SELAMAT MEMBACA

Friday, 23 August 2013

REFORMASI TNI DAN ODITUR MILITER

Refleksi HUT RI Ke-68 dan ABSURTISME ODITURAT MILITER
Oleh. Ian Haba Ora

Perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 tidak saja dikomandai oleh ABRI saja, namun semua elemen masyarakat bahu-membahu mewujudkan pembebasan negeri dari penjajah. Ketika NKRI dinyatakan merdeka, ABRI menjadi sentral kekuasan monopoli dan arogansi hampir disetiap sektor, kekerasan pun menjadi ciri utama menekan rakyat. Ketika tahun 1999 terjadi reformasi, ABRI mereposisi menjadi TNI agar jelas tugas dan fungsi sebagai institusi pertahanan negara.

Hasil penelitian Kontras (2009:19) dibukukan “Ketika Moncong Senjata Ikut Bicara”, kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota militer tidak pernah diakui sebagai kegiatan ‘institusional’, atau seandainya diakui selalu disebut sebagai tingkah laku “oknum militer”. Awalnya militer membelah diri dengan menolak mengakui perbuatan tersebut. Belakangan ketika bukti-bukti yang disampaikan publik sulit untuk dibantah, militer berkelit dengan menyatakan bahwa operasi tersebut merupakan inisiatif pribadi prajurit-prajurit, bukan kehendak institusi.

Kekerasan dan impunitas hukum mengakar di institusi TNI. Dulu sampai sekarang, kekerasan menjadi justifikasi anggota TNI dan berlindung dibalik tegar benteng pengadilan militer sebagai sarana impunity for protected is abuse of power.

Ketika TNI mulai menata diri dengan konsep reformasi secara keinstitusian, wajib menanggalkan falsafah/paradigma “dwifungsi ABRI” menjadi TNI “defense” (back to barracks) sehingga domain TNI pada penugasan pertahanan (Laut, Udara dan Darat) dan nir military (TAP MPR No. VI dan VII Tahun 2000 dan UU No. 34 Tahun 2004). Kemanjaan TNI (Baca: ABRI) sebagai penentu legislasi, penyelenggara eksekutif dan wasit di Yudikatif di era Soeharto harus ter-destruktifkan/ditanggalkan.

Reformasi perundang-undangan (istrumen hukum), TNI melakukan perubahan dalam struktur keorganisasian diantaranya: melikuidasi staf komunikasi sosial pada tahun 2005 (Skep Panglima TNI No. 21/VI/2005); netralitas TNI dalam Pemilu dan penghapusan bisnis militer. Selain itu, TNI dituntut concern sesuai TUPOKSI TNI Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 ayat (1) bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara (Tap MPR No. VI/2000 Pasal 2 ayat (1) dan Tap MPR No. VII/2000 Pasal 2).

Cita-cita reformasi dalam tatakelola demokrasi, terbantahkan dan tereliminasi. Tindakan brutal dan bejat (ekstra judicial killing) diluar sistem tata hukum yang berlaku di Indonesia masih saja terjadi. Tewasnya Charles Mali (24 tahun), warga Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua yang disinyalir dilakukan oleh 19 ‘penjahat’ oknum berseragam loreng di Mako Yonif 744/SYB (TIMEX-Senin, 14 Maret 2011) menjadi salah satu contoh di NTT.

TNI Rawan Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM (UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (6)) terjadi jika setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin undang-undang ini, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Moniche Saubaki (2013) menuturkan pelanggaran HAM terjadi dalam 2 (dua) hal, yakni: pertama, Pelanggaran HAM terjadi bila seorang aparat negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya secara langsung (by commission) melanggar HAM seseorang (menangkap sewenang-wenang, membubarkan rapat, membubarkan organisasi, menyiksa, atau membunuh); kedua, Pelanggaran HAM terjadi bila aparat negara dengan segala kewenangannya membiarkan terjadinya serangan terhadap HAM seseorang (by ommission). Contohnya si A membunuh si B. Kemudian negara membiarkan si A sehingga A bisa bebas dan tidak dihukum.

Mengharapkan kejujuran netralitas TNI di pengadilan militer sangat absurt. Hakim-hakim berlatar belakang militer dapat disinyalir lebih mengedepankan impunitas (espirit de corps). Pelaku pelanggaran HAM mendapat perlakuan istimewa dan kebal hukum, bersembunyi dibalik topeng pengadilan militer, manipulatif dan distorsi kasus menjadi kodifikasi pelanggaran disiplin aparat. Sedangkan espirit de corps sebagai usaha membela korps “tabu membuka aib institusi”.

Sipil menyangsikan adanya imparsialitas dan pengadilan yang fair (fair of trial) penegakan hukum semakin sumir terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, bahkan vonis bebas sidang pengadilan militer (kasus MUNIR, SEMANGGI I & II, TRISAKTI, DLL) menjustifikasi tidak ada rasa keadilan bagi warga sipil, seperti persidangan Munir, Galuh Wandita (aktivis HAM) menyindir vonis bebas Mucdi PR (Kepala Badan Intelijen Negara) terduga aktor intelektual pembunuh aktivis HAM Munir dalam buku Almanak HAM di Sektor Keamanan Indonesia (2009:17) bahwa Pemerintah harusnya menindak pelaku bukan sebaliknya memberikan penghargaan kepada pembunuh. Maksud saya (Baca:Galuh), harusnya pelaku kejahatan harus dihukum, kalau dia (terduga) malah dinaikkan pangkatnya, begitu juga nanti (menjadi) Jenderal. Artinya mereka diberi penghargaan karena mereka pembunuh kehormatan. Besok-besok aparat negara membunuh (lagi) karena dihargai dengan kenaikan pangkat.

Belum genap dua tahun kasus Atambua, kini dihebohkan lagi dengan tewasnya 4 orang lelaki di dalam sel tahanan Lapas Cebongan dibrondong peluru hingga kini penyelesaiannya masih di Oditurat Militer. Apakah negara akan berdiam? Kita tunggu saja!!! Keempat orang yang tewas ditangan Anggota Kopasus Kandang Menjangan tersebut adalah Hendrik Benyamin Angel Sahetapi alias Diki Ambon, 31 tahun; Adrianus Candra Galaja alais Dedi, 33 tahun; Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, 29 tahun; Yohanes Juan Manbait alias Juan, 38 tahun.

Refleksi HUT RI ke-68
Perayaan HUT RI ke-68 menjadi pintu masuk refleksi kebrutalan anggota TNI sebagai pelaku pelanggaran HAM. Pengadilan Militer (oditurat) belum maksimal memberikan rasa keadilan pada korban. Vonis bebas beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM menjadi catatan buruk penegakan hak asasi di negeri ini.

Indonesia telah memiliki UU Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000, namun absurtisme terminologi masih mendiskriminasi pelanggaran HAM itu sendiri. Pasal 4 (UU 26/2000) mensyaratkan pengadilan HAM hanya pada pelaku pelanggaran HAM berat (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sitemik). Sedangkan di Indonesia, dilakukan secara sistemik tetapi dianggap inisiatif pribadi (oknumisasi). Strategi konstruksi “oknumisasi” merupakan salah satu modus operandi ideologi dwifungsi ABRI. Dengan strategi ini, maka setiap kali ada kesalahan yang terjadi dilingkungan TNI, maka hal itu dinisbahkan kepada individu sang pelaku, dan diceraikan dari kemungkinan kekeliruan institusional maupun, apalagi, ideologis (M. Najib Azca dalam buku berjudul “Hegemoni Tentara”, terbitan Lkis, Yogyakarta, 1998).

Dengan demikian, salah satu strategi mutakhir dan refleksi penegakan HAM di Indonesia untuk memperingati HUT NKRI, maka negara harus merevisi UU 26/2000 khususnya pasal genosida dan kejahatan kemanusiaan karena masih multi tafsir dengan defenisi pelanggaran HAM berat. (Tulisan ini dipublikasi Harian Kota "KURSOR" Jumat, 23 Agustus 2013)

Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT 

TRANSLATE: