Pameo
“Polisi Pamong Praja Atau Polisi Kambing”
Oleh
: Ian Haba Ora
Jumat (19/11/2010), salah satu media
massa lokal di NTT, Surat Kabar Harian Timor Express, halaman Kupang Metro,
seorang wartawan-Longginus Ulan menulis “Beternak Dalam Kota, Dilema
Berkepanjangan-Tertibkan Ternak dan Pemiliknya. Gaya tulisan direct lead, menarik untuk dicermati
terkait dengan penegakan peraturan daerah. Dimaksud itu, kait erat dengan
penertiban ternak oleh pihak Satuan Polisi Pamong Praja Kota Kupang yang dikategorikan
dilepas bebas atau ”liar” lantaran pemilik ternak tidak mentaati ketentuan
legislasi/aturan yang diwajibkan sesuai dengan Perda Nomor 10 Tahun 2003.
Pelanggaran Perda yang dimaksud adalah menggangu ketentraman dan ketertiban
umum dimana ternak yang dilepas bebas tersebut, sering merusak tanaman warga
dan mengganggu pengguna jalan sering mengakibatkan kecelakaan. Padahal, sesuai
amanat Perda, ternak tersebut selayaknya harus dikandangkan!
Tak heran, jika beberapa waktu ini, aparat
dari Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Kupang yang di Komandani Drs. Dumuliahi
Djami, M.Si, gencar melakukan operasi penertiban ternak, selain menjawab
tuntutan warga kota yang merasa tidak nyaman dengan kondisi di Kota Kupang yang
warganya membiarkan ternak mereka berkeliaran secara bebas. Tak pelak, banyak
ternak-ternak yang terjaring dalam operasi ini! Misalkan, diberitakan Timor
Express, Jumat (12/11/2010), dalam rangka menegakkan Perda No 10/2003 tentang
penertiban ternak yang dilepas secara bebas, maka pihak Pol PP Kota Kupang
berhasil mengamankan kurang lebih 15 ekor ternak kambing. Pengamanan itu
dilakukan di RT 44 Kelurahan Oesapa. Pengamanan ternak kambing milik warga oleh
pihak PolPP itu atas kerjasama yang baik antara warga serta Lurah Oesapa, Ebed
Jusuf (Timex,19/10/2010). Contoh ini hanya sebagian kecil kasuistik dari
ratusan pembangkangan warga kota akan amanat Perda.
Pembangkangan!!! Penulis maksudkan
adalah tipe warga Kota yang sepenuhnya belum menyadari amanat ataupun perintah
dari sebuah peraturan. Lantaran, meskipun upaya sosialisasi dan upaya
penertiban ternak yang sering dilakukan masih saja ada warga yang belum
sepenuhnya sadar. Inipun, membuat Kasat PolPP Kota Kupang menjadi cemas bahkan
kesal dengan perilaku warga yang non kooperatif. Misalkan saat diwawancarai
wartawan terkait penertiban yang dilakukan anggotanya, Dumul mengatakan; selama
ini pihaknya terus melakukan penertiban sekaligus sosialisasi lewat Lurah serta
RT masing-masing namun warga Kota Kupang yang punya ternak belum sadar
sepenuhnya (Timex, 19/11/2010), bahkan menurut pengakuan Dumul ada pemilik yang
ternaknya terjaring berulang-ulang namun belum sepenuhnya sadar, diberi sanksi
tegaspun tak dihiraukan, sebatas pada pembuatan surat pernyataan. Kadangkala
anggota saya secara keinstitusian dipameokan warga sebagai Polisi
Kambing/Polisi babi, Polisi Sapi dan pameo buruk lainnya.
Jika kita merujuk pada Penjelasan atas
Perda No. 10 Tahun 2003 Tentang Pengaturan, Penertiban dan Ijin Pemeliharaan
Ternak di Kota Kupang pada penjelasan umum, menjelaskan, pada umumnya
masyarakat Kota Kupang menghendaki agar kota ini aman dan tertib dari gangguan
ternak yang dibiarkan hidup berkeliaran bebas di jalan maupun di perkarangan
rumah penduduk maupun usaha peternakan yang sering menimbulkan pencemaran
akibat pengolahan limbah dan dampak lainnya yang kurang ditangani secara baik.
Apa yang terjadi jika ternak tidak
dikandangkan? Selain merusak tanaman juga membahayakan pengguna jalan. Tujuan
dan kewajiban mengandangkan atau mengurung ternak selain untuk tujuan teknis
pemeliharaan ternak, juga agar tidak mengganggu ketertiban umum dan pengrusakan
lingkungan. Ini sesuai dengan isi Perda pasal 2 ayat (1)…Setiap pemilik ternak
besar (sapi, kerbau, kuda), ternak kecil (babi, kambing, domba) dan unggas
(ayam, itik, merpati, burung puyuh) serta aneka ternak dalam Kota Kupang wajib
mengandangkan ternaknya dan ayat (2) menyatakan kandang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pasal ini tidak boleh menimbulkan
bahaya dan mengganggu kebersihan, keamanan lingkungan serta kepentingan
umum. Pada Bab VI tentang Larangan, masih pada Perda yang sama, Pasal 11 ayat
(1) dan terkecuali penelitian, pemeliharaan ternak dilarang dilakukan pada
tempat-tempat yang banyak aktivitas/kegiatan masyarakat seperti: kawasan perkantoran,
kawasan pelayanan kesehatan, kawasan rumah ibadah, kawasan sekolah dan kampus, kawasan
pertokoan, kawasan pelabuhan udara, kawasan pelabuhan laut, kawasan terminal, kawasan
ruang terbuka hijau, kawasan rekreasi kota, kawasan hijau olahraga, kawasan perbatasan
hutan kota, kawasan tempat pemakaman umum, kawasan pemukiman yang padat
penduduk dan kawasan fasilitas umum lain yang dapat menimbulkan gangguan
kecelakaan. Namun, sama saja, warga Kota tak mau peduli dan bersikap apatis.
Penjelasan pasal 7 dalam Perda No. 10
Tahun 2003, dijelaskan, ijin pemeliharaan ternak diwajibkan bagi pemeliharaan
ternak dengan tujuan komersial, perdagangan dan penelitian sedangkan
pemeliharaan sebagai hobi atau kegemaran tidak memerlukan ijin. Pemerliharaan
ternak dengan tujuan komersial ditetapkan dengan jumlah minimum untuk setiap
jenis ternak adalah; ternak besar minimum 6 ekor, ternak kecil minimum 6 ekor,
ternak unggas minimum 201 ekor, aneka ternak minimum 26 ekor.
Satpol
PP dan Kewenangannya
Meskipun selama ini tidak ada satupun
undang-undang khusus yang mengatur keberadaan Satpol PP sebagaimana kepolisian
(UU No 2/2002) dan militer (UU No 34/2004) diatur secara khusus dalam satu
undang-undang terpisah. Pengaturan Satpol PP masih terintegrasi dengan
peraturan mengenai pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi payung hukum tertinggi bagi keberadaan Satpol PP.
Pasal 148 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan: (1) untuk
membantu kepala daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. (2)
pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Aturan-aturan dari pasal-pasal mengenai
Satpol PP dalam UU Pemerintah Daerah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah
Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja yang
direvisi dengan PP No. 06 tahun 2010. Pedoman
ini mencakup beberapa hal yang lebih detil mengenai fungsi dan kewenangan
Satpol PP. beberapa poin dibawah ini merupakan fungsi-fungsi dari Satuan Polisi
Pamong Praja, yakni Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan
ketertiban umum, penegakan perda dan keputusan kepala daerah serta melaksanakan
perlindungan masyarakat (LINMAS). Peraturan Pemerintah ini merupakan pedoman
utama Satpol PP dan selanjutnya dijabarkan secara teknis dan mendetil dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang Prosedur Tetap
Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Pol PP dan kewenangan inilah yang
mendasari Pol PP menjadi institusi super body dalam penegakan Peraturan Daerah
(Perda) dan Keputusan Kepala Daerah serta mengawasi pelaksanaannya pada warga
daerah otonom.
Kewenangan secara legislasi inilah yang
mendasari aktifnya Satpol PP dalam penegakan peraturan daerah dan
menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman masyarakat serta perlindungan
masyarakat. Dengan demikian, apapun alasannnya, jika bertentangan dengan apa
yang menjadi perintah Perda maka pelanggarnya akan ditindak atau ditertibkan
secara non justisial. Hal yang sama berlaku pada pelanggaran Perda No 10 tahun
2003 tentang ternak.
Aktualisasi
Perda No 10/2003 dan dinamikanya
Perda 10/2003, jika ditilik dan
dicermati, secara holistik ataupun parsial, nyata secara jelas, baik secara
sosiologis maupun filosofis dan mengakomodir walaupun tidak keseluruhan isi
amanah dan aspirasi, cukup menjawab tuntutan penyelengaraan ketertiban dan
ketentraman masyarakat. Namun, aktualisasi dan implementasi, belum sepenuhnya
dimanifestasi dalam tindak tanduk (tunduk) secara sadar oleh masyarakat atau
lebih umum dikenal dengan nama warga. Entah dikarenakan apa, masih menjadi
serangkaian fenomena apik yang belum terselesaikan lantaran egoisme. Kasat PolPP
Kota Kupang, Dumul Djami, mengungkapkan; selama ini pihaknya terus melakukan sosialisasi dan penertiban ternak,
baik itu berkoordinasi dengan Lurah, RT/RW maupun Toga dan Toda, namun
masyarakat belum juga sepenuhnya sadar. Tindakan tegas non justisialpun
diambil, namun masih saja warga menganggapnya sebagai peringatan bersifat
apatis. “palingan, disuruh buat surat pernyataan dan disuruh membawa pulang
ternak yang diamankan satpol pp. tidak ada sanksi yang lebih berat dari itu.”
Begitulah pameo pembangkang yang selama ini mungkin tersirat dalam benak mereka
(para pembangkang).
Asumsi lain, seringkali, para pemilik
yang ternaknya terjaring dalam operasi yang digelar oleh Satpol PP, berdalih
tidak memahami dan mengetahui isi yang tertera dalam Perda tentang ternak.
Parahnya lagi, sebahagian pemilik ternak mengakui tidak adanya sosialisasi dan
pemberitahuan yang sering dilontarkan pemerintah, baik via media massa,
Kelurahan, RT/RW, Dinas terkait dan media alternatif lainnya (anonymous,2010).
Jika betul ini adanya, dipastikan belum terjalin sinergitas antara warga dan
pemerintahnya. Akhirnya, masing-masing terkutat pada egosentris. Masyarakat
apatis dan tak peduli, pemerintahpun melakoni apa yang menjadi protabnya.
Pastinya, fenomena ini jika
didiversifikasi maka kita akan terjebak pada masalah tak terselesaikan. Tapi,
core dari penegakan Perda ini adalah dalam penyelenggaraan ketertiban dan
ketentraman masyarakat. Jika ternak dipelihara secara “liar”, secara legal dapat
merusak tanaman-tanaman warga ataupun mengganggu keindahan kota dalam kawasan
yang dilarang pemeliharaannya sesuai amanah Perda. Lebih fatal lagi,
diternakkan dengan cara dilepas ini, dapat membahayakan para pengguna jalan.
Bahkan ada yang menjadi korban dan tewas diakibatkan menabrak ternak kambing
dijalan seputaran Timor Raya KM 7 Oesapa (media lokal, 2007). Jika ini tidak
diseriusi oleh pemerintah maka akan menjadi boomerang bagi pengguna jalan raya.
Cermatan lain, saat ini Pemerintah Kota Kupang lagi menggalang dan
mengkampanyekan Program Kupang Green and Clean (KGC) dalam upaya pelestarian
lingkungan hidup yang lagi trend secara universal/global akibat pemanasan
global. Tak pelak, kampanye inipun kini sudah bertaraf internasional. Program
kerjasama antara Pemkot Kupang dan Media massa Timex ini, bertujuan menjadikan
Kota Kupang yang hijau dan bersih. Jangan lagi akibat kurang sadarnya warga
kota ini, berakibat pada pengrusakan lingkungan yang pada awalnya bertujuan
baik. Karena apa? Dikarenakan tanaman-tanaman yang ditujukan untuk menghijaukan
kota akhirnya dimakan habis oleh ternak ataupun mengganggu pemandangan dan
keindahan kota kasih ini.
Kita juga tidak dapat menyalahkan secara
sepihak antara pemilik ternak ataukah pemerintah. Terpenting, saat ini yang
terus digalakan adalah terpenuhinya masyarakat yang sadar dan pemerintahan yang
dinamis dan fleksibel sehingga terciptanya sinergitas, kooperatif antara
pemerintah dan warganya, kondusif guna terciptanya ketertiban dan ketentraman
lingkungan dan masyarakat. Pemerintah Kota terus mensosialisasikan perda ini,
baik melalui media massa, organisasi karang taruna, Kelurahan, RT/RW, Media
keagamaan (gereja dan Mesjid), tokoh pemuda ataupun sarana kampanye lainnya
sehingga seyogianya dapat terus memupuk kesadaran warganya.
Namun, jikalau seoptimal mungkin telah
baik dilakukan, masih ada saja pembangkangan dari pemilik ternak, sudah saatnya
untuk diambil tindakan tegas. Misalkan “tembak ditempat ternak yang dianggap
liar atau yang dilepas secara bebas yang dapat mengganggu keindahan dan
ketentraman kota”. Ini dilakukan dengan lebih mengintensifkan sosialisasi Perda
10/2003 selama rentan waktu ditentukan, setelah itu diperintahkan tembak
ditempat ternak tersebut, setelah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang
terkait misalkan Polisi, Camat, Lurah dan Stakeholder lainnya. Sehingga dapat
memberikan efek jera pada warga meskipun nantinya ada sedikit ketidaksinergitas
atau penolakan di masyarakat.
Media massa memiliki peran penting dalam
mengkampanyekan perda ini, dan pemerintah harus menseriusi ini. Ini dimaksudkan
agar informasi ini dapat tersampaikan secara pasti ke masyarakat. Konkrit lain,
terobosan-terobosan yang dilakukan Kasat Pol PP Kota Kupang membuka layanan
kring pengaduan masyarakat di Kotak saran yang terpampang didepan Kantor Satpol
PP Kota Kupang dan nomor publik 081236892112. Surat Kabar Harian Timex, cukup
membantu dengan menyediakan kolom ruang publik dipemberitaannya yang memberikan
kesempatan pada masyarakat untuk melaporkan, menginformasikan ataupun meminta
pertanggungjawaban pihak-pihak yang berompeten sebagai media penyambung
aspirasi dinomor HP 085238601751. Sebagai contoh SMS dari warga pada ruang publik, masih banyak
hewan piaraan yang dibiarkan berkeliaran dimana-mana. Oleh karena itu banyak
warga kota kupang melalui short message service nomor handphone rubric ruang
publik Timor Express mengharapkan agar bukan hanya kambing atau babi milik
warga yang ditahan namun pemilik hewan perlu diberi tindakan yang sepatutnya
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kalau tidak demikian maka menurut warga
dalam SMS-nya tidak aka nada efek jera. “PolPP harus bertindak tegas untuk
menertibkan hewan yang keliaran. Selain itu juga kepada para pemilik perlu
ditindak,” demikian harapan warga Kota Kupang lewat pesan singkat mereka
melalui nomor pelayanan ruang publik Harian Pagi Timor Express. Memang benar
harus begitu, tulis Longginus Ulan, Wartawan TIMEX (19/11/2010).
Seburuk-buruknya pameo warga
“pembangkang” akan kinerja Satpol PP disubtitusikan sebagai polisi
kambing/Polisi babi dan anggapan lainnya, dalam penegakkan perda, yang pasti
seyogianya Satpol PP menjadi cerminan penyelenggaran ketertiban dan ketentram
masyarakat meskipun masih banyak orang yang selalu sinis dengan pekerjaan
Satpol PP yang mulia ini. (Tulisan ini pernah
dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 23 Nopember 2010).
-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang