MAKIN BRUTAL JIKA SATPOL PP
DIPERSENJATAI
Oleh.
Ian Haba Ora
Kontroversi
kepemilikan senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
marak diberitakan lantaran beda persepsi baik dikalangan birokrasi, aktivis,
akademisi dan legislatif. Ini menyeruak, ketika Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 26 Tahun 2010 mulai diberlakukan sejak Maret 2010 tentang
legalitas anggota Satpol PP untuk memegang senjata api. Ada macam pendapat, Wakil
Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengatakan
Satpol PP dinilai masih belum matang secara psikologis kalau Satpol PP
sampai dipersenjatai dengan senjata api. Secara psikologis, Satpol PP belum
matang sehingga itu membahayakan.
Anggota Komisi II DPR dari F-PKS
Mahfudz Siddiq juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, aparat Satpol PP yang
dipersenjatai tak beda dengan aparat keamanan. "Selama ini mereka sudah
dipersenjatai pentungan. Kalau dipersenjatai lebih jauh lagi, itu tak beda
dengan aparat keamanan". Ia menilai penegakkan ketertiban tergantung dari
pendekatan yang dilakukan. "Kalau represif, ya konflik terus. Kalau
dipersenjatai, itu lebih parah lagi. Penegakannya seharusnya lebih persuasif
dan edukatif". Menko Polhukam Djoko Suyanto berpendapat kepemilikan
senjata api bagi Satpol PP harus diatur ketat karena TNI dan Polri pun
aturannya ketat dan dalam menjalankan tugasnya Satpol PP juga tidak memiliki
kewenangan melakukan tindakan kepolisian. Mendagri Gamawan Fauzi menjamin
kepemilikan senjata api bagi Satpol PP akan diatur ketat. Selain itu peluru
yang nanti digunakan juga bukan peluru tajam. Dia menjelaskan, tidak sembarang
petugas Satpol PP bisa memiliki senjata api. Ada berbagai persyaratan yang
harus dipenuhi, termasuk berkoordinasi dengan petugas kepolisian. "Izinnya
tetap diberikan Polri setelah dinilai layak," tutupnya.
Beda
pendapat ini lantaran dalam Permendagri No 26 Tahun 2010 mengatur tentang
Penggunaan Senjata Api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja. Senjata
api yang boleh digunakan antara lain senjata gas air mata, pistol/revolver/
senapan yang dapat ditembakkan dengan peluru gas atau peluru hampa, dan stick
(pentungan), senjata kejut listrik berbentuk pentungan. Kepemilikan senjata api
ini bisa dimiliki hingga tingkat kepala regu.
Meskipun kita mengilhami kedewasaan
secara institusi Polisi Pamong Praja hingga usia yang ke 60 tahun, namun tidak
serta merta mengilhami kedewasaan secara individu/personal/perseorangan dari
aparat Satpol PP. Banyak kasus-kasus melibatkan anggota Satpol PP terindikasi
melakukan kekerasan terhadap kaum proletar dan kaum yang termaginal oleh
kebijakan-kebijakan yang mengebiri hak-hak rakyat. Tidak dapat dipungkiri, jika
saat ini, ketika genderang otoritas keinstitusian Satpol PP diperbesar lantaran
anggotanya dipersenjatai dengan senjata api, maka rakyat semakin resah dan
takut. “Nanti malah makin belagu. Nanti mau penggusuran seperti jagoan
menunjuk-nunjukkan pistol," kata pedagang minuman keliling, Roni (33) saat
ditemui Detik Com di kawasan Blok M, Jaksel, Selasa (6/7/2010). Ini menjustifikasi
makin rawannya tindakan aparat Satpol PP untuk bertindak kasar pada warga
penerima layanan publik yang terkadang tidak propoor. Meskipun telah ada wanti-wanti dari Mendagri bahwa akan ada
pengawasan yang ketat dalam penggunaan senjata api, namun tidak serta merta
mengeliminasi sikap skeptis masyarakat. Masyarakat terus terpaku pada pikiran “tanpa
menggunakan senjata saja sudah aktif dengan kekerasan, apalagi jika dipersanjatai,”
kata Moniche Saubaki, Aktivis FPAR Kota Kupang saat dimintai komentarnya.
Sikap skeptis masyarakat ini, tidak
dapat disangkali lantaran selama ini, tindakan kekerasan anggota Satpol PP
dalam penertiban dan penggusuran banyak dipertontonkan demi kepentingan
penegakan Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah. Mungkin kita
tidak begitu saja melupakan kasus Koja berdarah 14 April 2010 yang banyak
memakan korban baik dari Pol PP maupun rakyat. Atau kita sering melihat
pemberitaan-pemberaitaan kekerasan di media cetak dan elektronik yang
menjustifikasi arogansi sebagai solusi penegakan tugas. Mungkin saja, dari kita
telah ada yang melihat secara langsung aksi brutalitas anggota Satpol PP yang
terkesan tak memiliki nurani.
Ketika pro kontra opini memetafora
perspektif, hal terpenting yang perlu kita sadari ialah keinstitusian Polisi
Pamong Praja adalah otonomi dalam kerangka pemerintahan daerah sesuai UU No 32
Tahun 2004. Otonomi yang dimaksudkan adalah institusi Satpol PP tidak
sentralistik layaknya Polri namun didasarkan pada kebijakan dan peraturan
daerah. Dengan demikian, konteks sosial
approach berbeda-beda setiap wilayah. Kasus Koja berdarah 14 April 2010
tidak dapat menjustifikasi brutalitas Pol PP seantero, ataupun kasus warga
versus Satpol PP saling bentrok di Banda Aceh lantaran penertiban PKL 8 Juli
2010 tidak harus menjadi representatif kebringasan aparat Satpol PP. Paradox
ketika kita cermati kinerja Satpol PP Kota Kupang dalam pemberitaan media,
jarang dan hampir dikatakan tidak ada sama sekali kasus kekerasan dan arogansi
yang ditunjukkan aparat Satpol PP Kota Kupang. Pendekatan persuasif menjadi
ciri khas dalam penegakan Perda dan Keputusan Kepala Daerah. Satpol PP Kota
Kupang juga aktif dalam bina sosial bersama masyarakat. Misalkan yang terpantau
media, Satpol PP aktif dalam membantu warga yang rumahnya rusak akibat
tertimpah pohon yang tumbang, aktif dalam pembersihan drainase yang tersumbat,
aktif dalam mendukung Kupang Green and Clean, dan tak kalah pentingnya adalah
Satpol PP membangun Sekolah Dasar (SD) permanen di Kelurahan Fatukoa lantaran
SD tersebut yang kini ada sudah tidak layak lagi. Ini merupakan cerminan lain
eksistensi Satpol PP tidak lah sama dalam karakter lantaran secara
keinstitusian otonomi.
Menilik pada Permendagri 26 Tahun 2010,
maka dapat dibenarkan jika anggota Satpol PP dipersenjatai. Selain berhubungan
dengan kebijakan publik, juga dilapangan anggota Satpol PP menghadapi karakter
masyarakat yang berbeda. Kondisi ini akan menjadi boomerang bagi anggota Satpol
PP saat bertugas dengan resiko-resiko yang ada. Namun, hal yang perlu
diwaspadai adalah prosedur dan mekanisme pengawasannya. Ironis juga ketika
aktualisasi dan fenomena brutalitas anggota Satpol PP marak terjadi dan sering
menghiasi pemberitaan media. Atau juga, kita pernah menjadi korban dalam aksi
kekerasan dan brutalitas aparat PolPP. Ketika anggota PolPP dipersenjatai, maka
dapat membahayakan warga penerima layanan publik. Ini disebabkan mental dan
psikologis anggota yang masih labil, apalagi bimbingan dan pelatihan bagi PolPP
yang terkesan tidak berperspektif hak asasi manusia. Oleh karena itu, maraknya
kasus-kasus brutalitas dan kekerasan oleh anggota Satpol PP yang sering ada,
sebaiknya penerapan Permendagri 26 tahun 2010 dibatalkan atau ditinjau kembali.
Jika dipaksakan, akan memancing aksi kekerasan negara terhadap rakyatnya
melalui institusi PolPP. Masyarakat menjadi resah dan takut jika anggota Satpol
PP dipersenjatai. (Tulisan ini pernah
dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 26 Juli 2010).
-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP
Kota Kupang