e Spirit de corps dalam Brutalitas Polri di NTT
Oleh. Ian Haba Ora)
Ketua Task Force Team SSR NTT
Bicara soal reformasi polri sebagai
tuntutan gendang reformasi 1999, maka kita akan bicara soal polisi berkarakter
sipil yang dekat dengan rakyat, menekankan pada pendekatan persuasif, jauh dari
kegiatan represif dan pendekatan militeristik, jauh dari brutalitas dan
kegiatan kejahatan kriminal lainnya yang dapat menciderai institusi polisi
sebagai penegak hukum. Ini dikarenakan saat reformasi 1999, terjadi
transformasi politik dari otoritarianisme ke demokrasi sehingga memaksa
institusi Kepolisian untuk ikut berubah dengan mengadopsi nilai-nilai
demokrasi, juga terjadi perubahan dan perkembangan lingkungan strategis
sehingga Polisi dituntut untuk mengubah cara pandang, organisasi, teknis operasional
dan lain-lain sejalan dengan perubahan yang terjadi. Pergeseran ini umumnya
terjadi melalui apa yang disebut sebagai reformasi polisi. Hal tersebut juga
dipertegas dalam UU 2/2002 tentang Polisi Republik Indonesia. Namun, gendang reformasi polri sering
dicedarai oleh ulah oknum polri yang tidak professional dan akuntabel terhadap
tugas dan aturan hukum. Kita lihat saja, ulah tidak terpuji yang dipertontonkan
oknum anggota Polda NTT yang diduga menembak Lurah Naioni, Melius J. Penun,
Kamis (11/3/20100) malam lalu lantaran mangan ilegal yang diduga milik salah
seorang pengusaha Naioni yang dikawal Adiberth Adoe seorang anggota Polri pada Polda
NTT ditahan oleh warga Kelurahan Naioni (Timex-Sabtu, 13 Maret 2010).
Oknum
Polri masih represif dan brutal.
Seturut kronologis dari pemantauan
media, sekira pukul 22.15 Wita malam, Lurah Naioni Melius Penun bersama ketua
RT 02 pada kelurahan tersebut mendatangi TKP dimana truk yang mengangkut mangan
ilegal itu ada ditahan oleh masyarakat. Saat berada disana, lurah pun segera
meminta kepada petugas untuk mendata nama para supir truk serta meminta
keterangan surat izin berkaitan dengan penambangan mangan. Sialnya, para supir
pun balik mengatakan kalau lurah bukan polisi. Adu mulut pun tak dapat
terhindari antara petugas dan para supir. Kepada para supir, Lurah Naioni,
Melius Penun menyampaikan soal perintah Walikota Kupang melalui Dinas
Pertambangan dan Energi Kota Kupang agar parah Lurah meningkatkan pengawasan
semua pihak dan meningkatkan pemantauan terhadap aktivitas penambangan dan
pengangkutan mangan secara ilegal sambil menunggu regulasi dari UU 4/2009
tentang Minerba. Selesai memberikan penjelasan, seorang bernama Adiberth Adoe,
oknum Anggota Polda NTTyang saat itu mengaku sebagai pembeli mangan datang dan
mengatakan kalau Lurah dan Warga setempat tidak punya hak menahan mobil dan
mangan milik mereka. Adiberth Adoe kata
Melius Penun sempat mengancam kalau mangannya ditahan maka ia akan membuat
keributan dan bertindak menggunakan kekerasan. “Kemudian mereka kembali mau
tahan saya karena katanya saya yang melanggar aturan menahan mangan mereka.
Saat itu ada seorang oknum bernama Anis Kobis ikut mengiyakan agar segera
menahan saya,” ungkap Melius Penun. “Lurah bangsat kami tahan kau, segera naik
ke mobil untuk ikut ke kantor kami. Lalu dengan cara paksa mereka menarik saya
dan membuang saya ke dalam mobil yang sudah terbuka pintunya,”kata
korban.Merasa tidak puas, oknum polisi tersebut menariknya di krak baju dan
melempar ke dalam mobil. “Saya tidak bisa melawan. Saat berusaha untuk keluar
Adiberth Adoe meraih sebuah senjata laras panjang dan mau menembak saya. Untung
saja saat itu saya bisa melarikan diri ke bagian belakang mobil hartop dan
berusaha lari lagi,”tambah penun. Korban Melius Penun mengaku mendengar satu
bunyi tembakan. Pelaku kemudian kembali menembak sekali sebelum melarikan diri
menggunakan mobil hartop.
Dari kronologis yang dirilis media,
terlihat anggota Polri masih represif dan aktif menggunakan kekerasan yang
seyogyanya telah hilang dari cara pandang anggota kepolisian. Padahal dalam UU
2/2002 tentang Polri dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia
Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengatur
norma-norma tugas dan wewenang anggota kepolisian dalam menegakkan keamanan dan
ketertiban, pengayom dan perlindungan bagi masyarakat. Kenyataan ini paradox
dengan ulah Adiberth Adoe seorang anggota Polri yang terindikasi melakukan ilegal
mining, penganiayaan, pengancaman, penembakan diluar prosedur hukum meskipun
tidak menimbulkan korban jiwa, namun dengan kejadian ini, telah menciderai
institusi Polri sebagai institusi penegak hukum yang melanggar hukum.
Dugaan fakta ini mempertontonkan bahwa
oknum Polisi di Wilayah Polda NTT masih marak dengan brutalitas oleh
anggotanya. Didalam buku saku untuk Polri tentang Pengenalan Prinsip-Prinsip
Dasar Hak Asasi Manusia Bagi Penegak Hukum telah dijelaskan bahwa dalam
melaksanakan tugas polisi tetap menghormati harkat dan martabat semua manusia
maka setiap anggota polisi harus menjaga dan mengasah sanubarinya dengan
tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang terkandung dalam Code of Conduct, Tribrata, Catur Prasetya dan Etika Profesi
Kepolisian serta mempedomani prinsip-prinsip Dasar Hak Asasi Manusia bagi
penegak hukum menurut standar internasional. Disamping menghayati tuntunan
moral tersebut, dalam buku saku tersebut juga dijelaskan tentang perpolisian
Dalam Negara Demokratis, HAM dan Perpolisian, Harkamtibmas, HAM bagi Kelompok
Rentan, Investigasi Pelanggaran HAM oleh Penegak Hukum dan Penanganan serta
Pemantauannya. Namun semuanya jauh dari keyataan yang ada, brutalitas Polri
makin menjadi-jadi. Kasus ini hanya sebagian kecil saja yang terpantau, padahal
brutalitas polri sebenarnya telah seperti gunung es. Namun disesalkan,
brutalitas polri tidak pernah menjadi agenda yang menarik dari institusi
kepolisian, bahkan dugaan Kapolda melindungi anak buahnya sebagai wujud spirirt
de corps makin menggila.
Brutalitas polisi itu bisa disebabkan
karena masalah persoalan yang menyangkut mental aparat juga menyangkut
sruktural. Masalah personal tidak lepas dari aspek rekrutmen dan basis
pendidikan. Sedangkan masalah structural, mencakup persoalan yang bersifat umum
sehingga persoalan yang sangat sensitif karena pekerjaan polisi berhubungan
langsung dengan soal kebebasan dalam hal penangkapan, penahanan, dan
pemeriksaan terhadap seseorang. Dari sinilah tindakannya sering mengundang
persepsi negatif karena merampas kebebasan seseorang, lebih dari itu
dimanfaatkan untuk mengamankan kekuasaan.
Ini menunjukan masih ada persoalan yang
perlu didudukan untuk mengendalikan polisi dalam penggunaan kekerasan. Selama ini pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas-tugas kepolisian dapat dikatakan sangat lemah. Pengawasan internal yang
dilakukan oleh divisi propam polri belum berlangsung secara optimal. Hal ini
disebabkan karena ada hambatan dari budaya polisi yang berkisar pada
solidaritas (solidarity) dan kerahasiaan (secrecy). Solidaritas polisi
mendorong kearah semangat saling melindungi kawan meskipun bersalah. Sedangkan
implikasi kerahasiaan, sebagai institusi penegak hukum polisi merasa tabu
membuka aib angotanya yang melanggar hukum (terutama pada strata petinggi
polisi).
Hadirnya Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) sebagaimana diamanatkan pasal 37 UU No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesungguhnya merupakan angin segar bagi
terciptanya mekanisme kontrol terhadap pelaksanaan tugas-tugas polisi. Jika
selama ini polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tanpa kontrol
masyarakat secara formal, maka dengan kehadiran Kompolnas seakan masyarakat
diberikan ruang untuk mengontrol pelaksanaan tugas polisi. Namun jika dilihat
dari tugas dan wewenang yang dirumuskan dalam undang-undang hanya terbatas
sebagai pembantu presiden dalam
memberikan saran, menyimpulkan keluhan dan saran dari masyarakat untuk
disampaikan kepada presiden. Hal ini sama saja mengaburkan fungsi sebenarnya
dari Kompolnas. Apalagi jika dilihat
dari struktur keanggotaan yang mendudukan tiga orang menteri didalamnya,
harapan agar komisi ini independen dan mampu mengontrol tugas-tugas polisi
secara cermat pupuslah sudah.
Analisis brutalitas polisi ini
mendeskripsikan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan polisi setelah pisah
dengan TNI sesuai TAP MPR No.VI/2000 dan TAP MPR No.VII/2000 yang mengarahkan
polisi sebagai lembaga sipil yang dalam pelaksanaan tugasnya mengutamakan hukum
dan ketertiban. Dalam uraiannya dapat dilihat secara mendalam kejadian-kejadian
dan korban-korban yang mengganaskan sejalan dengan sejarah kepolisian di
Indonesia. Dengan kata lain kekerasan yang mewarnai kinerja polisi bukannya
merupakan fenomena yang kasuitis,melainkan sudah menjadi budaya organisasi.
Reformasi kepolisian yang telah
berlangsung ±11 tahun nampaknya belum memenuhi sasaran yang diharapkan, banyak
hal yang perlu dikaji seperti perlu dibenahi perilaku organisasi, manajemen,
profesionalisme, efesiensi, spesialisasi, akuntabilitas, transparansi. Hal ini
perlu mendapat perhatian, mengingat kondisi sosial rakyat saat ini berada
diambang rawan. Dengan kata lain, struktur yang menyimpang dari cita-cita dan
tujuan bersama secara potensial bersifat memecah. Ini berarti jika lembaga
kepolisian di Indonesia tidak didudukan secara sistemik, maka kontradiksi antara polisi dengan warga masyarakat akan
terus terjadi. Dalam posisi demikian warga masyarakatlah yang selalu menjadi
pihak yang kalah.
Polisi
masih berbisnis ilegal mining
Dugaan permasalahan yang ada berkaitan
dengan ditahannya truk yang mengangkut mangan ilegal milik Adiberth Adoe
seorang anggota polisi di polda NTT oleh warga Naioni dan dilaporkan kepada
Lurah untuk ditindak lanjuti. Kasus ini mempertontonkan masih adanya anggota
yang menciderai institusinya sebagai penegak hukum masih melakukan pengangkutan
mangan secara ilegal dan membawa-bawa institusi dalam berbisnis. Ini dapat
dilihat dengan diawalnya pengangkutan tersebut menngunakan senjata laras
panjang yang pada akhirnya diduga digunakan untuk menembak Lurah naioni, Melius
Penun. Kejadian ini mempertontonkan kekuasaan dan otoritas penegak hukum
dipakai sebagai alasan untuk melakukan kejahatan criminal ilegal mining. Jika
dicontohi kasus tersebut,bukan baru kali pertama bisnis mangan ilegal ini dilakukan
tetapi banyak pelaku kepolisian lain yang hingga kini belum terselesaikan
dengan baik. Lihat saja kasus perkelahian Satpol PP Kabupaten TTS dan seorang
oknum polisi yang mengaku anggota primkopol Polda NTT yang mangannya ditahan
karena tidak memiliki surat-surat secara resmi di bulan Nopember 2009 hingga
kini belum terselesaikan.
Sunggh naïf ketika institusi kepolisian
hanya menuntut warga sipil biasa untuk tidak melakukan kejahatan criminal
seperti penambangan ilegal namun bagi anggotanya yang melakukan tindakan
tersebut tidak ditindak dengan tegas. Apabila jika dilakukan oleh rakyat biasa
maka akan ditangkap dan dipidana, bahkan proses hukumnya akan cepat selesai
dengan ditahannya pelaku dari warga biasa sedangkan jika anggota yang
melakukannya tidak. Sugguh aneh penegakan hukum yang ada di republik ini,
terkhususnya hukum yang ada di NTT yang dijalankan oleh Polri NTT.
Dalam pemberitaan dimedia lokal juga,
anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP),
Herman Herry, mengatakan agar setiap anggota kepolisian tidak untuk berbisnis
mangan memakai label korps kepolisian seperti yang dilakukan Primer Koperasi
Polisi (Primkopol). Itu baru sebatas larangan bagi institusi secara legal,
tetapi ini sangat tidak resmi yang dilakukan oleh salah seorang anggota polda
NTT, Adiberth Adoe.
Polri
dan Brutalitas Polri (UU 2/2002 dan PerKap 8/2009)
Sempat keluar kata dari Polisi Adiberth
Adoe bahwa warga dan lurah tidak memiliki wewenang untuk menahan truk itu.
Lurah juga tidak memiliki wewenang dalam melakukan penahanan karena itu tugas
polisi. Disini sebernarnya bukan melihat dari apa yang seharusnya dilakukan
tetapi etiket baik masyarakat untuk membantu kepolisian. Mungkin saja apa yang
dilakukan oleh warga naioni bersama lurah adalah salah satu upaya untuk menjaga
ketertiban dan ketentraman warga sekitar apalagi koordinasi itu dilakukan
dengan perintah Walikota Kupang untuk mengamankan kekayaan daerah melalui
koordinasi bersama Dinas Pertambangan dan Energi Kota Kupang agar parah Lurah
meningkatkan pengawasan semua pihak dan meningkatkan pemantauan terhadap
aktivitas penambangan dan pengangkutan mangan secara ilegal sambil menunggu
regulasi dari UU 4/2009 tentang Minerba. Namun etiket baik dari pemerintah ini
tidak dilakoni dan direspon oleh oknum Kepolisian yang seharusnya mendukung
tujuan dan menghindarkan dari kejahatan Kriminal lainnya.
Dalam UU Polri No 2 tahun 2002 pasal
(2) dijelaskan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan
negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Kelakuan
Adiberth yang diduga melakukan bisnis mangan ilegal telah menciderai konstitusi
negara sebagai penegak hukum. Bahkan sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban
tidak didukung oleh oknum dari polda tersebut karena masih mengancam Lurah
bahkan menembak lurah yang juga adalah warga sipil biasa. Pasal 4 juga
menjelaskan Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ketika polisi melakukan
penembakan kepada oknum lurah maka dengan sendirinya oknum anggota Polda
tersebut telah berupaya menghilangkan hak asasi manusia itu sendiri.
Terpenting bagi negara ini adalah
sejauh mana penghargaan akan nilai-nilai HAM yang dapat di internalisasi oleh
setiap aktor negara sehingga dapat menjamin akan hak setiap warganya. Dalam UU
no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 2 menegaskan Negara Republik
Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari
manusia, yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan
martabat kemanusiaan, kesejateraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan.
Hak-hak dasar itu sesuai pasal 3 berupa hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan didepan
hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
atau oleh siapapun. Namun kenyataannya ialah Hak-Hak tersebut yang dikebiri
oleh aktor negara.
Didalam perkap 8 tahun 2009 tentang
Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian
republik Indonesia pasal 11 ayat (1) dijelaskan bahwa setiap petugas/anggota
Polri dilarang melakukan, huruf a). penangkapan dan penahanan secara
sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum, huruf j). menggunakan kekerasan dan/atau senjata api
yang berlebihan. Ayat (2). Anggota Polri yang melakukan tindakan melanggar HAM
wajib mempertanggung jawabkan sesuai dengan kode etik profesi kepolisian,
disiplin dan hukum yang berlaku.
Pasal 40 , dalam melaksanakan tugas
pemeliharaan kamtibmas setiap anggota Polri dilarang a). berperilaku arogan,
sewenang-wenang atau menyakiti hati rakyat, sehingga menimbulkan antipati atau
merugikan rakyat, huruf b). melakukan tindakan kepolisian yang sangat
berlebihan, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat ataupun bagi Polri.
Pasal 47 ayat (1), penggunaan senjata
api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa
manusia. Ayat (2), senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk a). dalam
hal menghadapi keadaan luar biasa; b). membela diri dari ancaman kematian dan/atau
luka berat; c). membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka
berat; d). mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
e). menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan
melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan f). menangani situasi
yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Pasal 48, setiap petugas Polri dalam
melakukan tindakan kepolisian dengan menggunakan senjata api harus memedomani
prosedur penggunaan senjata api sebagai berikut : a). petugas memahami prinsip
penegakan hukum legalitas, nesesitas dan proporsionalitas; b). sebelum
menggunakan senjata api, petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan
cara: 1). Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota polri yang sedang
bertugas; 2). Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada
sasaran untuk berhenti, angkat tangan atau meletakkan senjatanya; dan 3).
Memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.
Pasal 58 ayat (1) setiap anggota Polri
wajib memahami aturan tentang HAM, (2) Setiap anggota Polri wajib menerapkan
aturan tentang HAM dalam melaksanakan tugasnya; (3). Setiap anggota Polri wajib
meningkatkan pemahaman dan kemampuan diri dalam menerapkan aturan tentang HAM
didalam pelaksanaan tugasnya.
Akuntabilitas
Institusi Polri dalam Reformasi Polri
Akibat kurang optimalnya reformasi
Polri dan sering mengesampingkan prinsip-prinsip HAM, hingga kini masih banyak
masyarakat kecewa atas tindakan polisi dalam melaksanakan tugas, seperti
melakukan kekerasan dan penganiayaan, represif dan lain-lain. Meskipun
reformasi namun reformasi Polri dilakukan secara konvensional. Ini ditandai
dengan masih belum terkikisnya paradigma dan budaya militer dalam organisasi
dengan trauma reposisi yang membayanginya padahal reformasi polisi
didefenisikan sebagai transformasi organisasi kepolisian agar lebih
professional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon
ancaman serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Profesional yang
dimaksudkan yakni dalam penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas
kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan yang menghargai prinsip-prinsip
HAM, memiliki kode etik sebagai pengabdian dan memiliki seperangkat ajaran yang
dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup
organisasi. Sedangkan akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima
pengawasan atas wewenang yang diberikan. Akuntabilitas itu berupa 1).
Answeribility, mengacu pada kewajiban polisi memberikan informasi dan
penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; 2). Enforcement, mengacu pada
kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggotanya apabila mereka mangkir
dari tugas-tugas negara/publik; 3). Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi
untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana. Dengan demikian, tujuan dari
reformasi polisi adalah membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan
bertanggung jawab atas tiap tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi
manusia.
Mudah-mudahan reformasi polri guna
menghasilkan polri yang professional dan akuntability dapat terlaksana di
Indonesia khususnya di NTT. Walaupun kecenderungan agenda akuntabilitas dalam
konteks reformasi sektor keamanan semakin hari menjadi semakin penting, meski
tantangannya juga masih banyak. Kecenderungan global menunjukkan bahwa agenda
akuntabilitas merupakan salah satu elemen terpenting dalam reformasi sektor
kepolisian. Mengabaikan agenda akuntabilitas akan membuat reformasi sektor
keamanan terjerumus menjadi agenda formalitas belaka. Situasi Indonesia pasca
orde baru juga tetap mencerminkan relevansi pertautan antara agenda
akuntabilitas dengan reformasi sektor keamanan.
Meski berbagai agenda reformasi terkait
penegakan hukum dan HAM sudah berjalan, kemajuan baru sebatas perubahan
institusional dan legislasi. Agenda akuntabilitas yang otentik belum terwujud
yang ditandai oleh absennya penghukuman bagi para pelaku pelanggaran
(brutalitas anggota polri). Minimnya akuntabilitas membuat agenda reformasi
kedepan tidak akan berjalan mulus. Peran organisasi masyarakat sipil dalam
agenda ini sangat penting mengingat berbagai kerangka legal dan institusional
ditingkatan nasional dan internasional cukup mendukung partisipasi aktif mereka.
Kasus-kasus
kekerasan dan penyalagunaan kekuasaan (abuse
of power) yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh
institusi keamanan masih menjadi trend,
meskipun secara institusional seluruh institusi keamanan selalu menyatakan
ketundukan pada hukum dan prinsip-prinsip HAM. Belum ada
korelasi positif yang signifikan antara perubahan legislasi, kebijakan
institusional di lingkungan Polri serta klaim tumbuhnya profesionalisme
institusi-institusi keamanan tersebut dengan penurunan angka kekerasan dan
pelanggaran HAM. Karenanya aktor-aktor keamanan penting untuk menjelaskan
kepada publik atas fenomena ini.