DOSA-DOSA SATPOL
PP
(Catatan:
Memperingati HUT POLPP Ke-61)
Oleh. Ian Haba Ora
Kekerasan dan
Koersif
Sejak
dikukuhkan berdirinya institusi Satuan Polisi Pamong Praja tanggal 3 Maret 1950
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. UR32/2/21/Tahun 1950,
telah memainkan peran penting dalam tugas dan tanggung jawab sebagai bagian
dari aparatur negara hingga kini. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010
Pasal 4 dijelaskan bahwa tugas penegakkan Peraturan daerah/Peraturan Kepala
Daerah; penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat serta fungsi
Linmas (perlindungan masyarakat) menjadi tanggung jawab Satuan Polisi Pamong
Praja. Oleh karena kewenangan tugas yang “persis sama” dengan tugas kepolisian
menjadikan institusi ini sebagai lembaga superbody birokrasi otonom daerah.
Tak
disangkal lagi, lembaga ini akan menciptakan konsekuensi pelanggaran dan
kekerasan oknum dari institusi ini. Bahkan Suhandi Taman Timur dalam release
opini di Internet menulis “Tidak ada kata lain yang lebih tepat untuk mengekspresikan adegan
tersebut selain kata biadab! Barbar! Sungguh menyakitkan ketika acap kali kita dipertontonkan dengan
tindakan brutal dari institusi Satpol PP.
Penggusuran atau
penertiban yang sering dilakoni oleh aparat, secara umum baik bernama Satpol
PP, Tibum, Tramtib atau Polisi dengan menggunakan kekerasan (Koersif dan
Represif) sudah terlalu sering terjadi di negeri ini. Pola penggunaan Pola
penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh Pemprov, Pemkab atau Pemkot dengan
memanfaatkan aparat Satpol PP ini seolah-olah sudah menjadi SOP atau standard
operating procedures yang menjadi pemberitaan rutin di media. Kejadian demi
kejadian terjadi dari Sabang hingga Merauke. Pedagang kaki-lima (PKL) di hampir
seluruh pelosok negeri seperti di Wamena, Jayapura, Tual, Ambon, Menado sampai
ke kota-kota kecil di Sumatera Utara menjadi sasaran empuk bagi Satpol PP ini
tak terkecuali juga di NTT. Mereka diobrak-abrik tanpa ampun, tanpa rasa
keadilan dan tanpa rasa perikemanusiaan. Kalau kita mau jujur, keberadaan PKL
di kawasan yang katanya melanggar peraturan itu adalah akibat kegagalan Pemda
untuk menyediakan lahan yang layak-jualan bagi mereka. Sungguh ironis,
kegagalan atau ketidak-becusan Pemda ini justru diputar-balikkan menjadi
kesalahan para PKL yang terdiri dari kalangan rakyat kecil ini dengan alasan
berjualan di kawasan terlarang. Pemda seolah menutup mata bahwa mereka
berjualan disana karena terpaksa, karena mereka harus hidup dan harus
menghidupi keluarganya dengan cara berjualan di lahan yang layak-jualan. Buat
apa mereka repot-repot memilih Kepala Daerah pada waktu Pilkada? Mereka
mengharapkan agar Kepala Daerah yang dipilih itu nantinya bisa mensejahterakan
hidup mereka, bukan kebalikannya malah menyengsarakan mereka.
Perda-Perda
Subversif
Kekerasan,
dapat juga ditelusuri dari adanya amanah perda-perda suversif dan peratutan
kepala daerah yang mendiskriminasi, sehingga penegakan tersebut akhirnya
membuah pelanggaran HAM secara realitas. Banyak kepala daerah lebih menggunakan
konteks negara sebagai negara kekuasaan (macht
staat) bukan negara hukum (recht
staat). Hukum hanya dijadikan sebagai topeng dalam kekuasaan.
Mengapa ini terjadi? Saya kira ini adalah tindak dan perilaku pejabat Kepala Daerah
yang durhaka terhadap amanah. Mereka lupa pada teori Perjanjian Masarakat yang
sudah sejak dulu dirumuskan oleh Jean Jacques Rousseau, bahwa rakyat
menitipkan mandat kepada pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerinta
daerah, untuk menjalankan kekuasaan demi kepentingan dan demi kesejahteraan
rakyat. Dan jangan lupa bahwa sewaktu-waktu rakyat berhak mengambil kembali
mandat tersebut bila para pejabat ini durhaka terhadap rakyat. Salah satu
contoh sikap pejabat Pemda yang tidak amanah adalah seorang pejabat Pemkot
Tangerang yang mengatakan dengan sombong di depan kamera televisi bahwa
keputusan untuk melakukan penggusuran kawasan yang kini dihuni oleh
saudara-saudara kita masarakat Cina Benteng di Tangerang adalah sudah final.
Oleh karena itu, katanya lagi, tidak ada penampungan, tidak ada penggantian, pokoknya
mereka harus pindah! Pejabat ini lupa bahwa kalau Pemkot tidak gagal dalam
misinya untuk menyediakan tanah hunian yang lebih layak kepada rakyatnya, siapa
sih, yang mau tinggal di daerah bantaran kali?
Pola penggunaan kekuatan
Satpol PP atau Tramtib atau aparat yang lain secara fisik, sekarang sudah
menjadi “mode” di kalangan Pemprov, Pemkab dan Pemkot di seluruh penjuru
Nusantara. Pola ini adalah pola jalan-pintas yang dilakukan oleh Pemda untuk
menyelesaikan masalah secara cepat, dengan pra-anggapan bahwa rakyat akan takut
bila diintimidasi dan akan menurut nantinya. Satpol PP secara sengaja dan
secara sistematis telah digunakan sebagai alat untuk menekan rakyat. Hukum
telah dipelintir sedemikian rupa sehingga jajaran eksekutif berhak memvonis rakyat
sebagai pihak yang melanggar hukum.
Prinsip negara hukum
yang dianut oleh Konstitusi kita telah diinjak-injak. Undang-Undang Dasar 1945,
Bab I Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 ayat 3, jelas-jelas mengatakan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Tak ada dasar yang bisa membenarkan
Pemprov, Pemkab, Pemkot atau bahkan Pemerintah Pusat sekalipun untuk memaksakan
kehendaknya dengan menggunakan kekuasaan, apalagi kekerasan.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa banyak regulasi-regulasi (Peraturan Daerah) dan keputusan-keputusan
Kepala Daerah sering kali menciderai demokratisasi dan desentralisasi kehidupan
warga sebagai daerah otonom. Banyak regulasi dan kebijakan memiskinkan rakyat, pinjam kata Moniche Saubaki “Negara sebagai
pelaku pemiskinan rakyat melalui regulasi dan abuse of power aktornya”. Dalih menjalankan perintah Perda dan
Keputusan Kepala Daerah, sering kali anggota Satpol PP menggunakan kekerasan.
Setiap peraturan baik secara Perda (Legislatif) dan Keputusan Kepala Daerah
(Eksekutif) selalu menempatkan Satpol PP sebagai tameng dan motor penggerak
pengawasan dan pelaksanaannya oleh warga daerah otonom.
Peraturan
Daerah yang dihasilkan oleh DPRD sering kali mengebiri hak-hak rakyat,
begitupun Keputusan Kepala Daerah sering melalaikan eksistensi hak-hak komunal
maupun hak-hak dasar dari warga negara. Meskipun dalam penegakkannya
bertentangan dengan nurani, namun karena konsekuensi sebagai institusi Satpol
PP maka kekerasan dan represif sering menjadi solusi terakhir. Meskipun upaya
pendekatan persuasif (persuasive approach)
sering dilakukan oleh Satpol PP namun tidak serta merta dipahami warga negara
sebagai alternatif. Dengan adanya teori HAM dan UU HAM, warga negara sering
salah menginterpretasi menjadi brutalitas warga negara.
Namun
eksistensi Satpol PP akan baik dimata masyarakat jika perda dan Keputusan
Kepala Daerah menjadi yang berorientasi kebutuhan masyarakat (need oriented). Untuk itu partai politik
perlu membekali kadernya yang duduk di lembaga legislatif untuk selalu
mengedepankan kebijakan yang propoor dan menghargai nilai-nilai hak asasi
manusia. Hal yang sama juga berlaku bagi Kepala Daerah dalam merubah
mindset/mindstreeming menjadi keputusan yang menghargai warga negara sebagai
penerima layanan dan kebijakan. Sehingga apapun yang dihasilkan dari peraturan
daerah ditingkat DPRD dan Keputusan Kepala Daerah ditingkat eksekutif tidaklah
mengebiri hak-hak rakyat. Karena kadangkala negaralah pelaku sumber ancaman
bagi warganya.
Dengan
demikian, Pertanyaan, apakah masalah itu muncul karena problem regulasi/kebijakan?
Atau muncul karena tindakan individual anggota yang sewenang-wenang? Jawabannya
tak terpisahkan dari kemauan politik wakil rakyat di DPRD dan Kebijakan
Strategis di tingkat eksekutif. Selain itu, pada dasarnya eksistensi Pol PP
dituntut professional dalam penegakan Perda dan Keputusan Kepala Daerah. Mendiskreditkan
Satpol PP bukan solusi terbaik! Tetapi sejauh mana perhatian negara dan publik
terhadap regulasi dan aktor-aktornya!
Perekrutan,
Pendidikan, dan Pelatihan
Kekerasan,
dekadensi moral dari aparat Satpol PP ini mungkin telah nampak dari sistem
perekrutan. Banyak plesetan bahkan mungkin realitas, jika anggota Satpol PP
direkrut dari pegawai-pegawai negeri bermasalah, latar belakang Sumber Daya
Manusia dirata-ratakan, preman-preman kampung, pendidikan kurang memadai,
anomali kekurangan lainnya sehingga melahirkan embrio premanisme dalam
institusi birokrasi tersebut. Tak ayal juga, penyebutan tindak kekerasan yang
dilakukan institusi ini sebagai preman berseragam. Pendidikan dan pelatihan
kurang memadai menjadikan institusi ini lemah dalam perspektif Hak Asasi
Manusia.
Drs.
Dumuliahi Djami, Msi, Kasat PolPP Kota Kupang, dalam Prease Release pada Timex
(24/4/2010) menuliskan bahwa bagaiama mungkin anggota Pol PP tidak brutal kalau
dari perekrutan saja sudah salah? Menurut Dumul, kesalahan perekrutan adalah
anggota Satpol PP direkrut tidak berdasarkan seleksi namun berdasarkan
propaganda kebijakan sehingga anggota Pol PP adalah anggota yang “pada
akhirnya” bukan “pada awalnya” layaknya seleksi bintara polri. Seharusnya
masing-masing daerah otonom perlu menerapkan kebijakan agar institusi ini
merekrut sendiri anggotanya demi profesionalisme. Tidak seperti yang terjadi
selama ini! Pendidikan dan pelatihan HAM pun jarang menjadi perhatian dalam
penganggaran APBD. Kota Kupang ketika diusulkan masuk dalam anggaran belanja
murni 2011 ditolak dan dialihkan untuk belanja pegawai oleh sidang anggara DPRD
Kota Kupang.
Kebiasaan
daerah otonom dalam pendidikan dan pelatihan anggota Satpol PP banyak mendeterminasi
dengan kegiatan-kegiatan militeristik, dan dilakukan pada barak-barak TNI.
Prosedur Tetap
Satpol PP
Prosedur
tetap diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005, yang
terdiri dari: (a). Prosedur operasional ketentraman dan ketertiban umum; (b). Prosedur
operasional pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa; (c). Prosedur
operasional pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting; (d). Prosedur
operasional pelaksanaan tempat-tempat penting; (e). Prosedur pelaksanaan
operasional patroli; (f). Prosedur operasional penyelesaian kasus pelanggaran
ketentraman, ketertiban umum dan Peraturan Daerah.
Dengan
demikian Prosedur Tetap operasional Satpol PP mempunyai cakupan kewenangan yang
sangat luas, tidak semata menjalankan operasional ketentraman dan ketertiban
umum. Di pihak lain, kewenagan yang luas ini bahkan bersinggungan dengan
kewenangan-kewenangan institusi lainnya seperti kepolisian, DLLAJ, Dinas
Pertamanan, dinas-dinas dan lembaga lainnya. Gubernur dan Walikota selanjutnya
menjadi pejabat yang berwenang untuk menetapkan petunjuk teknis operasional
ditingkat provinsi dan kotamadya. Atas dasar Protap inilah sering terciderai
privacy dan hak-hak warga negara penerima layanan kebijakan publik.
Berkaitan
dengan segala biaya yang terkait dengan pelaksanaan Prosedur Tetap Operasional
Polisi Pamong Praja Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Persenjataan
Bagi Satpol PP
Permendagri
No. 26 Tahun 2010 memberikan kewenangan yang lebih besar pada anggota Satpol PP
untuk menggunakan senjata api. Ada macam pendapat, Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengatakan Satpol PP dinilai masih belum matang secara
psikologis kalau Satpol PP sampai dipersenjatai dengan senjata api. Secara
psikologis, Satpol PP belum matang sehingga itu membahayakan. Anggota Komisi II
DPR dari F-PKS Mahfudz Siddiq juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, aparat
Satpol PP yang dipersenjatai tak beda dengan aparat keamanan. "Selama ini
mereka sudah dipersenjatai pentungan. Kalau dipersenjatai lebih jauh lagi, itu
tak beda dengan aparat keamanan". Ia menilai penegakkan ketertiban
tergantung dari pendekatan yang dilakukan. "Kalau represif, ya konflik
terus. Kalau dipersenjatai, itu lebih parah lagi. Penegakannya seharusnya lebih
persuasif dan edukatif". Menko Polhukam Djoko Suyanto berpendapat
kepemilikan senjata api bagi Satpol PP harus diatur ketat karena TNI dan Polri
pun aturannya ketat dan dalam menjalankan tugasnya Satpol PP juga tidak
memiliki kewenangan melakukan tindakan kepolisian. Senjata api yang boleh
digunakan antara lain senjata gas air mata, pistol/revolver/ senapan yang dapat
ditembakkan dengan peluru gas atau peluru hampa, dan stick (pentungan), senjata
kejut listrik berbentuk pentungan. Kepemilikan senjata api ini bisa dimiliki
hingga tingkat kepala regu.
Meskipun kita mengilhami kedewasaan
secara institusi Polisi Pamong Praja hingga usia yang ke 61 tahun, namun tidak
serta merta mengilhami kedewasaan secara individu/personal/perseorangan dari
aparat Satpol PP. Banyak kasus-kasus melibatkan anggota Satpol PP terindikasi
melakukan kekerasan terhadap kaum proletar dan kaum yang termaginal oleh
kebijakan-kebijakan yang mengebiri hak-hak rakyat. Tidak dapat dipungkiri, jika
saat ini, ketika genderang otoritas keinstitusian Satpol PP diperbesar lantaran
anggotanya dipersenjatai dengan senjata api, maka rakyat semakin resah dan
takut. “Nanti malah makin belagu. Nanti mau penggusuran seperti jagoan
menunjuk-nunjukkan pistol," kata pedagang minuman keliling, Roni (33) saat
ditemui Detik Com di kawasan Blok M, Jaksel, Selasa (6/7/2010). Ini
menjustifikasi makin rawannya tindakan aparat Satpol PP untuk bertindak kasar
pada warga penerima layanan publik yang terkadang tidak propoor. Meskipun telah ada wanti-wanti dari Mendagri bahwa akan
ada pengawasan yang ketat dalam penggunaan senjata api, namun tidak serta merta
mengeliminasi sikap skeptis masyarakat. Masyarakat terus terpaku pada pikiran
“tanpa menggunakan senjata saja sudah aktif dengan kekerasan, apalagi jika
dipersanjatai,” kata Moniche Saubaki, Aktivis FPAR Kota Kupang saat dimintai
komentarnya.
Sikap skeptis masyarakat ini, tidak
dapat disangkali lantaran selama ini, tindakan kekerasan anggota Satpol PP
dalam penertiban dan penggusuran banyak dipertontonkan demi kepentingan
penegakan Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah. Mungkin kita
tidak begitu saja melupakan kasus Koja berdarah 14 April 2010 yang banyak
memakan korban baik dari Pol PP maupun rakyat. Atau kita sering melihat pemberitaan-pemberaitaan
kekerasan di media cetak dan elektronik yang menjustifikasi arogansi sebagai
solusi penegakan tugas. Mungkin saja, dari kita telah ada yang melihat secara
langsung aksi brutalitas anggota Satpol PP yang terkesan tak memiliki nurani.
Harapan di HUT
Pol PP Ke-61
Usia
61 tahun bukanlah usia muda secara keinstitusian. Karakter represif dan koersif
seyogianya menjadi pelajaran pahit guna diubah menjadi pendekatan persuasif. Persuasive Approach/adat ketimuran
mengeliminasi kekerasan dan brutalitas anggota menjadi tegas dalam tugas dan
beretika sopan santun. Nilai-nilai HAM perlu ditaati dalam pelaksanaan tugas
operasional. Pemerintah seharusnya juga memulai untuk memikirkan ulang penataan
regulasi sehingga tidaklah tumpang tindih dalam pelasanaan tugas institusi
lain, apalagi soal pelayanan publik.
Untuk
itu beberapa hal yang perlu dicermati, yakni: pertama (Bagi Pemerintah Pusat) Bekerjasama dengan donor untuk
melakukan reformasi kebijakan dan institusi Satpol PP, termasuk untuk
mengamandemen undang-undang, membuat cetak biru dan capacity building bagi Satpol PP yang lebih menghormati dan
melindungi nilai-nilai hak asasi manusia; Menelaah ulang serta mengaudit
peraturan keterlibatan Satpol PP untuk memastikan kesesuaiannya dengan standard
penerapan undang-undang internasional, misalnya standar PBB mengenai kode
perilaku bagi aparat penegak hukum, dan prinsip dasar penggunaan kekuatan dan
senjata; Menyediakan bagi aparat Satpol PP pelatihan mengenai Hak Asasi Manusia
dan pengetahuan mengenai kebutuhan serta masalah yang dihadapi kaum
termaginalkan (terpinggirkan). Kedua
(Bagi Pemerintah Daerah) Memastikan bahwa petugas dan anggota Satpol PP
menerima pelatihan professional yang sesuai untuk melaksanakan tanggung jawab
keamanan publik; Menyelidiki dan menuntut secara hukum aparat Satpol PP yang
bertanggung jawab melakukan kekerasan, perampasan, penghancuran harta benda
pribadi secara sewenang-wenang selama operasi penertiban. Harus ada
konsekuensi, termasuk penuntutan kriminal dan pemecatan apabila terbukti; Menelaah
ulang pengalokasian dana untuk sektor keamanan dan ketertiban dalam anggaran
belanja daerah (APBD) untuk menjadi perhatian serius lantaran beban kerja Pol
PP yang banyak dan berhubungan dengan kepentingan keamanan publik. (Tulisan
ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 3
Maret 2011).
-------------------------------
Penulis:
Staf Satpol PP Kota Kupang