SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 2 July 2013

DOSA SATPOL PP


DOSA-DOSA SATPOL PP
(Catatan: Memperingati HUT POLPP Ke-61)
Oleh. Ian Haba Ora

Kekerasan dan Koersif
Sejak dikukuhkan berdirinya institusi Satuan Polisi Pamong Praja tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. UR32/2/21/Tahun 1950, telah memainkan peran penting dalam tugas dan tanggung jawab sebagai bagian dari aparatur negara hingga kini. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Pasal 4 dijelaskan bahwa tugas penegakkan Peraturan daerah/Peraturan Kepala Daerah; penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat serta fungsi Linmas (perlindungan masyarakat) menjadi tanggung jawab Satuan Polisi Pamong Praja. Oleh karena kewenangan tugas yang “persis sama” dengan tugas kepolisian menjadikan institusi ini sebagai lembaga superbody birokrasi otonom daerah.

Tak disangkal lagi, lembaga ini akan menciptakan konsekuensi pelanggaran dan kekerasan oknum dari institusi ini. Bahkan Suhandi Taman Timur dalam release opini di Internet menulis “Tidak ada kata lain yang lebih tepat untuk mengekspresikan adegan tersebut selain kata biadab! Barbar! Sungguh menyakitkan ketika acap kali kita dipertontonkan dengan tindakan brutal dari institusi Satpol PP.

Penggusuran atau penertiban yang sering dilakoni oleh aparat, secara umum baik bernama Satpol PP, Tibum, Tramtib atau Polisi dengan menggunakan kekerasan (Koersif dan Represif) sudah terlalu sering terjadi di negeri ini. Pola penggunaan Pola penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh Pemprov, Pemkab atau Pemkot dengan memanfaatkan aparat Satpol PP ini seolah-olah sudah menjadi SOP atau standard operating procedures yang menjadi pemberitaan rutin di media. Kejadian demi kejadian terjadi dari Sabang hingga Merauke. Pedagang kaki-lima (PKL) di hampir seluruh pelosok negeri seperti di Wamena, Jayapura, Tual, Ambon, Menado sampai ke kota-kota kecil di Sumatera Utara menjadi sasaran empuk bagi Satpol PP ini tak terkecuali juga di NTT. Mereka diobrak-abrik tanpa ampun, tanpa rasa keadilan dan tanpa rasa perikemanusiaan. Kalau kita mau jujur, keberadaan PKL di kawasan yang katanya melanggar peraturan itu adalah akibat kegagalan Pemda untuk menyediakan lahan yang layak-jualan bagi mereka. Sungguh ironis, kegagalan atau ketidak-becusan Pemda ini justru diputar-balikkan menjadi kesalahan para PKL yang terdiri dari kalangan rakyat kecil ini dengan alasan berjualan di kawasan terlarang. Pemda seolah menutup mata bahwa mereka berjualan disana karena terpaksa, karena mereka harus hidup dan harus menghidupi keluarganya dengan cara berjualan di lahan yang layak-jualan. Buat apa mereka repot-repot memilih Kepala Daerah pada waktu Pilkada? Mereka mengharapkan agar Kepala Daerah yang dipilih itu nantinya bisa mensejahterakan hidup mereka, bukan kebalikannya malah menyengsarakan mereka.

Perda-Perda Subversif
Kekerasan, dapat juga ditelusuri dari adanya amanah perda-perda suversif dan peratutan kepala daerah yang mendiskriminasi, sehingga penegakan tersebut akhirnya membuah pelanggaran HAM secara realitas. Banyak kepala daerah lebih menggunakan konteks negara sebagai negara kekuasaan (macht staat) bukan negara hukum (recht staat). Hukum hanya dijadikan sebagai topeng dalam kekuasaan. Mengapa ini terjadi? Saya kira ini adalah tindak dan perilaku pejabat Kepala Daerah yang durhaka terhadap amanah. Mereka lupa pada teori Perjanjian Masarakat yang sudah sejak dulu dirumuskan oleh Jean Jacques Rousseau, bahwa rakyat menitipkan mandat kepada pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerinta daerah, untuk menjalankan kekuasaan demi kepentingan dan demi kesejahteraan rakyat. Dan jangan lupa bahwa sewaktu-waktu rakyat berhak mengambil kembali mandat tersebut bila para pejabat ini durhaka terhadap rakyat. Salah satu contoh sikap pejabat Pemda yang tidak amanah adalah seorang pejabat Pemkot Tangerang yang mengatakan dengan sombong di depan kamera televisi bahwa keputusan untuk melakukan penggusuran kawasan yang kini dihuni oleh saudara-saudara kita masarakat Cina Benteng di Tangerang adalah sudah final. Oleh karena itu, katanya lagi, tidak ada penampungan, tidak ada penggantian, pokoknya mereka harus pindah! Pejabat ini lupa bahwa kalau Pemkot tidak gagal dalam misinya untuk menyediakan tanah hunian yang lebih layak kepada rakyatnya, siapa sih, yang mau tinggal di daerah bantaran kali?

Pola penggunaan kekuatan Satpol PP atau Tramtib atau aparat yang lain secara fisik, sekarang sudah menjadi “mode” di kalangan Pemprov, Pemkab dan Pemkot di seluruh penjuru Nusantara. Pola ini adalah pola jalan-pintas yang dilakukan oleh Pemda untuk menyelesaikan masalah secara cepat, dengan pra-anggapan bahwa rakyat akan takut bila diintimidasi dan akan menurut nantinya. Satpol PP secara sengaja dan secara sistematis telah digunakan sebagai alat untuk menekan rakyat. Hukum telah dipelintir sedemikian rupa sehingga jajaran eksekutif berhak memvonis rakyat sebagai pihak yang melanggar hukum.

Prinsip negara hukum yang dianut oleh Konstitusi kita telah diinjak-injak. Undang-Undang Dasar 1945, Bab I Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 ayat 3, jelas-jelas mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Tak ada dasar yang bisa membenarkan Pemprov, Pemkab, Pemkot atau bahkan Pemerintah Pusat sekalipun untuk memaksakan kehendaknya dengan menggunakan kekuasaan, apalagi kekerasan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak regulasi-regulasi (Peraturan Daerah) dan keputusan-keputusan Kepala Daerah sering kali menciderai demokratisasi dan desentralisasi kehidupan warga sebagai daerah otonom. Banyak regulasi dan kebijakan memiskinkan rakyat, pinjam kata Moniche Saubaki “Negara sebagai pelaku pemiskinan rakyat melalui regulasi dan abuse of power aktornya”. Dalih menjalankan perintah Perda dan Keputusan Kepala Daerah, sering kali anggota Satpol PP menggunakan kekerasan. Setiap peraturan baik secara Perda (Legislatif) dan Keputusan Kepala Daerah (Eksekutif) selalu menempatkan Satpol PP sebagai tameng dan motor penggerak pengawasan dan pelaksanaannya oleh warga daerah otonom.

Peraturan Daerah yang dihasilkan oleh DPRD sering kali mengebiri hak-hak rakyat, begitupun Keputusan Kepala Daerah sering melalaikan eksistensi hak-hak komunal maupun hak-hak dasar dari warga negara. Meskipun dalam penegakkannya bertentangan dengan nurani, namun karena konsekuensi sebagai institusi Satpol PP maka kekerasan dan represif sering menjadi solusi terakhir. Meskipun upaya pendekatan persuasif (persuasive approach) sering dilakukan oleh Satpol PP namun tidak serta merta dipahami warga negara sebagai alternatif. Dengan adanya teori HAM dan UU HAM, warga negara sering salah menginterpretasi menjadi brutalitas warga negara.

Namun eksistensi Satpol PP akan baik dimata masyarakat jika perda dan Keputusan Kepala Daerah menjadi yang berorientasi kebutuhan masyarakat (need oriented). Untuk itu partai politik perlu membekali kadernya yang duduk di lembaga legislatif untuk selalu mengedepankan kebijakan yang propoor dan menghargai nilai-nilai hak asasi manusia. Hal yang sama juga berlaku bagi Kepala Daerah dalam merubah mindset/mindstreeming menjadi keputusan yang menghargai warga negara sebagai penerima layanan dan kebijakan. Sehingga apapun yang dihasilkan dari peraturan daerah ditingkat DPRD dan Keputusan Kepala Daerah ditingkat eksekutif tidaklah mengebiri hak-hak rakyat. Karena kadangkala negaralah pelaku sumber ancaman bagi warganya.

Dengan demikian, Pertanyaan, apakah masalah itu muncul karena problem regulasi/kebijakan? Atau muncul karena tindakan individual anggota yang sewenang-wenang? Jawabannya tak terpisahkan dari kemauan politik wakil rakyat di DPRD dan Kebijakan Strategis di tingkat eksekutif. Selain itu, pada dasarnya eksistensi Pol PP dituntut professional dalam penegakan Perda dan Keputusan Kepala Daerah.  Mendiskreditkan Satpol PP bukan solusi terbaik! Tetapi sejauh mana perhatian negara dan publik terhadap regulasi dan aktor-aktornya!

Perekrutan, Pendidikan, dan Pelatihan
Kekerasan, dekadensi moral dari aparat Satpol PP ini mungkin telah nampak dari sistem perekrutan. Banyak plesetan bahkan mungkin realitas, jika anggota Satpol PP direkrut dari pegawai-pegawai negeri bermasalah, latar belakang Sumber Daya Manusia dirata-ratakan, preman-preman kampung, pendidikan kurang memadai, anomali kekurangan lainnya sehingga melahirkan embrio premanisme dalam institusi birokrasi tersebut. Tak ayal juga, penyebutan tindak kekerasan yang dilakukan institusi ini sebagai preman berseragam. Pendidikan dan pelatihan kurang memadai menjadikan institusi ini lemah dalam perspektif Hak Asasi Manusia.

Drs. Dumuliahi Djami, Msi, Kasat PolPP Kota Kupang, dalam Prease Release pada Timex (24/4/2010) menuliskan bahwa bagaiama mungkin anggota Pol PP tidak brutal kalau dari perekrutan saja sudah salah? Menurut Dumul, kesalahan perekrutan adalah anggota Satpol PP direkrut tidak berdasarkan seleksi namun berdasarkan propaganda kebijakan sehingga anggota Pol PP adalah anggota yang “pada akhirnya” bukan “pada awalnya” layaknya seleksi bintara polri. Seharusnya masing-masing daerah otonom perlu menerapkan kebijakan agar institusi ini merekrut sendiri anggotanya demi profesionalisme. Tidak seperti yang terjadi selama ini! Pendidikan dan pelatihan HAM pun jarang menjadi perhatian dalam penganggaran APBD. Kota Kupang ketika diusulkan masuk dalam anggaran belanja murni 2011 ditolak dan dialihkan untuk belanja pegawai oleh sidang anggara DPRD Kota Kupang.

Kebiasaan daerah otonom dalam pendidikan dan pelatihan anggota Satpol PP banyak mendeterminasi dengan kegiatan-kegiatan militeristik, dan dilakukan pada barak-barak TNI.

Prosedur Tetap Satpol PP
Prosedur tetap diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005, yang terdiri dari: (a). Prosedur operasional ketentraman dan ketertiban umum; (b). Prosedur operasional pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa; (c). Prosedur operasional pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting; (d). Prosedur operasional pelaksanaan tempat-tempat penting; (e). Prosedur pelaksanaan operasional patroli; (f). Prosedur operasional penyelesaian kasus pelanggaran ketentraman, ketertiban umum dan Peraturan Daerah.
Dengan demikian Prosedur Tetap operasional Satpol PP mempunyai cakupan kewenangan yang sangat luas, tidak semata menjalankan operasional ketentraman dan ketertiban umum. Di pihak lain, kewenagan yang luas ini bahkan bersinggungan dengan kewenangan-kewenangan institusi lainnya seperti kepolisian, DLLAJ, Dinas Pertamanan, dinas-dinas dan lembaga lainnya. Gubernur dan Walikota selanjutnya menjadi pejabat yang berwenang untuk menetapkan petunjuk teknis operasional ditingkat provinsi dan kotamadya. Atas dasar Protap inilah sering terciderai privacy dan hak-hak warga negara penerima layanan kebijakan publik.

Berkaitan dengan segala biaya yang terkait dengan pelaksanaan Prosedur Tetap Operasional Polisi Pamong Praja Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Persenjataan Bagi Satpol PP
Permendagri No. 26 Tahun 2010 memberikan kewenangan yang lebih besar pada anggota Satpol PP untuk menggunakan senjata api. Ada macam pendapat, Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengatakan  Satpol PP dinilai masih belum matang secara psikologis kalau Satpol PP sampai dipersenjatai dengan senjata api. Secara psikologis, Satpol PP belum matang sehingga itu membahayakan. Anggota Komisi II DPR dari F-PKS Mahfudz Siddiq juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, aparat Satpol PP yang dipersenjatai tak beda dengan aparat keamanan. "Selama ini mereka sudah dipersenjatai pentungan. Kalau dipersenjatai lebih jauh lagi, itu tak beda dengan aparat keamanan". Ia menilai penegakkan ketertiban tergantung dari pendekatan yang dilakukan. "Kalau represif, ya konflik terus. Kalau dipersenjatai, itu lebih parah lagi. Penegakannya seharusnya lebih persuasif dan edukatif". Menko Polhukam Djoko Suyanto berpendapat kepemilikan senjata api bagi Satpol PP harus diatur ketat karena TNI dan Polri pun aturannya ketat dan dalam menjalankan tugasnya Satpol PP juga tidak memiliki kewenangan melakukan tindakan kepolisian. Senjata api yang boleh digunakan antara lain senjata gas air mata, pistol/revolver/ senapan yang dapat ditembakkan dengan peluru gas atau peluru hampa, dan stick (pentungan), senjata kejut listrik berbentuk pentungan. Kepemilikan senjata api ini bisa dimiliki hingga tingkat kepala regu.

Meskipun kita mengilhami kedewasaan secara institusi Polisi Pamong Praja hingga usia yang ke 61 tahun, namun tidak serta merta mengilhami kedewasaan secara individu/personal/perseorangan dari aparat Satpol PP. Banyak kasus-kasus melibatkan anggota Satpol PP terindikasi melakukan kekerasan terhadap kaum proletar dan kaum yang termaginal oleh kebijakan-kebijakan yang mengebiri hak-hak rakyat. Tidak dapat dipungkiri, jika saat ini, ketika genderang otoritas keinstitusian Satpol PP diperbesar lantaran anggotanya dipersenjatai dengan senjata api, maka rakyat semakin resah dan takut. “Nanti malah makin belagu. Nanti mau penggusuran seperti jagoan menunjuk-nunjukkan pistol," kata pedagang minuman keliling, Roni (33) saat ditemui Detik Com di kawasan Blok M, Jaksel, Selasa (6/7/2010). Ini menjustifikasi makin rawannya tindakan aparat Satpol PP untuk bertindak kasar pada warga penerima layanan publik yang terkadang tidak propoor. Meskipun telah ada wanti-wanti dari Mendagri bahwa akan ada pengawasan yang ketat dalam penggunaan senjata api, namun tidak serta merta mengeliminasi sikap skeptis masyarakat. Masyarakat terus terpaku pada pikiran “tanpa menggunakan senjata saja sudah aktif dengan kekerasan, apalagi jika dipersanjatai,” kata Moniche Saubaki, Aktivis FPAR Kota Kupang saat dimintai komentarnya.


Sikap skeptis masyarakat ini, tidak dapat disangkali lantaran selama ini, tindakan kekerasan anggota Satpol PP dalam penertiban dan penggusuran banyak dipertontonkan demi kepentingan penegakan Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah. Mungkin kita tidak begitu saja melupakan kasus Koja berdarah 14 April 2010 yang banyak memakan korban baik dari Pol PP maupun rakyat. Atau kita sering melihat pemberitaan-pemberaitaan kekerasan di media cetak dan elektronik yang menjustifikasi arogansi sebagai solusi penegakan tugas. Mungkin saja, dari kita telah ada yang melihat secara langsung aksi brutalitas anggota Satpol PP yang terkesan tak memiliki nurani.

Harapan di HUT Pol PP Ke-61
Usia 61 tahun bukanlah usia muda secara keinstitusian. Karakter represif dan koersif seyogianya menjadi pelajaran pahit guna diubah menjadi pendekatan persuasif. Persuasive Approach/adat ketimuran mengeliminasi kekerasan dan brutalitas anggota menjadi tegas dalam tugas dan beretika sopan santun. Nilai-nilai HAM perlu ditaati dalam pelaksanaan tugas operasional. Pemerintah seharusnya juga memulai untuk memikirkan ulang penataan regulasi sehingga tidaklah tumpang tindih dalam pelasanaan tugas institusi lain, apalagi soal pelayanan publik.

Untuk itu beberapa hal yang perlu dicermati, yakni: pertama (Bagi Pemerintah Pusat) Bekerjasama dengan donor untuk melakukan reformasi kebijakan dan institusi Satpol PP, termasuk untuk mengamandemen undang-undang, membuat cetak biru dan capacity building bagi Satpol PP yang lebih menghormati dan melindungi nilai-nilai hak asasi manusia; Menelaah ulang serta mengaudit peraturan keterlibatan Satpol PP untuk memastikan kesesuaiannya dengan standard penerapan undang-undang internasional, misalnya standar PBB mengenai kode perilaku bagi aparat penegak hukum, dan prinsip dasar penggunaan kekuatan dan senjata; Menyediakan bagi aparat Satpol PP pelatihan mengenai Hak Asasi Manusia dan pengetahuan mengenai kebutuhan serta masalah yang dihadapi kaum termaginalkan (terpinggirkan). Kedua (Bagi Pemerintah Daerah) Memastikan bahwa petugas dan anggota Satpol PP menerima pelatihan professional yang sesuai untuk melaksanakan tanggung jawab keamanan publik; Menyelidiki dan menuntut secara hukum aparat Satpol PP yang bertanggung jawab melakukan kekerasan, perampasan, penghancuran harta benda pribadi secara sewenang-wenang selama operasi penertiban. Harus ada konsekuensi, termasuk penuntutan kriminal dan pemecatan apabila terbukti; Menelaah ulang pengalokasian dana untuk sektor keamanan dan ketertiban dalam anggaran belanja daerah (APBD) untuk menjadi perhatian serius lantaran beban kerja Pol PP yang banyak dan berhubungan dengan kepentingan keamanan publik. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 3 Maret 2011).


-------------------------------
Penulis: Staf Satpol PP Kota Kupang

TRANSLATE: