SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 2 July 2013

SATPOL PP: PERSUASIF dan KEKERASAN



ANTARA PERSUASIF DAN KEKERASAN
(Catatan: Mencermati Penggusuran Bangunan Liar Oleh Satpol PP)
Oleh Ian Haba Ora

Penggusuran pemondokan liar di belakang Polsekta  Kelapa Lima Kota Kupang, Jl Timor Raya, Jumat (7/5/2010), oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Kupang menuai pemberitaan kontroversi. Metro TV dalam pemberitaan Headline News-Minggu (9/5/2010) pukul 09.00 Witeng memberitakan terjadi pergusuran paksa oleh Satpol PP Kota Kupang terhadap 78 rumah di wilayah jln Timor Raya belakang Kantor Dispenda Kota Kupang!

Pemberitaan tentang Satpol PP Kota Kupang menganalogikan opini masyarakat terhadap Satpol PP sebagai pelaku kekerasan “preman berseragam”. Ini nampak pada opini masyarakat atas pembongkaran salah satu rumah milik warga di lokasi tanah milik Pemerintah Kota Kupang oleh Satpol PP Kota Kupang, Jumat (7/5/2010).

Sedangkan pengakuan Pemerintah, ini dilakukan karena pada lokasi tersebut akan dibangun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Kupang guna mendekatkan pelayanan kesehatan pada warga masyarakat. Berdasarkan Keputusan Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, bangunan-bangunan atau pemondokan yang berada pada lokasi tersebut harus dibongkar karena dianggap liar. Untuk itu, Pemerintah Kota Kupang dan warga penghuni lokasi tersebut menyepakati agar bangunan segera dibongkar dengan kompensasi, Pemkot Kupang bersedia memberikan perumahan murah dilokasi yang telah ditentukan dengan angsuran Rp 26.500/bulan. Tidak itu saja, Pemkot bersedia memberikan ganti rugi bangunan sesuai kriteria perumahan (permanent dan semi permanent).

Kompensasi yang diberikan pemerintah pada warga tersebut tidak serta merta diikuti dengan kewajiban untuk membongkar bangunan secara sadar tetapi diikuti dengan pembangkangan. Bahkan ada warga dalam satu keluarga beda pendapat dalam kompensasi yang diberikan pemerintah. Adalah Sarce Tulle yang tidak sejalan dengan keinginan suaminya. Percecokkan suami-isteri didepan umum ini lantaran suaminya tak mau rumah mereka dibongkar setelah menerima ganti rugi dari pemerintah. “lu lebih pentingkan uang, makanya katong pung rumah dibongkar, lu hanya mo pikir tu doi sa,” ungkap  Tulle pada isterinya.

Penertiban (pembongkaran) bangunan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Kupang sesuai dengan perintah Walikota Kupang. Rumah dari Sarce Tulle dibongkar yang pada akhirnya diberitakan sebagai pembongkaran paksa dibeberapa media. Pembongkaran rumah warga ini karena telah melewati batas yang telah ditentukan oleh warga penghuni lokasi dan Pemerintah Kota dengan pemberian kompensasi yang telah disebutkan. Menurut Kasat Pol PP Kota Kupang, ini bukan pembongkaran paksa. “Kita bongkar tanpa paksaan, kita sudah persuasif dengan batas waktu yang ada. Kalaupun kita bongkar, akan bongkar secara hati-hati dan baik tanpa ada yang rusak,” ungkapnya saat press conferences di lokasi.

“Saya siap dipukul masyarakat bahkan dibunuh, tapi selain perintah saya tidak ada lakukan apapun dilapangan, meskipun saya mati. Jauhi kekerasan, kerena mereka juga saudara kita yang mungkin belum sadar bahwa itu tanah milik pemerintah. Wajib kita persuasif dengan mereka”. Sepintas kata Kasat Pol PP Kota Kupang, Drs. Dumuliahi Djami,M.Si dalam persiapan personel, di lapangan Satpol PP Kota Kupang dengan koordinasi Satpol PP Propinsi NTT, Polsekta Kelapa Lima dan Koramil. Pol PP Kota Kupang sebagai ring I dan lainnya ring II (Kasat Pol PP dalam apel persiapan barisan, Jumat (7/5/2010)). Kasat menekankan untuk menghindari kekerasan dan represif meskipun itu bersifat memprovokasi.   “Kita akan bongkar secara baik-baik, barang-barang kita keluarkan dan kita atur baik-baik, karena bahan-bahan tersebut sangat dibutuhkan oleh mereka”.

Perlu diketahui, dalam area milik Pemerintah Kota tersebut dibangun sekitar 70-an bangunan perumahan oleh warga. Sesuai kesepakatan bersama Pemkot Kupang dan warga diarea tersebut, maka pemerintah memberikan kompensasi ganti rugi berupa uang dan rumah tinggal bagi warga dan memberikan batas waktu untuk warga membongkar sendiri huniannya. Namun sampai batas waktu yang ditentukan, masih sekitar 7 bangunan rumah yang belum dibongkar oleh penghuni. Ironisnya, diantara pemilik bangunan tersebut, ada beberapa oknum PNS Pemkot yang secara tegas menolak rumahnya dibongkar. Ketika diminta bukti kepemilikan atas lahan, mereka tidak mampu menunjukkan. Mereka bersih keras untuk tinggal dilokasi tersebut tanpa bukti apapun, mereka pun sadar bahwa tanah itu adalah milik negara namun karena anggapan mereka telah menetap selama puluhan tahun maka mereka tidak rela untuk meninggalkan area tersebut.

Adalah seorang PNS di Kantor Pemadam Kebakaran (PMK) Kota Kupang, Bobo Rina yang tetap memilih tinggal dilokasi tersebut meskipun telah ada kompensasi dari Pemkot. “Saya tidak menentang kebijakan Pemerintah Kota Kupang dan Saya tidak menentang Undang-Undang, tapi saya sudah lama tinggal disini. Saya tidak mau pindah kemana-mana,” ungkap Bobo Rina. Hal yang sama diungkapkan isteri Imanuel Tabun seorang PNS Kota Kupang, “kami ini pegawai golongan kecil dan tidak punya apa-apa, mengapa harus pindah. Kasihan kami pemerintah,” ungkapnya. Atas ini, Kasat Pol PP Kota menjelaskan, Pemerintah Kota telah menyediakan rumah bagi penghuni pemondokan dilokasi ini dan telah diberikan uang kompensasi dan masyarakat menyepakatinya. “Pemerintah sudah kasih uang dan rumah bagi bapak/mama sebagai pengganti, karena tanah ini mau dibangun Rumah Sakit untuk kepentingan pelayanan yang lebih baik untuk kesehatan, tolong kooperatiflah”. Lebihlanjut Dumul menjelaskan bahwa tanah milik pemerintah ini bukan karangan belaka tapi Pemkot punya kekuatan hukum tetap sehingga bangunan ini harus dibongkar. “Kita bongkar tanpa paksaan. Kalau tanah milik pemerintah, bangunannya ya kita bongkar tapi kalau tanah ini milik bapak/mama, mana mungkin kita berani bongkar, kembalikan kepada pemerintah. Saya hanya ingin menggugah bapak secara PNS,” ungkap Kasat Pol PP pada Bobo Rina.

Pol PP dan Kewenangannya
Meskipun selama ini tidak ada satupun undang-undang khusus yang mengatur keberadaan Satpol PP sebagaimana kepolisian (UU No 2/2002) dan militer (UU No 34/2004) diatur secara khusus dalam satu undang-undang terpisah. Pengaturan Satpol PP masih terintegrasi dengan peraturan mengenai pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi payung hukum tertinggi bagi keberadaan Satpol PP. Pasal 148 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan: (1) untuk membantu kepala daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. (2) pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Aturan-aturan dari pasal-pasal mengenai Satpol PP dalam UU Pemerintah Daerah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja yang direvisi dengan PP No. 06  tahun 2010. Pedoman ini mencakup beberapa hal yang lebih detil mengenai fungsi dan kewenangan Satpol PP. beberapa poin dibawah ini merupakan fungsi-fungsi dari Satuan Polisi Pamong Praja, yakni Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, penegakan perda dan keputusan kepala daerah serta melaksanakan perlindungan masyarakat (LINMAS). Peraturan Pemerintah ini merupakan pedoman utama Satpol PP dan selanjutnya dijabarkan secara teknis dan mendetil dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Pol PP dan kewenangan inilah yang mendasari Pol PP menjadi institusi super body dalam penegakan Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah serta mengawasi pelaksanaannya pada warga daerah otonom.

Didaerah lain, kekerasan yang ditunjukkan aparat Satpol PP menjadi sorotan banyak kalangan. Satuan Polisi Pamong Praja menjadi aktor utama yang hadir menampilkan pratek-pratek kekerasan dalam keseharian kita. Di perkotaan, mereka menggantikan dominasi militer dan polisi yang selama ini akrab dengan tindak kekerasan. Berbagai kekerasan dalam operasi pergusuran, penggarukan, razia kaum papa, telah menjadikan Satpol PP musuh utama masyarakat miskin. Demikian Laporan Akhir Tahun LBH tahun 2006.

Di era Orde Baru, ia menjadi bagian tak terpisahkan dari kontrol ketat rejim terhadap kebebasan masyarakat sipil. Adopsi atas paradigma dan praktek-praktek militeristik menjadi bagian dari sejarah berkembangnya Satpol PP. ia tumbuh dan besar bersama watak tersebut. Kini, Satpol PP lebih sering hadir sebagai musuh masyarakat karena berbagai kesewenang-wenangan yang kerap kali dilakukan. Pertanyaannya, apakah masalah itu muncul karena problem regulasi/kebijakan? Atau muncul karena tindakan individual anggota yang sewenang-wenang?

Penataan Regulasi Represif.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak regulasi-regulasi (Peraturan Daerah) dan keputusan-keputusan Kepala Daerah sering kali menciderai demokratisasi dan desentralisasi kehidupan warga sebagai daerah otonom. Banyak regulasi dan kebijakan memiskinkan rakyat, pinjam kata Moniche Saubaki “Negara sebagai pelaku pemiskinan rakyat melalui regulasi dan abuse of power aktornya”. Dalih menjalankan perintah Perda dan Keputusan Kepala Daerah, sering kali anggota Satpol PP menggunakan kekerasan. Setiap peraturan baik secara Perda (Legislatif) dan Keputusan Kepala Daerah (Eksekutif) selalu menempatkan Satpol PP sebagai tameng dan motor penggerak pengawasan dan pelaksanaannya oleh warga daerah otonom.

Peraturan Daerah yang dihasilkan oleh DPRD sering kali mengebiri hak-hak rakyat, begitupun Keputusan Kepala Daerah sering melalaikan eksistensi hak-hak komunal maupun hak-hak dasar dari warga negara. Meskipun dalam penegakkannya bertentangan dengan nurani, namun karena konsekuensi sebagai institusi Satpol PP maka kekerasan dan represif sering menjadi solusi terakhir. Meskipun upaya pendekatan persuasif (persuasive approach) sering dilakukan oleh Satpol PP namun tidak serta merta dipahami warga negara sebagai alternatif. Dengan adanya teori HAM dan UU HAM, warga negara sering salah menginterpretasi menjadi brutalitas warga negara.

Namun eksistensi Satpol PP akan baik dimata masyarakat jika perda dan Keputusan Kepala Daerah menjadi yang berorientasi kebutuhan masyarakat (need oriented). Untuk itu partai politik perlu membekali kadernya yang duduk di lembaga legislatif untuk selalu mengedepankan kebijakan yang propoor dan menghargai nilai-nilai hak asasi manusia. Hal yang sama juga berlaku bagi Kepala Daerah dalam merubah mindset/mindstreeming menjadi keputusan yang menghargai warga negara sebagai penerima layanan dan kebijakan. Sehingga apapun yang dihasilkan dari peraturan daerah ditingkat DPRD dan Keputusan Kepala Daerah ditingkat eksekutif tidaklah mengebiri hak-hak rakyat. Karena kadangkala negaralah pelaku sumber ancaman bagi warganya.

Dengan demikian, Pertanyaan, apakah masalah itu muncul karena problem regulasi/kebijakan? Atau muncul karena tindakan individual anggota yang sewenang-wenang? Jawabannya tak terpisahkan dari kemauan politik wakil rakyat di DPRD dan Kebijakan Strategis di tingkat eksekutif. Selain itu, pada dasarnya eksistensi Pol PP dituntut professional dalam penegakan Perda dan Keputusan Kepala Daerah.  Mendiskreditkan Satpol PP bukan solusi terbaik! Tetapi sejauh mana perhatian negara dan publik terhadap regulasi dan aktor-aktornya!

Polisi Pamong Praja dan Harapan
UU dan Perda-Perda serta berbagai perda yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah telah menempatkan Satpol PP menjadi aktor pengendalian ketentraman dan ketertiban kota/daerah yang strategis dan penting. Aksi mereka banyak mengundang perhatian masyarakat karena memang bersifat publik. Selain itu, aksi mereka juga kerap diberitakan baik oleh media visual, auditif, maupun cetak. Sebahagian motif pemberitaan ini juga bagian dari ‘sosialisasi’ aparatus pemerintah daerah akan kewajiban mereka melaksanakan amanat Perda. Langsung maupun tidak langsung, aksi-aksi Satpol PP ini menyentuh kepentingan masyarakat banyak.

Tunjukkan Polisi Pamong Praja yang proaktif dalam penegakkan perda dan tidak arogan dan mengesampingkan kekerasan, mengutamakan persuasif. Masyarakat tentram, jauh dari ketakutan akan kekerasan yang dilakonkan oleh Satpol PP. Saatnya pendekatan persuasif menjadi trend dalam penegakan perda dengan alternatif-alternatif yang disolusikan tanpa menghilangkan hak-hak rakyat (Dumul Djami dalam tulisan Opini Ian Haba Ora, Timex-Rabu (3/3/2010) “Wacana Masyarakat Mengenai Kebutuhan Akan Satpol PP”. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 14 Mei 2010).


-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang

TRANSLATE: