WACANA
MASYARAKAT MENGENAI KEBUTUHAN AKAN SATPOL PP
(Catatan:
Memperingati HUT POL PP KE-60)
Oleh. Ian Haba Ora
Dalam perjalanan Anda ke kantor,
menjemput anak sekolah, bepergian ke mal, atau ketika sedang pelesiran di kota
Anda, mungkin Anda pernah dikagetkan dengan suatu peristiwa yang tiba-tiba
menghentikan perjalanan Anda dan mendorong Anda untuk menyaksikannya barang
sejenak: serombongan orang berseragam terlibat dalam suatu aksi pengusiran
penuh kekerasan dan paksaan terhadap sekelompok pedagang kaki lima yang
berjualan ditrotoar. Atau dalam bentuk lain, serombongan orang berseragam itu
terlibat aksi tarik menarik dengan massa rakyat yang mempertahankan rumahnya.
Jika Anda tak pernah melihat peristiwa
demikian, mungkin Anda pernah menyaksikan adegan serupa di televisi atau
setidaknya Anda pernah membaca tentang aksi mereka di media misal ketika mereka
melakukan razia ke panti-panti pijat, warung remang-remang, losmen-losmen,
lokalisasi, dan lalu menangkap misalnya pengunjung yang ada disana dan lain-lainnya.
Rombongan berseragam itu bukanlah tentara. Nama resminya adalah Satuan Polisi
Pamong Praja atau disingkat Pol PP. Meski ada kata “Polisi” didalam nama
kesatuan tersebut, mereka bukanlah, dan sama sekali tak terikat dengan,
institusi polisi yang umum dikenal. Status resmi mereka sebagian besar adalah
Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena itu mereka bekerja berdasarkan aturan-aturan
sebagai PNS. Barangkali hati Anda terenyuh melihat aksi pengusiran, perampasan,
atau pemukulan, yang penuh kekerasan dan anarkis, yang kebanyakannya menimpa
kalangan miskin dan tak berpunya itu? Atau bisa saja jadi Anda setuju saja
dengan aksi-aksi yang mereka lakukan, dengan anggapan sudah seharusnya kalangan
masyarakat itu “ditertibkan” atau ‘diamankan’.
Satpol PP, Sejarah dan Dasar Hukum
Keberadaan Satpol PP, yang bermoto
Prajawibawa, sebernarnya bisa dilacak lebih jauh pada pembentukan Bailluw saat VOC menduduki Batavia
(1602). Bailluw saat itu merupakan
polisi yang merangkap jaksa dan hakim yang bertugas untuk menangani
perselisihan hukum yang timbul antara VOC dengan warga kota. Selain menjaga
ketertiban dan ketentraman warga kota, institusi ini berkembang menjadi
organisasi kepolisian disetiap Kerisidenan dan Kawedanan untuk melakukan tugas-tugas
ketertiban dan keamanan pasca kekuasaan Raffles (1815). Bailluw ini terus berkembang menjadi suatu organisasi yang tersebar
disetiap Keresidenan dengan dikendalikan sepenuhnya oleh residen dan asisten
residen. Selanjutnya, organisasi kepolisian kolonial dikembangkan menjadi: pertama, Polisi Pamongpraja (Bestuurpolitie) yang ditempatkan menjadi
bagian dari pemerintahan pribumi yang didukung oleh kepala-kepala desa, para
penjaga malam, dan agen-agen polisi yang diperbantukan pada pejabat-pejabat
pamongpraja. Kedua, Polisi umum (Algemeen Politie) yang merupakan
kesatuan khusus dan berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
kepolisian. Ketiga, polisi bersenjata
(Gewapende Politie). Untuk polisi
pamong praja dan polisi umum, keduanya ditempatkan dibawah Kejaksaan (Procureur Generaal) pada Mahkamah Agung
(Hoogerrechtshof) sebagai penanggung
jawab tertinggi atas pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum (IDSPS, 2009).
Pasca Proklamasi kemerdekaan yang
diawali dengan kondisi yang mengancam NKRI, dibentuklah Detasemen Polisi Penjaga
Keamanan Kapanewon di Yogyakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan Praja di
DIY No 1/1948 tertanggal 30 Oktober 1948 untuk menjaga ketentraman dan
ketertiban masyarakat. Pada tanggal 10 Nopember 1948, lembaga ini berubah
menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja berdasarkan Surat Perintah Jawatan Praja
DIY No 2/1948. Di Jawa tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. UR32/2/21/Tahun 1950 untuk mengubah Detasemen Pol PP menjadi
Kesatuan Polisi Pamong Praja. Inilah embrio terbentuknya Satpol PP. Tanggal 3
Maret ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) yang diperingati setiap tahun (Tadie, 109:170). Pada Tahun 1960,
dimulai pembentukan Kesatuan Polisi Pamong Praja diluar Jawa dan Madura berdasarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 7 Tahun 1960 tanggal 30
Nopember 1960, yang mendapat dukungan para petinggi militer (Angkatan Perang).
Tahun 1962 namanya berubah menjadi Kesatuan Pagar Baya dengan peraturan Menteri
Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 tertanggal 11 Juni 1962
untuk membedakannya dari Korps Kepolisian Negara seperti dimaksud dalam UU No
13/1961 tentang Pokok-Pokok Kepolisian. Tahun 1963, lembaga ini berganti nama
lagi menjadi Kesatuan Pagar Praja dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum
dan Otonomi Daerah No.1 Tahun 1963 tanggal 11 Februari 1963. Istilah Satpol PP
sendiri mulai populer sejak pemberlakuan UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. Dalam pasal 86 ayat 1 UU itu disebutkan, Satpol PP
merupakan perangkat wilayah yang melaksanakan tugas dekosentrasi.
Kini UU 5/1974 sudah tidak berlaku lagi,
digantikan UU No 22/1999 dan direvisi menjadi UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan bahwa tujuan Satpol
PP adalah untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan perda dan
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan
Polisi Pamong Praja dan, pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi
Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan
Pemerintah. UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya pasal 148
menjadi landasan hukum keberadaan Satpol PP. Pasal ini bahkan menuntut
pembentukan Satpol PP sebagai kelengkapan struktur pemerintah daerah. Dengan UU
ini, hampir tak ada lagi daerah yang tidak mempunyai lembaga Satpol PP. Satpol
PP juga dilengkapi dengan Pedoman Satpol PP dalam PP No 32/2004 tentang Pedoman
Satuan Polisi Pamong Praja.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26
Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong
Praja merupakan prosedur tetap operasional yang dimilki Satpol PP. Pasal 4
Permendagri No 26/2005, Protab terdiri atas: prosedur operasional ketentraman
dan ketertiban umum; prosedur operasional pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan
kerusuhan massa; prosedur operasional pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang
penting; prosedur operasional pelaksanaan tempat-tempat penting; prosedur
pelaksanaan operasional patroli; prosedur operasional penyelesaian kasus
pelanggaran ketentraman, ketertiban umum dan Peraturan Daerah.
Sementara, mengenai pakaian dinas,
perlengkapan dan peralatan Satuan Polisi Pamong Praja diatur oleh Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 tentang Pedoman Pakaian Dinas,
Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja. Permendagri ini mengatur
seluruh perlengkapan operasional satuan polisi pamong praja, baik perorangan
maupun institusional. Terkait dengan perlengkapan perorangan, pedoman ini juga
memberikan kewenangan pada anggota Satpol PP untuk memakai dan menggunakan
senjata api.
Wacana Masyarakat Mengenai Kebutuhan
akan Satpol PP
UU dan Perda-Perda serta berbagai perda
yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah telah menempatkan Satpol PP
menjadi aktor pengendalian ketentraman dan ketertiban kota/daerah yang
strategis dan penting. Aksi mereka banyak mengundang perhatian masyarakat
karena memang bersifat publik. Selain itu, aksi mereka juga kerap diberitakan
baik oleh media visual, auditif, maupun cetak. Sebahagian motif pemberitaan ini
juga bagian dari ‘sosialisasi’ aparatus pemerintah daerah akan kewajiban mereka
melaksanakan amanat Perda. Langsung maupun tidak langsung, aksi-aksi mereka
Satpol PP ini menyentuh kepentingan masyarakat banyak. Tak heran kalau
kedudukan dan kiprahnya itu mengundang beragam pandangan. Dalam penelusuran
wacana di masyarakat ada beberapa pandangan terhadap Satpol PP. pertama,
pandangan Moderat, kedua, pandangan liberal, dan ketiga, pandangan kritis.
Pandangan moderat menganggap keberadaan
Satpol PP penting dan perlu terutama untuk menjaga ketentraman dan ketertiban
kota. Kalaupun ada aksi-aksi mereka yang terkesan penuh kekerasan dan melanggar
hak asasi manusia, itu menurut mereka, tidak mengharuskan Satpol PP dibubarkan
atau ditiadakan. Kekerasan terjadi lebih sering karena kekeliruan yang bersifat
teknis-prosedural atau karena adanya aksi-aksi masyarakat yang bersifat
provokatif terhadap mereka. Dengan pandangan ini, kalangan moderat lebih banyak
membela keberadaan Satpol PP sambari mengusulkan perlunya Satpol PP bertindak
lebih persuasif dengan tahapan pendekatan mulai pengayoman, pencegahan hingga
penindakan bagi pelanggaran Perda. Disisi lain, mengharapkan masyarakat untuk
tidak melawan dan memprovokasi para petugas Satpol PP yang memancing emosi dan
kemarahan mereka. Untuk itu mereka mengusulkan perlunya revitalisasi Satpol PP,
misal dengan membuat rambu “kewenangan prosedural” yang harus jelas dan terukur
terutama dalam tahap aksi penindakan. Pandangan yang banyak didukung masyarakat
menengah ini selanjutnya mengharapkan adanya peningkatan SDM, anggaran, dan
sarana, agar dalam berbagai tindakan, Satpol PP bisa lebih baik dan persuasif.
Pandangan kalangan moderat cukup
beralasan. Dengan cara yang persuasif, Pol PP bisa menghindari aksi kekerasan
dan pelanggaran Hak Asasi dalam aksi-aksi mereka. Hal ini dilakukan sejauh ini
oleh misalnya Satpol PP Kota Kupang. Berbeda dengan gambaran Satpol PP di media
elektronik yang terkesan sangar dalam menangani perda, menurut Drs. Dumuliahi
Djami, Kepala Satpol PP Kota Kupang, selama ia bekerja dilapangan di wilayah
Kota Kupang, mereka lebih mengedepankan cara “kekeluargaan” dan negosiasi. Dia mencontohkan ketika mereka
akan menertibkan PKL atau pasar liar maka pertama-tama mereka melakukan
pendekatan terhadap masyarakat yang terkena jalur penertiban. “Kami
memberitahukan kepada mereka kalau mereka dilarang berjualan diarea tersebut
dan selanjutnya meminta mereka untuk pindah secara baik-baik. Bahkan kami
membantu mereka untuk pindah dan mengangkut barang-barang mereka,” cerita Dumul
Djami. Cara-cara seperti ini menurutnya jauh lebih efektif dan lancar di
lapangan (Temuwicara Kasat Pol PP setiap kegiatan Operasi).
Berbeda dengan kalangan moderat,
pandangan liberal, menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan sama
sekali. Mereka lebih banyak berharap agar soal ketertiban dan keamanan
diserahkan kepada kalangan Polisi saja. Ketidak setujuan kalangan liberal yang
didukung kalangan kelas menengah keatas ini terutama karena Satpol PP sering mengurus
hal-hal yang bersifat ‘privacy,’ yang memang menjadi kemewahan kalangan kelas
ini.
Meskipun secara teoritis wewenang polisi
dan Satpol PP telah tertulis dan berbeda, dalam praktiknya clash dan
kesalahpahaman tidak terhindarkan. Satpol PP bertanggung jawab untuk mengawal
pelaksanaan Perda, terutama peraturan yang mempunyai hukuman, dengan kata lain
terhadap pejabat publik. Sementara polisi sebagai penegak hukum memainkan peran
sebagai pengawal, pelindung, dan pembela. Ini berarti polisi dengan fungsinya
sebagai penyelidik resmi juga berwenang menegakan Perda sesuai dengan tuntutan
hukuman. Tumpang tindih peran, wewenang, dan tanggung jawab kedua lembaga ini
sangat disadari.
Sementara pandangan kritis, seperti
kalangan liberal, menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan. Tapi
alasannya sangat berbeda, ketidaksetujuan terhadap Satpol PP lebih karena
Satpol PP banyak merugikan hajat dasar dari kehidupan mereka. Pandangan kritis
ini didukung kalangan kelas bawah seperti kaum miskin kota, pedagang kaki lima,
pedagang asongan, pekerja seks komersial, dan lain-lain yang selama ini memang
sering menjadi sasaran Satpol PP karena dianggap melanggar Perda mengenai
ketentraman dan ketertiban kota. Bagi kalangan ini, Satpol PP telah banyak
melakukan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam aksi-aksi mereka.
Bagi kalangan kritis ini, Satpol PP tidak lebih dari “aparat militer yang tak
berseragam” dengan aksi-aksi mereka yang sangat militeristik. Berbeda dengan
kalangan moderat, yang memandang aksi-aksi kekerasan yang dilakukan Satpol PP
lebih sebagai ‘akibat’ saja, bagi kalangan kritis ini sifat kekerasan dan
militeristik ini sudah menjadi watak dan karakter dari Satpol PP ini. Ini bukan
saja terlihat dari seragam yang mereka pakai, latihan-latihan fisik ala militer
yang merka terima (yang porsinya mendominasi dibandingkan latihan-latihan atau
kursus-kursus lain), dan riwayat sejarah mereka yang terhubung dengan sejarah
militer. Sehingga imajinasi dan citra diri yang membentuk pandangan mereka pun
dipenuhi penampilan sebagai ‘militer.’
Pandangan kalangan yang kritis ini
sangat mendasar dan perlu menjadi perhatian. Kalau ditelusuri lebih lanjut,
memang setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan pola perilaku dan
pendekatan-pendekatan yang dilakukan Satpol PP begitu militeristik. Pertama,
terkait dengan pedoman Satpol PP sendiri sebagaimana diatur dalam PP No.
32/2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja dan prosedur tetap Satpol PP
sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 26/2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap
Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Kedua, Permendagri No.35/2005 tentang
Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja.
Faktor ketiga yang menyebabkan Satpol PP bersifat militeristik adalah materi pendidikan
Satpol PP didominasi oleh pendekatan militeristik dari pada pendekatan sosial
dan kultural. Keempat, institusi Satpol PP lebih banyak diisi pegawai-pegawai
yang tidak berkualitas, bahkan cenderung dijadikan tempat pembuangan
pegawai-pegawai yang tak lagi digunakan di instansi-instansi lain. Kedua
ketentuan tersebut, yang diikuti oleh sistem pendidikan militeristik dan
kualitas SDM yang rendah menyebabkan Satpol PP selalu tampil militeristik, dan
hampir-hampir menganggap diri mereka sebagai bagian dari militer saja.
Dengan alasan ini, kalangan kritis
menuntut agar Satpol PP dibubarkan saja. Atau setidaknya mereka menuntut
pencabutan beberapa perda, misal yang menyangkut ketertiban, ketentraman, dan
keamanan, yang sebenarnya merupakan ‘nyawa’ dari keberadaan Satpol PP.
Kedewasaan Polisi Pamong Praja
Tanggal 3 Maret 2010, Kesatuan Polisi
Pamong Praja genap berumur 60 tahun. Rentetan pandangan kalangan baik negatif
maupun positif, sering melabelkan Polisi Pamong Praja sebagai Tentara tak
berseragam maupun penertib pelanggar Perda ala persuasif. Jika ditilik secara
usia, angka 60 merupakan angka kedewasaan secara institusional bagi Polisi
Pamong Praja. Sekiranya 60 tahun bukan saja dimaknai secara kedewasaan
institusional namun juga direfleksi sebagai personal dari bahagian
institusional. Ini dimaksudkan agar apa yang selama ini dipandang buruk dapat
dimaknai sebagai perubahan ke arah yang lebih baik. Jadilah personal yang lepas
dari aksi kekerasan dan lepas dari aksi brutal yang dapat memperburuk citra institusi
yang kian dewasa, seperti halnya apa yang selama ini terlihat dari aksi-aksi
Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Kupang kian berusaha mendekatkan pendekatan
yang persuasif dalam penegakan perda diwilayah Kota Kupang. Bahkan jika
disimak, Pol PP Kota Kupang menjadi tiang garam dan superior pemerintah dalam
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Misalkan, Pol PP tak pandang waktu
membantu warga yang terkena bencana (banjir, pohon tumbang, dan lainnya) dan
bhakti sosial dalam mencermati kondisi di Kota kupang. Contoh ini mungkin dapat
diikuti oleh kesatuan Polisi Pamong Praja diwilayah otonom lain, bukan berarti
yang lain tidak. Namun, ini dikarenakan penulis lebih banyak memantau aksi dan
tindak tanduk Pol PP diwilayah Kota Kupang karena mudah terpantau lewat media.
Bukan bermaksud mendikotomi antara Polisi Pamong Praja Kota Kupang dan Kesatuan
Polisi Pamong Praja yang lain, semoga apa yang telah diusahakan Kasat Pol PP
Kota Kupang, Drs. Dumuliahi Djami,M.Si dapat mencerminkan sedikit dari citra
positif bagi kalangan liberal dan kritis.
Selamat merayakan HUT Polisi Pamong
Praja ke-60, kiranya dengan semakin dewasa institusi, makin dewasa pula personal
emosional dalam setiap rangkaian aksi penertiban perda dalam menghargai hak
dasar social publik menuju masyarakat madani dan seturut perda yang pro poor,
layaknya Mars Pol PP “Lakukan tindakan
berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45, Junjung norma-norma dalam
masyarakat, Satuan Polisi Pamong Praja Jaya”. (Tulisan
ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 3 Maret 2010).
-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang