SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 2 July 2013

JANGAN PILIH POLITISI BUSUK



POLITISI BUSUK
JELANG PEMILU LEGISLATIF 2009
Oleh. Ian Haba Ora

Sembilan April 2009, seantero warga negara dibelahan pelosok nusantara akan memberikan hak suaranya melalui pemilihan umum (Pemilu) sebagai wujud implementasi demokrasi dengan  memilih wakil mereka untuk dipercayakan menyalurkan aspirasi di Parlemen baik sebagai legislator DPR, DPR-D maupun DPD. Momentum pemilu seyogyanya disadari sebagai ikhtiar partisipasi warga negara dalam mengagendakan dan mengawasi good governance and clean governance dari tingkat pusat sampai daerah sehingga terwujudnya bangsa yang bersih, harmonis, dan taat akan hukum. Sebagai masyarakat yang sadar, sepantasnya berperan aktif dan menghindari golongan putih (Golput) serta pasif pemilu dan aktif mengkampanyekan demokrasi, maksudnya adalah berperan serta dalam menjargonkan pemilih yang cerdas, bersih, bernurani dan berpendidikan politik yang baik.

Sehubungan dengan itu, para calon legislator yang siap bertarung dalam pemilihan anggota DPR-RI, DPR-D dan DPD mulai menegangkan nukleus mereka guna mencuri simpatik masyarakat pemilih melalui strategy-strategi dan semakin getol mengkampanyekan isu-isu sentral seperti kemiskinan, Korupsi dan pengangguran. Begitupun dengan laskar-laskar pejuang (Tim Sukses) dari masing-masing caleg pun telah memainkan peran demi memenangkan figur mereka.

Namun, konkretisasi sebagai masyarakat pemilih yang cerdas secatutnya memiliki kriteria personal didalam menentukan figur legislator yang akan dicontreng sehingga tidak terkontaminasi dengan isu suku, agama, ras dan golongan/kelompok. Penulis sering menemukan fakta lapangan bahwa ajang pemilihan umum dijadikan sebagai lahan pencarian pekerjaan oleh calon legislator. Meskipun tingkatan sumber daya caleg rendah tetapi giuran khayalan gaji dan tunjangan seorang legislator dapat mempengaruhi kehidupan dan kewibawaan dan mereka-mereka inilah para legislator yang berjargon 5 D (Datang, Duduk, Dengar, Diam, dan Dungu) ketika mereka terpilih sebagai anggota legislatif. Mereka memahami fungsi DPR sebatas pada terminologi Legislasi, Penganggaran dan Pengawasan namun untuk mengejewantahkan dalam tugas bingung dan masih bertanya-tanya lagi. Sebagai ilustrasi, banyak caleg yang sering mengkampanyekan fungsi DPR sebagai komitmen perjuangan tetapi untuk memahami menjadi seorang legislator terjebak dengan janji laksana seorang calon Kepala Negara atau Kepala Daerah. Maksudnya, seorang calon legislator sering menjanjikan untuk memberikan kehidupan yang layak pada masyarakat namun wujud dan mekanismenya dibingungkan oleh sang legislator itu sendiri. Fakta lapangan ini jika dideskripsikan dapat disahut sebagai partisipasi konyol (ikut ramai) dalam proses pemilihan legislatif 2009. Jika kita meminjam istilah jawa klasik “Aji Mumpung”, seperti inilah kenyataannya.

Banyak calon legislator gencar melakukan pendekatan keluarga demi meraup suara dalam pemilihan nanti. Silsilah keluarga dirunut guna mencari keterikatan genelogis yang dapat dipakai sebagai komoditi politik. Bak gayung bersambut, keluarga pun merespon dengan dalih perjuangan dan dalih komitmen meskipun secara objektif rumpun keluarga mengetahui kemampuan dan tingkatan dedikasi, prestise serta loyalitas dari sang caleg tersebut. Ini membuktikan bahwa pendidikan politik masyarakat belum sepenuhnya maksimal. Kelalaian para pemilih masih terjadi dimana-mana bahkan masih ada masyarakat yang menganggap pemilu sebagai rutinitas penyelenggaraan negara yang dilakukan setiap lima tahun sekali.

Sisi lain, banyak caleg tak segan-segan menghambur-hamburkan uang dengan dalih berkedok bantuan bagi masyarakat. Ini membuktikan bahwa Indonesia boleh berdemokrasi tetapi belum sepenuhnya terlepas dari kebodohan. Masyarakat masih dianggap sebagai komoditi politik. Pada akhirnya, masyarakat terkontaminasi dengan money politic, nurani rakyat dibeli dengan sejumlah Rupiah, rakyat akan menjatuhkan pilihan pada yang memberi “onggokan Rp” walaupun secara konseptual sang Caleg tak lebih seorang Yudas Iskariot. Namun masih ada rotan dan akarpun tidak digunakan maksudnya jika ada Caleg memainkan money politic maka kita pun tak ada salahnya jika menerima asalkan kita tidak memilih caleg tersebut dan bila perlu kita mengkampanye-hitamkan politisi seperti itu. Pinjam istilah iwan fals dalam judul lagu politisi busuk “ambil saja uang mereka tapi jangan pilih mereka sebab mereka berpolitik untuk korupsi”. Sebagai masyarakat pemilih yang kritis dan berpendidikan politik yang  baik sudah saatnya untuk menentukan pilihan pada nurani kita sendiri.

Takhayal pentingnya juga, saat pencontrengan terjadi, bukan partainya yang diperhatikan tetapi kemampuan legislator dalam membawahi aspirasi masyarakat. Sebagai pertimbangan juga, sederet nama yang akan bertarung baik sebagai caleg DPR-RI, DPR-D maupun DPD telah kita rasakan melalui panca indera. Apalagi sang Caleg banyak yang sudah dikenal dan mereka juga pemain-pemain lama dimana banyak dari mereka yang ketika duduk di DPR, DPRD dan DPD pada periode yang lalu, tidak memberikan warna apa-apa bagi kemajuan negara dan daerah. Misalkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili Propinsi NTT, apa yang mereka lakukan selama lima tahun ini, nonsens!!! Tidak ada hal yang mendasar dan terdengar dalam bertindak dan berjuang demi rakyat. Tiba-tiba kini mereka hadir kembali dengan sejuta janji, masihkah dapat dipercaya? lebih baik kita memilih orang yang diketahui sepak terjangnya yang selama ini berani menentang korupsi, melawan kediktatoran pejabat, menghargai hak perempuan (sensitif Gender), menghargai hak-hak masyarakat adat dan mengetahui kebutuhan masyarakat kecil yang walaupun banyak kader-kader seperti ini yang akhirnya dicap sebagai pembangkang negara, PIAR NTT pimpinan Ir. Sarah Lery Mboeik  misalkan. Begitupun berlaku pada calon anggota DPR dan DPRD, jangan kita memilih penjahat yang mungkin pernah terpilih sebagai legislator pada periode lalu, Entah dapat dikatakan apa??? Misalkan DPRD Kota Kupang, masih terngiang dimana tahun 2006 terjadi pengetukan palu di DPRD oleh pimpinan sidang waktu itu Dominggus Bolla dalam pembelian mobil dinas bagi anggota dewan dan semua legislator yang mengikuti diam dan menyetujui. Dari sekian banyak legislator Kota Kupang seperti legislator dari fraksi Golkar tidak bertindak apa-apa!!! Hanya seorang Rudyanto Tonubesie yang bersikeras menolak keputusan tersebut karena dirasa bertentangan dengan kehendak rakyat. Tapi rekan-rekannya tidak memperdulikan bahkan dituduh pengkhianat karena mengikuti kehendak rakyat. Hingga pada akhirnya dia disisihkan dari pimpinan dewan dan atas komitmennya pada rakyat dia berkeinginan untuk keluar dari parlemen. Bahkan bagi kroni Lerik, diindikasikan Rudy Tonubesie sebagai penjahat dan penjilat namun sebaliknya bagi masyarakat Rudy seorang Heroes.  Legislator DPR-RI misalkan, selama 5 tahun yang lalu, apa yang pernah dilakukan bagi NTT dan sekarang!!! Tiba-tiba mengungkit jargon demi rakyat!!!...................memang Susah dipercaya!!!

Saat ini, tinggal beberapa hari pemilu akan dilaksanakan. Alangkah baiknya sekarang kita mulai berbenah dengan nurani kita untuk menentukan pilihan dan jangan terkontaminasi dengan penjahat-penjahat politik. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Kota KURSOR, tanggal 7 April 2009).


-------------------------------
Penulis: Aktivis PIAR NTT

TRANSLATE: