SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 2 July 2013

MILITERISME

Dosa-Dosa Yonif 744/SYB Atambua
Oleh. Ian Haba Ora

Kasus penganiayaan berbuntut pelanggaran HAM oleh Anggota Yonif 744/SYB terhadap 6 (enam) orang pemuda Fatubenao, Kecamatan Atambua, Kabupaten Belu, akhirnya mendapat respon dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Timex, 16/3/2011). Penganiayaan dan pembunuhan diluar rasa perikemanusiaan yang disinyalir dilakukan oleh 19 anggota TNI, hingga menyebabkan Charles Mali mati terkujur kaku di Mako Yonif 744/SYB dan 5 (lima) rekan lainnya mengalami luka serius disekujur tubuh (Okto Mau, Kosme Tilman, Alfonso, Tomy Nubatonis, dan Hery Mali) merupakan kebejatan oknum loreng yang tak dapat diampuni.

Seharusnya, indikasi pelanggaran HAM ini tak terjadi, jikalau secara kontitusional bangsa mengilhami negara hukum sesuai dengan domain amanat UU. TNI tidak memiliki fungsi dalam penegakan/penyelidikan kriminalitas pidana biasa lantaran diciptakan sebagai combatant yang memikul senjata untuk perang. Domain TNI jika ada ancaman disintegrasi bangsa, dengan kekuatan dan otoritas yang dimiliki dapat mengerahkan dan menggunakan kekuatan militer, tapi tidak berlaku untuk masyarakat sipil.  Pasal 7 ayat (2) UU No. 34/2004 Tentang TNI mengelompokkan 2 tugas operasi militer yaitu operasi militer untuk perang (huruf a) dan operasi militer selain perang (huruf b).

Jika negara dalam keadaan damai dan tidak ada invasi asing, maka TNI dapat mengaktifkan tugas operasi selain perang (nir militer), diantaranya: mengatasi gerakan separatis bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata; mengatasi aksi terorisme; mengamankan wilayah perbatasan; mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya; memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; membantu tugas pemerintahan di daerah; membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU; membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang berada di Indonesia; membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan; membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search dan rescue); serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

Dari 2 (dua) tugas operasi TNI diatas (operasi militer dan nir militer) tak ditemukan salah satupun indikasi kebenaran dan keadilan Yonif 744/SYB melakukan penangkapan, penyelidikan, penganiayaan hingga pembunuhan terhadap Charles Mali cs. Walaupun, aksi Charles cs tak dapat dibiarkan lantaran melakukan tindakan kriminal dengan aksi pemalakan terhadap salah seorang anggota Yonif karena itu pidana. Tapi disayangkan, anggota TNI menjelma dan mereinkarnasi institusi menjadi ABRI dijaman Orde Baru, melakukan tugas kepolisian dalam penyelidikan dan penuntutan hingga wajib lapor oleh orang tua pada Mako Yonif 744/SYB.
Jika di pameokan, ini merupakan dosa-dosa institusi Yonif 744/SYB Atambua-Belu, diantaranya:

1.    Menjelma dan mereinkarnasi intitusi menjadi dwifungsi ABRI sama layaknya era Orde Baru, dimana kekuasaan TNI memonopoli tugas kepolisian dalam penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penuntutan dan “pembunuhan” secara keinstitusian. Contohnya: melakukan pemeriksaan disertai penganiayaan terhadap Charles cs, mengsanksikan orang tua Charles untuk wajib lapor di Mako Yonif 744/SYB yang seharusnya dilakukan pada kepolisian.

2.    Budaya e spirit de corps dalam institusi TNI masih tertanam dimana kekerasan secara korps masih sering terjadi. Contoh : penganiayaan hingga pembunuhan terhadap Charles dan rekan-rekannya disinyalir oleh 19 anggota Yonif. Selain itu, masih adanya keterangan yang bersifat Diplomasi dari DenPOM Kupang seolah-olah ingin membenarkan anak buahnya, “saya akan menindak tegas jika sudah cukup bukti”. Kata akan dan jika terbukti masih abstrak kejelasannya.

3.    Abuse of Power, TNI sering menyalagunakan kekuasaan dan otoritasnya. Contoh : melakukan penganiayaan dan pemukulan di Mako Yonif 744/SYB (institusi negara) disertai kewenangan koersif dan represif (aktor TNI).

4.    Anggota TNI tidak memiliki rasa perikemanusiaan dan melangkahi nilai-nilai hak asasi manusia. Padahal, negara dalam kondisi perang pun, TNI masih dilekatkan hukum-hukum humaniter. Tapi, realitas lain. Contoh: penganiayaan dan pemukulan mengakibatkan luka robek dan lebam disekujur tubuh korban dan rekannya, disertai aksi lukis tubuh menggunakan sulut api rokok.

5.    Budaya impunitas masih lekat di tubuh TNI, peradilan militer hanya dijadikan formalitas penegakan hukum. Belum adanya komitmen yang kuat dari aktor negara dalam penyelesaian kasus-kasus abuse of power aparat TNI.

Ironi memang ketika awal pergolakan 1999 (reformasi), TNI merupakan institusi yang pertama mereformasi internalnya dengan mengeluarkan Paradigma TNI abad XXI oleh Panglima TNI Wiranto, disusul dengan restrukturasi total ditubuh TNI dengan dikeluarkannya Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000 tentang pemisahan tugas dan peran Polri/TNI, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Namun, disayangkan, reformasi TNI hanya berlaku pada tataran elit TNI, dan masih menjadi wacana bagi prajurit menengah ke bawah. Realitas ini nampak dari masih seringnya abuse of power berbuntut pelanggaran HAM oleh prajurit TNI. Ke depan, diperlukan terobosan yang lebih riil dalam pemahaman akan tugas dan instruksi TNI dalam kampanye dan sosialisasi sesuai spirit reformasi dan demokratisasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 17 Maret 2011).


-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang

TRANSLATE: