SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 2 July 2013

SATPOL PP dan PELANGGARAN HAM



Satpol PP Rentan Pelanggaran HAM
Oleh. Ian Haba Ora

B iko bapa pung mau sa! Mo  taro dimana na taro su! Satu hari B dapa cuma  Rp 25 ribu sa. B hanya pake ko beli beras. Bapa dong liat B pung rumah sa, hanya tatempel deng gardus sa, Bapa bongkar, Bapa dong yang rugi. Ko B hidop di Bapa dong pung bawa na, Bapa dong taro dimana na B iko sa,” kata Om Peu pada Kasat Pol PP Kota Kupang saat rumah sederhananya ingin dibongkar Satpol PP Kota karena dibangun ditanah milik pemerintah, Jumat (7/5/2010).

Rumah om Peu merupakan salah satu bangunan yang dibongkar oleh Satpol PP karena letaknya dilahan seluas ± 3 Ha milik Pemerintah Kota Kupang dan dianggap sebagai bangunan liar lantaran tidak memiliki izin tertulis dari Pemkot Kupang saat didirikan. Meskipun Pemerintah bersedia memberikan kompensasi dengan insentif dan pemberian rumah rakyat, dan telah disepakati antara warga dan Pemkot, namun masyarakat masih belum ingin meninggalkan lokasi tersebut. Mencermati kondisi ini, Pemerintah menggerakkan institusi Satpol PP untuk menertibkan bangunan liar dilokasi tersebut. 

Pertanyaannya adalah sejauh mana komitmen Pemerintah Daerah (Satpol PP) untuk melakukan aksi lapangan/penertiban tanpa mengesampingkan hak-hak dasar warga negara, karena Satpol PP diidentikkan dengan kekerasan dan represif. Fenomena tanah negara sering kali diperhadapkan dengan komunitas warga negara yang mendiami area yang diklaim sebagai aset pemerintah. Penggusuran oleh Satpol PP jarang tanpa disertai kekerasan dan berakibat pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Mengapa demikian?

Pengaturan Satpol PP masih terintegrasi dengan peraturan mengenai pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi payung hukum tertinggi bagi keberadaan Satpol PP. Pasal 148 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan: (1) untuk membantu kepala daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.

Aturan-aturan dari pasal-pasal mengenai Satpol PP dalam UU Pemerintah Daerah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja yang direvisi dengan PP No. 06  tahun 2010. Pedoman ini mencakup beberapa hal yang lebih detil mengenai fungsi dan kewenangan Satpol PP. beberapa poin dibawah ini merupakan fungsi-fungsi dari Satuan Polisi Pamong Praja, yakni Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, penegakan perda dan keputusan kepala daerah serta melaksanakan perlindungan masyarakat (LINMAS).

Pedoman ini memberikan batasan mengenai kewenangan Satpol PP diantaranya sebagai berikut: a). Menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum; b). Melakukan pemeriksaan terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah; c). melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.  Dari kewenangan tersebut, tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan tindakan represi non yustisial. Aturan ini membuka peluang timbulnya tindakan pelanggaran hukum lainnya dan perbuatan sewenang-wenang. Kewenangan-kewenangan tersebut, dalam prakteknya seringkali menegasikan beberapa kewajiban yang harusnya dijalankan Satpol PP dalam menjalankan tugas, diantaranya: a). Menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang dimasyarakat; b). Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban umum; c). Melaporkan kepada Kepolisian Negara atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana; d). menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atas ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Saat ini, masyarakat penghuni lokasi tanah Pemerintah yang akan didirikan Rumah Sakit Kota, hidup dalam ketakutan. Takut dari kekerasan dan represif anggota Satpol PP lantaran warga hingga kini masih menetap dilokasi tersebut meskipun Pemda melalui Satpol PP terus menggalang pendekatan persuasif. Akibat dari pembangkangan dan perlawanan dari warga ini diindikasikan akan berujung pada bentrok warga negara dan negaranya (Pemerintah Daerah). 

Publik beropini, jika fenomena ini layaknya warga vs Satpol PP maka yang terjadi adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Guna mengantisipasinya, perlu dilakukan konsolidasi antara Pemerintah Daerah dan aparat terkait untuk mencegah kondisi absurb dilapangan. Warga juga perlu mewaspadai, jika kasus ini dijadikan komoditi politik pihak-pihak tertentu guna dijadikan simpatik perjuangan karena kondisi politik Kota Kupang menghadapi Pemilu Kada 2012. Kondisi ini akan diprovokasi demi kepentingan politik. Selalu menjadi korban adalah masyarakat kecil (Kaum Proletar). Dengan demikian untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran dilapangan oleh anggota Satpol PP maka Pemerintah Daerah perlu memastikan bahwa petugas dan anggota Satpol PP menerima pelatihan professional yang sesuai untuk melaksanakan tanggung jawab keamanan publik.

Karena kunci keberhasilan dalam penegakan Perda dan Keputusan Kepala Daerah dapat nampak pada: a). Adanya koordinasi, komunikasi dan partispasi antara masyarakat dan Pemerintah Daerah; b). Adanya peningkatan profesionalisme anggota Satuan Polisi Pamong Praja untuk menjawab tantangan tugas dan dinamika sosial yang semakin berkembang didalam era masyarakat; c). Adanya peraturan, hukum,  dan hak asasi manusia dengan dilandasi nilai-nilai budaya sebagai warisan leluhur bangsa dalam pelaksanaan operasi dilapangan; d). adanya peluang membangun jiwa dan semangat aparatur Satuan Polisi Pamong Praja yang bercorak Praja Wibawa dengan menjaga kehormatan dan harga diri sebagai korps, untuk dapat mendukung pemerintah dalam pembangunan.

Ungkapan Om Peu pada pembuka tulisan ini, memetafora kepasrahan warga negara sebagai penerima kebijakan. Disatu sisi ada keengganan warga namun karena kebijakan sering melorotkan warga negara untuk memintah tanggung jawab pelayanan negaranya (sebut Pemerintah). Ungkapan tersebut menandakan masih lemahnya perhatian Pemerintah Daerah terhadap masyarakat; dan belum tersinergisnya antara kepentingan negara dan kemauan emosional warga negara. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 19 Mei 2010).


-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang

TRANSLATE: