Refleksi HUT RI
dan Tambang di NTT
Oleh. Ian Haba
Ora
Emil
Salim (2007) menguraikan dampak positif eksploitasi tambang, yaitu: memberikan
nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional; meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD); menampung tenaga kerja, terutama masyarakat
lingkar tambang; meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang;
meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat lingkar tambang. Sedangkan, dampak negatif di bidang
pertambangan, yaitu: kehancuran lingkungan hidup; penderitaan masyarakat adat;
menurunnya kualitas hidup penduduk lokal; meningkatnya kekerasan terhadap
perempuan; kehancuran ekologi pulau-pulau; dan terjadi pelanggaran HAM pada
kuasa pertambangan.
Eksploitasi
Tambang di Kota Kupang
Contoh
ekstrim eksploitasi galian C di kelurahan Fatukoa milik Jafar Alhadat, selain
diambil perut bumi berupa tanah putih dan mangan, hutan disekitar tambang dibabat
habis, padahal lokasi berada dipinggiran sungai (luas ± 19 ha). Bahkan,
kedalaman eksploitasi galian C mencapai 20 m (luas 2 ha dan 35 ha). Kerusakan
lingkungan juga terjadi di RT 04/RW 02 milik Elvis Tanin (kedalaman ± 12 m, luas
2 ha). Kelurahan Naioni pun menunjukkan kerusakan ekologi yang dilakukan CV.
Ade Sun dan CV. Rajawali (kedalaman 10 m, luas 3 ha). Kelurahan Manulai II dan
Naimata menunjukkan keadaan yang sama (Timex, 25/2/2011). Kini perusahaan telah
selesai mengerjakan proyek tambang dan meninggalkan kawah yang luas serta
kerusakan tanah yang tidak dapat dijadikan usaha subtitusi lahan pertanian. Sungguh
tragis!
Eksekutif
dan Legislastif sebagai algojo rakyat menjaga ekologi dinilai gagal dan tidak capable. Pemda dan DPRD terkesan
membiarkan kerusakan lingkungan terjadi. Bahkan ada dugaan “main mata” pengusaha dan pemerintah. Dumuliahi Djami (mantan Kasatpol
PP) pernah mengatakan “saya lakukan investigasi dan konfrontir pada pengusaha yang
tertangkap memuat mangan, pengakuan pengusaha adalah mereka angkut mangan
secara ilegal karena ada kontribusi pengusaha buat pejabat”, terbukti, pernyataan
Daniel Hurek (mantan Wakil Walikota) “selama ini telah terjadi kesalahan
administrasi antara pengusaha dan Dinas Pertambangan dan Energi Kota Kupang
dimana terdapat sumbangan dari pihak ketiga yang dilakukan” (Timex, 1/3/2011).
Timex
(13/3/2010) memberitakan Lurah Naioni, MJ. Penun akan tewas jika terkena peluru
senjata terduga milik Adibert Adoe (Anggota Polda NTT) karena mangan pengusaha
yang dikawal terduga ditahan warga dan Lurah. Terduga tidak pernah mendapat
teguran maupun sanksi tegas institusi tempat mengabdi. Keterlibatan TNI pun
juga pernah terindikasi ketika Satpol PP Kota Kupang menahan truk AL sekitar
tahun 2010, namun tidak didapati bukti penangkapan. Alasan mereka (baca:
anggota TNI AL) bahwa tujuan ke Naioni sekitar jam 11 malam untuk mengangkut
pasir, padahal pengakuan warga, Kelurahan Naioni tidak memiliki tambang pasir. Kontradiktif
tetapi mau dikatakan apalagi jika bukti tidak mendukung.
Tambang Mangan
di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Ironis,
wewenang institusi dijadikan manipulatif bisnis institusi. Primer Koperasi
Polisi (Primkopol) Polda NTT tertangkap basah mengangkut mangan terindikasi
ilegal. Penangkapan dilakukan Satpol PP TTS (7 September sebanyak 34 ton dan 22
September sebanyak 9 ton). Begitupun pertengkaran antara Pol PP Kabupaten TTS
dan Brigpol Ben Ay (anggota Polda NTT) untuk siapa yang berhak menahan
pengangkutan mangan yang tidak dilengkapi dokumen sebanyak 57 ton milik Man Bansae
dari desa Tubuhue Kecamatan Mollo Barat (Rabu, 30 September 2009). Kasus di TTS
menunjukkan dugaan keterlibatan oknum Polri lebih mayoritas dalam ilegal
mining.
Kabupaten
TTS menjadi pusat perhatian isu ekologi ketika PT. Soe Makmur Resources (SMR)
mengekploitasi mangan secara massif di Soe. Sosialisasi positif hadirnya PT.SMR
membahana NTT melalui advetorial media
massa dan testimoni buruh karyawan untuk memberikan kesaksian keberhasilan SMR
meningkatkan ekonomi rakyat. Realita ini kontras terhadap hasil investigasi peneliti
muda Wilson Therik bahwa ekologi kabupaten TTS dan area tambang SMR mulai
rusak, terbentuk kawah danau tercemar limbah mangan, sumber mata air mulai
rusak, aspek kesehatan masyarakat mulai terganggu dengan debu mangan yang beracun,
lama-kelamaan masyarakat tinggal menunggu waktunya mati. Bahkan hingga kini PT.
SMR telah melakukan aktivitas tambang di luar dari wilayah konsensi (Wilson
Therik dalam sebuah FGD, Hotel Greenia, Februari 2013).
Penulis
pernah bercanda pada seorang teman asal TTS tentang iklan Aqua “air su dekat” dan
teman asal TTS mengungkap itu adalah sebuah eksploitasi kemiskinan. Tapi,
ketika SMR mengeksploitasi tambang di TTS, apakah itu bukan sebuah upaya
pemiskinan degeneratif warga? Pemerintah Daerah tidak mampu mengendalikan
aktivitas tambang, apalagi DPRD ompong giginya untuk mengkritisi eksploitasi
tambang di TTS.
Eksploitasi
Tambang di Kabupaten Manggarai Timur
Pendapat
penulis, dimana ada usaha eksplorasi tambang, disitu pasti ada penyelewengan
wewenang. Hampir disetiap tulisan ilmiah, pasti tidak terlepas dari
keterlibatan aparat negara (Kepala Daerah, Kapolres dan Dandim).
Akibat
eksploitasi tambang yang tidak terkendali di Kabupaten Manggarai Timur, sumber
mata air, persawahan masyarakat dan cagar budaya rusak parah yang dilakukan
oleh PT. Masterlong Mining Resources. Aksi protes massif dilakukan warga untuk
menuntut keadilan, namun sia-sia saja. Bahkan 11 orang masyarakat
dikriminalisasi oleh Pemda dan Kapolres yang dianggap sebagai pendukung
penolakan tambang (http://www.beritasatu.com/nasional/116019).
Refleksi Hari
Kemerdekaan
Posisi
masyarakat yang lemah dihadapan pemerintah dan hukum (baca Pemda, Polri dan
TNI), menjadikan masyarakat tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) politik, ekonomi, sosial, dan hukum.
Kriminalisasi warga, objek eksploitasi perusahaan tambang terhadap pekerja, dan
pencaplokan tanah oleh pemerintah menjustifikasi gambaran ketimpangan rakyat
dan negara.
Pemerintah
harus melakukan kreativitas dalam peningkatan sumber daya manusia untuk mampu
memanfaatkan potensi daerah yang tidak bersifat degeneratif ekologi, dan terus
mengembangkan kajian pemanfaatan sumber daya alam yang terbatas demi
kesejateraan masyarakat, dan negara perlu merevolusi birokrasi untuk
menempatkan institusi sesuai dengan tupoksinya terutama reformasi culture
(moral dan etika) birokrat yang selalu menjadi problema benalu dalam
memanfaatkan kewenangan institusi.
Rusaknya
kondisi lingkungan akibat aktivitas pertambangan dapat menurunkan kualitas
lingkungan dan kualitas hidup masyarakat disekitar wilayah pertambangan,
sehingga diperlukan adanya pengontrolan oleh pemerintah terhadap setiap aktivitas
pertambangan yang dilakukan terutama reklamasi lahan pasca tambang oleh pihak
perusahaan pertambangan.
17
Agustus 2013, NKRI memperingati hari kemerdekaan ke-68 tahun, bangsa yang
terbebas dari penjajahan, namun masih terjajah dengan eksploitasi sumber daya
alam yang masif. Lingkungan menjadi rusak, masyarakat belum sepenuhnya
sejahtera. Alangkah baiknya, Indonesia secara otonomi daerah untuk
merefleksikan kembali semangat mensejaterahkan rakyat melalui usaha
pertambangan. Konsensi-konsensi yang yang ditetapkan tidak harus mengorbankan
rakyat. HUT NKRI ke-68, Perjuangan ini akan kami teruskan dari ketertindasan
tambang yang menyengsarahkan. (Tulisan ini dipublikasi SKH Timor Express. Selasa, 20 Agustus 2013).
Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT