Refleksi HUT RI
Ke-68 dan ABSURTISME ODITURAT MILITER
Oleh. Ian Haba Ora
Perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945
tidak saja dikomandai oleh ABRI saja, namun semua elemen masyarakat
bahu-membahu mewujudkan pembebasan negeri dari penjajah. Ketika NKRI dinyatakan
merdeka, ABRI menjadi sentral kekuasan monopoli dan arogansi hampir disetiap sektor,
kekerasan pun menjadi ciri utama menekan rakyat. Ketika tahun 1999 terjadi
reformasi, ABRI mereposisi menjadi TNI agar jelas tugas dan fungsi sebagai
institusi pertahanan negara.
Hasil penelitian Kontras (2009:19) dibukukan “Ketika
Moncong Senjata Ikut Bicara”, kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh anggota militer tidak pernah diakui sebagai kegiatan
‘institusional’, atau seandainya diakui selalu disebut sebagai tingkah laku
“oknum militer”. Awalnya militer membelah diri dengan menolak mengakui
perbuatan tersebut. Belakangan ketika bukti-bukti yang disampaikan publik sulit
untuk dibantah, militer berkelit dengan menyatakan bahwa operasi tersebut
merupakan inisiatif pribadi prajurit-prajurit, bukan kehendak institusi.
Kekerasan dan impunitas hukum mengakar di institusi TNI.
Dulu sampai sekarang, kekerasan menjadi justifikasi anggota TNI dan berlindung
dibalik tegar benteng pengadilan militer sebagai sarana impunity for protected is abuse of power.
Ketika TNI mulai menata diri dengan
konsep reformasi secara keinstitusian, wajib menanggalkan falsafah/paradigma
“dwifungsi ABRI” menjadi TNI “defense” (back
to barracks) sehingga domain TNI pada penugasan pertahanan
(Laut, Udara dan Darat) dan nir military (TAP
MPR No. VI dan VII Tahun 2000 dan UU No. 34 Tahun 2004). Kemanjaan
TNI (Baca: ABRI) sebagai penentu legislasi, penyelenggara eksekutif dan wasit
di Yudikatif di era Soeharto harus ter-destruktifkan/ditanggalkan.
Reformasi perundang-undangan
(istrumen hukum), TNI melakukan perubahan dalam struktur
keorganisasian diantaranya: melikuidasi staf komunikasi sosial pada tahun 2005
(Skep Panglima TNI No. 21/VI/2005); netralitas TNI dalam Pemilu dan penghapusan
bisnis militer. Selain itu, TNI dituntut concern
sesuai TUPOKSI TNI Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 ayat (1) bahwa tugas pokok
TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI
yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan
bangsa dan Negara (Tap MPR No. VI/2000 Pasal 2 ayat (1)
dan Tap MPR No. VII/2000 Pasal 2).
Cita-cita reformasi dalam tatakelola
demokrasi, terbantahkan dan tereliminasi. Tindakan
brutal dan bejat (ekstra judicial
killing)
diluar sistem tata hukum yang berlaku di Indonesia masih saja terjadi. Tewasnya Charles Mali (24 tahun),
warga Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua yang disinyalir dilakukan oleh 19
‘penjahat’ oknum berseragam loreng di Mako Yonif 744/SYB (TIMEX-Senin,
14 Maret 2011) menjadi salah satu contoh di NTT.
TNI Rawan
Pelanggaran HAM
Pelanggaran
HAM (UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (6)) terjadi
jika setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin undang-undang ini, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Moniche Saubaki (2013) menuturkan pelanggaran HAM terjadi dalam 2 (dua)
hal, yakni: pertama, Pelanggaran HAM
terjadi bila seorang aparat negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya
secara langsung (by commission) melanggar HAM seseorang (menangkap sewenang-wenang, membubarkan rapat,
membubarkan organisasi, menyiksa, atau membunuh); kedua, Pelanggaran HAM terjadi bila aparat negara dengan segala kewenangannya membiarkan
terjadinya serangan terhadap HAM seseorang (by ommission). Contohnya si A membunuh si
B. Kemudian negara membiarkan si A sehingga A bisa bebas dan tidak dihukum.
Mengharapkan kejujuran netralitas TNI di pengadilan
militer sangat absurt. Hakim-hakim berlatar belakang militer dapat disinyalir lebih mengedepankan impunitas (espirit de
corps). Pelaku
pelanggaran HAM mendapat perlakuan istimewa dan kebal hukum, bersembunyi
dibalik topeng pengadilan militer, manipulatif dan distorsi kasus menjadi
kodifikasi pelanggaran disiplin aparat. Sedangkan espirit de corps sebagai usaha membela korps “tabu
membuka aib institusi”.
Sipil menyangsikan
adanya
imparsialitas dan pengadilan yang fair (fair
of trial) penegakan hukum semakin sumir terhadap kasus-kasus
pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, bahkan
vonis bebas sidang pengadilan militer (kasus MUNIR, SEMANGGI I & II,
TRISAKTI, DLL) menjustifikasi tidak ada rasa keadilan bagi warga
sipil, seperti persidangan Munir, Galuh Wandita (aktivis HAM) menyindir
vonis bebas Mucdi PR (Kepala Badan Intelijen Negara) terduga aktor intelektual pembunuh aktivis HAM Munir dalam buku Almanak HAM di Sektor Keamanan Indonesia (2009:17) bahwa “Pemerintah harusnya menindak pelaku bukan
sebaliknya memberikan penghargaan kepada pembunuh. Maksud saya (Baca:Galuh), harusnya pelaku kejahatan harus
dihukum, kalau dia (terduga) malah
dinaikkan pangkatnya, begitu juga
nanti (menjadi) Jenderal. Artinya mereka diberi penghargaan karena mereka
pembunuh kehormatan. Besok-besok aparat negara membunuh (lagi) karena dihargai
dengan kenaikan pangkat.
Belum genap dua tahun kasus Atambua, kini dihebohkan lagi
dengan tewasnya 4 orang lelaki di dalam sel tahanan Lapas Cebongan dibrondong
peluru hingga kini penyelesaiannya masih di Oditurat Militer. Apakah negara
akan berdiam? Kita tunggu saja!!! Keempat orang yang tewas ditangan Anggota
Kopasus Kandang Menjangan tersebut adalah Hendrik Benyamin Angel Sahetapi
alias Diki Ambon, 31 tahun; Adrianus Candra Galaja alais Dedi, 33 tahun;
Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, 29 tahun; Yohanes Juan Manbait alias
Juan, 38 tahun.
Refleksi HUT RI ke-68
Perayaan HUT RI ke-68 menjadi pintu masuk refleksi kebrutalan anggota TNI
sebagai pelaku pelanggaran HAM. Pengadilan Militer (oditurat) belum maksimal
memberikan rasa keadilan pada korban. Vonis bebas beberapa terduga pelaku pelanggaran
HAM menjadi catatan buruk penegakan hak asasi di negeri ini.
Indonesia telah memiliki UU Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000, namun
absurtisme terminologi masih mendiskriminasi pelanggaran HAM itu sendiri. Pasal
4 (UU 26/2000) mensyaratkan pengadilan HAM hanya pada pelaku pelanggaran HAM
berat (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sitemik). Sedangkan di
Indonesia, dilakukan secara sistemik tetapi dianggap inisiatif pribadi
(oknumisasi). Strategi konstruksi “oknumisasi” merupakan salah satu modus
operandi ideologi dwifungsi ABRI. Dengan strategi ini, maka setiap kali ada
kesalahan yang terjadi dilingkungan TNI, maka hal itu dinisbahkan kepada
individu sang pelaku, dan diceraikan dari kemungkinan kekeliruan institusional
maupun, apalagi, ideologis (M. Najib Azca dalam buku berjudul “Hegemoni
Tentara”, terbitan Lkis, Yogyakarta, 1998).
Dengan demikian, salah satu strategi mutakhir dan refleksi penegakan HAM di
Indonesia untuk memperingati HUT NKRI, maka negara harus merevisi UU 26/2000
khususnya pasal genosida dan kejahatan kemanusiaan karena masih multi tafsir
dengan defenisi pelanggaran HAM berat. (Tulisan ini dipublikasi Harian Kota "KURSOR" Jumat, 23 Agustus 2013)
Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT