SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 2 July 2013

POLRI dan ANGGARAN



REFORMASI POLRI DAN ANGGARAN
Oleh. Ian Haba Ora


Korupsi di Internal Polri
Menghadapi masa depan yang semakin kritis dan kompleks terhadap tuntutan masyarakat, maka landasan berpijak bagi implementasi visi dan misi Polri mereformasi pola kinerja dan perilaku para anggota Polisi yang harus diwujudkan dalam kegiatan organisasi maupun pelayanan kepada masyarakat. Reformasi itu tertuang dalam beberapa hal, diantaranya adalah: a). Keunggulan (excellence), yang berorientasi pada prestasi (achievement), dedikasi kejujuran (honesty) dan kreativitas; b). Integritas (integrity), yang berorientasi pada komitmen menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral (ethic values and morality); c). Akuntabilitas (accountable) yang berorientasi pada sistem yang traceable (dapat ditelusuri jalurnya yang logis) dan auditable (dapat diaudit dan diperbaiki), mulai dari tingkat individu sampai institusi; d). Transparansi, yang berorientasi pada keterbukaan (openness), kepercayaan (trust), menghargai keragaman dan perbedaan (diversity) serta tidak diskriminatif; e). Keberlanjutan, yang berorientasi kepada perbaikan secara terus menerus dan masa depan (humas.polri.go.id/…etiapSaat/Renstra%20Dittahti.pd.).

Dengan demikian sasaran reformasi polri sebenarnya adalah reformasi secara culture dan structure untuk memberikan pelayanan dan implementasi instrumen yang berdasar pada excellence, integrity, accountable, transparance, and continuitas. Namun, sasaran reformasi tersebut apakah berlaku pada penggunaan anggaran dana off baudget? Dana off budget adalah dana yang pengelolaan dan penggunaannya dicatat sendiri oleh Polri tanpa mekanisme pengelolaan anggaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.17/2003 tentang perbendaharaan negara.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, tidak dijelaskan tentang sumber anggaran dalam institusi tersebut, berbeda dengan sumber anggaran TNI yang wajib berasal dari APBN. Dengan demikian, sistem pelaporan pada institusi kepolisian akan sangat sulit terdeteksi dalam penggunaan anggaran. Dilihat dari kewenagan Polri yang dibuka ruang untuk melakukan tugas-tugas bersama dengan Pemerintah Daerah dan jasa pengamanan lainnya, akan menjadi lahan korupsi diluar dari pertanggungjawaban publik dan esensi penganggaran. Penelitian Fitra (2011) menemukan indikasi korupsi di polri atas hasil pemeriksaan BPK dari penggunaan anggaran dana non-APBN sebesar Rp 268,9 miliar. Sementara itu, terkait dana open house Idul Fitri Kapolri tahun 2010 yang disebut Fitra mencapai miliaran rupiah (http://us.nasional.news.viva.co.id). Maulana selaku Koordinator Fitra menuturkan dana non APBN ini tidak dikelola APBN dengan pencatatan sendiri oleh polisi di luar pengelolaan anggaran negara dan ini melanggar UU No. 17 tahun 2003 dan UU No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, akibatnya penggunaan dana ini tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban yang valid dan berpotensi disalahgunakan (http://www.tribunnews.com/2013/04/02/).

Persoalan perilaku POLRI mendapat kritik dimana organisasi ini dipandang belumlah profesional dan bebas korupsi. Budaya korupsi di tingkat kepolisian terjadi mulai dari tingkat yang paling rendah seperti dalam pengurusan SIM, STNK, dan lain-lain, hingga ke tingkat paling tinggi seperti penanganan kasus kejahatan. Penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) menunjukkan bahwa perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam tubuh POLRI terjadi di hampir semua lini/ satuan organisasi kepolisian. Perilaku KKN dalam institusi Polri terjadi dalam berbagai bentuk di enam satuan organisasi, yaitu reserse kriminal, intelijen keamanan, samapta, lalu lintas, personil, dan logistik (Bambang Widodo Umar, 2009).

Permasalahan jenis penerimaan dana non APBN juga diungkapkan Irwasda Polda Kepri saat Rapim Polda Kepri TA. 2013 di Batam, 17-18 Januari 2013. Menurutnya, jenis penerimaan dana non APBN marak indikasi korupsi dan salah digunakan, karena beberepa hal diantaranya: penggunaan anggaran digunakan secara langsung tanpa persetujuan Menteri Keuangan, permasalahan kepatuhan dan kesulitaan membuka rekening khusus, dan terlebih adalah tidak memiliki payung hukum. Jenis penerimaan dana non APBN dapat berasal dari pendapatan pengamanan objek vital; jasa pengamanan; pendapatan pelatihan satpam; KTA Satpam; dan pemanfaatan aset oleh pihak ke-3 (sewa gedung, jasa parkir, jasa reklame dan jasa lainnya).

Esensi penggunaan anggaran adalah pertanggungjawaban dan logika secara hukum. Namun, peluang-peluang penyalagunaan tersebut masih menjustifikasi polri mereformasi setengah hati khususnya penggunaan anggaran.

Pendekatan Dalam Pengawasan Anggaran
Loader dan Walker dalam Silvya Tiwon (2009: 5-6) membagi pendekatan reformasi sektor keamanan dalam tiga jenis: pendekatan negara, pendekatan regional, dan pendekatan masyarakat sipil. Menurut mereka, Reformasi Sektor Keamanan (khususnya Polri) umumnya berjalan menurut pendekatan negara atau regional (seperti misalnya, Eropa atau ASEAN), dan pada umumnya pendekatan seperti itu membawa apa yang mereka sebut sebagai “defisit partisipasi” (“participation deficit”). Sebagai upaya menyeimbangi dominasi pendekatan negara/regional RSK ini maka defisit partisipasi perlu diatasi dengan partisipasi utuh dari masyarakat sipil.

Namun, masyarakat sipil juga mempunyai kelemahan yang oleh Loader dan Walker disebut sebagai “negative capacity” (atau “kapasitas negatif”), yaitu: kemungkinan terjadinya kooptasi, permasalahan legitimasi—terutama bagi organisasi masyarakat sipil, dan kecenderungan untuk hanya melontarkan kritik yang bersifat umum/tidak spesifik dan normatif/ideal dan kurang membumi, dalam pengertian kurang mampu menerjemahkan kritik menjadi kebijakan dan regulasi untuk melaksanakan penyelenggaraan keamanan. Dapat ditambahkan juga, khususnya bagi masyarakat sipil di Indonesia, kurangnya pengetahuan dan kapasitas untuk menangani pengawasan terhadap sektor keamanan.

Mengingat kuatnya warisan otoritarianisme di Indonesia, di mana dapat dikatakan masyarakat sipil mengalami keterpinggiran yang mendalam, maka kurangnya pengetahuan dan kapasitas tidaklah mengherankan, walaupun kegigihan untuk memperjuangkan demokrasi di hadapan kekuasaan eksekutif yang disokong oleh kekuasaan bersenjata tak dapat dipungkiri sebagai aset awal yang penting. Terpulihkannya kekuasaan parlemen dan peran partai sebagai wadah perwakilan bagi kedaulatan rakyat—dengan segala kekurangan yang masih sangat kentara—merupakan langkah awal yang kemudian melahirkan pemisahan fungsi kepolisian (keamanan internal) dari fungsi TNI (pertahanan terhadap ancaman eksternal). Namun, fungsi pengawasan dan pemantauan sektor keamanan masih sangat lemah. Salah satu unsur kunci dalam pengawasan adalah anggaran berbagai aktor penyelenggara keamanan negara (dan swasta).

Dalam literatur mengenai peran organisasi masyarakat sipil dalam pengawasan, ada pendapat yang cukup umum bahwa perhatian pada anggaran negara merupakan hal kunci dalam partisipasi yang bermakna. Anggaran merupakan bentuk substantif dari perencanaan pemerintah sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan. Dalam negara demokratis, kebijakan-kebijakan tersebut merupakan produk proses partisipatif, dan analisis, pemantauan dan pengawasan terhadap anggaran merupakan cara yang baik untuk menjaga akuntabilitas pemerintah dan upaya mempengaruhi keputusan-keputusan anggaran berikut.

Anggaran juga merupakan pernyataan pemerintah mengenai prioritas-prioritas utamanya. Dari anggaran dapat diketahui pendapatan negara dari berbagai sumber, seperti pajak; dari pengeluarannya dapat diketahui pilihan-pilihan mana yang dianggap penting. Dalam proses penyusunan dan pengesahan anggaran selalu akan terjadi gesekan kepentingan antara berbagai pihak/segmen publik mengenai prioritas, yang diharapkan akan diselesaikan dengan kesepakatan yang lahir dari perdebatan yang bermakna.

HUT POLRI Ke-67
Peringatan Hari Ulang Tahun Kepolisian Republik Indonesia ke-67 sekiranya dimaknai sebagai ajang refleksi internal untuk lebih mendekatkan pelayanan dan akuntablilitas polri. Tidak lagi diselewengkan dengan perilaku koruptif yang dapat berdampak pada kemunduran pelayanan yang profesional. Indikasi ini didasari dari maraknya kasus-kasus yang belum secara hukum terkuak (dejure) namun secara etika dan opini telah mengedepankan polri sebagai institusi korup (defakto).

Perlu ada reformasi yang lebih mendalam selain reformasi instrumen dan strukture, yaitu reformasi budaya/perilaku (culture refomation). Seampuh dan sehebat apapun aturan dan kontrol publik, tapi jika tidak dibarengi dengan perilaku aktor maka akan sia-sia. Secara filosofis, manusia adalah makluk berakal budi, dengan akal budi manusia sering terjebak dalam memanfaatkan ruang-ruang demi meraup keuntungan (negatif dan positif). (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 1 Juli 2013).


-------------------------------
Penulis: Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT



TRANSLATE: