REINKARNASI
DWIFUNGSI ABRI
Oleh. Ian Haba Ora
Sejak reformasi nasional bergulir, ABRI
(Sekarang TNI) merupakan salah satu institusi yang paling gencar mendapat
sorotan dan tuntutan untuk berubah. Hal ini dipandang logis, mengingat peran
ABRI yang sebelumnya begitu dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan dwifungsi ABRI yang sah menurut Undang-Undang, memungkinkan prajurit
berada pada hampir semua lini kehidupan. Sebagai penentu dilegislatif,
penyelenggara di eksekutif dan bahkan wasit di Yudikatif. Keadaan yang konon
menciderai norma dan prinsip satu negara demokrasi. Melalui reformasi, bangsa
Indonesia bersepakat mengembalikan peran dan posisi militer secara benar dalam
sistem kenegaraan. Terbitlah Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan
TNI dan Polri, serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang penetapan peran
TNI dan Polri. Dua ketetapan yang kemudian dikukuhkan dalam UUD tahun 1945
melalui amandemen kedua. Berlanjut dengan pengesahan UU No. 3 tahun 2002
tentang pertahanan negara yang menetapkan TNI sebagai komponen utama dan UU
No.34 tahun 2004 tentang TNI.
Namun semangat reformasi ini, kemudian
akan diupayakan untuk mereinkarnasi TNI menjadi “dwifungsi ABRI” lagi oleh
mereka para Politisi yang kurang terconection
dengan reformasi TNI. Pemberitaan harian Timor Express-Senin, 21 Juni 2010,
menuliskan bahwa saat ini sedang dilakukan revisi UU Pemilu agar TNI dapat
memiliki hak pilih. Namun parahnya, kutat-mengkutat para politisi melalui
fraksinya memberikan tanggapan yang sering kali bertentangan dengan semangat
reformasi. Meskipun ada beberapa fraksi yang tetap bertahan pada reposisi TNI
saat ini.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan
Sejatera (PKS) Agus Purnomo menyatakan, pihaknya mendorong agar revisi UU
Pemilu saat ini memulihkan hak politik warga negara pada TNI? Bagi PKS tidak
masalah! Menurut Agus, masalah netralitas saat ini tampaknya bisa direduksi
dari diri TNI. Sesuai dengan UU, TNI kini telah melepaskan aset-aset mereka.
Hal ini merupakan salah satu poin penting. “Dengan melepaskan aset, konflik
kepentingan mereka berakhir,” kata Agus. Bukankah TNI selama ini dibawah
Presiden. Menurut Agus, posisi TNI sebagai lembaga dibawah Presiden tidak
menjadikan itu alasan untuk menutup hak politik. “Dibawah Presiden, TNI
menjalankan tugas kenegaraan, bukan tugas politik. Teknisnya mereka nanti tidak
ikut kampanye, tapi bisa memilih,” tandasnya (Timex-Senin, 21/6/2010).
Jika kita melihat soal hak politik
setiap warga negara memang ada benarnya jika dia memiliki hak memilih sebagai
hak asasinya. Namun yang perlu diperhatikan adalah, selaku warga negara yang
memiliki tugas pertahanan ketika menjadi bagian dari alat negara maka haknya
telah ditukar dengan otoritas yang dipikulkan padanya. Selaku alat negara
dibidang pertahanan, maka prajurit TNI hanya tunduk pada kebijakan dan keputusan
politik negara. Prajurit TNI harus berada diluar arus putaran hingar binger
reformasi politik maupun pemilihan anggota legislatif, kepala daerah dan
presiden/wakil presiden. Sebagaimana fakta-fakta yang telah dikemukakan dalam
proses reformasi internal TNI telah sepenuhnya meninggalkan politik praktis. Ini
juga dipertegas dalam UU Nomor 34 tahun 2004 pasal (39) yang menegaskan bahwa
prajurit TNI dilarang terlibat dalam (1). Kegiatan menjadi anggota partai
politik; (2). Kegiatan politik praktis; (3). Kegiatan bisnis dan (4). Kegiatan
untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan
politis lainnya. Bagi prajurit aktif yang ingin terjun dalam politik praktis,
pilihannya hanya meninggalkan status keprajuritan, ataupun jika ingin menggunakan
hak pilihnya maka harus mengundurkan diri atau mempensiunkan dini dari tugas
keprajuritan. Jika kini, kita mendorong TNI untuk masuk lagi dalam konstelasi
Politik maka mungkin tidak mungkin TNI akan kembali dengan dwifungsi ABRI
seperti lembaran kelam negeri ini masa orde baru. Dapatkan kita mengindikasikan
bahwa Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejatera (PKS) Agus Purnomo dan
partainya sebagai regenerasi atau reinkarnasi dari Orde Baru? Entahlah, tapi
juga itu semua mungkin dapat kita lihat dari kacamata reformasi sektor
keamanan!
“Mungkin belum waktunya TNI memiliki hak
memilih seperti warga lain,” kata Puan Maharani, Ketua Bidang Politik PDIP. Dia
juga mengingatkan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk dengan
berbagai kepentingan. Karena itu, netralitas TNI masih diperlukan untuk
menjamin keutuhan NKRI. Suasana tarik menarik bernuansa kepentingan selalu
muncul dinegara ini. Siapapun yang berkuasa, tegas Puan, pasti selalu berusaha
memanfaatkan semua lini untuk dapat mempertahankan
kekuasaan. Sekjen DPP PAN, Taufik Kurniawan mengatakan masih harus dikaji
secara mendalam manfaat dan kerugiannya bagi kepentingan NKRI. “Jangan sampai
kekompakan Saptamarga prajurit menjadi terkotak-kotak dan terpecah-pecah”.
Dalam konteks Indonesia, harus dicermati sejarah perjalanan dwifungsi ABRI di
era Orde Baru. Itu terutama dikaitkan dengan tuntutan reformasi. “Dari sana
dicari resultante yang tepat,” kata Taufik.
Membingungkan jika saat ini kekuatan
masyarakat sipil mulai lemah disertai dengan belum terpahaminya kondisi politik
secara baik oleh legislator-legislator yang duduk di senayan. Anggota TNI
adalah warga negara. Namun mereka adalah warga negara yang memiliki otoritas
lebih dari warga negara biasa sehingga ada batasan yang membedakannya dengan
warga sipil. Konsep kewarganegaraan (citizenship)
menafikan perbedaan antara militer dan sipil atau antara prajurit regular
dengan prajurit sukarela atau wajib militer. Contohnya adalah Jerman yang
menyatakan dalam konstitusinya bahwa tentara adalah warga negara berseragam (Staatsburger in Uniform). Hal yang sama
juga dilakukan oleh Belanda yang menyatakan warga sipil yang masuk dalam dinas
militer secara sukarela, sehingga menyebabkan diserahkannya hak dan
kewajibannya sebagai warga negara biasa. Warga sipil yang bergabung dalam wajib
militer dalam hal tertentu tetap dipandang sebagai warga negara dengan
keterbatasan.
Sungguhpun demikian harus diperhatikan
untuk menafsirkan konsep “tentara adalah warga negara berseragam”. Penafsiran
konsep itu sebagai persamaan antara militer dengan warga sipil dalam HAM adalah
tidak akurat. Adalah benar bahwa keduanya merupakan warga negara namun lebih
tepat ditempatkan sebagai filsafat politik ketimbang klasifikasi hukum. Adalah
hal yang umum terdapat pembagian dalam filsafat politik antara warga sipil dan
militer. Secara filosofis pula semua warga negara dapat ikut serta dalam
angkatan bersenjata membagi namun tidak semua warga dapat menjadi anggota
militer mengingat terdapat kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Konsep hukum sebagai konsekuensinya,
menuntut kejelasan antara militer dengan sipil. Adapun perbedaan karakteristik,
fungsi dan kedudukan mengharuskan adanya klasifikasi dalam konsep
kewarganegaraan. Tengoklah karakteristik militer yang terikat pada hirarki,
komando serta perintah tidak ditemukan dalam kehidupan warga sipil. Sehingga
bila terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh militer sesuai dengan
karakternya tidak dapat dilakukan oleh warga sipil. Dengan demikian klasifikasi
hukum pun juga terdapat perbedaan juridiksi serta yustiabilitas dari
pemberlakuan hukum terhadap militer dan warga sipil.
Sebagaimana disinggung diatas, dalam pandangan publik, TNI merupakan
institusi yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kelam politik pemerintahan
Orba, merupakan elemen utama pendukung kekuasaan 32 tahun rezim Soeharto.
Karenanya TNI dituntut untuk mereformasi dirinya menjadi tentara professional
dan tunduk pada otoritas sipil dalam pemerintahan demokratis, sekaligus sebagai
alat pemerintah yang tidak terlibat dalam pengambilan kebijakan politik. Selain
terkait peran politik, TNI juga diinginkan meninggalkan keterlibatan mereka
dalam aktivitas-aktivitas ekonomi, menjauhi hal-hal yang dapat bertentangan
dengan fungsi-fungsi professional mereka. Terkait dengan praktek-praktek
kekerasan dimasa lalu, TNI juga didesak untuk tunduk pada tuntutan hukum dan
secara ketat memastikan bahwa tindakan-tindakan mereka dimasa yang akan datang
tidak lagi bertentangan dengan hukum atau melanggar HAM. Tuntutan ini tidak
lepas dari problem peran dwifungsi ABRI dimasa lalu dimana militer masuk dalam
kehidupan sosial, politik dan ekonomi sebagai pengawal kepentingan negara dan
modal. Lebih jauh lagi, militer menjadi penentu dari kebijakan negara, sehingga
rezim orde baru sendiri nota bene merupakan rezim militer. Apakah kondisi ini
harus dikembalikan dengan adanya persepsi secara kepartaian oleh individu
partai PKS? Sungguh meragukan kualitasnya sebagai anggota DPR RI!
Kondisi ini memperlihatkan, sistem
demokrasi yang kita bangun ternyata masih sebatas demokrasi prosedural.
Demokrasi kita baru sebatas pembentukan institusi-institusi baru namun belum
dapat mewujudkan demokrasi yang substansial yaitu kesejateraan rakyat (welfare state). Manajemen dari partai
politik yang belum matang mengakibatkan lemahnya posisi tawar sipil terhadap
TNI. Selain itu pengawasan dan kontrol masyarakat sipil terhadap TNI semakin
melemah sebagai akibat kejenuhan lamanya rentang waktu reformasi dan tidak ada
kesepakatan diantara kalangan masyarakat sipil sendiri kapan reformasi TNI
dianggap selesai. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum
Timor Express, tanggal 23 Juni 2010).
-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang