Satpol
PP Rentan Pelanggaran HAM
Oleh. Ian Haba Ora
“B
iko bapa pung mau sa! Mo taro dimana na
taro su! Satu hari B dapa cuma Rp 25
ribu sa. B hanya pake ko beli beras. Bapa dong liat B pung rumah sa, hanya
tatempel deng gardus sa, Bapa bongkar, Bapa dong yang rugi. Ko B hidop di Bapa
dong pung bawa na, Bapa dong taro dimana na B iko sa,” kata Om Peu pada
Kasat Pol PP Kota Kupang saat rumah sederhananya ingin dibongkar Satpol PP Kota
karena dibangun ditanah milik pemerintah, Jumat (7/5/2010).
Rumah om Peu merupakan salah satu
bangunan yang dibongkar oleh Satpol PP karena letaknya dilahan seluas ± 3 Ha
milik Pemerintah Kota Kupang dan dianggap sebagai bangunan liar lantaran tidak
memiliki izin tertulis dari Pemkot Kupang saat didirikan. Meskipun Pemerintah
bersedia memberikan kompensasi dengan insentif dan pemberian rumah rakyat, dan
telah disepakati antara warga dan Pemkot, namun masyarakat masih belum ingin
meninggalkan lokasi tersebut. Mencermati kondisi ini, Pemerintah menggerakkan
institusi Satpol PP untuk menertibkan bangunan liar dilokasi tersebut.
Pertanyaannya adalah sejauh mana
komitmen Pemerintah Daerah (Satpol PP) untuk melakukan aksi lapangan/penertiban
tanpa mengesampingkan hak-hak dasar warga negara, karena Satpol PP diidentikkan
dengan kekerasan dan represif. Fenomena tanah negara sering kali diperhadapkan
dengan komunitas warga negara yang mendiami area yang diklaim sebagai aset
pemerintah. Penggusuran oleh Satpol PP jarang tanpa disertai kekerasan dan
berakibat pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Mengapa demikian?
Pengaturan Satpol PP masih terintegrasi
dengan peraturan mengenai pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi payung hukum tertinggi bagi keberadaan Satpol PP.
Pasal 148 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan: (1) untuk
membantu kepala daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
Aturan-aturan dari pasal-pasal mengenai
Satpol PP dalam UU Pemerintah Daerah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah
Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja yang
direvisi dengan PP No. 06 tahun 2010.
Pedoman ini mencakup beberapa hal yang lebih detil mengenai fungsi dan
kewenangan Satpol PP. beberapa poin dibawah ini merupakan fungsi-fungsi dari
Satuan Polisi Pamong Praja, yakni Penyusunan program dan pelaksanaan
ketentraman dan ketertiban umum, penegakan perda dan keputusan kepala daerah
serta melaksanakan perlindungan masyarakat (LINMAS).
Pedoman ini memberikan batasan mengenai
kewenangan Satpol PP diantaranya sebagai berikut: a). Menertibkan dan menindak
warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban
umum; b). Melakukan pemeriksaan terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang
melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah; c).
melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan
hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah. Dari kewenangan tersebut, tidak
ditemukan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan tindakan
represi non yustisial. Aturan ini membuka peluang timbulnya tindakan
pelanggaran hukum lainnya dan perbuatan sewenang-wenang. Kewenangan-kewenangan
tersebut, dalam prakteknya seringkali menegasikan beberapa kewajiban yang
harusnya dijalankan Satpol PP dalam menjalankan tugas, diantaranya: a).
Menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma sosial
lainnya yang hidup dan berkembang dimasyarakat; b). Membantu menyelesaikan
perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban
umum; c). Melaporkan kepada Kepolisian Negara atas ditemukannya atau patut
diduga adanya tindak pidana; d). menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) atas ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap
Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
Saat ini, masyarakat penghuni lokasi
tanah Pemerintah yang akan didirikan Rumah Sakit Kota, hidup dalam ketakutan.
Takut dari kekerasan dan represif anggota Satpol PP lantaran warga hingga kini
masih menetap dilokasi tersebut meskipun Pemda melalui Satpol PP terus
menggalang pendekatan persuasif. Akibat dari pembangkangan dan perlawanan dari
warga ini diindikasikan akan berujung pada bentrok warga negara dan negaranya
(Pemerintah Daerah).
Publik beropini, jika fenomena ini
layaknya warga vs Satpol PP maka yang terjadi adalah pelanggaran Hak Asasi
Manusia. Guna mengantisipasinya, perlu dilakukan konsolidasi antara Pemerintah
Daerah dan aparat terkait untuk mencegah kondisi absurb dilapangan. Warga juga
perlu mewaspadai, jika kasus ini dijadikan komoditi politik pihak-pihak
tertentu guna dijadikan simpatik perjuangan karena kondisi politik Kota Kupang
menghadapi Pemilu Kada 2012. Kondisi ini akan diprovokasi demi kepentingan
politik. Selalu menjadi korban adalah masyarakat kecil (Kaum Proletar). Dengan
demikian untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran dilapangan oleh
anggota Satpol PP maka Pemerintah Daerah perlu memastikan bahwa petugas dan
anggota Satpol PP menerima pelatihan professional yang sesuai untuk
melaksanakan tanggung jawab keamanan publik.
Karena kunci keberhasilan dalam
penegakan Perda dan Keputusan Kepala Daerah dapat nampak pada: a). Adanya koordinasi,
komunikasi dan partispasi antara masyarakat dan Pemerintah Daerah; b). Adanya peningkatan
profesionalisme anggota Satuan Polisi Pamong Praja untuk menjawab tantangan
tugas dan dinamika sosial yang semakin berkembang didalam era masyarakat; c). Adanya
peraturan, hukum, dan hak asasi manusia
dengan dilandasi nilai-nilai budaya sebagai warisan leluhur bangsa dalam
pelaksanaan operasi dilapangan; d). adanya peluang membangun jiwa dan semangat
aparatur Satuan Polisi Pamong Praja yang bercorak Praja Wibawa dengan menjaga
kehormatan dan harga diri sebagai korps, untuk dapat mendukung pemerintah dalam
pembangunan.
Ungkapan Om Peu pada pembuka tulisan
ini, memetafora kepasrahan warga negara sebagai penerima kebijakan. Disatu sisi
ada keengganan warga namun karena kebijakan sering melorotkan warga negara
untuk memintah tanggung jawab pelayanan negaranya (sebut Pemerintah). Ungkapan
tersebut menandakan masih lemahnya perhatian Pemerintah Daerah terhadap
masyarakat; dan belum tersinergisnya antara kepentingan negara dan kemauan
emosional warga negara. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum
Timor Express, tanggal 19 Mei 2010).
-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang