SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 2 July 2013

REFORMASI POLRI



REFORMASI POLRI
Catatan Memperingati HUT POLRI Ke-67
Oleh: Fellyanus Haba Ora

Reformasi Polri
Pemberlakuan Keppres No. 290/1964 dimasa Orde Baru untuk mengkonfigurasi eksistensi Polri dan TNI dalam wadah ABRI menegasikan peran polisi sipil karena watak milisteritik. Penggambungan ini telah membentuk kultur Polri yang militeristik tertanam dalam sistim pendidikan dan manajemen Polri dan menjustifikasi kerentanan terlibat dalam pelanggaran hukum dan HAM (Haba Ora, 2010). Tumbangnya Orde Baru dengan semangat reformasi menjadi embrio/metamorfosis redefinisi Polri. Diketuk palu ketetapan MPR No. VI Tahun 2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Tap MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri menjadi semangat reformasi dalam merubah paradigma militeristik menjadi sipil yang senantiasa menjaga, mengayomi, melayani, dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

Kenneth Blanchard mengatakan “the key to successful leadership or organization today is influence, not authority”. Kemudian Carles Darwin mengatakan “bukan yang terkuat yang mampu berumur panjang, melainkan yang paling adaptif”. Kedua pernyataan ini rasanya tepat untuk menggambarkan tentang keberanian Polri untuk memisahkan diri dari ABRI, merupakan suatu keputusan strategis serta adaptif ditengah derasnya tuntutan masyarakat akan reformasi disegala bidang kehidupan termasuk reformasi disetiap instansi pemerintahan (Rudi Hartono, 2010). Dengan demikian, esensi dari reformasi Polri adalah mengikuti trend publik untuk menjadi polri yang profesional dan akuntabel. Bambang Widodo Umar (2009) menguraikan pergeseran perspentif di dalam tubuh polisi dapat terjadi, setidaknya, disebabkan oleh transformasi politik otorianisme ke prinsip demokrasi sehingga memaksa institusi kepolisian untuk ikut berubah dengan mengadopsi nilai-nilai demokrasi. Selain itu, terjadi perubahan dan perkembangan lingkungan strategis sehingga polisi dituntut untuk mengubah cara pandang, organisasi, teknis operasional dan lain-lain sejalan dengan perubahan yang terjadi. Perubahan ini meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas.

Profesionalisme polisi yang dimaksud mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi layanan terbaik; otonom; memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya; memiliki organisasi profesi melalui asosiasi; memiliki kode etik dan kebanggaan profesi; profesi kepolisian sebagai pengabdian; bertanggungjawab atas monopoli keahlian; dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup organisasinya. Sedangkan akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian, yaitu: (1) Answeribility, mengacu kepada kewajiban polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; (2) Enforcement, mengacu kepada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada pemegang kebijakan apabila mereka mangkir dari tugas negara/publik; dan (3) Punishibility, mengacu kepada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana.

Analis tersebut di atas sesuai dengan komitmen moral anggota Polri untuk melaksanakan tugas pokok fungsi dan peranan dengan penuh dedikasi dan tanggungjawab.


Aplikasinya di NTT
Polda Nusa Tenggara Timur dalam pelaksanaan tugas, seiring dengan tuntutan reformasi dan harapan masyarakat cenderung masih pasif dalam mengimplementasi penegakan hukum jika berkaitan dengan anggota Polri itu sendiri. Kesalahan oknum masih menjadi trend pengakuan untuk menghindar dari kesalahan institusi dan “akan ditindak sesuai kode etik kepolisian” sering menjadi alasan sistemik ‘espirit de corps’.

Beberapa kasus indikasi keterlibatan anggota Polri hingga kini titik penyelesaiannya masih sebatas retorika dan metafora. Terbunuhnya Paulus Usnaat dalam sel Mapolsek Nunpene 2008, tewasnya Jerry Lay dan Christofel Taebenu (12 Oktober 2009) yang diduga akibat brutalitas anggota Samapta Polda NTT, indikasi keterlibatan Kanit Buser Polres Belu Soleman Kapitan dalam beckingan Judi yang digerebek Brimobda Kompi A Atambua 6 Februari 2010, indikasi keterlibatan Adibert Adoe sebagai pelaku illegal mining dan hampir menembak Lurah Naioni Mel Penun karena menahan truk yang memuat mangan di Naioni; pemukulan terhadap mahasiswa FKIP Unimor yang dilakukan Briptu Lette cs, dugaan penyiksaan penduduk Mapipa Kabupaten Sabu Raijua karena salah tangkap (2012);, dan masih banyak lagi kasus tentang keterlibatan oknum anggota Polisi. Data Task Force Team NTT dari investigasi media, angka brutalitas Polri menempatkan rangking tertinggi dengan 98 kasus. Dari 98 kasus tersebut, 10 diantaranya telah terselesaikan dengan kekuatan hukum tetap dan 88 masih dalam proses penyelidikan. Disusul dengan 15 kasus keterlibatan anggota Polri dalam ilegal mining, satu diantaranya melibatkan Primkopol dalam pengangkutan mangan yang terindikasi ilegal di So’e Kabupaten TTS. Kemudian, 10 kasus keterlibatan anggota Polri dalam KDRT, Indisipilin Polri, Inkar Nikah, kekerasan seksual, makelar kasus, judi, dan lain-lain. Torehan kasus-kasus tersebut, jika tidak menjadi perhatian serius maka tidak dapat dipungkiri bahwa institusi Polri menjadi institusi yang mengesampingkan agenda reformasi Polri yang berbuntut pada pelanggaran hak asasi manusia (Haba Ora, 2010).

Reformasi yang setengah hati dari Polri mengakibatkan aktor keamanan masih melakukan praktik-prakti indisipliner dan inkonsistensi hukum, seperti pungli saat pengurusan SIM dan STNK (tilang), salah tangkap, memeras, memperkosa tahanan, distorsi pembunuhan, praktik KKN, beckingan dan bisnis institusi, dan lain-lain. Jika diantara praktik penyalagunaan kewenangan tersebut terungkap publik, maka tidak akan mengherankan jika penyelesaian kasus panggang jauh dari api/tidak ada penyelesaian. Ada penyelesaian hukum sebatas penerapan sanksi, atau dipindah tugaskan. tabiat melindungi corps masih kuat.

Aspek Pengawasan
Reformasi hukum tanpa aspek pengawasan akan sia-sia. Polri diusia ke-67 secara institusi sudah dewasa dalam mendinamikai kompleksitas penegakan hukum dan pengayom masyarakat.

Polri perlu berbenah diri dalam merefleksikan konsideran reformasi baik instrumen, struktur, maupun culture menuju polisi profesional dan akuntabel. Salah satu indikator adalah menjadikan polri sebagai bagian dari pelayanan publik. Dengan demikian esensi dari sebuah pelayanan publik adalah partisipasi dalam penegakan hukum dan HAM. Tanggung jawab keamanan merupakan tanggungjawab bersama sebagai sebuah Negara yang demokratis sehingga harapan akan polisi yang betul-betul sipil dapat terwujud. Polisi sipil menghormati hak-hak sipil, masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil.


Nilai-nilai ini telah dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif negara (the guardian of civilian values). Polisi sipil mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Dengan demikian pada polisi sipil melekat sikap-sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak melakukan kekerasan dan mengedepankan persuasif menjadi ciri utamanya. Pengertian sipil secara diametral jauh dari karakteristik militer, sejalan dengan defenisi yang diangkat dalam perjanjian hukum international yang meletakkan kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang (non-combatant), sementara tentara didesain untuk berperang (combatant). Selamat Hari Ulang Tahun ke-67 Polri. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Victory News, tanggal 2 Juli 2013).


-------------------------------
Penulis: Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT



TRANSLATE: