Pergolakan
Reformasi Kepolisian di NTT
(Catatan:
Menuju Polisi Yang Dekat Dengan Rakyat)
Oleh. Ian Haba Ora
Tanpa terasa,
lebih dari sepuluh tahun sudah reformasi bergulir. Awalnya, mahasiswa yang
bergerak pada 1998 menginginkan terjadinya reformasi total disegala bidang.
Sejalan dengan itu, berbagai kelompok masyarakat sipil berupaya agar reformasi
sektor keamanan (Security Sector Reform) juga
berjalan searah dengan reformasi politik untuk membangun suatu sistem demokrasi
yang diidam-idamkan. Namun kenyataan disana sini menunjukkan betapa hal
tersebut masih menjadi impian yang amat panjang. Terlepas dari berbagai kendala
yang ada, satu hal terpenting bagi masyarakat sipil ialah agar kita tetap
memiliki semangat dan daya tahan yang tinggi agar cita-cita reformasi menjadi
kenyataan. Demokrasi memang bukan tujuan akhir dari reformasi total, melainkan
bagaimana melalui sistem demokrasi itu negeri yang kita cintai ini dapat
mencapai masyarakat yang adil dan makmur, bebas dari ketakutan dan terjadi
cheks and balances dalam sistem politik yang berjalan. Dengan demikian,
Reformasi Sektor Keamanan (RSK) merupakan sebuah konsep reformasi dibidang
keamanan yang besifat holistik, mulai dari aktor, disiplin dan aktivitas;
bergerak didalam prinsip dan norma demokratis; dengan demikian tujuan akhir
dari SSR adalah terbentuknya sebuah sistem keamanan nasional yang integratif,
demokratis dan humanis.
Perspektif
lain, sejak revolusi industri di Inggris (1819), organisasi kepolisian
mengalami perkembangan dari perspektif “Radikal” (state police) ke perspektif “liberal” (civilian police). Perkembangan itu menyangkut pengorganisasian,
pendekatan tugas, teknik operasional dan sistem kontrol. Perspektif radikal
mengarahkan organisasi kepolisian sebagai “alat negara” yang mengutamakan
pendekatan represif, dimana orientasi tugas lebih mengutamakan untuk
kepentingan negara (terutama pemerintah). Sedangkan perspenktif liberal
mengarahkan organisasi kepolisian sebagai bagian dari public order, polisi
independen dalam menjalankan tugas dan menjauhkan diri dari pengaruh politik.
Dengan besarnya kekuasaan yang diberikan Undang-Undang kepada polisi,
masyarakat dilibatkan secara aktif mengontrol aktivitas aparat maupun
organisasi kepolisian.
Perspektif radikal
banyak diterapkan dinegara-negara otoritarian dimana polisi digunakan sebagai
instrumen represi untuk menjaga stabilitas yang berpengaruh pada
keberlangsungan sebuah pemerintahan. Sementara perspektif liberal banyak
diimplementasikan oleh negara-negara demokratis. Disini polisi berfungsi
sebagai penjaga ketertiban untuk mencegah terjadinya chaos ditengah-tengah
masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya tersebut polisi berpatokan pada
prinsip-prinsip dasar yang memanusiakan manusia. Hal yang sebaliknya terjadi
pada polisi dinegara-negara otoritarian yang cenderung menggunakan kekerasan
dalam menjalankan fungsinya. Pergeseran perspektif didalam tubuh polisi sangat
mungkin terjadi. Perubahan tersebut dapat terjadi, setidaknya disebabkan oleh :
terjadi transformasi politik dari otoritarianisme ke demokrasi sehingga memaksa
institusi Kepolisian untuk ikut berubah dengan mengadopsi nilai-nilai demokrasi
dan adanya perubahan dan perkembangan lingkungan strategis sehingga polisi
dituntut untuk mengubah cara pandang, organisasi, teknis operasional dan
lain-lain sejalan dengan perubahan yang terjadi. Pergeseran ini umumnya terjadi
melalui apa yang disebut sebagai reformasi polisi.
Reformasi
polisi merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan. Reformasi sektor
keamanan merupakan sebuah konsep reformasi dibidang keamanan yang bersifat
holistic, mulai dari aktor, disiplin dan aktivitas; bergerak didalam prinsip
dan norma demokratis; dengan demikian tujuan akhir dari RSK adalah terbentuknya
sebuah sistem keamanan nasional yang integratif, demokratis dan humanis.
Sedangkan reformasi kepolisian didefenisikan sebagai transformasi organisasi
kepolisian agar lebih profesional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan,
tanggap dalam merespon ancaman, serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat.
Disini polisi dituntut untuk profesional dan akuntabilitas.
Maksud dari
polisi profesional mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas
kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi
layanan terbaik, otonom, memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya, memiliki
organisasi profesi melalui asosiasi, memiliki kode etik dan kebanggan profesi;
profesi kepolisian sebagai pengabdian, bertanggung jawab atas monopoli keahlian
dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan
tujuan bagi kelangsungan hidup organisasi. Sedangkan secara akuntabilitas
ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang
diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian:
1). Answeribility, mengacu pada kewajiban polisi memberikan informasi dan
penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; 2). Enforcement, mengacu pada
kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggota apabila mereka mangkir dari
tugas-tugas negara/publik; 3). Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi
untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana. Dengan demikian, tujuan dari
reformasi polisi adalah membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan
bertanggung jawab atas tiap tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi
manusia. Mengapa diperlukan reformasi
Polri?
Penggabungan
Polri dalam ABRI melalui Keppres No 290/1964 telah menyebabkan sejumlah masalah
pada polri dimana Polri berada dalam posisi yang lemah karena menjadi
subordinasi satu institusi militer yang secara prinsipil mewakili watak dan
fungsi yang bertentangan dengan kepolisian sebagai institusi sipil. Penggabungan
Polri dan TNI juga berimplikasi pada tidak profesionalnya polri karena terjadinya
tumpang tindih peran, tugas dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan dengan
polri sebagai kekuatan keamanan dalam negeri dan ketertiban dibawah ABRI.
Penggabungan telah membentuk kultur Polri yang militeristik tertanam dalam
sistem pendidikan dan manajemen Polri sehingga mengakibatkan kerentanan
terlibat dalam pelanggaran hukum dan HAM. Polri juga kehilangan kepercayaan
dari masyarakat karena bertindak represif, melanggar hukum dan HAM sebagaimana
TNI. Dengan demikian dibutuhkan upaya memperbaiki kondisi tersebut dengan
melakukan reformasi polisi yang berdasar pada norma demokrasi yaitu keterbukaan
(openness) dan akuntabilitas (accountability).
Namun, konteks
reformasi ini masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan seperti kondisi
dilingkungan Polri masih menyisahkan dilema antara belum terkikisnya paradigma
dan budaya militer dalam organisasi dengan trauma reposisi yang masih
membayanginya; keberadaan Polri langsung dibawah presiden, menyebabkan polri
memposisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan dan operasionalnya
sekaligus dan impactnya adalah tidak adanya koordinasi antara kepala daerah
sebagai penanggung jawab didaerah; format polri sebagai kepolisian nasional
menyebabkan pemenuhan segala kebutuhan dan operasional polri ditanggung oleh
pemerintah pusat. Ketergantungan anggaran pada pemerintah pusat menyebabkan
alur anggaran polri menjadi panjang dan rawan korupsi; kendala anggaran, upaya membangun
Polri yang mandiri dan profesional membutuhkan anggaran yang memadai. Hal ini
menyebabkan Polri mencari anggarannya sendiri dan hal ini didukung UU Polri
dimana tidak secara eksplisit menegaskan anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali
anggaran untuk Komisi Kepolisian Nasional; Rasio perbandingan jumlah anggota
Polri dengan jumlah penduduk. Saat ini rasio anggota Polri dengan masyarakat
masih berkisar antara 1:750 hingga 1:1000. Sedangkan idealnya 1:350. Rasio
perbandingan yang tidak merata ini menyulitkan Polri dalam menjalankan tugas,
khususnya pada Pemolisian Masyarakat (community
policing) dan Babinkamtibmas.
Tulisan ini,
wujud kampanye Reformasi Sektor Keamanan (Security
Sector Reform) oleh Task Force Team
NTT dan F PAR Kota Kupang dalam memperjuangkan Human Security di Nusa Tenggara Timur. Tulisan ini, sebagai
refleksi Apakah RSK di Institusi Kepolisian telah menyentuh secara Struktur,
Instrumen dan Kultural para penegak hukum? Tanggung jawab keamanan merupakan
tanggung jawab bersama sebagai sebuah Negara yang demokratis sehingga harapan
akan polisi yang betul-betul sipil dapat terwujud. Polisi sipil menghormati
hak-hak sipil. Masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang mampu
berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai ini telah dirumuskan
dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif negara (the guardian of civilian values). Polisi
sipil mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Dengan demikian pada polisi sipil
melekat sikap-sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak melakukan kekerasan
dan mengedepankan persuasif menjadi ciri utamanya. Pengertian sipil secara
diametral jauh dari karakteristik militer, sejalan dengan defenisi yang
diangkat dalam perjanjian hukum international yang meletakkan kedudukan polisi
sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang (non-combatant), sementara tentara didesain untuk berperang (combatant). Apakah dengan maraknya kasus illegal mining di NTT yang mengindikasikan
keterlibatan oknum Polri, Brutalitas Polisi, bentrok TNI dan Polri, Penangkapan
sewenang-wenang, penyiksaan dalam tahanan, penyiksaan dan penganiayaan terhadap
korban kekerasan, becking bisnis ilegal dan perbuatan amoral oknum polri dapat
dikatakan bahwa institusi kepolisian sudah mereformasi? Disinilah Organisasi
Masyarakat Sipil (civil society organization) berperan karena kebutuhan akan
keamanan merupakan kebutuhan publik dan juga dalam rangka mendongkrak agenda
reformasi sektor keamanan! (Tulisan ini pernah
dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 27 Januari 2010).
-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota
Kupang