ANTARA
PERSUASIF DAN KEKERASAN
(Catatan:
Mencermati Penggusuran Bangunan Liar Oleh Satpol PP)
Oleh
Ian Haba Ora
Penggusuran pemondokan liar di belakang
Polsekta Kelapa Lima Kota Kupang, Jl
Timor Raya, Jumat (7/5/2010), oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Kupang
menuai pemberitaan kontroversi. Metro TV dalam pemberitaan Headline News-Minggu
(9/5/2010) pukul 09.00 Witeng memberitakan terjadi pergusuran paksa oleh Satpol
PP Kota Kupang terhadap 78 rumah di wilayah jln Timor Raya belakang Kantor Dispenda
Kota Kupang!
Pemberitaan tentang Satpol PP Kota
Kupang menganalogikan opini masyarakat terhadap Satpol PP sebagai pelaku
kekerasan “preman berseragam”. Ini nampak pada opini masyarakat atas
pembongkaran salah satu rumah milik warga di lokasi tanah milik Pemerintah Kota
Kupang oleh Satpol PP Kota Kupang, Jumat (7/5/2010).
Sedangkan pengakuan Pemerintah, ini
dilakukan karena pada lokasi tersebut akan dibangun Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kota Kupang guna mendekatkan pelayanan kesehatan pada warga masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, bangunan-bangunan atau
pemondokan yang berada pada lokasi tersebut harus dibongkar karena dianggap
liar. Untuk itu, Pemerintah Kota Kupang dan warga penghuni lokasi tersebut menyepakati
agar bangunan segera dibongkar dengan kompensasi, Pemkot Kupang bersedia
memberikan perumahan murah dilokasi yang telah ditentukan dengan angsuran Rp
26.500/bulan. Tidak itu saja, Pemkot bersedia memberikan ganti rugi bangunan
sesuai kriteria perumahan (permanent dan semi permanent).
Kompensasi yang diberikan pemerintah
pada warga tersebut tidak serta merta diikuti dengan kewajiban untuk membongkar
bangunan secara sadar tetapi diikuti dengan pembangkangan. Bahkan ada warga
dalam satu keluarga beda pendapat dalam kompensasi yang diberikan pemerintah.
Adalah Sarce Tulle yang tidak sejalan dengan keinginan suaminya. Percecokkan
suami-isteri didepan umum ini lantaran suaminya tak mau rumah mereka dibongkar
setelah menerima ganti rugi dari pemerintah. “lu lebih pentingkan uang, makanya
katong pung rumah dibongkar, lu hanya mo pikir tu doi sa,” ungkap Tulle pada isterinya.
Penertiban (pembongkaran) bangunan yang dilakukan
oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Kupang sesuai dengan perintah
Walikota Kupang. Rumah dari Sarce Tulle dibongkar yang pada akhirnya
diberitakan sebagai pembongkaran paksa dibeberapa media. Pembongkaran rumah
warga ini karena telah melewati batas yang telah ditentukan oleh warga penghuni
lokasi dan Pemerintah Kota dengan pemberian kompensasi yang telah disebutkan.
Menurut Kasat Pol PP Kota Kupang, ini bukan pembongkaran paksa. “Kita bongkar
tanpa paksaan, kita sudah persuasif dengan batas waktu yang ada. Kalaupun kita
bongkar, akan bongkar secara hati-hati dan baik tanpa ada yang rusak,” ungkapnya
saat press conferences di lokasi.
“Saya siap dipukul masyarakat bahkan
dibunuh, tapi selain perintah saya tidak ada lakukan apapun dilapangan,
meskipun saya mati. Jauhi kekerasan, kerena mereka juga saudara kita yang
mungkin belum sadar bahwa itu tanah milik pemerintah. Wajib kita persuasif
dengan mereka”. Sepintas kata Kasat Pol PP Kota Kupang, Drs. Dumuliahi
Djami,M.Si dalam persiapan personel, di lapangan Satpol PP Kota Kupang dengan
koordinasi Satpol PP Propinsi NTT, Polsekta Kelapa Lima dan Koramil. Pol PP
Kota Kupang sebagai ring I dan lainnya ring II (Kasat Pol PP dalam apel
persiapan barisan, Jumat (7/5/2010)). Kasat menekankan untuk menghindari
kekerasan dan represif meskipun itu bersifat memprovokasi. “Kita akan bongkar secara baik-baik,
barang-barang kita keluarkan dan kita atur baik-baik, karena bahan-bahan
tersebut sangat dibutuhkan oleh mereka”.
Perlu diketahui, dalam area milik
Pemerintah Kota tersebut dibangun sekitar 70-an bangunan perumahan oleh warga.
Sesuai kesepakatan bersama Pemkot Kupang dan warga diarea tersebut, maka
pemerintah memberikan kompensasi ganti rugi berupa uang dan rumah tinggal bagi
warga dan memberikan batas waktu untuk warga membongkar sendiri huniannya.
Namun sampai batas waktu yang ditentukan, masih sekitar 7 bangunan rumah yang
belum dibongkar oleh penghuni. Ironisnya, diantara pemilik bangunan tersebut,
ada beberapa oknum PNS Pemkot yang secara tegas menolak rumahnya dibongkar.
Ketika diminta bukti kepemilikan atas lahan, mereka tidak mampu menunjukkan. Mereka
bersih keras untuk tinggal dilokasi tersebut tanpa bukti apapun, mereka pun
sadar bahwa tanah itu adalah milik negara namun karena anggapan mereka telah
menetap selama puluhan tahun maka mereka tidak rela untuk meninggalkan area
tersebut.
Adalah seorang PNS di Kantor Pemadam
Kebakaran (PMK) Kota Kupang, Bobo Rina yang tetap memilih tinggal dilokasi
tersebut meskipun telah ada kompensasi dari Pemkot. “Saya tidak menentang
kebijakan Pemerintah Kota Kupang dan Saya tidak menentang Undang-Undang, tapi
saya sudah lama tinggal disini. Saya tidak mau pindah kemana-mana,” ungkap Bobo
Rina. Hal yang sama diungkapkan isteri Imanuel Tabun seorang PNS Kota Kupang,
“kami ini pegawai golongan kecil dan tidak punya apa-apa, mengapa harus pindah.
Kasihan kami pemerintah,” ungkapnya. Atas ini, Kasat Pol PP Kota menjelaskan, Pemerintah
Kota telah menyediakan rumah bagi penghuni pemondokan dilokasi ini dan telah
diberikan uang kompensasi dan masyarakat menyepakatinya. “Pemerintah sudah
kasih uang dan rumah bagi bapak/mama sebagai pengganti, karena tanah ini mau
dibangun Rumah Sakit untuk kepentingan pelayanan yang lebih baik untuk
kesehatan, tolong kooperatiflah”. Lebihlanjut Dumul menjelaskan bahwa tanah
milik pemerintah ini bukan karangan belaka tapi Pemkot punya kekuatan hukum
tetap sehingga bangunan ini harus dibongkar. “Kita bongkar tanpa paksaan. Kalau
tanah milik pemerintah, bangunannya ya kita bongkar tapi kalau tanah ini milik
bapak/mama, mana mungkin kita berani bongkar, kembalikan kepada pemerintah.
Saya hanya ingin menggugah bapak secara PNS,” ungkap Kasat Pol PP pada Bobo
Rina.
Pol
PP dan Kewenangannya
Meskipun selama ini tidak ada satupun
undang-undang khusus yang mengatur keberadaan Satpol PP sebagaimana kepolisian
(UU No 2/2002) dan militer (UU No 34/2004) diatur secara khusus dalam satu
undang-undang terpisah. Pengaturan Satpol PP masih terintegrasi dengan
peraturan mengenai pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi payung hukum tertinggi bagi keberadaan Satpol PP.
Pasal 148 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan: (1) untuk
membantu kepala daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. (2)
pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Aturan-aturan dari pasal-pasal mengenai
Satpol PP dalam UU Pemerintah Daerah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah
Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja yang
direvisi dengan PP No. 06 tahun 2010.
Pedoman ini mencakup beberapa hal yang lebih detil mengenai fungsi dan
kewenangan Satpol PP. beberapa poin dibawah ini merupakan fungsi-fungsi dari
Satuan Polisi Pamong Praja, yakni Penyusunan program dan pelaksanaan
ketentraman dan ketertiban umum, penegakan perda dan keputusan kepala daerah
serta melaksanakan perlindungan masyarakat (LINMAS). Peraturan Pemerintah ini
merupakan pedoman utama Satpol PP dan selanjutnya dijabarkan secara teknis dan
mendetil dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang
Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Pol PP dan kewenangan
inilah yang mendasari Pol PP menjadi institusi super body dalam penegakan
Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah serta mengawasi
pelaksanaannya pada warga daerah otonom.
Didaerah lain, kekerasan yang
ditunjukkan aparat Satpol PP menjadi sorotan banyak kalangan. Satuan Polisi
Pamong Praja menjadi aktor utama yang hadir menampilkan pratek-pratek kekerasan
dalam keseharian kita. Di perkotaan, mereka menggantikan dominasi militer dan
polisi yang selama ini akrab dengan tindak kekerasan. Berbagai kekerasan dalam
operasi pergusuran, penggarukan, razia kaum papa, telah menjadikan Satpol PP
musuh utama masyarakat miskin. Demikian Laporan Akhir Tahun LBH tahun 2006.
Di era Orde Baru, ia menjadi bagian tak
terpisahkan dari kontrol ketat rejim terhadap kebebasan masyarakat sipil.
Adopsi atas paradigma dan praktek-praktek militeristik menjadi bagian dari
sejarah berkembangnya Satpol PP. ia tumbuh dan besar bersama watak tersebut.
Kini, Satpol PP lebih sering hadir sebagai musuh masyarakat karena berbagai
kesewenang-wenangan yang kerap kali dilakukan. Pertanyaannya, apakah masalah
itu muncul karena problem regulasi/kebijakan? Atau muncul karena tindakan
individual anggota yang sewenang-wenang?
Penataan
Regulasi Represif.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak
regulasi-regulasi (Peraturan Daerah) dan keputusan-keputusan Kepala Daerah
sering kali menciderai demokratisasi dan desentralisasi kehidupan warga sebagai
daerah otonom. Banyak regulasi dan kebijakan memiskinkan rakyat, pinjam kata Moniche Saubaki “Negara sebagai
pelaku pemiskinan rakyat melalui regulasi dan abuse of power aktornya”. Dalih menjalankan perintah Perda dan
Keputusan Kepala Daerah, sering kali anggota Satpol PP menggunakan kekerasan. Setiap
peraturan baik secara Perda (Legislatif) dan Keputusan Kepala Daerah
(Eksekutif) selalu menempatkan Satpol PP sebagai tameng dan motor penggerak
pengawasan dan pelaksanaannya oleh warga daerah otonom.
Peraturan Daerah yang dihasilkan oleh
DPRD sering kali mengebiri hak-hak rakyat, begitupun Keputusan Kepala Daerah
sering melalaikan eksistensi hak-hak komunal maupun hak-hak dasar dari warga
negara. Meskipun dalam penegakkannya bertentangan dengan nurani, namun karena konsekuensi
sebagai institusi Satpol PP maka kekerasan dan represif sering menjadi solusi
terakhir. Meskipun upaya pendekatan persuasif (persuasive approach) sering dilakukan oleh Satpol PP namun tidak
serta merta dipahami warga negara sebagai alternatif. Dengan adanya teori HAM
dan UU HAM, warga negara sering salah menginterpretasi menjadi brutalitas warga
negara.
Namun eksistensi Satpol PP akan baik
dimata masyarakat jika perda dan Keputusan Kepala Daerah menjadi yang
berorientasi kebutuhan masyarakat (need
oriented). Untuk itu partai politik perlu membekali kadernya yang duduk di
lembaga legislatif untuk selalu mengedepankan kebijakan yang propoor dan
menghargai nilai-nilai hak asasi manusia. Hal yang sama juga berlaku bagi
Kepala Daerah dalam merubah mindset/mindstreeming menjadi keputusan yang
menghargai warga negara sebagai penerima layanan dan kebijakan. Sehingga apapun
yang dihasilkan dari peraturan daerah ditingkat DPRD dan Keputusan Kepala
Daerah ditingkat eksekutif tidaklah mengebiri hak-hak rakyat. Karena kadangkala
negaralah pelaku sumber ancaman bagi warganya.
Dengan demikian, Pertanyaan, apakah
masalah itu muncul karena problem regulasi/kebijakan? Atau muncul karena
tindakan individual anggota yang sewenang-wenang? Jawabannya tak terpisahkan
dari kemauan politik wakil rakyat di DPRD dan Kebijakan Strategis di tingkat
eksekutif. Selain itu, pada dasarnya eksistensi Pol PP dituntut professional
dalam penegakan Perda dan Keputusan Kepala Daerah. Mendiskreditkan
Satpol PP bukan solusi terbaik! Tetapi sejauh mana perhatian negara dan publik
terhadap regulasi dan aktor-aktornya!
Polisi
Pamong Praja dan Harapan
UU dan Perda-Perda serta berbagai perda
yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah telah menempatkan Satpol PP
menjadi aktor pengendalian ketentraman dan ketertiban kota/daerah yang
strategis dan penting. Aksi mereka banyak mengundang perhatian masyarakat
karena memang bersifat publik. Selain itu, aksi mereka juga kerap diberitakan
baik oleh media visual, auditif, maupun cetak. Sebahagian motif pemberitaan ini
juga bagian dari ‘sosialisasi’ aparatus pemerintah daerah akan kewajiban mereka
melaksanakan amanat Perda. Langsung maupun tidak langsung, aksi-aksi Satpol PP
ini menyentuh kepentingan masyarakat banyak.
Tunjukkan Polisi Pamong Praja yang
proaktif dalam penegakkan perda dan tidak arogan dan mengesampingkan kekerasan,
mengutamakan persuasif. Masyarakat tentram, jauh dari ketakutan akan kekerasan
yang dilakonkan oleh Satpol PP. Saatnya pendekatan persuasif menjadi trend
dalam penegakan perda dengan alternatif-alternatif yang disolusikan tanpa
menghilangkan hak-hak rakyat (Dumul Djami dalam tulisan Opini Ian Haba Ora,
Timex-Rabu (3/3/2010) “Wacana Masyarakat Mengenai Kebutuhan Akan Satpol PP”. (Tulisan
ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 14 Mei
2010).
-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang