POLITISI BUSUK
JELANG PEMILU
LEGISLATIF 2009
Oleh. Ian Haba Ora
Sembilan April 2009, seantero warga negara dibelahan
pelosok nusantara akan memberikan hak suaranya melalui pemilihan umum (Pemilu)
sebagai wujud implementasi demokrasi dengan memilih wakil mereka untuk dipercayakan
menyalurkan aspirasi di Parlemen baik sebagai legislator DPR, DPR-D maupun DPD.
Momentum pemilu seyogyanya disadari sebagai ikhtiar partisipasi warga negara
dalam mengagendakan dan mengawasi good
governance and clean governance dari tingkat pusat sampai daerah sehingga
terwujudnya bangsa yang bersih, harmonis, dan taat akan hukum. Sebagai
masyarakat yang sadar, sepantasnya berperan aktif dan menghindari golongan
putih (Golput) serta pasif pemilu dan
aktif mengkampanyekan demokrasi, maksudnya adalah berperan serta dalam menjargonkan pemilih yang cerdas, bersih,
bernurani dan berpendidikan politik yang baik.
Sehubungan dengan itu, para calon legislator yang siap
bertarung dalam pemilihan anggota DPR-RI, DPR-D dan DPD mulai menegangkan
nukleus mereka guna mencuri simpatik masyarakat pemilih melalui
strategy-strategi dan semakin getol mengkampanyekan isu-isu sentral seperti
kemiskinan, Korupsi dan pengangguran. Begitupun dengan laskar-laskar pejuang
(Tim Sukses) dari masing-masing caleg pun telah memainkan peran demi
memenangkan figur mereka.
Namun, konkretisasi sebagai masyarakat pemilih yang
cerdas secatutnya memiliki kriteria personal didalam menentukan figur
legislator yang akan dicontreng sehingga tidak terkontaminasi dengan isu suku,
agama, ras dan golongan/kelompok. Penulis sering menemukan fakta lapangan bahwa
ajang pemilihan umum dijadikan sebagai lahan pencarian pekerjaan oleh calon
legislator. Meskipun tingkatan sumber daya caleg rendah tetapi giuran khayalan
gaji dan tunjangan seorang legislator dapat mempengaruhi kehidupan dan
kewibawaan dan mereka-mereka inilah para legislator yang berjargon 5 D (Datang,
Duduk, Dengar, Diam, dan Dungu) ketika mereka terpilih sebagai anggota
legislatif. Mereka memahami fungsi DPR sebatas pada terminologi Legislasi,
Penganggaran dan Pengawasan namun untuk mengejewantahkan dalam tugas bingung
dan masih bertanya-tanya lagi. Sebagai ilustrasi, banyak caleg yang sering
mengkampanyekan fungsi DPR sebagai komitmen perjuangan tetapi untuk memahami
menjadi seorang legislator terjebak dengan janji laksana seorang calon Kepala
Negara atau Kepala Daerah. Maksudnya, seorang calon legislator sering
menjanjikan untuk memberikan kehidupan yang layak pada masyarakat namun wujud
dan mekanismenya dibingungkan oleh sang legislator itu sendiri. Fakta lapangan
ini jika dideskripsikan dapat disahut sebagai partisipasi konyol (ikut ramai)
dalam proses pemilihan legislatif 2009. Jika kita meminjam istilah jawa klasik
“Aji Mumpung”, seperti inilah kenyataannya.
Banyak calon legislator gencar melakukan pendekatan
keluarga demi meraup suara dalam pemilihan nanti. Silsilah keluarga dirunut
guna mencari keterikatan genelogis yang dapat dipakai sebagai komoditi politik.
Bak gayung bersambut, keluarga pun merespon dengan dalih perjuangan dan dalih komitmen
meskipun secara objektif rumpun keluarga mengetahui kemampuan dan tingkatan
dedikasi, prestise serta loyalitas dari sang caleg tersebut. Ini membuktikan
bahwa pendidikan politik masyarakat belum sepenuhnya maksimal. Kelalaian para
pemilih masih terjadi dimana-mana bahkan masih ada masyarakat yang menganggap
pemilu sebagai rutinitas penyelenggaraan negara yang dilakukan setiap lima
tahun sekali.
Sisi lain, banyak caleg tak segan-segan
menghambur-hamburkan uang dengan dalih berkedok bantuan bagi masyarakat. Ini
membuktikan bahwa Indonesia boleh berdemokrasi tetapi belum sepenuhnya terlepas
dari kebodohan. Masyarakat masih dianggap sebagai komoditi politik. Pada
akhirnya, masyarakat terkontaminasi dengan money politic, nurani rakyat dibeli
dengan sejumlah Rupiah, rakyat akan menjatuhkan pilihan pada yang memberi
“onggokan Rp” walaupun secara konseptual sang Caleg tak lebih seorang Yudas
Iskariot. Namun masih ada rotan dan akarpun tidak digunakan maksudnya jika ada
Caleg memainkan money politic maka kita pun tak ada salahnya jika menerima
asalkan kita tidak memilih caleg tersebut dan bila perlu kita
mengkampanye-hitamkan politisi seperti itu. Pinjam istilah iwan fals dalam
judul lagu politisi busuk “ambil saja
uang mereka tapi jangan pilih mereka sebab mereka berpolitik untuk korupsi”. Sebagai
masyarakat pemilih yang kritis dan berpendidikan politik yang baik sudah saatnya untuk menentukan pilihan
pada nurani kita sendiri.
Takhayal pentingnya juga, saat pencontrengan terjadi,
bukan partainya yang diperhatikan tetapi kemampuan legislator dalam membawahi
aspirasi masyarakat. Sebagai pertimbangan juga, sederet nama yang akan
bertarung baik sebagai caleg DPR-RI, DPR-D maupun DPD telah kita rasakan
melalui panca indera. Apalagi sang Caleg banyak yang sudah dikenal dan mereka juga
pemain-pemain lama dimana banyak dari mereka yang ketika duduk di DPR, DPRD dan
DPD pada periode yang lalu, tidak memberikan warna apa-apa bagi kemajuan negara
dan daerah. Misalkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili Propinsi
NTT, apa yang mereka lakukan selama lima tahun ini, nonsens!!! Tidak ada hal
yang mendasar dan terdengar dalam bertindak dan berjuang demi rakyat. Tiba-tiba
kini mereka hadir kembali dengan sejuta janji, masihkah dapat dipercaya? lebih
baik kita memilih orang yang diketahui sepak terjangnya yang selama ini berani
menentang korupsi, melawan kediktatoran pejabat, menghargai hak perempuan
(sensitif Gender), menghargai hak-hak masyarakat adat dan mengetahui kebutuhan
masyarakat kecil yang walaupun banyak kader-kader seperti ini yang akhirnya
dicap sebagai pembangkang negara, PIAR NTT pimpinan Ir. Sarah Lery Mboeik misalkan. Begitupun berlaku
pada calon anggota DPR dan DPRD, jangan kita memilih penjahat yang mungkin
pernah terpilih sebagai legislator pada periode lalu, Entah dapat dikatakan
apa??? Misalkan DPRD Kota Kupang, masih terngiang dimana tahun 2006 terjadi
pengetukan palu di DPRD oleh pimpinan sidang waktu itu Dominggus Bolla dalam pembelian mobil dinas bagi anggota dewan dan
semua legislator yang mengikuti diam dan menyetujui. Dari sekian banyak
legislator Kota Kupang seperti legislator dari fraksi Golkar tidak bertindak
apa-apa!!! Hanya seorang Rudyanto
Tonubesie yang bersikeras menolak keputusan tersebut karena dirasa
bertentangan dengan kehendak rakyat. Tapi rekan-rekannya tidak memperdulikan
bahkan dituduh pengkhianat karena mengikuti kehendak rakyat. Hingga pada
akhirnya dia disisihkan dari pimpinan dewan dan atas komitmennya pada rakyat
dia berkeinginan untuk keluar dari parlemen. Bahkan bagi kroni Lerik,
diindikasikan Rudy Tonubesie sebagai penjahat dan penjilat namun sebaliknya
bagi masyarakat Rudy seorang Heroes. Legislator
DPR-RI misalkan, selama 5 tahun yang lalu, apa yang pernah dilakukan bagi NTT
dan sekarang!!! Tiba-tiba mengungkit jargon demi rakyat!!!...................memang
Susah dipercaya!!!
Saat ini, tinggal beberapa hari pemilu akan dilaksanakan.
Alangkah baiknya sekarang kita mulai berbenah dengan nurani kita untuk
menentukan pilihan dan jangan terkontaminasi dengan penjahat-penjahat politik. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Kota KURSOR, tanggal 7 April 2009).
-------------------------------
Penulis: Aktivis PIAR NTT