SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 2 July 2013

POLISI PAMONG PRAJA



Pameo “Polisi Pamong Praja Atau Polisi Kambing”
Oleh : Ian Haba Ora

Jumat (19/11/2010), salah satu media massa lokal di NTT, Surat Kabar Harian Timor Express, halaman Kupang Metro, seorang wartawan-Longginus Ulan menulis “Beternak Dalam Kota, Dilema Berkepanjangan-Tertibkan Ternak dan Pemiliknya. Gaya tulisan direct lead, menarik untuk dicermati terkait dengan penegakan peraturan daerah. Dimaksud itu, kait erat dengan penertiban ternak oleh pihak Satuan Polisi Pamong Praja Kota Kupang yang dikategorikan dilepas bebas atau ”liar” lantaran pemilik ternak tidak mentaati ketentuan legislasi/aturan yang diwajibkan sesuai dengan Perda Nomor 10 Tahun 2003. Pelanggaran Perda yang dimaksud adalah menggangu ketentraman dan ketertiban umum dimana ternak yang dilepas bebas tersebut, sering merusak tanaman warga dan mengganggu pengguna jalan sering mengakibatkan kecelakaan. Padahal, sesuai amanat Perda, ternak tersebut selayaknya harus dikandangkan!

Tak heran, jika beberapa waktu ini, aparat dari Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Kupang yang di Komandani Drs. Dumuliahi Djami, M.Si, gencar melakukan operasi penertiban ternak, selain menjawab tuntutan warga kota yang merasa tidak nyaman dengan kondisi di Kota Kupang yang warganya membiarkan ternak mereka berkeliaran secara bebas. Tak pelak, banyak ternak-ternak yang terjaring dalam operasi ini! Misalkan, diberitakan Timor Express, Jumat (12/11/2010), dalam rangka menegakkan Perda No 10/2003 tentang penertiban ternak yang dilepas secara bebas, maka pihak Pol PP Kota Kupang berhasil mengamankan kurang lebih 15 ekor ternak kambing. Pengamanan itu dilakukan di RT 44 Kelurahan Oesapa. Pengamanan ternak kambing milik warga oleh pihak PolPP itu atas kerjasama yang baik antara warga serta Lurah Oesapa, Ebed Jusuf (Timex,19/10/2010). Contoh ini hanya sebagian kecil kasuistik dari ratusan pembangkangan warga kota akan amanat Perda.

Pembangkangan!!! Penulis maksudkan adalah tipe warga Kota yang sepenuhnya belum menyadari amanat ataupun perintah dari sebuah peraturan. Lantaran, meskipun upaya sosialisasi dan upaya penertiban ternak yang sering dilakukan masih saja ada warga yang belum sepenuhnya sadar. Inipun, membuat Kasat PolPP Kota Kupang menjadi cemas bahkan kesal dengan perilaku warga yang non kooperatif. Misalkan saat diwawancarai wartawan terkait penertiban yang dilakukan anggotanya, Dumul mengatakan; selama ini pihaknya terus melakukan penertiban sekaligus sosialisasi lewat Lurah serta RT masing-masing namun warga Kota Kupang yang punya ternak belum sadar sepenuhnya (Timex, 19/11/2010), bahkan menurut pengakuan Dumul ada pemilik yang ternaknya terjaring berulang-ulang namun belum sepenuhnya sadar, diberi sanksi tegaspun tak dihiraukan, sebatas pada pembuatan surat pernyataan. Kadangkala anggota saya secara keinstitusian dipameokan warga sebagai Polisi Kambing/Polisi babi, Polisi Sapi dan pameo buruk lainnya.

Jika kita merujuk pada Penjelasan atas Perda No. 10 Tahun 2003 Tentang Pengaturan, Penertiban dan Ijin Pemeliharaan Ternak di Kota Kupang pada penjelasan umum, menjelaskan, pada umumnya masyarakat Kota Kupang menghendaki agar kota ini aman dan tertib dari gangguan ternak yang dibiarkan hidup berkeliaran bebas di jalan maupun di perkarangan rumah penduduk maupun usaha peternakan yang sering menimbulkan pencemaran akibat pengolahan limbah dan dampak lainnya yang kurang ditangani secara baik.


Apa yang terjadi jika ternak tidak dikandangkan? Selain merusak tanaman juga membahayakan pengguna jalan. Tujuan dan kewajiban mengandangkan atau mengurung ternak selain untuk tujuan teknis pemeliharaan ternak, juga agar tidak mengganggu ketertiban umum dan pengrusakan lingkungan. Ini sesuai dengan isi Perda pasal 2 ayat (1)…Setiap pemilik ternak besar (sapi, kerbau, kuda), ternak kecil (babi, kambing, domba) dan unggas (ayam, itik, merpati, burung puyuh) serta aneka ternak dalam Kota Kupang wajib mengandangkan ternaknya dan ayat (2) menyatakan kandang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tidak boleh menimbulkan  bahaya dan mengganggu kebersihan, keamanan lingkungan serta kepentingan umum. Pada Bab VI tentang Larangan, masih pada Perda yang sama, Pasal 11 ayat (1) dan terkecuali penelitian, pemeliharaan ternak dilarang dilakukan pada tempat-tempat yang banyak aktivitas/kegiatan masyarakat seperti: kawasan perkantoran, kawasan pelayanan kesehatan, kawasan rumah ibadah, kawasan sekolah dan kampus, kawasan pertokoan, kawasan pelabuhan udara, kawasan pelabuhan laut, kawasan terminal, kawasan ruang terbuka hijau, kawasan rekreasi kota, kawasan hijau olahraga, kawasan perbatasan hutan kota, kawasan tempat pemakaman umum, kawasan pemukiman yang padat penduduk dan kawasan fasilitas umum lain yang dapat menimbulkan gangguan kecelakaan. Namun, sama saja, warga Kota tak mau peduli dan bersikap apatis.

Penjelasan pasal 7 dalam Perda No. 10 Tahun 2003, dijelaskan, ijin pemeliharaan ternak diwajibkan bagi pemeliharaan ternak dengan tujuan komersial, perdagangan dan penelitian sedangkan pemeliharaan sebagai hobi atau kegemaran tidak memerlukan ijin. Pemerliharaan ternak dengan tujuan komersial ditetapkan dengan jumlah minimum untuk setiap jenis ternak adalah; ternak besar minimum 6 ekor, ternak kecil minimum 6 ekor, ternak unggas minimum 201 ekor, aneka ternak minimum 26 ekor.

Satpol PP dan Kewenangannya
Meskipun selama ini tidak ada satupun undang-undang khusus yang mengatur keberadaan Satpol PP sebagaimana kepolisian (UU No 2/2002) dan militer (UU No 34/2004) diatur secara khusus dalam satu undang-undang terpisah. Pengaturan Satpol PP masih terintegrasi dengan peraturan mengenai pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi payung hukum tertinggi bagi keberadaan Satpol PP. Pasal 148 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan: (1) untuk membantu kepala daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. (2) pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Aturan-aturan dari pasal-pasal mengenai Satpol PP dalam UU Pemerintah Daerah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja yang direvisi dengan PP No. 06  tahun 2010. Pedoman ini mencakup beberapa hal yang lebih detil mengenai fungsi dan kewenangan Satpol PP. beberapa poin dibawah ini merupakan fungsi-fungsi dari Satuan Polisi Pamong Praja, yakni Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, penegakan perda dan keputusan kepala daerah serta melaksanakan perlindungan masyarakat (LINMAS). Peraturan Pemerintah ini merupakan pedoman utama Satpol PP dan selanjutnya dijabarkan secara teknis dan mendetil dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Pol PP dan kewenangan inilah yang mendasari Pol PP menjadi institusi super body dalam penegakan Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah serta mengawasi pelaksanaannya pada warga daerah otonom.

Kewenangan secara legislasi inilah yang mendasari aktifnya Satpol PP dalam penegakan peraturan daerah dan menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Dengan demikian, apapun alasannnya, jika bertentangan dengan apa yang menjadi perintah Perda maka pelanggarnya akan ditindak atau ditertibkan secara non justisial. Hal yang sama berlaku pada pelanggaran Perda No 10 tahun 2003 tentang ternak.

Aktualisasi Perda No 10/2003 dan dinamikanya
Perda 10/2003, jika ditilik dan dicermati, secara holistik ataupun parsial, nyata secara jelas, baik secara sosiologis maupun filosofis dan mengakomodir walaupun tidak keseluruhan isi amanah dan aspirasi, cukup menjawab tuntutan penyelengaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat. Namun, aktualisasi dan implementasi, belum sepenuhnya dimanifestasi dalam tindak tanduk (tunduk) secara sadar oleh masyarakat atau lebih umum dikenal dengan nama warga. Entah dikarenakan apa, masih menjadi serangkaian fenomena apik yang belum terselesaikan lantaran egoisme. Kasat PolPP Kota Kupang, Dumul Djami, mengungkapkan; selama ini pihaknya terus  melakukan sosialisasi dan penertiban ternak, baik itu berkoordinasi dengan Lurah, RT/RW maupun Toga dan Toda, namun masyarakat belum juga sepenuhnya sadar. Tindakan tegas non justisialpun diambil, namun masih saja warga menganggapnya sebagai peringatan bersifat apatis. “palingan, disuruh buat surat pernyataan dan disuruh membawa pulang ternak yang diamankan satpol pp. tidak ada sanksi yang lebih berat dari itu.” Begitulah pameo pembangkang yang selama ini mungkin tersirat dalam benak mereka (para pembangkang).

Asumsi lain, seringkali, para pemilik yang ternaknya terjaring dalam operasi yang digelar oleh Satpol PP, berdalih tidak memahami dan mengetahui isi yang tertera dalam Perda tentang ternak. Parahnya lagi, sebahagian pemilik ternak mengakui tidak adanya sosialisasi dan pemberitahuan yang sering dilontarkan pemerintah, baik via media massa, Kelurahan, RT/RW, Dinas terkait dan media alternatif lainnya (anonymous,2010). Jika betul ini adanya, dipastikan belum terjalin sinergitas antara warga dan pemerintahnya. Akhirnya, masing-masing terkutat pada egosentris. Masyarakat apatis dan tak peduli, pemerintahpun melakoni apa yang menjadi protabnya.

Pastinya, fenomena ini jika didiversifikasi maka kita akan terjebak pada masalah tak terselesaikan. Tapi, core dari penegakan Perda ini adalah dalam penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat. Jika ternak dipelihara secara “liar”, secara legal dapat merusak tanaman-tanaman warga ataupun mengganggu keindahan kota dalam kawasan yang dilarang pemeliharaannya sesuai amanah Perda. Lebih fatal lagi, diternakkan dengan cara dilepas ini, dapat membahayakan para pengguna jalan. Bahkan ada yang menjadi korban dan tewas diakibatkan menabrak ternak kambing dijalan seputaran Timor Raya KM 7 Oesapa (media lokal, 2007). Jika ini tidak diseriusi oleh pemerintah maka akan menjadi boomerang bagi pengguna jalan raya. Cermatan lain, saat ini Pemerintah Kota Kupang lagi menggalang dan mengkampanyekan Program Kupang Green and Clean (KGC) dalam upaya pelestarian lingkungan hidup yang lagi trend secara universal/global akibat pemanasan global. Tak pelak, kampanye inipun kini sudah bertaraf internasional. Program kerjasama antara Pemkot Kupang dan Media massa Timex ini, bertujuan menjadikan Kota Kupang yang hijau dan bersih. Jangan lagi akibat kurang sadarnya warga kota ini, berakibat pada pengrusakan lingkungan yang pada awalnya bertujuan baik. Karena apa? Dikarenakan tanaman-tanaman yang ditujukan untuk menghijaukan kota akhirnya dimakan habis oleh ternak ataupun mengganggu pemandangan dan keindahan kota kasih ini.

Kita juga tidak dapat menyalahkan secara sepihak antara pemilik ternak ataukah pemerintah. Terpenting, saat ini yang terus digalakan adalah terpenuhinya masyarakat yang sadar dan pemerintahan yang dinamis dan fleksibel sehingga terciptanya sinergitas, kooperatif antara pemerintah dan warganya, kondusif guna terciptanya ketertiban dan ketentraman lingkungan dan masyarakat. Pemerintah Kota terus mensosialisasikan perda ini, baik melalui media massa, organisasi karang taruna, Kelurahan, RT/RW, Media keagamaan (gereja dan Mesjid), tokoh pemuda ataupun sarana kampanye lainnya sehingga seyogianya dapat terus memupuk kesadaran warganya.

Namun, jikalau seoptimal mungkin telah baik dilakukan, masih ada saja pembangkangan dari pemilik ternak, sudah saatnya untuk diambil tindakan tegas. Misalkan “tembak ditempat ternak yang dianggap liar atau yang dilepas secara bebas yang dapat mengganggu keindahan dan ketentraman kota”. Ini dilakukan dengan lebih mengintensifkan sosialisasi Perda 10/2003 selama rentan waktu ditentukan, setelah itu diperintahkan tembak ditempat ternak tersebut, setelah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait misalkan Polisi, Camat, Lurah dan Stakeholder lainnya. Sehingga dapat memberikan efek jera pada warga meskipun nantinya ada sedikit ketidaksinergitas atau penolakan di masyarakat.

Media massa memiliki peran penting dalam mengkampanyekan perda ini, dan pemerintah harus menseriusi ini. Ini dimaksudkan agar informasi ini dapat tersampaikan secara pasti ke masyarakat. Konkrit lain, terobosan-terobosan yang dilakukan Kasat Pol PP Kota Kupang membuka layanan kring pengaduan masyarakat di Kotak saran yang terpampang didepan Kantor Satpol PP Kota Kupang dan nomor publik 081236892112. Surat Kabar Harian Timex, cukup membantu dengan menyediakan kolom ruang publik dipemberitaannya yang memberikan kesempatan pada masyarakat untuk melaporkan, menginformasikan ataupun meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang berompeten sebagai media penyambung aspirasi dinomor HP 085238601751. Sebagai contoh SMS  dari warga pada ruang publik, masih banyak hewan piaraan yang dibiarkan berkeliaran dimana-mana. Oleh karena itu banyak warga kota kupang melalui short message service nomor handphone rubric ruang publik Timor Express mengharapkan agar bukan hanya kambing atau babi milik warga yang ditahan namun pemilik hewan perlu diberi tindakan yang sepatutnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kalau tidak demikian maka menurut warga dalam SMS-nya tidak aka nada efek jera. “PolPP harus bertindak tegas untuk menertibkan hewan yang keliaran. Selain itu juga kepada para pemilik perlu ditindak,” demikian harapan warga Kota Kupang lewat pesan singkat mereka melalui nomor pelayanan ruang publik Harian Pagi Timor Express. Memang benar harus begitu, tulis Longginus Ulan, Wartawan TIMEX (19/11/2010).

Seburuk-buruknya pameo warga “pembangkang” akan kinerja Satpol PP disubtitusikan sebagai polisi kambing/Polisi babi dan anggapan lainnya, dalam penegakkan perda, yang pasti seyogianya Satpol PP menjadi cerminan penyelenggaran ketertiban dan ketentram masyarakat meskipun masih banyak orang yang selalu sinis dengan pekerjaan Satpol PP yang mulia ini. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 23 Nopember 2010).


-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang

TRANSLATE: