Dosa-Dosa Yonif
744/SYB Atambua
Oleh. Ian Haba Ora
Kasus
penganiayaan berbuntut pelanggaran HAM oleh Anggota Yonif 744/SYB terhadap 6
(enam) orang pemuda Fatubenao, Kecamatan Atambua, Kabupaten Belu, akhirnya
mendapat respon dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Timex, 16/3/2011).
Penganiayaan dan pembunuhan diluar rasa perikemanusiaan yang disinyalir
dilakukan oleh 19 anggota TNI, hingga menyebabkan Charles Mali mati terkujur
kaku di Mako Yonif 744/SYB dan 5 (lima) rekan lainnya mengalami luka serius disekujur
tubuh (Okto Mau, Kosme Tilman, Alfonso, Tomy Nubatonis, dan Hery Mali)
merupakan kebejatan oknum loreng yang tak dapat diampuni.
Seharusnya,
indikasi pelanggaran HAM ini tak terjadi, jikalau secara kontitusional bangsa
mengilhami negara hukum sesuai dengan domain amanat UU. TNI tidak memiliki
fungsi dalam penegakan/penyelidikan kriminalitas pidana biasa lantaran
diciptakan sebagai combatant yang memikul senjata untuk perang. Domain TNI jika
ada ancaman disintegrasi bangsa, dengan kekuatan dan otoritas yang dimiliki
dapat mengerahkan dan menggunakan kekuatan militer, tapi tidak berlaku untuk
masyarakat sipil. Pasal 7 ayat (2) UU
No. 34/2004 Tentang TNI mengelompokkan 2 tugas operasi militer yaitu operasi
militer untuk perang (huruf a) dan operasi militer selain perang (huruf b).
Jika
negara dalam keadaan damai dan tidak ada invasi asing, maka TNI dapat mengaktifkan
tugas operasi selain perang (nir militer), diantaranya: mengatasi gerakan
separatis bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata; mengatasi aksi
terorisme; mengamankan wilayah perbatasan; mengamankan objek vital nasional
yang bersifat strategis; melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan
kebijakan politik luar negeri; mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta
keluarganya; memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara
dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; membantu tugas pemerintahan di
daerah; membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas
keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU; membantu mengamankan
tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang berada
di Indonesia; membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan
pemberian bantuan kemanusiaan; membantu pencarian dan pertolongan dalam
kecelakaan (search dan rescue); serta
membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap
pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Dari
2 (dua) tugas operasi TNI diatas (operasi militer dan nir militer) tak
ditemukan salah satupun indikasi kebenaran dan keadilan Yonif 744/SYB melakukan
penangkapan, penyelidikan, penganiayaan hingga pembunuhan terhadap Charles Mali
cs. Walaupun, aksi Charles cs tak dapat dibiarkan lantaran melakukan tindakan
kriminal dengan aksi pemalakan terhadap salah seorang anggota Yonif karena itu
pidana. Tapi disayangkan, anggota TNI menjelma dan mereinkarnasi institusi
menjadi ABRI dijaman Orde Baru, melakukan tugas kepolisian dalam penyelidikan
dan penuntutan hingga wajib lapor oleh orang tua pada Mako Yonif 744/SYB.
Jika
di pameokan, ini merupakan dosa-dosa institusi Yonif 744/SYB Atambua-Belu,
diantaranya:
1.
Menjelma dan mereinkarnasi intitusi menjadi
dwifungsi ABRI sama layaknya era Orde Baru, dimana kekuasaan TNI memonopoli
tugas kepolisian dalam penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penuntutan dan
“pembunuhan” secara keinstitusian. Contohnya: melakukan pemeriksaan disertai
penganiayaan terhadap Charles cs, mengsanksikan orang tua Charles untuk wajib
lapor di Mako Yonif 744/SYB yang seharusnya dilakukan pada kepolisian.
2.
Budaya e spirit de corps dalam institusi TNI masih tertanam dimana
kekerasan secara korps masih sering terjadi. Contoh : penganiayaan hingga
pembunuhan terhadap Charles dan rekan-rekannya disinyalir oleh 19 anggota
Yonif. Selain itu, masih adanya keterangan yang bersifat Diplomasi dari DenPOM
Kupang seolah-olah ingin membenarkan anak buahnya, “saya akan menindak tegas
jika sudah cukup bukti”. Kata akan dan
jika terbukti masih abstrak kejelasannya.
3.
Abuse of Power, TNI sering menyalagunakan kekuasaan
dan otoritasnya. Contoh : melakukan penganiayaan dan pemukulan di Mako Yonif
744/SYB (institusi negara) disertai kewenangan koersif dan represif (aktor
TNI).
4.
Anggota TNI tidak memiliki rasa
perikemanusiaan dan melangkahi nilai-nilai hak asasi manusia. Padahal, negara
dalam kondisi perang pun, TNI masih dilekatkan hukum-hukum humaniter. Tapi,
realitas lain. Contoh: penganiayaan dan pemukulan mengakibatkan luka robek dan
lebam disekujur tubuh korban dan rekannya, disertai aksi lukis tubuh
menggunakan sulut api rokok.
5.
Budaya impunitas masih lekat di tubuh
TNI, peradilan militer hanya dijadikan formalitas penegakan hukum. Belum adanya
komitmen yang kuat dari aktor negara dalam penyelesaian kasus-kasus abuse of
power aparat TNI.
Ironi memang
ketika awal pergolakan 1999 (reformasi), TNI merupakan institusi yang pertama mereformasi
internalnya dengan mengeluarkan Paradigma TNI abad XXI oleh Panglima TNI
Wiranto, disusul dengan restrukturasi total ditubuh TNI dengan dikeluarkannya
Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000 tentang pemisahan tugas dan peran Polri/TNI,
UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Namun, disayangkan, reformasi TNI hanya berlaku pada tataran elit TNI, dan
masih menjadi wacana bagi prajurit menengah ke bawah. Realitas ini nampak dari
masih seringnya abuse of power berbuntut pelanggaran HAM oleh prajurit TNI. Ke
depan, diperlukan terobosan yang lebih riil dalam pemahaman akan tugas dan
instruksi TNI dalam kampanye dan sosialisasi sesuai spirit reformasi dan demokratisasi
di Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Tulisan
ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 17 Maret 2011).
-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP
Kota Kupang