SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 2 July 2013

REFLEKSI HUT POL PP KE-60


WACANA MASYARAKAT MENGENAI KEBUTUHAN AKAN SATPOL PP
(Catatan: Memperingati HUT POL PP KE-60)
Oleh. Ian Haba Ora

Dalam perjalanan Anda ke kantor, menjemput anak sekolah, bepergian ke mal, atau ketika sedang pelesiran di kota Anda, mungkin Anda pernah dikagetkan dengan suatu peristiwa yang tiba-tiba menghentikan perjalanan Anda dan mendorong Anda untuk menyaksikannya barang sejenak: serombongan orang berseragam terlibat dalam suatu aksi pengusiran penuh kekerasan dan paksaan terhadap sekelompok pedagang kaki lima yang berjualan ditrotoar. Atau dalam bentuk lain, serombongan orang berseragam itu terlibat aksi tarik menarik dengan massa rakyat yang mempertahankan rumahnya.

Jika Anda tak pernah melihat peristiwa demikian, mungkin Anda pernah menyaksikan adegan serupa di televisi atau setidaknya Anda pernah membaca tentang aksi mereka di media misal ketika mereka melakukan razia ke panti-panti pijat, warung remang-remang, losmen-losmen, lokalisasi, dan lalu menangkap misalnya pengunjung yang ada disana dan lain-lainnya. Rombongan berseragam itu bukanlah tentara. Nama resminya adalah Satuan Polisi Pamong Praja atau disingkat Pol PP. Meski ada kata “Polisi” didalam nama kesatuan tersebut, mereka bukanlah, dan sama sekali tak terikat dengan, institusi polisi yang umum dikenal. Status resmi mereka sebagian besar adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena itu mereka bekerja berdasarkan aturan-aturan sebagai PNS. Barangkali hati Anda terenyuh melihat aksi pengusiran, perampasan, atau pemukulan, yang penuh kekerasan dan anarkis, yang kebanyakannya menimpa kalangan miskin dan tak berpunya itu? Atau bisa saja jadi Anda setuju saja dengan aksi-aksi yang mereka lakukan, dengan anggapan sudah seharusnya kalangan masyarakat itu “ditertibkan” atau ‘diamankan’.

Satpol PP, Sejarah dan Dasar Hukum
Keberadaan Satpol PP, yang bermoto Prajawibawa, sebernarnya bisa dilacak lebih jauh pada pembentukan Bailluw saat VOC menduduki Batavia (1602). Bailluw saat itu merupakan polisi yang merangkap jaksa dan hakim yang bertugas untuk menangani perselisihan hukum yang timbul antara VOC dengan warga kota. Selain menjaga ketertiban dan ketentraman warga kota, institusi ini berkembang menjadi organisasi kepolisian disetiap Kerisidenan dan Kawedanan untuk melakukan tugas-tugas ketertiban dan keamanan pasca kekuasaan Raffles (1815). Bailluw ini terus berkembang menjadi suatu organisasi yang tersebar disetiap Keresidenan dengan dikendalikan sepenuhnya oleh residen dan asisten residen. Selanjutnya, organisasi kepolisian kolonial dikembangkan menjadi: pertama, Polisi Pamongpraja (Bestuurpolitie) yang ditempatkan menjadi bagian dari pemerintahan pribumi yang didukung oleh kepala-kepala desa, para penjaga malam, dan agen-agen polisi yang diperbantukan pada pejabat-pejabat pamongpraja. Kedua, Polisi umum (Algemeen Politie) yang merupakan kesatuan khusus dan berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepolisian. Ketiga, polisi bersenjata (Gewapende Politie). Untuk polisi pamong praja dan polisi umum, keduanya ditempatkan dibawah Kejaksaan (Procureur Generaal) pada Mahkamah Agung (Hoogerrechtshof) sebagai penanggung jawab tertinggi atas pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum (IDSPS, 2009).


Pasca Proklamasi kemerdekaan yang diawali dengan kondisi yang mengancam NKRI, dibentuklah Detasemen Polisi Penjaga Keamanan Kapanewon di Yogyakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan Praja di DIY No 1/1948 tertanggal 30 Oktober 1948 untuk menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat. Pada tanggal 10 Nopember 1948, lembaga ini berubah menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja berdasarkan Surat Perintah Jawatan Praja DIY No 2/1948. Di Jawa tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. UR32/2/21/Tahun 1950 untuk mengubah Detasemen Pol PP menjadi Kesatuan Polisi Pamong Praja. Inilah embrio terbentuknya Satpol PP. Tanggal 3 Maret ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang diperingati setiap tahun (Tadie, 109:170). Pada Tahun 1960, dimulai pembentukan Kesatuan Polisi Pamong Praja diluar Jawa dan Madura berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 7 Tahun 1960 tanggal 30 Nopember 1960, yang mendapat dukungan para petinggi militer (Angkatan Perang). Tahun 1962 namanya berubah menjadi Kesatuan Pagar Baya dengan peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 tertanggal 11 Juni 1962 untuk membedakannya dari Korps Kepolisian Negara seperti dimaksud dalam UU No 13/1961 tentang Pokok-Pokok Kepolisian. Tahun 1963, lembaga ini berganti nama lagi menjadi Kesatuan Pagar Praja dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.1 Tahun 1963 tanggal 11 Februari 1963. Istilah Satpol PP sendiri mulai populer sejak pemberlakuan UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam pasal 86 ayat 1 UU itu disebutkan, Satpol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakan tugas dekosentrasi.

Kini UU 5/1974 sudah tidak berlaku lagi, digantikan UU No 22/1999 dan direvisi menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan bahwa tujuan Satpol PP adalah untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja dan, pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Pemerintah. UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya pasal 148 menjadi landasan hukum keberadaan Satpol PP. Pasal ini bahkan menuntut pembentukan Satpol PP sebagai kelengkapan struktur pemerintah daerah. Dengan UU ini, hampir tak ada lagi daerah yang tidak mempunyai lembaga Satpol PP. Satpol PP juga dilengkapi dengan Pedoman Satpol PP dalam PP No 32/2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja merupakan prosedur tetap operasional yang dimilki Satpol PP. Pasal 4 Permendagri No 26/2005, Protab terdiri atas: prosedur operasional ketentraman dan ketertiban umum; prosedur operasional pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa; prosedur operasional pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting; prosedur operasional pelaksanaan tempat-tempat penting; prosedur pelaksanaan operasional patroli; prosedur operasional penyelesaian kasus pelanggaran ketentraman, ketertiban umum dan Peraturan Daerah.

Sementara, mengenai pakaian dinas, perlengkapan dan peralatan Satuan Polisi Pamong Praja diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja. Permendagri ini mengatur seluruh perlengkapan operasional satuan polisi pamong praja, baik perorangan maupun institusional. Terkait dengan perlengkapan perorangan, pedoman ini juga memberikan kewenangan pada anggota Satpol PP untuk memakai dan menggunakan senjata api.

Wacana Masyarakat Mengenai Kebutuhan akan Satpol PP
UU dan Perda-Perda serta berbagai perda yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah telah menempatkan Satpol PP menjadi aktor pengendalian ketentraman dan ketertiban kota/daerah yang strategis dan penting. Aksi mereka banyak mengundang perhatian masyarakat karena memang bersifat publik. Selain itu, aksi mereka juga kerap diberitakan baik oleh media visual, auditif, maupun cetak. Sebahagian motif pemberitaan ini juga bagian dari ‘sosialisasi’ aparatus pemerintah daerah akan kewajiban mereka melaksanakan amanat Perda. Langsung maupun tidak langsung, aksi-aksi mereka Satpol PP ini menyentuh kepentingan masyarakat banyak. Tak heran kalau kedudukan dan kiprahnya itu mengundang beragam pandangan. Dalam penelusuran wacana di masyarakat ada beberapa pandangan terhadap Satpol PP. pertama, pandangan Moderat, kedua, pandangan liberal, dan ketiga, pandangan kritis.

Pandangan moderat menganggap keberadaan Satpol PP penting dan perlu terutama untuk menjaga ketentraman dan ketertiban kota. Kalaupun ada aksi-aksi mereka yang terkesan penuh kekerasan dan melanggar hak asasi manusia, itu menurut mereka, tidak mengharuskan Satpol PP dibubarkan atau ditiadakan. Kekerasan terjadi lebih sering karena kekeliruan yang bersifat teknis-prosedural atau karena adanya aksi-aksi masyarakat yang bersifat provokatif terhadap mereka. Dengan pandangan ini, kalangan moderat lebih banyak membela keberadaan Satpol PP sambari mengusulkan perlunya Satpol PP bertindak lebih persuasif dengan tahapan pendekatan mulai pengayoman, pencegahan hingga penindakan bagi pelanggaran Perda. Disisi lain, mengharapkan masyarakat untuk tidak melawan dan memprovokasi para petugas Satpol PP yang memancing emosi dan kemarahan mereka. Untuk itu mereka mengusulkan perlunya revitalisasi Satpol PP, misal dengan membuat rambu “kewenangan prosedural” yang harus jelas dan terukur terutama dalam tahap aksi penindakan. Pandangan yang banyak didukung masyarakat menengah ini selanjutnya mengharapkan adanya peningkatan SDM, anggaran, dan sarana, agar dalam berbagai tindakan, Satpol PP bisa lebih baik dan persuasif.

Pandangan kalangan moderat cukup beralasan. Dengan cara yang persuasif, Pol PP bisa menghindari aksi kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi dalam aksi-aksi mereka. Hal ini dilakukan sejauh ini oleh misalnya Satpol PP Kota Kupang. Berbeda dengan gambaran Satpol PP di media elektronik yang terkesan sangar dalam menangani perda, menurut Drs. Dumuliahi Djami, Kepala Satpol PP Kota Kupang, selama ia bekerja dilapangan di wilayah Kota Kupang, mereka lebih mengedepankan cara “kekeluargaan”  dan negosiasi. Dia mencontohkan ketika mereka akan menertibkan PKL atau pasar liar maka pertama-tama mereka melakukan pendekatan terhadap masyarakat yang terkena jalur penertiban. “Kami memberitahukan kepada mereka kalau mereka dilarang berjualan diarea tersebut dan selanjutnya meminta mereka untuk pindah secara baik-baik. Bahkan kami membantu mereka untuk pindah dan mengangkut barang-barang mereka,” cerita Dumul Djami. Cara-cara seperti ini menurutnya jauh lebih efektif dan lancar di lapangan (Temuwicara Kasat Pol PP setiap kegiatan Operasi).

Berbeda dengan kalangan moderat, pandangan liberal, menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan sama sekali. Mereka lebih banyak berharap agar soal ketertiban dan keamanan diserahkan kepada kalangan Polisi saja. Ketidak setujuan kalangan liberal yang didukung kalangan kelas menengah keatas ini terutama karena Satpol PP sering mengurus hal-hal yang bersifat ‘privacy,’ yang memang menjadi kemewahan kalangan kelas ini.

Meskipun secara teoritis wewenang polisi dan Satpol PP telah tertulis dan berbeda, dalam praktiknya clash dan kesalahpahaman tidak terhindarkan. Satpol PP bertanggung jawab untuk mengawal pelaksanaan Perda, terutama peraturan yang mempunyai hukuman, dengan kata lain terhadap pejabat publik. Sementara polisi sebagai penegak hukum memainkan peran sebagai pengawal, pelindung, dan pembela. Ini berarti polisi dengan fungsinya sebagai penyelidik resmi juga berwenang menegakan Perda sesuai dengan tuntutan hukuman. Tumpang tindih peran, wewenang, dan tanggung jawab kedua lembaga ini sangat disadari.

Sementara pandangan kritis, seperti kalangan liberal, menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan. Tapi alasannya sangat berbeda, ketidaksetujuan terhadap Satpol PP lebih karena Satpol PP banyak merugikan hajat dasar dari kehidupan mereka. Pandangan kritis ini didukung kalangan kelas bawah seperti kaum miskin kota, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pekerja seks komersial, dan lain-lain yang selama ini memang sering menjadi sasaran Satpol PP karena dianggap melanggar Perda mengenai ketentraman dan ketertiban kota. Bagi kalangan ini, Satpol PP telah banyak melakukan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam aksi-aksi mereka. Bagi kalangan kritis ini, Satpol PP tidak lebih dari “aparat militer yang tak berseragam” dengan aksi-aksi mereka yang sangat militeristik. Berbeda dengan kalangan moderat, yang memandang aksi-aksi kekerasan yang dilakukan Satpol PP lebih sebagai ‘akibat’ saja, bagi kalangan kritis ini sifat kekerasan dan militeristik ini sudah menjadi watak dan karakter dari Satpol PP ini. Ini bukan saja terlihat dari seragam yang mereka pakai, latihan-latihan fisik ala militer yang merka terima (yang porsinya mendominasi dibandingkan latihan-latihan atau kursus-kursus lain), dan riwayat sejarah mereka yang terhubung dengan sejarah militer. Sehingga imajinasi dan citra diri yang membentuk pandangan mereka pun dipenuhi penampilan sebagai ‘militer.’

Pandangan kalangan yang kritis ini sangat mendasar dan perlu menjadi perhatian. Kalau ditelusuri lebih lanjut, memang setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan pola perilaku dan pendekatan-pendekatan yang dilakukan Satpol PP begitu militeristik. Pertama, terkait dengan pedoman Satpol PP sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 32/2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja dan prosedur tetap Satpol PP sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 26/2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Kedua, Permendagri No.35/2005 tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja. Faktor ketiga yang menyebabkan Satpol PP bersifat militeristik adalah materi pendidikan Satpol PP didominasi oleh pendekatan militeristik dari pada pendekatan sosial dan kultural. Keempat, institusi Satpol PP lebih banyak diisi pegawai-pegawai yang tidak berkualitas, bahkan cenderung dijadikan tempat pembuangan pegawai-pegawai yang tak lagi digunakan di instansi-instansi lain. Kedua ketentuan tersebut, yang diikuti oleh sistem pendidikan militeristik dan kualitas SDM yang rendah menyebabkan Satpol PP selalu tampil militeristik, dan hampir-hampir menganggap diri mereka sebagai bagian dari militer saja.

Dengan alasan ini, kalangan kritis menuntut agar Satpol PP dibubarkan saja. Atau setidaknya mereka menuntut pencabutan beberapa perda, misal yang menyangkut ketertiban, ketentraman, dan keamanan, yang sebenarnya merupakan ‘nyawa’ dari keberadaan Satpol PP.

Kedewasaan Polisi Pamong Praja
Tanggal 3 Maret 2010, Kesatuan Polisi Pamong Praja genap berumur 60 tahun. Rentetan pandangan kalangan baik negatif maupun positif, sering melabelkan Polisi Pamong Praja sebagai Tentara tak berseragam maupun penertib pelanggar Perda ala persuasif. Jika ditilik secara usia, angka 60 merupakan angka kedewasaan secara institusional bagi Polisi Pamong Praja. Sekiranya 60 tahun bukan saja dimaknai secara kedewasaan institusional namun juga direfleksi sebagai personal dari bahagian institusional. Ini dimaksudkan agar apa yang selama ini dipandang buruk dapat dimaknai sebagai perubahan ke arah yang lebih baik. Jadilah personal yang lepas dari aksi kekerasan dan lepas dari aksi brutal yang dapat memperburuk citra institusi yang kian dewasa, seperti halnya apa yang selama ini terlihat dari aksi-aksi Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Kupang kian berusaha mendekatkan pendekatan yang persuasif dalam penegakan perda diwilayah Kota Kupang. Bahkan jika disimak, Pol PP Kota Kupang menjadi tiang garam dan superior pemerintah dalam mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Misalkan, Pol PP tak pandang waktu membantu warga yang terkena bencana (banjir, pohon tumbang, dan lainnya) dan bhakti sosial dalam mencermati kondisi di Kota kupang. Contoh ini mungkin dapat diikuti oleh kesatuan Polisi Pamong Praja diwilayah otonom lain, bukan berarti yang lain tidak. Namun, ini dikarenakan penulis lebih banyak memantau aksi dan tindak tanduk Pol PP diwilayah Kota Kupang karena mudah terpantau lewat media. Bukan bermaksud mendikotomi antara Polisi Pamong Praja Kota Kupang dan Kesatuan Polisi Pamong Praja yang lain, semoga apa yang telah diusahakan Kasat Pol PP Kota Kupang, Drs. Dumuliahi Djami,M.Si dapat mencerminkan sedikit dari citra positif bagi kalangan liberal dan kritis.

Selamat merayakan HUT Polisi Pamong Praja ke-60, kiranya dengan semakin dewasa institusi, makin dewasa pula personal emosional dalam setiap rangkaian aksi penertiban perda dalam menghargai hak dasar social publik menuju masyarakat madani dan seturut perda yang pro poor, layaknya Mars Pol PP “Lakukan tindakan berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45, Junjung norma-norma dalam masyarakat, Satuan Polisi Pamong Praja Jaya”. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 3 Maret 2010).


-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang

TRANSLATE: