REFORMASI POLRI
Catatan
Memperingati HUT POLRI Ke-67
Oleh: Fellyanus
Haba Ora
Reformasi Polri
Pemberlakuan
Keppres No. 290/1964 dimasa Orde Baru untuk mengkonfigurasi eksistensi Polri
dan TNI dalam wadah ABRI menegasikan peran polisi sipil karena watak
milisteritik. Penggambungan ini telah membentuk kultur Polri yang militeristik
tertanam dalam sistim pendidikan dan manajemen Polri dan menjustifikasi
kerentanan terlibat dalam pelanggaran hukum dan HAM (Haba Ora, 2010).
Tumbangnya Orde Baru dengan semangat reformasi menjadi embrio/metamorfosis
redefinisi Polri. Diketuk palu ketetapan MPR No. VI Tahun 2000 Tentang
Pemisahan TNI dan Polri, dan Tap MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan
Polri menjadi semangat reformasi dalam merubah paradigma militeristik menjadi
sipil yang senantiasa menjaga, mengayomi, melayani, dan memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Kenneth
Blanchard mengatakan “the key to
successful leadership or organization today is influence, not authority”.
Kemudian Carles Darwin mengatakan “bukan
yang terkuat yang mampu berumur panjang, melainkan yang paling adaptif”.
Kedua pernyataan ini rasanya tepat untuk menggambarkan tentang keberanian Polri
untuk memisahkan diri dari ABRI, merupakan suatu keputusan strategis serta
adaptif ditengah derasnya tuntutan masyarakat akan reformasi disegala bidang kehidupan
termasuk reformasi disetiap instansi pemerintahan (Rudi Hartono, 2010). Dengan
demikian, esensi dari reformasi Polri adalah mengikuti trend publik untuk
menjadi polri yang profesional dan akuntabel. Bambang Widodo Umar (2009)
menguraikan pergeseran perspentif di dalam tubuh polisi dapat terjadi,
setidaknya, disebabkan oleh transformasi politik otorianisme ke prinsip
demokrasi sehingga memaksa institusi kepolisian untuk ikut berubah dengan
mengadopsi nilai-nilai demokrasi. Selain itu, terjadi perubahan dan
perkembangan lingkungan strategis sehingga polisi dituntut untuk mengubah cara
pandang, organisasi, teknis operasional dan lain-lain sejalan dengan perubahan
yang terjadi. Perubahan ini meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas.
Profesionalisme
polisi yang dimaksud mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam
tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi
layanan terbaik; otonom; memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya; memiliki
organisasi profesi melalui asosiasi; memiliki kode etik dan kebanggaan profesi;
profesi kepolisian sebagai pengabdian; bertanggungjawab atas monopoli keahlian;
dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan
tujuan bagi kelangsungan hidup organisasinya. Sedangkan akuntabilitas ditandai
oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga
elemen akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian, yaitu: (1) Answeribility, mengacu kepada kewajiban polisi
memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; (2) Enforcement, mengacu kepada kemampuan
polisi menerapkan sanksi kepada pemegang kebijakan apabila mereka mangkir dari
tugas negara/publik; dan (3) Punishibility,
mengacu kepada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti
melanggar code of conduct atau tindak
pidana.
Analis
tersebut di atas sesuai dengan komitmen moral anggota Polri untuk melaksanakan
tugas pokok fungsi dan peranan dengan penuh dedikasi dan tanggungjawab.
Aplikasinya di
NTT
Polda
Nusa Tenggara Timur dalam pelaksanaan tugas, seiring dengan tuntutan reformasi
dan harapan masyarakat cenderung masih pasif dalam mengimplementasi penegakan
hukum jika berkaitan dengan anggota Polri itu sendiri. Kesalahan oknum masih
menjadi trend pengakuan untuk
menghindar dari kesalahan institusi dan “akan
ditindak sesuai kode etik kepolisian” sering menjadi alasan sistemik ‘espirit de corps’.
Beberapa
kasus indikasi keterlibatan anggota Polri hingga kini titik penyelesaiannya
masih sebatas retorika dan metafora. Terbunuhnya Paulus Usnaat dalam sel
Mapolsek Nunpene 2008, tewasnya Jerry Lay dan Christofel Taebenu (12 Oktober
2009) yang diduga akibat brutalitas anggota Samapta Polda NTT, indikasi
keterlibatan Kanit Buser Polres Belu Soleman Kapitan dalam beckingan Judi yang
digerebek Brimobda Kompi A Atambua 6 Februari 2010, indikasi keterlibatan
Adibert Adoe sebagai pelaku illegal
mining dan hampir menembak Lurah Naioni Mel Penun karena menahan truk yang
memuat mangan di Naioni; pemukulan terhadap mahasiswa FKIP Unimor yang
dilakukan Briptu Lette cs, dugaan penyiksaan penduduk Mapipa Kabupaten Sabu
Raijua karena salah tangkap (2012);, dan masih banyak lagi kasus tentang
keterlibatan oknum anggota Polisi. Data Task Force Team NTT dari investigasi
media, angka brutalitas Polri menempatkan rangking tertinggi dengan 98 kasus.
Dari 98 kasus tersebut, 10 diantaranya telah terselesaikan dengan kekuatan
hukum tetap dan 88 masih dalam proses penyelidikan. Disusul dengan 15 kasus
keterlibatan anggota Polri dalam ilegal mining, satu diantaranya melibatkan
Primkopol dalam pengangkutan mangan yang terindikasi ilegal di So’e Kabupaten
TTS. Kemudian, 10 kasus keterlibatan anggota Polri dalam KDRT, Indisipilin
Polri, Inkar Nikah, kekerasan seksual, makelar kasus, judi, dan lain-lain.
Torehan kasus-kasus tersebut, jika tidak menjadi perhatian serius maka tidak
dapat dipungkiri bahwa institusi Polri menjadi institusi yang mengesampingkan
agenda reformasi Polri yang berbuntut pada pelanggaran hak asasi manusia (Haba
Ora, 2010).
Reformasi
yang setengah hati dari Polri mengakibatkan aktor keamanan masih melakukan
praktik-prakti indisipliner dan inkonsistensi hukum, seperti pungli saat
pengurusan SIM dan STNK (tilang), salah tangkap, memeras, memperkosa tahanan,
distorsi pembunuhan, praktik KKN, beckingan dan bisnis institusi, dan
lain-lain. Jika diantara praktik penyalagunaan kewenangan tersebut terungkap
publik, maka tidak akan mengherankan jika penyelesaian kasus panggang jauh dari api/tidak ada
penyelesaian. Ada penyelesaian hukum
sebatas penerapan sanksi, atau dipindah tugaskan. tabiat melindungi corps masih
kuat.
Aspek Pengawasan
Reformasi
hukum tanpa aspek pengawasan akan sia-sia. Polri diusia ke-67 secara institusi
sudah dewasa dalam mendinamikai kompleksitas penegakan hukum dan pengayom
masyarakat.
Polri
perlu berbenah diri dalam merefleksikan konsideran reformasi baik instrumen,
struktur, maupun culture menuju polisi profesional dan akuntabel. Salah satu
indikator adalah menjadikan polri sebagai bagian dari pelayanan publik. Dengan
demikian esensi dari sebuah pelayanan publik adalah partisipasi dalam penegakan
hukum dan HAM. Tanggung jawab keamanan merupakan tanggungjawab bersama sebagai
sebuah Negara yang demokratis sehingga harapan akan polisi yang betul-betul
sipil dapat terwujud. Polisi sipil menghormati hak-hak sipil, masyarakat
demokratis membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal
nilai-nilai sipil.
Nilai-nilai
ini telah dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif
negara (the guardian of civilian values).
Polisi sipil mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Dengan demikian pada polisi
sipil melekat sikap-sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak melakukan
kekerasan dan mengedepankan persuasif menjadi ciri utamanya. Pengertian sipil
secara diametral jauh dari karakteristik militer, sejalan dengan defenisi yang
diangkat dalam perjanjian hukum international yang meletakkan kedudukan polisi
sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang (non-combatant), sementara tentara didesain untuk berperang (combatant). Selamat Hari Ulang Tahun ke-67
Polri. (Tulisan
ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Victory News, tanggal 2 Juli 2013).
-------------------------------
Penulis:
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT