SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 2 July 2013

MENUJU POLISI RAKYAT



Pergolakan Reformasi Kepolisian di NTT
(Catatan: Menuju Polisi Yang Dekat Dengan Rakyat)
Oleh. Ian Haba Ora

Tanpa terasa, lebih dari sepuluh tahun sudah reformasi bergulir. Awalnya, mahasiswa yang bergerak pada 1998 menginginkan terjadinya reformasi total disegala bidang. Sejalan dengan itu, berbagai kelompok masyarakat sipil berupaya agar reformasi sektor keamanan (Security Sector Reform) juga berjalan searah dengan reformasi politik untuk membangun suatu sistem demokrasi yang diidam-idamkan. Namun kenyataan disana sini menunjukkan betapa hal tersebut masih menjadi impian yang amat panjang. Terlepas dari berbagai kendala yang ada, satu hal terpenting bagi masyarakat sipil ialah agar kita tetap memiliki semangat dan daya tahan yang tinggi agar cita-cita reformasi menjadi kenyataan. Demokrasi memang bukan tujuan akhir dari reformasi total, melainkan bagaimana melalui sistem demokrasi itu negeri yang kita cintai ini dapat mencapai masyarakat yang adil dan makmur, bebas dari ketakutan dan terjadi cheks and balances dalam sistem politik yang berjalan. Dengan demikian, Reformasi Sektor Keamanan (RSK) merupakan sebuah konsep reformasi dibidang keamanan yang besifat holistik, mulai dari aktor, disiplin dan aktivitas; bergerak didalam prinsip dan norma demokratis; dengan demikian tujuan akhir dari SSR adalah terbentuknya sebuah sistem keamanan nasional yang integratif, demokratis dan humanis.

Perspektif lain, sejak revolusi industri di Inggris (1819), organisasi kepolisian mengalami perkembangan dari perspektif “Radikal” (state police) ke perspektif “liberal” (civilian police). Perkembangan itu menyangkut pengorganisasian, pendekatan tugas, teknik operasional dan sistem kontrol. Perspektif radikal mengarahkan organisasi kepolisian sebagai “alat negara” yang mengutamakan pendekatan represif, dimana orientasi tugas lebih mengutamakan untuk kepentingan negara (terutama pemerintah). Sedangkan perspenktif liberal mengarahkan organisasi kepolisian sebagai bagian dari public order, polisi independen dalam menjalankan tugas dan menjauhkan diri dari pengaruh politik. Dengan besarnya kekuasaan yang diberikan Undang-Undang kepada polisi, masyarakat dilibatkan secara aktif mengontrol aktivitas aparat maupun organisasi kepolisian.

Perspektif radikal banyak diterapkan dinegara-negara otoritarian dimana polisi digunakan sebagai instrumen represi untuk menjaga stabilitas yang berpengaruh pada keberlangsungan sebuah pemerintahan. Sementara perspektif liberal banyak diimplementasikan oleh negara-negara demokratis. Disini polisi berfungsi sebagai penjaga ketertiban untuk mencegah terjadinya chaos ditengah-tengah masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya tersebut polisi berpatokan pada prinsip-prinsip dasar yang memanusiakan manusia. Hal yang sebaliknya terjadi pada polisi dinegara-negara otoritarian yang cenderung menggunakan kekerasan dalam menjalankan fungsinya. Pergeseran perspektif didalam tubuh polisi sangat mungkin terjadi. Perubahan tersebut dapat terjadi, setidaknya disebabkan oleh : terjadi transformasi politik dari otoritarianisme ke demokrasi sehingga memaksa institusi Kepolisian untuk ikut berubah dengan mengadopsi nilai-nilai demokrasi dan adanya perubahan dan perkembangan lingkungan strategis sehingga polisi dituntut untuk mengubah cara pandang, organisasi, teknis operasional dan lain-lain sejalan dengan perubahan yang terjadi. Pergeseran ini umumnya terjadi melalui apa yang disebut sebagai reformasi polisi.

Reformasi polisi merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan. Reformasi sektor keamanan merupakan sebuah konsep reformasi dibidang keamanan yang bersifat holistic, mulai dari aktor, disiplin dan aktivitas; bergerak didalam prinsip dan norma demokratis; dengan demikian tujuan akhir dari RSK adalah terbentuknya sebuah sistem keamanan nasional yang integratif, demokratis dan humanis. Sedangkan reformasi kepolisian didefenisikan sebagai transformasi organisasi kepolisian agar lebih profesional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman, serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Disini polisi dituntut untuk profesional dan akuntabilitas.

Maksud dari polisi profesional mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi layanan terbaik, otonom, memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya, memiliki organisasi profesi melalui asosiasi, memiliki kode etik dan kebanggan profesi; profesi kepolisian sebagai pengabdian, bertanggung jawab atas monopoli keahlian dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup organisasi. Sedangkan secara akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian: 1). Answeribility, mengacu pada kewajiban polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; 2). Enforcement, mengacu pada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggota apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik; 3). Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana. Dengan demikian, tujuan dari reformasi polisi adalah membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan bertanggung jawab atas tiap tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi manusia. Mengapa diperlukan reformasi Polri?

Penggabungan Polri dalam ABRI melalui Keppres No 290/1964 telah menyebabkan sejumlah masalah pada polri dimana Polri berada dalam posisi yang lemah karena menjadi subordinasi satu institusi militer yang secara prinsipil mewakili watak dan fungsi yang bertentangan dengan kepolisian sebagai institusi sipil. Penggabungan Polri dan TNI juga berimplikasi pada tidak profesionalnya polri karena terjadinya tumpang tindih peran, tugas dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan dengan polri sebagai kekuatan keamanan dalam negeri dan ketertiban dibawah ABRI. Penggabungan telah membentuk kultur Polri yang militeristik tertanam dalam sistem pendidikan dan manajemen Polri sehingga mengakibatkan kerentanan terlibat dalam pelanggaran hukum dan HAM. Polri juga kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena bertindak represif, melanggar hukum dan HAM sebagaimana TNI. Dengan demikian dibutuhkan upaya memperbaiki kondisi tersebut dengan melakukan reformasi polisi yang berdasar pada norma demokrasi yaitu keterbukaan (openness) dan akuntabilitas (accountability).

Namun, konteks reformasi ini masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan seperti kondisi dilingkungan Polri masih menyisahkan dilema antara belum terkikisnya paradigma dan budaya militer dalam organisasi dengan trauma reposisi yang masih membayanginya; keberadaan Polri langsung dibawah presiden, menyebabkan polri memposisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan dan operasionalnya sekaligus dan impactnya adalah tidak adanya koordinasi antara kepala daerah sebagai penanggung jawab didaerah; format polri sebagai kepolisian nasional menyebabkan pemenuhan segala kebutuhan dan operasional polri ditanggung oleh pemerintah pusat. Ketergantungan anggaran pada pemerintah pusat menyebabkan alur anggaran polri menjadi panjang dan rawan korupsi; kendala anggaran, upaya membangun Polri yang mandiri dan profesional membutuhkan anggaran yang memadai. Hal ini menyebabkan Polri mencari anggarannya sendiri dan hal ini didukung UU Polri dimana tidak secara eksplisit menegaskan anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali anggaran untuk Komisi Kepolisian Nasional; Rasio perbandingan jumlah anggota Polri dengan jumlah penduduk. Saat ini rasio anggota Polri dengan masyarakat masih berkisar antara 1:750 hingga 1:1000. Sedangkan idealnya 1:350. Rasio perbandingan yang tidak merata ini menyulitkan Polri dalam menjalankan tugas, khususnya pada Pemolisian Masyarakat (community policing) dan Babinkamtibmas.

Tulisan ini, wujud kampanye Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform) oleh Task Force Team NTT dan F PAR Kota Kupang dalam memperjuangkan Human Security di Nusa Tenggara Timur. Tulisan ini, sebagai refleksi Apakah RSK di Institusi Kepolisian telah menyentuh secara Struktur, Instrumen dan Kultural para penegak hukum? Tanggung jawab keamanan merupakan tanggung jawab bersama sebagai sebuah Negara yang demokratis sehingga harapan akan polisi yang betul-betul sipil dapat terwujud. Polisi sipil menghormati hak-hak sipil. Masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai ini telah dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif negara (the guardian of civilian values). Polisi sipil mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Dengan demikian pada polisi sipil melekat sikap-sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak melakukan kekerasan dan mengedepankan persuasif menjadi ciri utamanya. Pengertian sipil secara diametral jauh dari karakteristik militer, sejalan dengan defenisi yang diangkat dalam perjanjian hukum international yang meletakkan kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang (non-combatant), sementara tentara didesain untuk berperang (combatant). Apakah dengan maraknya kasus illegal mining di NTT yang mengindikasikan keterlibatan oknum Polri, Brutalitas Polisi, bentrok TNI dan Polri, Penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dalam tahanan, penyiksaan dan penganiayaan terhadap korban kekerasan, becking bisnis ilegal dan perbuatan amoral oknum polri dapat dikatakan bahwa institusi kepolisian sudah mereformasi? Disinilah Organisasi Masyarakat Sipil (civil society organization) berperan karena kebutuhan akan keamanan merupakan kebutuhan publik dan juga dalam rangka mendongkrak agenda reformasi sektor keamanan! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 27 Januari 2010).


-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang

TRANSLATE: