REFORMASI POLRI DAN ANGGARAN
Oleh. Ian Haba Ora
Korupsi di Internal Polri
Menghadapi masa
depan yang semakin kritis dan kompleks terhadap tuntutan masyarakat, maka
landasan berpijak bagi implementasi visi dan misi Polri mereformasi pola
kinerja dan perilaku para anggota Polisi yang harus diwujudkan dalam kegiatan
organisasi maupun pelayanan kepada masyarakat. Reformasi itu tertuang dalam
beberapa hal, diantaranya adalah: a). Keunggulan (excellence), yang berorientasi pada prestasi (achievement), dedikasi kejujuran (honesty) dan kreativitas; b). Integritas (integrity), yang berorientasi pada komitmen menjunjung tinggi
nilai-nilai etik dan moral (ethic values
and morality); c). Akuntabilitas (accountable)
yang berorientasi pada sistem yang traceable
(dapat ditelusuri jalurnya yang logis) dan auditable (dapat diaudit dan diperbaiki), mulai dari tingkat
individu sampai institusi; d). Transparansi, yang berorientasi pada keterbukaan
(openness), kepercayaan (trust), menghargai keragaman dan
perbedaan (diversity) serta tidak
diskriminatif; e). Keberlanjutan, yang berorientasi kepada perbaikan secara
terus menerus dan masa depan (humas.polri.go.id/…etiapSaat/Renstra%20Dittahti.pd.).
Dengan demikian
sasaran reformasi polri sebenarnya adalah reformasi secara culture dan
structure untuk memberikan pelayanan dan implementasi instrumen yang berdasar
pada excellence, integrity, accountable,
transparance, and continuitas. Namun, sasaran reformasi tersebut apakah
berlaku pada penggunaan anggaran dana off
baudget? Dana off budget adalah dana yang pengelolaan dan penggunaannya
dicatat sendiri oleh Polri tanpa mekanisme pengelolaan anggaran sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No.17/2003 tentang perbendaharaan negara.
Dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, tidak
dijelaskan tentang sumber anggaran dalam institusi tersebut, berbeda dengan
sumber anggaran TNI yang wajib berasal dari APBN. Dengan demikian, sistem
pelaporan pada institusi kepolisian akan sangat sulit terdeteksi dalam
penggunaan anggaran. Dilihat dari kewenagan Polri yang dibuka ruang untuk
melakukan tugas-tugas bersama dengan Pemerintah Daerah dan jasa pengamanan
lainnya, akan menjadi lahan korupsi diluar dari pertanggungjawaban publik dan
esensi penganggaran. Penelitian Fitra (2011) menemukan indikasi korupsi di
polri atas hasil pemeriksaan BPK dari penggunaan anggaran dana non-APBN sebesar
Rp 268,9 miliar. Sementara itu, terkait dana open house Idul Fitri Kapolri tahun 2010 yang disebut Fitra
mencapai miliaran rupiah (http://us.nasional.news.viva.co.id). Maulana selaku Koordinator Fitra
menuturkan dana non APBN ini tidak dikelola APBN dengan pencatatan sendiri oleh
polisi di luar pengelolaan anggaran negara dan ini melanggar UU No. 17 tahun
2003 dan UU No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, akibatnya penggunaan
dana ini tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban yang valid dan
berpotensi disalahgunakan (http://www.tribunnews.com/2013/04/02/).
Persoalan perilaku POLRI mendapat kritik dimana organisasi ini
dipandang belumlah profesional dan bebas korupsi. Budaya korupsi di tingkat
kepolisian terjadi mulai dari tingkat yang paling rendah seperti dalam
pengurusan SIM, STNK, dan lain-lain, hingga ke tingkat paling tinggi seperti
penanganan kasus kejahatan. Penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian (PTIK) menunjukkan bahwa perilaku korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) dalam tubuh POLRI terjadi di hampir semua lini/ satuan
organisasi kepolisian. Perilaku KKN dalam institusi Polri terjadi dalam
berbagai bentuk di enam satuan organisasi, yaitu reserse kriminal, intelijen
keamanan, samapta, lalu lintas, personil, dan logistik (Bambang Widodo Umar,
2009).
Permasalahan jenis penerimaan dana non APBN juga diungkapkan
Irwasda Polda Kepri saat Rapim Polda Kepri TA. 2013 di Batam, 17-18 Januari
2013. Menurutnya, jenis penerimaan dana non APBN marak indikasi korupsi dan
salah digunakan, karena beberepa hal diantaranya: penggunaan anggaran digunakan
secara langsung tanpa persetujuan Menteri Keuangan, permasalahan kepatuhan dan
kesulitaan membuka rekening khusus, dan terlebih adalah tidak memiliki payung
hukum. Jenis penerimaan dana non APBN dapat berasal dari pendapatan pengamanan
objek vital; jasa pengamanan; pendapatan pelatihan satpam; KTA Satpam; dan
pemanfaatan aset oleh pihak ke-3 (sewa gedung, jasa parkir, jasa reklame dan
jasa lainnya).
Esensi penggunaan anggaran adalah pertanggungjawaban dan logika
secara hukum. Namun, peluang-peluang penyalagunaan tersebut masih
menjustifikasi polri mereformasi setengah hati khususnya penggunaan anggaran.
Pendekatan Dalam Pengawasan Anggaran
Loader
dan Walker dalam Silvya Tiwon (2009: 5-6) membagi pendekatan reformasi sektor
keamanan dalam tiga jenis: pendekatan negara, pendekatan regional, dan
pendekatan masyarakat sipil. Menurut mereka, Reformasi Sektor Keamanan
(khususnya Polri) umumnya berjalan menurut pendekatan negara atau regional
(seperti misalnya, Eropa atau ASEAN), dan pada umumnya pendekatan seperti itu
membawa apa yang mereka sebut sebagai “defisit partisipasi” (“participation
deficit”). Sebagai upaya menyeimbangi dominasi pendekatan negara/regional
RSK ini maka defisit partisipasi perlu diatasi dengan partisipasi utuh dari
masyarakat sipil.
Namun,
masyarakat sipil juga mempunyai kelemahan yang oleh Loader dan Walker disebut
sebagai “negative capacity” (atau “kapasitas negatif”), yaitu:
kemungkinan terjadinya kooptasi, permasalahan legitimasi—terutama bagi
organisasi masyarakat sipil, dan kecenderungan untuk hanya melontarkan kritik
yang bersifat umum/tidak spesifik dan normatif/ideal dan kurang membumi, dalam
pengertian kurang mampu menerjemahkan kritik menjadi kebijakan dan regulasi
untuk melaksanakan penyelenggaraan keamanan. Dapat ditambahkan juga, khususnya
bagi masyarakat sipil di Indonesia, kurangnya pengetahuan dan kapasitas untuk
menangani pengawasan terhadap sektor keamanan.
Mengingat
kuatnya warisan otoritarianisme di Indonesia, di mana dapat dikatakan
masyarakat sipil mengalami keterpinggiran yang mendalam, maka kurangnya
pengetahuan dan kapasitas tidaklah mengherankan, walaupun kegigihan untuk
memperjuangkan demokrasi di hadapan kekuasaan eksekutif yang disokong oleh
kekuasaan bersenjata tak dapat dipungkiri sebagai aset awal yang penting. Terpulihkannya
kekuasaan parlemen dan peran partai sebagai wadah perwakilan bagi kedaulatan
rakyat—dengan segala kekurangan yang masih sangat kentara—merupakan langkah
awal yang kemudian melahirkan pemisahan fungsi kepolisian (keamanan internal)
dari fungsi TNI (pertahanan terhadap ancaman eksternal). Namun, fungsi
pengawasan dan pemantauan sektor keamanan masih sangat lemah. Salah satu unsur
kunci dalam pengawasan adalah anggaran berbagai aktor penyelenggara keamanan
negara (dan swasta).
Dalam
literatur mengenai peran organisasi masyarakat sipil dalam pengawasan, ada
pendapat yang cukup umum bahwa perhatian pada anggaran negara merupakan hal
kunci dalam partisipasi yang bermakna. Anggaran merupakan bentuk substantif
dari perencanaan pemerintah sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah
dikeluarkan. Dalam negara demokratis, kebijakan-kebijakan tersebut merupakan
produk proses partisipatif, dan analisis, pemantauan dan pengawasan terhadap
anggaran merupakan cara yang baik untuk menjaga akuntabilitas pemerintah dan
upaya mempengaruhi keputusan-keputusan anggaran berikut.
Anggaran
juga merupakan pernyataan pemerintah mengenai prioritas-prioritas utamanya.
Dari anggaran dapat diketahui pendapatan negara dari berbagai sumber, seperti
pajak; dari pengeluarannya dapat diketahui pilihan-pilihan mana yang dianggap
penting. Dalam proses penyusunan dan pengesahan anggaran selalu akan terjadi
gesekan kepentingan antara berbagai pihak/segmen publik mengenai prioritas,
yang diharapkan akan diselesaikan dengan kesepakatan yang lahir dari perdebatan
yang bermakna.
HUT POLRI Ke-67
Peringatan
Hari Ulang Tahun Kepolisian Republik Indonesia ke-67 sekiranya dimaknai sebagai
ajang refleksi internal untuk lebih mendekatkan pelayanan dan akuntablilitas
polri. Tidak lagi diselewengkan dengan perilaku koruptif yang dapat berdampak
pada kemunduran pelayanan yang profesional. Indikasi ini didasari dari maraknya
kasus-kasus yang belum secara hukum terkuak (dejure) namun secara etika dan opini telah mengedepankan polri
sebagai institusi korup (defakto).
Perlu
ada reformasi yang lebih mendalam selain reformasi instrumen dan strukture,
yaitu reformasi budaya/perilaku (culture refomation). Seampuh dan sehebat
apapun aturan dan kontrol publik, tapi jika tidak dibarengi dengan perilaku
aktor maka akan sia-sia. Secara filosofis, manusia adalah makluk berakal budi,
dengan akal budi manusia sering terjebak dalam memanfaatkan ruang-ruang demi
meraup keuntungan (negatif dan positif). (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor
Express, tanggal 1 Juli 2013).
-------------------------------
Penulis: Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT