KAPOLDA NTT “TIDAK AKAN BERANI”
MENGELIMINASI ESPIRIT DE CORPS DALAM
MENINDAK BRUTALITAS POLISI
Oleh : Ian Haba Ora)*
Ketua Task Force Security Sector Reform
NTT
Ditengah
gencarnya reformasi dimana hampir seluruh sendi kehidupan politik, ekonomi,
hukum, sosial budaya dan keamanan menjadi sorotan masyarakat, masih saja
terdengar baik melalui media cetak maupun media elektronik brutalitas polisi (tindakan kekerasan berlebihan). Brutalitas
polisi yang terjadi sejak ekonomi Indonesia dalam keadaan suram, berlanjut
semasa peralihan kekuasaan orde baru hingga pemerintah reformasi mulai
memperkuat kekuasaan belum nampak kecenderungan menurun. Meskipun prestasi yang
dikejar Polri melalui keberhasilan dalam mengungkap jaringan terorisme dan
sindikat narkoba, namun belum mendongkrak citranya sebagai aparat yang tegas
dan santun. Kesan brutal itu masih lekat pada dirinya, apalagi jika melihat
ditanyangan televisi maupun membaca di surat kabar, Bagaimana tindakan polisi
dalam menangani aksi-aksi demo, pemeriksaan BAP, penahanan maupun dalam melibas
para penjahat jalanan (blue collar crime). Kekerasan memang mencitrakan pekerjaan
polisi. Hal ini dapat dilihat dari perlengkapan yang disandangnya, seperti
pistol, borgol, pentungan dan lain-lain. Pengunaan kekerasan bagi polisi bisa
disebut sebagai inti dari pekerjaannya atau sebagai perlengkapan untuk
menjalankan pekerjaan dimasyarakat.Tentu pekerjaan itu hanyalah digunakan saat
menghadapi ancaman yang membahayakan dirinya dan dihadapi secara wajar atau
dengan menggunakan alat yang seimbang. Dengan kata lain kekerasan yang
digunakan polisi adalah kekerasan normatif bukan kekerasan emosional brutal
atau kekejaman.
Dalam
hal ini sebagai lembaga negara polisi diberi dua kekuasaan yaitu kekuasaan
dibidang hukum dan kekuasaan dibidang pemerintah. Penerapan kedua kekuasaan itu diwujudkan dalam
bentuk kekuatan paksa fisik secara terorganisir untuk mengontrol perilaku
masyarakat dalam mencapai modal kolektif. Diberikan monopoli kekuasaan tersebut
sesungguhnya tidak memiliki masalah yang serius, namun persoalan muncul ketika
masyarakat menuntut agar polisi menjadi wasit yang adil berhadapan dengan napsu
kekuasaan yang mengabaikan tujuan moral. Pada titik ini kelemahannya ialah bagaimana
mengontrol mandat yang diberikan kepada polisi dalam menggunakan kekuatan paksa
fisik tersebut dipertanggungjawabkan dan kegagalan atas pertanggungjawabannya
itu diberikan hukuman yang setimpal.
Pada
dasarnya penggunaan kekerasan bagi polisi diijinkan apabila : (1) Pada saat
menjalankan tugas polisi diserang secara fisik oleh seseorang atau sekelompok
orang. (2) Polisi yang telah memberikan peringatan baik dengan kata-kata maupun
perbuatan terhadap seseorang atau sekempok orang yang tidak diindahkan. (3) Polisi
menghadapi perlawanan tidak seimbang dari seseorang atau sekelompok orang yang akan
ditangkap karena memiliki kesalahan. Sedangkan yang tidak diijinkan antara lain
adalah : (1). Polisi menangkap seseorang dengan menggiring dimuka umum, pada
hal itu yang seharusnya tidak perlu ditangkap atu cukup dipanggil saja; (2). Seorang
yang tidak berusaha melarikan diri atau melawan, dengan tanpa alasan diborgol;
dan (3). Seseorang yang ditangkap, sudah ditundukkan kemudian dipukul atau
ditembak. Meskipun dalam penggunaann kekerasan itu telah diberikan berbagai
patokan baik berupa undang-undang (KUHP,KUHAP) maupun petunjuk kepolisian
(juklak,juknis), namun praktek brutalitas polisi masih saja terjadi.
Brutalitas
polisi itu bisa disebabkan karena masalah persoalan yang menyangkut mental
aparat juga menyangkut sruktural. Masalah personal tidak lepas dari aspek
rekrutmen dan basis pendidikan. Sedangkan masalah structural, mencakup
persoalan yang bersifat umum sehingga persoalan yang sangat sensitive karena
pekerjaan polisi berhubungan langsung dengan soal kebebasan dalam hal
penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan terhadap seseorang. Dari sinilah
tindakannya sering mengundang persepsi negative karena merampas kebebasan
seseorang, lebih dari itu dimanfaatkan untuk mengamankan kekuasaan suatu
golongan. Kondisi seperti ini membuat polisi bisa terseret pada rekayasa
politik dengan melakukan kontrol lewat penyelidikan, pelacakan, pencekalan, pengaturan
dan pemeriksaan membuka peluang bagi kemungkinan digunakannya polisi sebagai
alat kekerasan politik, bukan kekerasan normative atau kekeraasan yang
berlandaskan hukum. Keadaan ini tidak lepas dari kondisi nyata yang hidup dalam
sistem dan doktrin kepolisian yang membuat aparat kepolisian dalam menjalankan
tugasnya cenderung akan berpihak kepada kekuasaan yang kuat dari segi politik. Jika
demikian wajah polisi merupakan refleksi dari watak rezim yang otoritarian.
Ini
menunjukan masih ada persoalan yang perlu didudukan untuk mengendalikan polisi
dalam penggunaan kekerasan. Selama ini
pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas kepolisian dapat dikatakan sangat
lemah. Pengawasan internal yang dilakukan oleh divisi propam polri belum
berlangsung secara optimal. Hal ini disebabkan karena ada hambatan dari budaya
polisi yang berkisar pada solidaritas (solidarity) dan kerahasiaan (secrecy). Solidaritas
polisi mendorong kearah semangat saling melindungi kawan meskipun bersalah. Sedangkan
implikasi kerahasiaan, sebagai institusi penegak hukum polisi merasa tabu
membuka aib angotanya yang melanggar hukum (terutama pada strata petinggi
polisi).
Hadirnya
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagaimana diamanatkan pasal 37 UU No. 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sesungguhnya merupakan
angin segar bagi terciptanya mekanisme kontrol terhadap pelaksanaan tugas-tugas
polisi. Jika selama ini polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tanpa
kontrol masyarakat secara formal, maka dengan kehadiran Kompolnas seakan
masyarakat diberikan ruang untuk mengontrol pelaksanaan tugas polisi. Namun
jika dilihat dari tugas dan wewenang yang dirumuskan dalam undang-undang hanya
terbatas sebagai pembantu presiden dalam memberikan saran, menyimpulkan keluhan
dan saran dari masyarakat untuk disampaikan kepada presiden. Hal ini sama saja
mengaburkan fungsi sebenarnya dari Kompolnas.
Apalagi jika dilihat dari struktur keanggotaan yang mendudukan tiga orang
menteri didalamnya, harapan agar komisi ini independen dan mampu mengontrol
tugas-tugas polisi secara cermat pupuslah sudah.
Analisis
brutalitas polisi ini mendeskripsikan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan
polisi setelah pisah dengan TNI sesuai TAP MPR No.VI/2000 dan TAP MPR No.VII/2000
yang mengarahkan polisi sebagai lembaga sipil yang dalam pelaksanaan tugasnya
mengutamakan hukum dan ketertiban. Dalam uraiannya dapat dilihat secara mendalam
kejadian-kejadian dan korban-korban yang mengganaskan sejalan dengan sejarah
kepolisian di Indonesia. Dengan kata lain kekerasan yang mewarnai kinerja
polisi bukaNnya merupakan fenomena yang kasuitis,melainkan sudah menjadi budaya
organisasi. Masalah ini yang ditonjolkan dengan harapan akar permasalahannya
dapat diketahui secara benar dan perbaikan dilakukan secara mendasar.
Reformasi
kepolisian yang telah berlangsung ±11 tahun nampaknya belum memenuhi sasaran
yang diharapkan, banyak hal yang perlu dikaji seperti kedudukan polri belum
otonomi sehingga pertanggungjawaban Kapolda sentralistik, juga perumusan kompolnas
yang disfungsional. Sejalan dengan itu perlu dibenahi perilaku organisasi, manajemen,
profesionalisme, efesiensi, spesialisasi, akuntabilitas, transparansi, pembiayaan
tugas polisi dan kesejahteraan anggotanya. Selama ini masyarakat telah berusaha
memahami dilema yang dihadapi polri dalam posisinya dipemerintahan. Pelecehan-pelecehan
yang dilemparkan kepadanya sebagai alat kekuasaan pada hakekatnya merupakan
kekecewaan masyarakat terhadap sistem kepolisian yang kurang memberi peluang
untuk warga menyalurkan aspirasi. Hal ini perlu mendapat perhatian, mengingat
kondisi sosial Indonesia saat ini berada diambang rawan. Dengan kata lain, struktur
yang menyimpang dari cita-cita dan tujuan bersama secara potensial bersifat
memecah. Ini berarti jika lembaga kepolisian di Indonesia tidak didudukan secara
sistemik, maka kontradiksi antara polisi
dengan warga masyarakat akan terus terjadi. Dalam posisi demikian warga
masyarakatlah yang selalu menjadi pihak yang kalah.
Akhirnya
analisis ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi para penentu
kebijakan. Reformasi polri hendaknya lebih mengarah kepada cita-cita mewujudkan
polisi sipil, polisi yang menunjukkan kemanusiaan (humanis), independen dalam
menjalankan tugasnya, bukan polisi yang hanya berpihak pada kepentingan
kelompok atau golongan tertentu. Mungkinkah
dengan kasus brutalitas polisi “ kasus tewasnya dua siswa SMK Eltari, Cristofel
Taebenu dan Jefri Lay akibat ditendang motornya oleh Anggota Samapta Polda NTT,
12 Oktober 2009 saat melintas di jalan Mohammad Hatta-Kuanino Kupang hingga
kini semakin kabur dalam proses penyidikannya. Kasus tewasnya Paulus Usnaat
dalam sel Mapolsek Nunpene-wilayah Polres TTU pada 2 Juni 2008 akibat dibunuh
yang diduga melibatkan 4 orang anggota polisi yang sedang piket saat itupun,
masih terkesan lamban penyusutannya, bahkan ke empat orang anggota piket itupun
hanya di Mutasi ke Polda NTT dan belum mendapat status hukum yang jelas. Kasus
Bripda Iwan Susanto anggota Brimobda NTT sebagai tersangka dalang pencurian dua
kilogram emas di toko kanaan pada 12 Mei 2009, berkas penyidikannya hanya pada
“bolak-balik” kejaksaan-polisi dan tindakan indisipliner belum sepenuhnya
terlaksana. Kasus penikaman oleh Bripda Polce Ludji terhadap sesama rekan
polisi Bripda Deni Ndoloe, 27 Januari 2010 di TTS dengan alasan hukuman
indisipliner yang terimanya lantaran mabuk-mabuka menggambarkan makin bejatnya moral polisi di
NTT”. Pertanyaannya; Berani atau
tidak, Kapolda NTT untuk mengeksekusi pelaku brutalitas polri di NTT? Kasus ini
hanya sebagian contoh dalam dinamika brutalitas Polisi di wilayah Polda NTT.
Jikalau Kapolda NTT hanya berani membuat statement maka reformasi Polri belum sepenuhnya
berjalan di institusi Kepolisian. “Watak espirit de corps masih kental di Kepolisian
NTT”.