, atau pun organ atau lembaga negara
yang baik nama maupun fungsinya diatur dengan peraturan yang lebih rendah, maka
organ, jabatan maupun lembaga-lembaga yang terdapat dalam konstitusi tersebut
dapat ditulis sebagai berikut[2]:
1. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi judul “Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga
ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga ayat.
2. Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab
III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal.
3. Wakil
Presiden yang
keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4
ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden
dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”.
4. Menteri dan
Kementerian Negara yang
diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu pada Pasal 17 ayat(1), (2), dan
(3).
5. Menteri
Luar Negeri sebagai
menteri triumpirat [3]
yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan
apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan Presiden
dan Wakil Presiden.
6. Menteri
Dalam Negeri sebagai triumpirat
bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8
ayat (3) UUD 1945.
7. Menteri
Pertahanan yang
bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri ditentukan
sebagai menteri triumpirat menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya
perlu disebut secara sendiri-sendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau
sengketa kewenangan konstitusional di antara sesama mereka, atau antara mereka
dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya.
8. Dewan
Pertimbangan Presiden
yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang
berbunyi, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan
nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.
9. Duta seperti diatur dalam Pasal 13 ayat
(1) dan (2).
10. Konsul seperti yang diatur dalam Pasal13
ayat (1).
11. Pemerintahan
Daerah Provinsi
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD
1945.
12. Gubemur
Kepala Pemerintah Daerah
seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
13. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat 3 UUD 1945.
14. Pemerintahan
Daerah Kabupaten
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD
1945.
15. Bupati
Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten
seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
16. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945.
17. Pemerintahan
Daerah Kota sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945.
18. Walikota
Kepala Pemerintah Daerah Kota
seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
19. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD 1945.
20. Satuan
Pemerintahan Daerah yang
bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD
1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya yang khusus dan
diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa
ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah
Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh
Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan
undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu
disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui
dan dihormati oleh negara.
21. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B.
22. Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220.
23. Komisi
Penyelenggaran Pemilu
yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan
umum harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. Nama “Komisi Pemilihan Umum bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD
1945, melainkan oleh Undang-Undang.
24. Bank
Sentral yang disebut
eksplisit oleh Pasal 230, yaitu “Negara memiliki suatu bank sentral yang
susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur
dengan undang-undang. Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945
belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral
sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang
ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang berdasarkan kenyataan
yang diwarisi dari sejarah di masa lalu.
25. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIA dengan judul “Badan Pemeriksa Keuangan,
dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan
Pasal 23G (2 ayat).
26. Mahkamah
Agung (MA) yang
keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945.
27. Mahkamah Konstitusi
(MK) yang juga diatur
kebera-daannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945.
28. Komisi
Yudisial yang juga
diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap
Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945.
29. Tentara
Nasional Indonesia (TNI)
diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan
Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945.
30. Angkatan
Darat (TNI AD) diatur
dalam Pasal 10 UUD 1945.
31. Angkatan
Laut (TNI AL) diatur
dalam Pasal 10 UUD 1945.
32. Angkatan
Udara (TNI AU) diatur
dalam Pasal 10 UUD 1945.
33. Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI)
yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945.
34. Badan-badan
lain yang fungsinya
terkait dengan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam undang-undang
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang
Berdasarkan nama-nama lembaga negara yang disebutkan dalam konstusi
(kurang lebih 34 lembaga negara) terdapat beberapa diantaranya perlu dibentuk
secara Undang-Undang atau tingkatan peraturan yang berada lebih rendah
tingkatannya atau kewenangannya belum ditentukan dalam UUD NRI 1945, seperti
Pasal 23D dalam konstitusi yang menyebutkan bahwa “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”, dimana
memiliki pengertian kewenangan bank sentral itu sendiri masih akan diatur
dengan Undang-Undang. Dalam Undang-Undang Bank Sentral tersebut diberi nama
Bank Indonesia.
Demikian juga terkait dengan Pasal 24 ayat (3) yang menyebutkan
Badan-Badan lain yang menjalankan fungsi kehakiman. Badan-badan tersebut
artinya lebih dari satu. Dalam terminologinya, selain Kejaksaan Agung, masih
terdapat lembaga lain yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman atau
yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan.
Lembaga-lembaga tersebut seperti: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga seperti ini
meskipun tidak secara jelas disebutkan dalam UUD NRI 1945 tetapi memiliki constitutional importance (derajat
kepentingan konstitusi) atau memiliki kekuatan yang sama dalam sistem tata
negara.
Tinjauan badan-badan lain di Pasal 24 juga dapat dikaitkan dengan
kedudukan antara Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Dalam UUD NRI 1945 yang
ditentukan kewenangannya hanya kepolisian yakni pada Pasal 30, sedangkan
Kejaksaan Agung sama sekali tidak dijelaskan. Tidak berarti bahwa Kejaksaan
Agung tidak penting dibandikan dengan kepolisian, karena kedua lembaga tersebut
memiliki derajat kepentingan yang sama, karena setiap negara yang menganut
sistem atau prinsip demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis
haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian negara dan kejaksaan sebagai
lembaga penegak hukum yang efektif.
Pembedaan
Lembaga Negara Dari Segi Fungsi dan Hirarki
Ditinjau dari konsep lembaga negara maka ke 34 lembaga negara yang
telah disebutkan di atas, maka organ/lembaga negara tersebut dapat
dikategorikan dalam 2 fungsi/sifat, yaitu bersifat utama (primary constitutional organs) dan bersifat sekunder atau penunjang
(auxiliary state organs). Pembedaan
diantara lembaga negara yang bersifat utama dengan bersifat penunjang dapat
ditinjau dari domain (ranah):
1. Kekuasaan eksekutif atau pelaksana. Ditinjau
dari domain ini, fungsi kekuasaan eksekutif atau pemerintahan ada di presiden
dan wakil presiden sebagai kesatuan institusi kepresidenan.
2. kekuasaan legislatif atau fungsi pengawasan.
Ditinjau dari kekuasaan legislatif, maka terdapat 4 (empat) organ atau lembaga
yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis
Permusyarawatan Rakyat (MPR), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
3. Kekuasaan yudisial atau kehakiman. Pada fungsi
lembaga negara ini, pada dasarnya terdapat 3 (tiga) lembaga yang melaksanakan
kekuasaan yudisial, yakni Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan
Komisi Yudisial (KY). Tetapi pelaksanaan fungsi kehakiman hanya Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan kekuasaan pengawasan terhadap kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Komisi Yudisial yang independen dan berkedudukan di
luar dari 2 (dua) lembaga mahkamah. Tetapi bukan berarti kedudukan Komisi
Yudisial dianggap sederajat dengan kedua mahkamah tersebut.
Oleh karena itu, jika ditinjau dari segi keutamaan kedudukan dan
fungsinya maka lembaga negara yang bersifat primer adalah Presiden dan Wakil
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis
Permusyarawatan Rakyat, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan
Pemeriksa Keuangan. Sedangkan lembaga negara lain dapat dianggap sebagai
lembaga negara penunjang (auxiliary state
organs), termasuk Komisi Yudisial. Dasar pikirnya, hubungan KY terhadap MA,
merupakan hubungan fungsi penunjang yang menjadi penentu yang pokok. Meskipun
posisinya bersifat independen terhadap MA, tetapi KY tetap dipandang tidak
sederajat dengan MA sebagai lembaga (tinggi) negara. Dasar pikir ini dapat juga
disebut pada kedudukan Komisi Pengawas Kejaksaan yang tidak dapat disederjatkan
dengan Kejaksaan Agung maupun Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) terhadap
Polri.
Oleh karena itu, ditinjau dari segi fungsi maka yang disebut lembaga
tinggi negara adalah yang mencerminkan kekuasaan utama di eksekutif,
legislatif, dan yudisial (Assidiqqie, 2003). Farida T (2012:15-16) mempertegas
dengan penjelasan bahwa lembaga-lembaga negara seperti Komisi Yudisial (KY),
TNI, POLRI, Menteri Negara, Dewan Pertimbangan
Presiden, dan lain-lain,
meskipun sama-sama ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945
seperti Presiden/Wapres, DPR, MPR, MK, dan MA, tetapi dari segi fungsinya
lembaga-lembaga tersebut bersifat auxiliary
atau memang berada
dalam satu ranah
cabang kekuasaan. Misalnya, untuk
menentukan apakah KY
sederajat dengan MA
dan MK, maka kriteria yang
dipakai tidak hanya bahwa kewenangan KY itu seperti halnya kewenangan
MA dan MK
ditentukan dalam UUD
1945. Karena, kewenangan TNI dan
POLRI juga ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Namun, tidak dengan begitu,
kedudukan struktural TNI dan POLRI dapat disejajarkan dengan tujuh lembaga
negara yang sudah diuraikan di atas. TNI
dan POLRI tetap
tidak dapat disejajarkan
strukturnya dengan presiden dan
wakil presiden, meskipun
kewenangan TNI dan
POLRI ditentukan tegas dalam UUD 1945. Demikian pula, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI), Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK), dan sebagainya,
meskipun kewenangannya dan
ketentuan mengenai kelembagaannya
tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi kedudukannya tidak dapat dikatakan
berada di bawah
POLRI dan TNI
hanya karena kewenangan kedua
lembaga terakhir ini
diatur dalam UUD
1945. Kejaksaan Agung dan
Bank Indonesia sebagai
bank sentral juga
tidak ditentukan kewenangannya
dalam UUD, melainkan hanya ditentukan oleh undang-undang. Tetapi kedudukan
Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia tidak dapat dikatakan lebih rendah daripada
TNI dan POLRI. Oleh sebab itu, sumber normatif
kewenangan lembaga -lembaga tersebut
tidak otomatis menentukan status
hukumnya dalam hirarkis
susunan antara lembaga negara.
Jika ditinjau dari segi hirarkinya, Farida T (2012) menggolongkannya
atas 3 (tiga) lapis, yaitu organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga
tinggi negara; organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja; dan organ
lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Tetapi perlu diingat bahwa penyebutan
lembaga tinggi negara pada organ lapis pertama hanya dimaksudkan untuk
memudahkan pengertian saja, karena saat ini tidak ada lagi sebutan lembaga
tinggi negara.
Organ/lembaga negara lapis pertama dalam pembedaan pengertian lembaga
tinggi negara seperti Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR),
Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sedangkan organ lapis kedua atau dalam pembedaan pengertian disebut lembaga
negara, ada yang mendapat kewenangan dari UUD NRI 1945 Lembaga ini seperti
Menteri Negara, Komisi Yudisial (KY), Tentara Nasional Indonesia (TNI),
Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Bank
Sentral. Namun perlu dijelaskan terkait dengan kedudukan KPU dan Bank Sentral bahwa
dalam Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945 berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Sedangkan ayat (6) berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan
umum diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa
nama resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh
undang-undang. Undang-Undang dapat saja memberi nama kepada lembaga ini bukan
Komisi Pemilihan Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama
lainnya (Farida T, 2012:12-13). Sama hal juga terkait kedudukan dan kewenangan
bank sentral yang tidak tercantum eksplisit dalam UUD NRI 1945. Dalam Pasal 23D
UUD NRI 1945 dinyatakan, “Negara memiliki
suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan
independensinya diatur dengan undang-undang”. Bahwa bank sentral itu diberi
nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu Bank Indonesia, maka
hal itu adalah urusan pembentuk undang-undang yang akan menentukannya dalam
undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal
23D tersebut, akan diatur dengan UU (Farida T, 2012:13).
Selain lembaga negara yang kewenangannya disebut dalam UUD NRI 1945,
terdapat juga yang kewenangannya dari produk Undang-Undang, seperti Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Penyiaran Indoensia (KPI), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Konsil Kedokteran Indonesia, dan sebagainya.
Perlu diketahui bahwa terkait kedudukan lembaga negara yang kewenangannya
ditulis dalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang memiliki kesebandingan yang satu
terhadap yang lain, meskipun kedudukannya tidak lebih tinggi tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya
disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang sehingga tidak dapat ditiadakan
atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undang-undang (Farida,
2012). Tetapi terdapat juga lembaga negara (organ konstitusi) yang sumber
kewenangannya berasal dari produk hukum di bawah Undang-Undang, misalnya Komisi
Ombudsman Nasional (KON) dan Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres). Kedudukan lembaga ini hanya
berdasarkan prerogatif kebijakan Presiden (presidential
policy or beleid president).
Artinya, jika presiden ingin membubarkan lembaga tersebut maka dapat dilakukan.
Sedangkan untuk organ lapis ketiga atau lembaga daerah juga menganut
prinsip adanya organ negara atau organ jabatan yang merupakan lembaga negara
yang ada di daerah. Lembaga daerah ini diatur dalam BAB VI UUD NRI 1945 tentang
Pemerintah Daerah yanda dapat terdiri atas: Pemerintah Daerah Provinsi
(Gubernur dan DPRD Provinsi), Pemerintah Daerah Kabupaten (Bupati dan DPRD
Kabupaten), Pemerintah Kota (Walikota dan DPRD Kota). Jimly Assiddiqie (2003)
juga menjelaskan bahwa dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945
terdapat ketentuan adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau istimewa. Keberadaan satuan pemerintahan ini dinyatakan diakui dan
dihormati keberadaannya secara tegas oleh undang-undang dasar sehingga
keberadaannya sangat kuat konstitusional.
Hubungan
antar Lembaga Negara
Pascaamandemen UUD NRI 1945, hubungan diantara lembaga negara pun
menjadi berubah. MPR RI sebelum amandemen memiliki otoritas sebagai lembaga
tertinggi negara, namun pascaamandemen disejajarkan dengan lembaga negara
lainnya. Hal ini akhirnya menciptakan perubahan paradigm hukum dan
ketatanegaraan. Perubahan ini pun menjadi prinsip-prinsip mendasar yang
menentukan hubungan antar lembaga negara diantaranya supremasi konstitusi,
sistem parlementer menjadi sistem presidensil, pemisahan kekuasaan, dan checks and balances.
Ditinjau dari supremasi konstitusi, perbahan mendasar dalam UUD NRI
1945 pascaamandemen dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) dinyatakan, “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Artinya, kedaulatan rakyat tidak lagi sepenuhnya dilakukan oleh MPR RI, namun
dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. MPR RI tidak lagi menjadi
lembaga tertinggi negara dibandingkan terhadap lembaga negara yang lain.
Demikian juga, pascaamandemen tidak lagi dikenal konsepsi lembaga tertinggi dan
lembaga tinggi negara, tetapi merupakan organ konstitusional yang kedudukannya
tidak lagi hierarkis di bawah MPR RI namun menjadi sejajar dan saling
terkoordinasi dalam kewenangan masing-masing sesuai UUD NRI 1945.
Ditinjau dari sistem presidensil, Sudirman (2014) menyatakan bahwa pascaamandemen
UUD NRI 1945 memberi konsekuensi tidak ada pemangku kekuaran kedaulatan rakyat
tertinggi, artinya tidak lagi mengakui supremasi MPR RI tetapi mengakui
supremasi Undang-Undang Dasar. Seluruh lembaga negara termasuk MPR/DPR berada
dalam posisi yang sejajar, yakni berkedudukan sebagai lembaga negara. Dengan
demikian, pascaamandemen UUD NRI 1945 maka doktrin bernegara adalah separation of power (lembaga tinggi
negara sederajat, saling mengimbangi, dan saling kontrol) sehingga mencirikan
sistem pemerintahan presidensil.
Berdasarkan sudut pandang dalam pemisahan kekuasaan maka sebelum
amandemen UUD NRI 1945, sistem kelembagaan yang dianut adalah distribution of power (pembagian
kekuasaan). Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi
selaku eksekutif dan juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang bersama
DPR RI sebagai co-legilastory.
Sedangkan kekuasaan yudikatif sebelum amandem dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Namun setelah amandemen UUD NRI 1945, proses pembentukan Undang-Undang menjadi
kewenangan DPR dengan persetujuan Presiden. Tetapi kekuasaan utama membentuk
Undang-Undang adalah DPR RI. Fungsi presiden menjadi co-legislator sama seperti
DPD untuk materi undang-undang tertentu bukan sebagai legislator utama.
Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Dalam konteks dilakukan check and
balances diantara lembaga negara dimaksudkan untuk mengimbangi separation of power agar tidak terjadi abuse of power oleh lembaga pemegang
kekuasaan tertentu atau terjadi kebuntuan dalam hubungan antar lembaga. Dengan
demikian, dalam melakukan kewenangan lembaga negara selalu ada peran lembaga
lain. Misalnya hubungan kekuasaan diantara eksekutif yang dilakukan oleh
presiden terhadap kekuasaan legislatif yang dimiliki DPR (termasuk DPD sebagai co-legislator), dengan kekuasaan
yudikatif yang terdapat di MA dan MK. Separation
of power dalam checks and balances sangay
tampak dalam pelaksanaan kekuasaan pembuatan undang-undang, dimana telah
ditentukan kekuasaan pembuat undang-undang adalah DPR namun wajib membutuhkan
kerjasama dengan co-legislator
(presiden dan DPD[4]).
Bahkan jika telah terdapat ketentuan persetujuan dan disahkan bersama antara
DPR dan Presiden, dapat dibatalkan oleh MK jika ketentuan perundangan tersebut
bertentangan dengan UUD NRI 1945. Di samping itu, dalam kewenangan DPR pun
disebutkan pengawasan legislatif terhadap rencana implementasi program dan
kekuasaan pemerintah termasuk pengalokasian anggarannya seperti terdapat dalam
Pasal 20A UUD NRI 1945. Tetapi di sisi lain, Jimly Assidiqqie menjelaskan bahwa
DPR tidak dapat meng-impeachment
(menjatuhkan) Presiden dan Wakil Presiden kecuali karena pelanggaran hukum. Itu
pun harus melalui mekanisme yang panjang dan memenuhi kriteria tertentu.
Sidang
Tahunan MPR RI
Sidang Tahunan MPR muncul
dalam praktik ketatanegaraan Indonesia sejak awal masa reformasi dimana pertama
kali dilakukan berdasarkan pada Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR Tahun 1999
tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI. Pengertian ini menjadi lebih berbeda
dibandingkan sebelum masa reformasi (sebelum amandemen UUD NRI 1945 yang
pertama) dimana presiden harus memberikan laporan kinerjanya sebagai mandataris
MPR. Oleh karena itu, Presiden harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada MPR di akhir masa jabatannya. Tetapi di awal masa reformasi, muncul
pemahaman baru bahwa kedudukan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan
rakyat, dan kekuasaan lembaga tinggi negara lain berasal dari MPR, maka semua
lembaga tinggi negara, bukan hanya presiden, adalah mandataris MPR. Semua
lembaga tinggi negara itu harus memberikan pertanggungjawaban atas mandat yang
dijalankan kepada MPR. Maka pada awal reformasi tersebut dibentuklah mekanisme
Sidang Tahunan MPR mulai tahun 1999 sampai tahun 2003, dimana setiap lembaga
tinggi negara menyampaikan laporan kinerjanya kepada MPR.
Terkait laporan
pertanggungjawaban lembaga negara tersebut maka MPR membentuk Ketetapan MPR RI
tentang Penerimaan Atas Laporan Pertanggungjawaban Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara. Selain itu, pada masa tersebut, Sidang Tahunan MPR RI sangat diperlukan
terkait dengan proses amandemen UUD NRI 1945 yang dimulai tahun 1999. Sidang
Tahunan MPR ini juga merupakan bentuk kesepakatan awal dimana sidang tahunan
tersebut dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan sebagai suatu rangkaian
perubahan.
Sidang Tahunan MPR RI
terakhir kali dilakukan tahun 2003 saat amandemen UUD NRI 1945 keempat. Sidang
Tahunan MPR RI merupakan bentuk kreasi ketatanegaraan yang diinisiasi oleh MPR
RI dengan harapan setiap lembaga tinggi negara yang diberikan mandat oleh
konstitusi melalui presiden sebagai kepala negara dapat menyampaikan laporan
kinerjanya kepada rakyat. Meskipun pidato disampaikan dalam forum Sidang
Tahunan MPR, laporan kinerja presiden tidak ditujukan kepada MPR namun kepada
rakyat. Ini disebabkan karena kedudukan MPR RI pascaamandemen UUD NRI 1945
adalah sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain (baca UU MD3 Tahun 2014).
Artinya, pascaamandemen UUD 1945 terjadi pergeseran sistem ketatanegaraan dan
penguatan check and balances yang
optimal antar cabang kekuasaan negara dalam bingkai mengimbangi dan mengawasi.
Demikian juga, lembaga negara lain seperti DPR dan MPR melaporkan kinerjanya
dalam sidang tahunan tersebut. filosofinya, rakyat yang akan menilai sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi.
Sidang Tahunan MPR RI tidak
dapat dimaknai sebagai laporan kinerja pemerintah sebagai mandataris MPR karena
sesuai dengan konstruksi ketatanegaraan berdasarkan UUD NRI 1945 pascaamandemen
telah bergeser dari “vertikal-hirarkis” menjadi “horizontal-fungsional”.
Artinya kedudukan lembaga tinggi negara sederajat, karena MPR RI pun akan
menyampaikan laporan kinerjanya kepada rakyat melalui presiden sebagai kepala
negara dalam sidang tahunan tersebut.
Dengan demikian, Sidang
Tahunan MPR RI pascaamandemen UUD 1945 bukan merupakan wadah atau media
pertanggungjawaban lembaga-lembaga tinggi negara terhadap MPR RI melainkan
sebagai forum formal ketatanegaraan yang terjadi karena lembaga-lembaga tinggi
negara melalui presiden selaku kepala negara menyampaikan laporan kinerjanya
kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Perbedaan mendasar Sidang Tahunan MPR
RI masa awal reformasi dan saat ini harus dipahami sebagai konsekuensi hukum
ketatanegaraan yang juga berbeda. Hal tersebut dapat dimaknai dalam beberapa
dasar pemahaman sebagai berikut:
1. Sidang
Tahunan MPR RI merupakan forum formal penyampaian laporan kinerja
lembaga-lembaga tinggi negara kepada rakyat bukan berarti terdapat unsur
vertikal hirarkis namun karena bentuk check
and balances diantara lembaga negara. Dalam forum ini masing-masing lembaga
tinggi negara memberikan capaian dan bentuk eksistensi kinerja sebagai media
formal prosedural bagi transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga tinggi
negara. Konsekuensi wujud
pertanggungjawaban adalah kepada rakyat.
2. Sidang
Tahunan MPR RI tidak terdapat mekanisme rapat dalam artian menilai dan
memutuskan terkait laporan kinerja lembaga tinggi negara yang akan disampaikan
presiden selaku kepala negara. Forum ini pun tidak terdapat mekanismme
pertanyaan, interupsi bahkan penilaian sepihak dari anggota MPR RI. hal ini
untuk menjaga eksistensi Sidang Tahunan MPR tidak mengubah konstruksi
kelembagaan negara yang artinya sama dengan mengubah UUD NRI 1945.
3. Sidang
Tahunan MPR RI dimaknai sebagai konvensi ketatanegaraan pascaamandemen dimana
Sidang Tahunan MPR didayagunakan untuk bagi kenrja lembaga-lembaga tinggi
negara dan sekaligus peningkatan kualitas demokrasi melalui transparansi,
akuntabilitas dan partisipasi publik.
4. Memahami
Sidang Tahunan MPR RI sangat bergantung pada substansi pidato laporan kinerja
sebagai bentuk penyampaian kinerja dan permasalahan serta tantangan yang
dihadapi oleh setiap lembaga tinggi negara. Demikian juga, substansi laporan
kinerja ini perlu mendapat perhatian serius dari peran media massa secara aktif
untuk menyampaikan sampai ke rakyat sehingga dapat diketahui dan dipahami
secara praktis dan kritis oleh masyarakat.
5. Dalam
Sidang Tahunan MPR RI, esensinya merupakan kemanfaatan lembaga negara dalam
mencermati dan menyerap aspirasi umpan balik kritis dari masyarakat. Oleh karena
itu, Sidang Tahunan MPR ini dapat dijadikan sebagai alat untuk menjawab semua
tuntutan penilaian dari publik terkait kinerja-nya. Di sisi lain, lembaga
negara harus terus berkoordinasi dengan media massa untuk menyampaikan
penilaian publik terhadap kinerja lembaga negara. Perihal ini dapat terjawab
jika media massa memberi ruang terhadap respon masyarakat yang kritis.
Hanya dengan demikian maka
forum sidang tahunan yang diselenggarakan dapat benar-benar memberikan manfaat
bagi peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia sekaligus menjadi dasar untuk
melaksanakan Sidang Tahunan MPR sebagai konvensi ketatanegaraan di tahun-tahun
selanjutnya. Artinya, peningkatan kualitas demokrasi akan memperkokoh juga
prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang baik dan bersih (good governance and clean governance),
yang mencakup:
1. Asas
Kepastian Hukum, dimana asas ini dalam bingkai negara hukum, lembaga negara
harus mengutamakan peraturan perundang-undangan, kepatutuan, dan keadilan dalam
setiap penyelenggara negara.
2. Asas
Tertib Penyelenggara Negara, dimana pada asas ini menjadi landasan lembaga
negara dalam keteraturan, keserasian, keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggara negara.
3. Asas
Kepentingan Umum, dimana asas ini diwajibkan agar lembaga negara mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas
Keterbukaan, dimana asas ini mendorong agar lembaga negara membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif terhadap penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asas pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas
Proporsionalitas, dimana dalam asas ini ditekankan agar lembaga negara
mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas
Profesionalitas, dimana asas ini menekankan agar lembaga negara mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
7. Asas
Akuntabilitas, dimana lembaga dituntut untuk melakukan asas ini pada setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Diharapkan Sidang Tahunan
MPR RI dapat menjadi penunjang dalam mendorong strategis good governance
melalui pelaporan kinerja dalam forum formal yang dibacakan dan disampaikan ke
publik melalui rangkaian kegiatan tahunan di MPR RI. Melalui mekanisme Sidang Tahunan
MPR RI, sekiranya masyarakat dapat memonitor penyelenggaraan negara yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga tinggi negara. Masyarakat juga dapat mengetahui
perkembangan sejauhmana kinerja lembaga negara dalam hal:
1. Pemberantasan
KKN. Sejauhmana upaya lembaga negara dalam memberantas korupsi, kolusi, dan
nepotisme sebagai prasyarat penerapan good
governance. Karena untuk mewujudkan clean
governance perlu adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa dalam upaya
memberantas KKN. Tidak cukup hanya dengan komitmen saja, diperlukan juga upaya
nyata yang sungguh-sungguh melalui pencegahan, penganggulangan, dan
pemberantasannya yang terakomodir dalam tindakan preventif dan kuratif yang
dilakukan intensif dan kontinue.
2. Reformasi
birokrasi/administrasi publik. Melalui mekanisme Sidang Tahunan MPR RI, publik
dapat mengetahui sejauh mana perkembagan dan instensitas reformasi birokrasi
dalam bingkai lembaga negara untuk menciptakan good governance. Diharapkan dengan pelaporan kinerja yang dilakukan
dalam sidang tahunan, rakyat dapat menilai manajemen efisiensi dan efektivitas
lembaga negara dalam penggunaan sumber-sumber daya, kemitraan diantara lembaga
negara dalam meningkatkan pelayanan publik, desentralisasi dan penggunaan
teknologi informasi.
3. Penyempurnaan
berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu fungsi lembaga negara dalam
penyebaran kekuasaan, adalah kemitraan dalam memahami kebutuhan pengaturan
kehidupan bermasyarakat. Adanya sidang tahunan dapat menjadi lokus dalam
pemahaman sinergitas diantara lembaga negara. Hal ini juga akan memperjelas
kejelasan fungsi dan peran setiap lembaga negara. Peristiwa ini dapat tampak
dari hubungan diantara lembaga tinggi negara.
4. Peningkatan
kapasitas dan kapabilitas. Sidang Tahunan MPR RI dapat menjadi wadah penilaian
rakyat terkait dengan metode menilai terhadap aktor-aktor lembaga negara.
Laporan kinerja atau pertanggungjawaban lembaga negara dalam sidang tahunan di
MPR RI dapat menjadi referensi untuk menempatkan orang dalam lembaga tinggi
negara. Mekanisme ini dapat dilakukan rakyat pada saat periode pemilihan umum
maupun presiden pada periode selanjutnya. Ini menyangkut “the right man on the right place” menjadi pertimbangan utama dalam
menempatkan orang-orang yang tepat pada setiap proses demokrasi untuk menjamin
legislatif dan eksekutif dapat menghasilkan kinerja yang optimal.
5. Peningkatan
akuntabilitas dan transparansi. Setiap lembaga negara dituntut untuk
mempertanggungjawabkan setiap amanah yang didapatkannya dari pemegang
kedaulatan. Untuk dapat melakukan tugas yang akuntabel maka lembaga negara
tentunya memiliki rencana stategis dan rencana operasional tahunan,
mengembangkan pola-pola pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, serta evaluasi
dan pelaporan pelaksanaan tugas atau kinerja yang transparan.
Penutup
Sebagai konvensi
ketatanegaraan pasca amandemen UUD NRI 1945, tentu Sidang Tahunan MPR harus
didayagunakan bagi kinerja lembaga-lembaga tinggi negara dan sekaligus
peningkatan kualitas demokrasi melalui transparansi, akuntabilitas dan
partisipasi publik.
Sidang Tahunan MPR pasca
amandemen UUD 1945 bukan merupakan forum pertanggungjawaban lembaga-lembaga
tinggi negara terhadap MPR, melainkan sebagai media formal ketatanegaraan di
mana lembaga-lembaga tinggi negara melalui presiden selaku kepala negara menyampaikan
laporan kinerjanya kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Perbedaan mendasar
ini membawa konsekuensi hukum ketatanegaraan yang juga berbeda.
Sidang Tahunan MPR adalah
semata-mata forum formal untuk penyampaian laporan kinerja lembaga-lembaga tinggi
negara sebagai wujud pertanggungjawaban kepada rakyat. Sidang Tahunan MPR
memberikan media formal prosedural bagi transparansi dan akuntabilitas
lembaga-lembaga tinggi negara.
Sidang Tahunan MPR ini
tidak akan mengambil keputusan terkait laporan kinerja lembaga-lembaga tinggi
negara yang akan disampaikan oleh presiden selaku kepala negara maupun
lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
Referensi
Faridah
T. 2012. Kedudukan Lembaga Negara di Indonesia Pasca Amandemen UUD Negara Tahun
1945. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan. Makasar.
Fitrianis,
F. 2011. Bank Indonesia Sebagai Bagian Dari Hukum Tata Negara. (https://farahfitriani.wordpress.com/). Akses 20
September 2015.
Gaffar,
J. M. 2015. Sidang Tahunan MPR RI 2015. Opini. Sindo News. 7 Agustus 2015.
Kelsen,
H. 1961. General Theory of Law and State. Russell & Russel. New York.
Asshiddiqie,
J. 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan Keempat UUD
Tahun 1945, Makalah
disampaikan dalam Simposium yang
dilakukan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM.
Soemantri,
S. 2004. Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945.
Proceeding Diskusi Publik. Komisi Hukum Nasional. KRHNN. Jakarta, 9 September.
Undang-Undang
Dasar 1945.
[1] Makalah ini disampaikan pada
kegiatan Seminar Provinsi Anggota MPR RI berkerjasama dengan Universitas Nusa
Cendana Kupang pada Selasa, 22 September 2015.
[3] Sebuah tiga serangkai (dari bahasa Latin, triumvirātus, dari Tres tiga + vir manusia) adalah rezim
politik yang didominasi oleh
tiga orang yang kuat, masing-masing triumvir sebuah
(pl. Triumvirs atau
triumviri). Pengaturan ini dapat formal atau informal, dan meskipun tiga
biasanya sama di
atas kertas, dalam kenyataannya hal
ini jarang terjadi. Istilah ini
juga dapat digunakan untuk
menggambarkan sebuah negara dengan
tiga pemimpin militer yang
berbeda yang semua mengklaim
menjadi pemimpin tunggal (http://wikipedia.com/).
[4] Dalam rancangan undang-undang
tertentu.