SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 20 August 2013

TAMBANG DI NTT



Refleksi HUT RI dan Tambang di NTT
Oleh. Ian Haba Ora

Emil Salim (2007) menguraikan dampak positif eksploitasi tambang, yaitu: memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional; meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD); menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang; meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang; meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang. Sedangkan, dampak negatif di bidang pertambangan, yaitu: kehancuran lingkungan hidup; penderitaan masyarakat adat; menurunnya kualitas hidup penduduk lokal; meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; kehancuran ekologi pulau-pulau; dan terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan.

Eksploitasi Tambang di Kota Kupang
Contoh ekstrim eksploitasi galian C di kelurahan Fatukoa milik Jafar Alhadat, selain diambil perut bumi berupa tanah putih dan mangan, hutan disekitar tambang dibabat habis, padahal lokasi berada dipinggiran sungai (luas ± 19 ha). Bahkan, kedalaman eksploitasi galian C mencapai 20 m (luas 2 ha dan 35 ha). Kerusakan lingkungan juga terjadi di RT 04/RW 02 milik Elvis Tanin (kedalaman ± 12 m, luas 2 ha). Kelurahan Naioni pun menunjukkan kerusakan ekologi yang dilakukan CV. Ade Sun dan CV. Rajawali (kedalaman 10 m, luas 3 ha). Kelurahan Manulai II dan Naimata menunjukkan keadaan yang sama (Timex, 25/2/2011). Kini perusahaan telah selesai mengerjakan proyek tambang dan meninggalkan kawah yang luas serta kerusakan tanah yang tidak dapat dijadikan usaha subtitusi lahan pertanian. Sungguh tragis!

Eksekutif dan Legislastif sebagai algojo rakyat menjaga ekologi dinilai gagal dan tidak capable. Pemda dan DPRD terkesan membiarkan kerusakan lingkungan terjadi. Bahkan ada dugaan “main mata” pengusaha dan pemerintah. Dumuliahi Djami (mantan Kasatpol PP) pernah mengatakan “saya lakukan investigasi dan konfrontir pada pengusaha yang tertangkap memuat mangan, pengakuan pengusaha adalah mereka angkut mangan secara ilegal karena ada kontribusi pengusaha buat pejabat”, terbukti, pernyataan Daniel Hurek (mantan Wakil Walikota) “selama ini telah terjadi kesalahan administrasi antara pengusaha dan Dinas Pertambangan dan Energi Kota Kupang dimana terdapat sumbangan dari pihak ketiga yang dilakukan” (Timex, 1/3/2011).

Timex (13/3/2010) memberitakan Lurah Naioni, MJ. Penun akan tewas jika terkena peluru senjata terduga milik Adibert Adoe (Anggota Polda NTT) karena mangan pengusaha yang dikawal terduga ditahan warga dan Lurah. Terduga tidak pernah mendapat teguran maupun sanksi tegas institusi tempat mengabdi. Keterlibatan TNI pun juga pernah terindikasi ketika Satpol PP Kota Kupang menahan truk AL sekitar tahun 2010, namun tidak didapati bukti penangkapan. Alasan mereka (baca: anggota TNI AL) bahwa tujuan ke Naioni sekitar jam 11 malam untuk mengangkut pasir, padahal pengakuan warga, Kelurahan Naioni tidak memiliki tambang pasir. Kontradiktif tetapi mau dikatakan apalagi jika bukti tidak mendukung.

Tambang Mangan di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Ironis, wewenang institusi dijadikan manipulatif bisnis institusi. Primer Koperasi Polisi (Primkopol) Polda NTT tertangkap basah mengangkut mangan terindikasi ilegal. Penangkapan dilakukan Satpol PP TTS (7 September sebanyak 34 ton dan 22 September sebanyak 9 ton). Begitupun pertengkaran antara Pol PP Kabupaten TTS dan Brigpol Ben Ay (anggota Polda NTT) untuk siapa yang berhak menahan pengangkutan mangan yang tidak dilengkapi dokumen sebanyak 57 ton milik Man Bansae dari desa Tubuhue Kecamatan Mollo Barat (Rabu, 30 September 2009). Kasus di TTS menunjukkan dugaan keterlibatan oknum Polri lebih mayoritas dalam ilegal mining.

Kabupaten TTS menjadi pusat perhatian isu ekologi ketika PT. Soe Makmur Resources (SMR) mengekploitasi mangan secara massif di Soe. Sosialisasi positif hadirnya PT.SMR membahana NTT melalui advetorial media massa dan testimoni buruh karyawan untuk memberikan kesaksian keberhasilan SMR meningkatkan ekonomi rakyat. Realita ini kontras terhadap hasil investigasi peneliti muda Wilson Therik bahwa ekologi kabupaten TTS dan area tambang SMR mulai rusak, terbentuk kawah danau tercemar limbah mangan, sumber mata air mulai rusak, aspek kesehatan masyarakat mulai terganggu dengan debu mangan yang beracun, lama-kelamaan masyarakat tinggal menunggu waktunya mati. Bahkan hingga kini PT. SMR telah melakukan aktivitas tambang di luar dari wilayah konsensi (Wilson Therik dalam sebuah FGD, Hotel Greenia, Februari 2013).

Penulis pernah bercanda pada seorang teman asal TTS tentang iklan Aqua “air su dekat” dan teman asal TTS mengungkap itu adalah sebuah eksploitasi kemiskinan. Tapi, ketika SMR mengeksploitasi tambang di TTS, apakah itu bukan sebuah upaya pemiskinan degeneratif warga? Pemerintah Daerah tidak mampu mengendalikan aktivitas tambang, apalagi DPRD ompong giginya untuk mengkritisi eksploitasi tambang di TTS.

Eksploitasi Tambang di Kabupaten Manggarai Timur
Pendapat penulis, dimana ada usaha eksplorasi tambang, disitu pasti ada penyelewengan wewenang. Hampir disetiap tulisan ilmiah, pasti tidak terlepas dari keterlibatan aparat negara (Kepala Daerah, Kapolres dan Dandim).

Akibat eksploitasi tambang yang tidak terkendali di Kabupaten Manggarai Timur, sumber mata air, persawahan masyarakat dan cagar budaya rusak parah yang dilakukan oleh PT. Masterlong Mining Resources. Aksi protes massif dilakukan warga untuk menuntut keadilan, namun sia-sia saja. Bahkan 11 orang masyarakat dikriminalisasi oleh Pemda dan Kapolres yang dianggap sebagai pendukung penolakan tambang (http://www.beritasatu.com/nasional/116019).

Refleksi Hari Kemerdekaan
Posisi masyarakat yang lemah dihadapan pemerintah dan hukum (baca Pemda, Polri dan TNI), menjadikan masyarakat tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) politik, ekonomi, sosial, dan hukum. Kriminalisasi warga, objek eksploitasi perusahaan tambang terhadap pekerja, dan pencaplokan tanah oleh pemerintah menjustifikasi gambaran ketimpangan rakyat dan negara.

Pemerintah harus melakukan kreativitas dalam peningkatan sumber daya manusia untuk mampu memanfaatkan potensi daerah yang tidak bersifat degeneratif ekologi, dan terus mengembangkan kajian pemanfaatan sumber daya alam yang terbatas demi kesejateraan masyarakat, dan negara perlu merevolusi birokrasi untuk menempatkan institusi sesuai dengan tupoksinya terutama reformasi culture (moral dan etika) birokrat yang selalu menjadi problema benalu dalam memanfaatkan kewenangan institusi.

Rusaknya kondisi lingkungan akibat aktivitas pertambangan dapat menurunkan kualitas lingkungan dan kualitas hidup masyarakat disekitar wilayah pertambangan, sehingga diperlukan adanya pengontrolan oleh pemerintah terhadap setiap aktivitas pertambangan yang dilakukan terutama reklamasi lahan pasca tambang oleh pihak perusahaan pertambangan.

17 Agustus 2013, NKRI memperingati hari kemerdekaan ke-68 tahun, bangsa yang terbebas dari penjajahan, namun masih terjajah dengan eksploitasi sumber daya alam yang masif. Lingkungan menjadi rusak, masyarakat belum sepenuhnya sejahtera. Alangkah baiknya, Indonesia secara otonomi daerah untuk merefleksikan kembali semangat mensejaterahkan rakyat melalui usaha pertambangan. Konsensi-konsensi yang yang ditetapkan tidak harus mengorbankan rakyat. HUT NKRI ke-68, Perjuangan ini akan kami teruskan dari ketertindasan tambang yang menyengsarahkan. (Tulisan ini dipublikasi SKH Timor Express. Selasa, 20 Agustus 2013).

 Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

TRANSLATE: