NURANI HAKIM DALAM SIDANG
PENGADILAN
Oleh. Ian Haba Ora
Pendahuluan
Sevan Aome (2013:2) menyatakan keadilan
terjadi ketika hakim memutuskan dan mengetuk palu dalam suatu perkara
dipengadilan, artinya bahwa keadilan
terletak pada akhir sebuah keputusan tetap. Namun itu belum tentu adil menurut
yang berpekara (korban/pelaku, pemohon/termohon). Tetapi yang perlu dipahami
juga bahwa nilai sebuah keadilan terletak pada bagaimana proses memperoleh dan
mendapatkan keadilan adanya hukum/aturan yang berpihak pada kebenaran, penegak
hukum yang memiliki moral kemanusiaan, sistem dan mekanisme persidangan yang
memiliki kewibawaan dan etika, serta alat-alat bukti pendukung yang secara sah
diakui (saksi, dokumen, surat, dan lain-lain). Paul SinlaEloE dalam sebuah kesempatan pun menuturkan suatu negara
telah dianggap menerapkan nilai keadilan, indikatornya adalah “apabila setiap
orang dalam negara telah menerima apa yang menjadi haknya” maka keadilan telah
terlaksana dengan baik di negara tersebut. Jadi nilai keadilan berhubungan
dengan hak sehingga nilai keadilan merupakan hak yang tidak minta tetapi harus
diberikan, yang dituntut adalah kewajiban.
Secara legalistik, suatu kasus mendapat
nilai keadilan ketika mendapat kepastian hukum tetap, yaitu melalui sebuah
persidangan di pengadilan. Namun ironi ketika secara proses pengadilan didapati
berbagai hal kejanggalan hukum dalam memutus sebuah perkara oleh hakim.
Beberapa contoh berikut ini merupakan klausa paradoxal hukum di Indonesia.
Seorang anak di Kota Palu, Sulawesi
Tengah, diseret ke Pengadilan Negeri Palu karena dituduh mencuri sandal senilai
Rp 30 ribu milik Brigadir Satu Ahmad Husni Harahap, anggota polisi. Aal
terancam hukuman lima tahun penjara (http://news.liputan6.com/read/368775). Seorang nenek dijatuhi vonis penjara 2,5 tahun dan denda
1 juta rupiah oleh pengadilan karena dituduh mencuri singkong untuk anak
lelakinya yang sakit dan cucunya yang lapar (http://menone.wordpress.com). Di Kupang, seorang anak dibawa ke Pangadilan oleh ibu
angkatnya dengan tuduhan mencuri bunga. Anak itu mengaku mencuri bunga dan
menjualnya ke tetangga karena dia membutuhkan ongkos sekolah. Sementara di
Sinjai Selatan, Sulawesi Selatan, seorang kakek disidangkan dengan tuduhan
mencuri 0,5 ons merica (http://trianatanti.blogspot.com/2012_04_01_archive.html).
Beberapa kasus tersebut diatas
merupakan sepenggal kepastian hukum persidangan terhadap orang-orang miskin
yang melakukan kejahatan karena kebutuhan hidup yang mendesak. Coba kita
bandingkan dengan beberapa kasus besar seperti korupsi yang melibatkan
orang-orang berkuasa yang dalam proses persidangan mendapat tuntutan hukum yang
ringan bahkan beberapa diantaranya divonis bebas. Misalkan 4 (empat) pejabat
Magetan yang disidangkan karena korupsi pengadaan KIR Bendo dibebaskan pangadilan
(http://www.lensaindonesia.com). Khusus NTT dari catatan PIAR NTT dalam pemantauan korupsi
di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur mengindikasikan propinsi terkorup dan
jauh dari penanganan kasus yang responsif. Keseluruhan kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT ini, tersebar di
20 (Dua Puluh) Kab/Kota dan 1 (satu) daerah
dekonsentrasi yakni, Prov. NTT. Peta penyebaran kasus per-wilayah cukup
merata, yakni berkisar antara 1 – 20 kasus. Kasus terbanyak terjadi di Kab.
Rote Ndao dengan 20 kasus dan di “susul” oleh jajaran pemerintahan Prov NTT dengan 17 kasus, Kota Kupang 15 kasus, Kab. TTS 13 kasus, Kab. Sikka 13 kasus, Kab. Manggarai 9
kasus, Kab. Flores Timur 8 kasus, Kab. TTU
7 kasus, Kab. Ende 7 kasus, Kab.
Kupang 5 Kasus, Kab. Belu 4 kasus, Kab. Alor 4 kasus, Kab. Sumba Barat Daya 2
kasus, Kab Sumba Timur 2 kasus,
Kab. Manggarai Barat 2 kasus, Kab. Lembata 2 kasus. Selanjutnya di Kab. Sumba
Barat, Kab. Nagakeo, Kab. Manggara Timur dan Kab Sabu Raijua masing-masing
terdapat 1 kasus, dari beberapa kasus tersebut masih sebatas bolak balik
kejaksaan-kepolisian (Paul SinlaEloE,2013).
Penanganan kasus-kasus di atas merupakan fenomena
aktual yang hingga kini masih menjadi tandatanya sejauhmana kesiapan pengadilan
untuk dapat memberikan nilai keadilan sepenuhnya bagi rakyat Indonesia.
Keadilan Dalam Ruang Sidang
Rahasia umum menganggap siapapun yang
berperkara hukum di pengadilan, yang menjadi indikator keadilan adalah yang
memiliki jabatan, kekuasaan, dan harta. Semakin miskin seseorang maka semakin
jauh dari nilai keadilan. Korelasi ini juga berkaitan dengan makin jauh
terhadap indikator kepemilikan jabatan, kekuasaan, dan harta maka akan
tersisihkan dari sebuah proses peradilan yang bersih. Akibatnya, kaum miskin
dan kaum marginal dikorbankan dalam sebuah putusan hukum pengadilan. Apakah jabatan,
kekuasaan, dan harta telah mampu untuk membeli hakim dan jaksa, sehingga
aparatur pengadilan dapat mudah diatur dan dintervensi (puppet tool/boneka)? Sungguh tragis pengadilan di Indonesia. Kasus
yang melibatkan “orang-orang besar” hanya
sebatas pada bolak-balik kasus antara kepolisian dan kejaksaan, dan jika
dinyatakan lengkap oleh jaksa dan disidangkan maka giliran hakim untuk
disuap/sogok agar dapat meringankan putusan, dan lebih parah adalah jika
tersangka korupsi dibebaskan dengan keputusan pengadilan.
Kasus pencurian pisang, sendal, merica,
bunga, dan singkong merupakan segelintir kasuistik yang melibatkan orang miskin
dan marginal melakukan kejahatan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup
pokok. Kejahatan itupun hanya bersifat causal
subjektif antara “si miskin dan si empunya”, tidak ada
kaitannya dengan orang lain. Tapi ironis, penegakan hukum pengadilan terhadap
mereka seolah-olah harus cepat mendapat vonis, dan hukuman pun lebih berat dari
para koruptor. Memang harus diakui bahwa, setiap kejahatan tidak dapat
ditolerir, apapun bentuknya. Klausa hukum ini merupakan basis negara sebagai
implementasi negara hukum untuk pembelajaran warga masyarakat dalam pentaatan
akan hukum (the rule of law).
Coba kita perhatikan penanganan kasus di
NTT, catatan PIAR NTT membuktikan bahwa pengadilan masih menjadikan kasus
korupsi sebagai retorika dan hegemoni kekuasaan yang korup. Diperparah lagi
setiap kasus korupsi di NTT syarat dengan dugaan ATM berjalan. Kasus korupsi
dijadikan sebagai kasus pemerasan Polisi, Jaksa, dan Hakim. Dengan demikian
yang terjadi adalah nilai keadilan dalam sebuah kepastian hukum akan kabur dan
keadilan pun menjadi semu.
Beberapa pakar berpendapat bahwa hukum
harus ditegakkan (the rule of law)
dan accountable (bertanggungjawab).
Namun pendapat ini perlu dicermati kembali atas dalil penanganan kasus yang
tidak bersifat equal. Equal artinya,
pendapat hukum (Undang-Undang, Sistem, dan Culture) harus merunut pada
pemerataan kasus sesuai dengan tingkat kejahatan berdasar nurani. Peradilan
dinegeri ini sangat tertutup dan anti kritik, berdiri sendiri dan jauh dari
keterlibatan masyarakat (Standing institution). Hal ini diakibatkan tidak
adanya akses keterbukaan akses masyarakat terhadap sistem peradilan, sehingga
bangunan sistem peradilan jauh dari partisipasi masyarakat. “Hakim adalah
Pengadilan Tuhan”, pendapat umum ini sangat absurt dan tidak rasional, para
hakim tidak luput dari kesalahan. Sebagai warga negara yang baik, kita
berkewajiban untuk patuh pada putusan hakim (pengadilan), akan tetapi fakta
menunjukkan putusan hakim terkadang tidak seimbang dalam penjatuhan hukuman
dipengadilan. Beberapa kasus di atas merupakan metafora kasus yang sedang
terjadi di Indonesia.
Hukum semakin menjadi sorotan ketika
proses penegakan hukum sering dinilai oleh publik tidak menghasilkan keputusan
yang memenuhi rasa keadilan. Tantangan bagi tegaknya hukum dimasa depan
terletak pada kualitas kemampuan aparat penegak hukum untuk mencermati
pluralisme (kemajemukan) masyarakat yang masih kental menghormati serta
menjunjung tinggi norma-norma hukum yang hidup dan berkembang dalam komunitas
adat. Masyarakat yang berharap munculnya dewi keadilan dalam setiap hukum
dilembaga formal, sering memendam rasa kecewa akibat para penegak hukum tidak
sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya sebagai pengayom independen dalam
memutus perkara. Ketidaksempurnaan hukum justeru dimanfaatkan oleh otoritas
penegak hukum untuk berlaku “konyol” sehingga menghasilkan sebuah keputusan
yang beraroma penyimpangan yuridis (Rutha Adhy, 2007).
Penutup
Seyogianya saat ini, aparatur
pengadilan mulai untuk berpikir secara nurani untuk mampu melakukan diskresi
dalam memutus suatu perkara di ruang sidang pengadilan. Dipahami bahwa setiap
pelanggaran dan kejahatan merupakan kriminal, namun lebih daripada itu, banyak
kejahatan emosional dilakukan karena kebutuhan pokok. Kasus pencurian sandal
dan singkong tidak dapat disamakan dengan kejahatan jambret yang dapat membahayakan
orang lain. Nurani hakim dan jaksa seharusnya menjadi moral untuk dikedepankan
dalam sebuah perkara sidang pengadilan.
Referensi:
http://menone.wordpress.com/2012/03/03/mencuri-singkong-karena-kelaparan-hakim-menangis-saat-menjatuhkan-vonis/ diunduh 29 Juli
2013.
Aome,
Sevan. 2013. Keadilan Gratis Bagi Si Miskin. Belum dipublikasi.
Rutha
Ady, I. N. 2007. Ironi Penegakan dan Pluralisme Hukum. http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/11/3/o2.htm.
(12 Juli 2013)
SinlaEloE,
Paul. 2013. Catatan Korupsi Akhir Tahun 2012-PIAR NTT. Sektor Pelayanan Publik
Terkorup di Nusa Tenggara Timur. http://paulsinlaeloe.blogspot.com/2013/01/catatan-korupsi-akhir-tahun-2012-piar.html. diunduh 31
Juli 2013.
Penulis. Ketua FPAR Komunitas
Dampingan PIAR NTT